Ringkasan Cerita “GIMU” DAN “GIRI” DALAM KOMIK “SAY HELLO TO BLACK

BAB III “GIMU” DAN “GIRI” DALAM KOMIK “SAY HELLO TO BLACK

JACK” EDISI 1-4

3.1 Ringkasan Cerita

Say Hello To Black Jack adalah cerita mengenai permasalahan dunia kedokteran di Jepang, khususnya di universitas Eiroku. Pemeran utamanya bernama Eijiro Saito. Eijiro Saito adalah seorang mahasiswa fakultas kedokteran universitas Eiroku yang baru saja lulus dan langsung magang di rumah sakit universitas. Dokter magang pada dasarnya adalah pelatihan. Untuk menjadi dokter, harus kuliah 6 tahun dan lulus ujian negara. Tetapi ujian negara isinya hanya teori kedokteran, sama sekali tidak ada ujian praktek. Makanya sebagian besar yang sudah mendapat ijin, magang di rumah sakit universitas. Di rumah sakit negeri para dokter magang bekerja rata-rata 16 jam tiap hari dan diberi gaji 38 ribu Yen setiap bulan, sedangkan di rumah sakit swasta membayar dokter magangnya dibawah 100 ribu Yen. Maka untuk memenuhi kebutuhan hidup Eijiro Saito bekerja sambilan di rumah sakit Seido. Satu malam Saito mendapat gaji 80 ribu Yen. Rumah sakit Seido memiliki tempat tidur 120, namun hanya memiliki 3 orang dokter, yaitu Prof satu orang, Dr.Ushida dan Dr.Saito. Malam pertama tugas di rumah sakit Seido, Saito ditemani oleh Dr.Ushida. Setelah selesai bekerja Saito berkata pada Dr. Ushida Universitas Sumatera Utara “Hebat rumah sakit ini tidak pernah menolak pasien” “Jangan bicara seperti orang bodoh, dengar”.. sahut Dr. Ushida. “Tindak penanganan dokter itu dihitung dengan sistem poin, enema pemompa perut 42 poin, pengambilan darah 12 poin, jumlah poin tersebut dibayar pasien lewat asuransi kesehatan. Satu poin 10 yen. Beda dengan kecelakaan... biaya pengobatan bukan dari asuransi kompensasi korban kecelakaan. Disebut ‘pemeriksaan bebas’. Maksudnya dokter bebas memutuskan berapa biaya satu poin atau ‘one poin unit’. Di rumah sakit ini satu poin nilainya 40 yen. 4 kali lipat dari biasanya dan pasien di rumah sakit adalah hanya korban lalu lintas saja. Semua ini soal uang, bukan pelayanan masyarakat”, Dr.Ushida menjelaskan. Saito menceritakan tentang kerja sambilannya itu pada temannya Dr. Dekune. Saito merasa uang 80 ribu yen yang diterimanya tidak pantas diterima, karena tidak ingin jadi manusia kotor. Namun Dr. Dekune yang juga merupakan dokter magang mengatakan bahwa Saito pantas menerima uang itu karena uang itu adalah hasil kerjanya. Dekune juga mengatakan bahwa sewaktu ujian masuk universitas memilih jurusan kedokteran hanya sekedar iseng dan agar dikatakan yang terbaik, padahal sebenarnya dia tidak ingin jadi dokter. Mendengar itu muncul di benak Saito sebuah pertanyaan, “dokter itu sebenarnya apa?”. Malam berikutnya Saito kembali bertugas di rumah sakit Seido. Profesor memintanya bertugas sendirian dan diberi upah sebannyak 100 yen. Dr. Saito agak keberatan karena masih merasa kurang mampu bekerja sendiri, namun Profesor tetap menyuruhnya bertugas sendiri. Malam itu Dr. Saito kedatangan Universitas Sumatera Utara pasien korban kecelakaan, pasien itu mengalami luka parah dan seluruh tulang badannya patah, kalau tidak segera dioperasi pasien akan meninggal. Dr. Saito kebingungan karena belum pernah melakukan operasi besar terlebih sendirian. Gugup, bingung apa yang harus dilakukan, takut melakukan kesalahan, sehingga mendorongnya untuk menelepon Dr. Ushida, namun tidak diangkat sama sekali. Saito semakin ketakutan dan terpaku di sudut ruangan. Melihat itu kepala perawat menelepon Profesor untuk segera datang menyelamatkan pasien. Menurut hasil angket dari 79 rumah sakit universitas di seluruh Jepang, yang melarang dokter magang bekerja sampingan tak lebih dari 2. Dokter magang yang bekerja sampingan, 80 nya pernah piket sendirian. Terlebih lagi, lebih dari 90 dokter magang yang piket sendirian mengaku pernah mengalami kecemasan saat bertugas. dari angket lembaga independen mahasiswa kedokteran Jepang. Profesor datang menemui Saito setelah selesai melakukan operasi. “Maaf,... bagaimana pasiennya?” Saito langsung bertanya masih dalam keadaan ketakutan. “Kenapa tidak dioperasi? Kalau dibiarkan juga bisa mati, kalaupun tahu bakal mati, bedah saja perutnya”. Jawab Profesor. “Tapi kalau gagal, berarti saya membunuhnya” sahut Saito. “Lebih baik dari pada tidak melakukan apa-apa, kau telah membiarkannya mati.” Kata Profesor lagi. “Tidak benar Ini salah rumah sakit karena dokter magang seperti saya ini disuruh bertugas sendirian Kenapa menerima pasien gawat darurat kalau memang kekurangan dokter anda hanya ingin uangnya saja kan?” tambah Saito. Universitas Sumatera Utara “Lalu? Aku menyelamatkan nyawanya, apa salahnya aku mengambil uangnya? Lagipula apa hubungannya antara aku ingin uang dengan kau tidak melakukan operasi? Kau itu dokter, tak peduli masih baru atau belum berpengalaman, bagi pasien kamu tetap dokter. kalau gagal membunuh katamu? Kalau boleh jujur, yang salah itu orang yang mennyebabkan kecelakaan, lakukan saja operasi, jagan berargumen seolah-olah mengatakan kebenaran Benar itu lemah dan kuat itu buruk. Sesaat setelah mendapatkan izin praktek dokter, kau bukan lagi manusia biasa. Kau adalah dokter kuatkan dirimu” jawab Profesor itu menjelaskan. Eijiro Saito langsung menceritakan kejadian tersebut kepada Dr.Ushida. Dr. Ushida menasehati Saito yang telah melakukan kesalahan dan telah salah menilai Profesor itu. Walaupun memang benar demikian namun pada kenyataanya Profesor itu telah banyak menyelamatkan nyawa manusia. Contohnya pasien yang seharusnya dioperasi oleh Dr. Saito telah selamat dan akhirnya sembuh. Setelah kejadian itu Saito merasa bersalah, mengurung diri di kamar dan berusaha mencari jawaban “apakah sebenarnya dokter itu?”. Namun belum menemukan jawaban. Bulan Juli 7 orang dokter magang ditugaskan di divisi bedah. Salah satu diantaranya adalah Dr. Saito. Pasien pertama yang akan mereka operasi adalah pria berumur 75 tahun. Komplikasi kanker pembuluh darah kerongkongan dan tidak berfungsinya hati karena sirosis pengerasan hati. Operasi dimulai dengan irisan kulit oleh Prof. Kasukabe. Selama 30 tahun Prof. Kasukabe belum pernah gagal melakukan operasi karena yang dilakukannya hanyalah mengiris kulit, sehingga disebut tangan tuhan. Prof. Kasukabe menyebutnya “operasi bedah Universitas Sumatera Utara belut”. Selebihnya dikerjakan oleh dokter magang dan Dr. Takahisa Shiratori sebagai supervisor mereka. Dr. Takahisa Shiratori mengatakan Prof. Kasukabe turun tangan karena telah menerima 1 juta yen dari keluarga pasien. Saito bertanggung jawab untuk merawat pasien yang baru saja selesai di operasi. Toshio Kaneko 75 tahun. Keadaannya stabil namun kemungkinan untuk sadar dari komanya sangat kecil. “Pertama kalinya aku resmi menangani pasien. Tugasku melindungi jiwa orang ini. Nyawa orang ini ada di tanganku. Ini ujian, ujian untuk menentukan bisa tidaknya aku menjadi dokter”. Batin Dr. Saito dalam hati sembari teringat akan pesan Profesor rumah sakit Seido. Dia berusaha sungguh-sungguh meski senantiasa berhadapan dengan dunia kedokteran Jepang yang kontradiktif dengan bayangannya selama ini. Dr. Saito mencatat perkembangan pada tuan Kaneko, Dr. Saito melihat bahwa tuan Kaneko tidak mengeluarkan air seni, akibatnya kadar urea dalam tubuh pasien meningkat dapat memperlambat kesembuhan pasien. Dr. Saito hendak melakukan dialisis selaput perut namun dilarang ole Dr. Shiratori karena menurutnya hal itu sia-sia dan menghamburkan anggaran pengobatan negara. Dr. Shiratori juga mengatakan bahwa Profesor memerintah melakukan operasi hanya untuk mendapat uang satu juta yen dari keluarga pasien. Pihak rumah sakit bahkan menghentikan penanganan terhadap pasien yang bernama tuan Kaneko. “Pengobatan yang sia-sia itu musuh masyarakat” , kata Dr. Shiratori. Dr. Saito tidak setuju dengan hal itu namun tidak bisa berbuat apa-apa. Setelah tiga hari penanganan dihentikan, namun Dr. Saito tetap memperhatikan tuan Kaneko, akhirnya Dr. Saito memohon agar dibuka kembali penanganan Universitas Sumatera Utara terhadap tuan Kaneko. Dr. Saito berprinsip meskipun kemungkinan sembuhnya tinggal 1 pun, menghentikan pengobatan dengan alasan apapun tetap salah. Penanganan kembali dibuka, dan keluarga tuan Kaneko kembali datang menjenguknya. Beberapa hari kemudian tuan Kaneko meninggal dunia di umur 75 tahun. Keluarga datang mengucapkan terima kasih pada dokter. Pada bulan September Dr. Saito melanjutkan pelatihan magangnya di divisi penyakit dalam. Pasien yang ditangani oleh Dr. Saito adalah Kazuo Miyamura 38 tahun, memiliki penyakit jantung koroner yang tidak stabil. Sebenarnya pasien ini harus segera dioperasi, namun tidak bisa segera dilakukan karena harus mendapat persetujuan dari pihak divisi bedah jantung dan mereka juga yang menentukan kapan waktunya pasien tersebut dioperasi. Karena kerlambatan operasi sehingga tuan Miyamura mengalami komplikasi sirosis atau pengerasan hati. Persentse keberhasilan operasi tuan Miyamura sangat rendah. Pihak rumah sakit tidak memperbolehkan Dr. Saito untuk mengatakan keadaan yang sebenarnya kepada pasien ,hal itu membuat tuan Miyamura tidak percaya kepada Dr. Saito. Saat Dr. Saito menjenguk tuan Miyamura, Dr. Saito membuka pembicaraan. “anda kelihatan kurus ya... saya akan menganti infus heparin dan memberi nitroglycerin. Kalau ada apa-apa, bilang saja”. Tuan Miyamura berkata : “Heh... Dokter, dulu waktu ayahku meninggal di rumah sakit, pihak rumah sakit tidak menjelaskan apa-apa, dokter itu memang menakutkan ya. Jadi tidak berani bertanya apa-apa. Begitu sadar, upacara Universitas Sumatera Utara pemakaman sudah selesai. Ayah sudah menjadi tulang, akupun sebentar lagi pasti seperti itu kan dokter?”. Mendengar itu Dr. Saito menangis sambil mengatakan sebenarnya bahwa sebenarnya tuan Miyamura harus segera dioperasi, operasi terlambat karena pihak rumah sakit berindak seenaknya, karena sirosis hati tuam Miyamura semakin parah maka operasi jadi berbahaya”. Dr. Saito keluar dari ruangan pasien dan saat itu juga supervisornnya mengatakan bahwa hari ini adalah hari terakhir dia merawat tuan Miyamura karena tuan Miyamura akan dipindahkan ke divisi bedah jantung. Saito semakin bingung bagamana cara untuk menyelamatkan pasien ini dan mengembalikan kepercayaannya. Dr. Saito bertemu dengan seorang perawat yang bernama Akagi. Akagi juga bekerja di rumah sakit Eiroku, dan sebelumnya Saito pernah menolongnya saat pulang dari rumah sakit. Dr. Saito menceritakan apa yang telah terjadi dan Akagi menyarankan untuk segera mengisi formulir kepulangan tuan Miyamura dan membawanya keluar dari rumah sakit agar tuan Miyamura bisa selamat. Karena menurut Akagi dokter rumah sakit universitas Eiroku tidak mampu melakukan operasi itu, hal itu dikatakannya karena ia membandingkan banyaknya jumlah operasi yang dilakukan oleh dokter universitas Eiroku dengan rumah sakit yang lain yang ia kenal sebelumnya. Dokter dirumah sakit Eiroku dalam satu tahun hanya melakukan operasi 12 orang padahal Dr. Kita dari rumah sakit Minami Rinkan dalam setahun melakukan operasi sebanyak 250 kali operasi by pass. Hal itu dilakukan bukan untuk menghianati rumah sakit Eiroku namun untuk menyelamatkan pasien. Dr. Saito meminjam uang pada Akagi untuk ongkos Universitas Sumatera Utara taksi ke staiun K, tempat Dr. Kita. Akagi memberikan 14 ribu yen dan telah menghubungi Dr. Kita, dokter yang akan ditemui oleh Dr. Saito. Dr. Saito memohon agar Dr. Kita mau mengoperasi tuan Miyamura. Pada awalnya Dr. Kita menolak untuk melakukannya namun karena kegigihan Dr. Saito Dr. Kita memenuhi permintaan Dr. Saito. Keesokan harinya tuan Miyamura dipindahkan ke divisi bedah jantung. Dr. Saito merasa bersalah tidak bisa menyelamatkannya. Karena Dr. Saito bukan lagi dokter tuan Miyamura. Setelah beberapa hari di ruang divisi bedah jantung tuan Miyamura dengan keinginan sendiri keluar dari rumah sakit. Mendengar hal itu, Dr. Saito bersedia untuk mecarikan dokter yang berkualitas yang akan mengoperasi tuan Miyamura. Tuan Miyamura yang pada awalnya tidak mempercayai Dr. Saito kini kembali mepercayaainya. Dr. Saito kembali menghubungi Dr. Kita dan mempertemukan dengan tuan Miyamura. Dr. Kita bersedia melakukan operasi. Setelah dioperasi, hasilnya tuan Miyamura dapat sembuh kembali dan tersenyum. Kemudian mereka berfoto bersama. Dua hari kemudian Dr. Saito kembali kerumah sakit Eiroku untuk bekerja. Namun sebelumnya Dr. Saito mohon maaf pada semua teman sekerja dan kepada profesor divisi bedah jantung karena selama dua hari tidak masuk kerja. Dr. Saito mengira dia bakal dipecat oleh pihak universitas namun ternyata tidak. Dia masih diperbolehkan bekerja. Berikutnya Dr. Saito magang di divisi NICU. Nicu adalah tempat pijakan pertama manusia di bumi. Dr. Saito merawat bayi prematur kembar yang beratnya hanya 900 g. Bayi ini adalah hasil pengobatan kemandulan selama empat tahun, anak yang sangat diidamkan. Suami istri Tanabe yang menjadi orang tua bayi Universitas Sumatera Utara kembar cacat meminta Dr. Takasago dan Dr. Saito untuk membiarkan anak mereka mati. Anak yang dilahirkan menderita down syndrome. Saito tidak setuju dengan Dr. Takasago yang menyerah untuk membujuk orang tua bayi. Orang tua yang ditekan oleh pengobatan kemandulan, perawatan bayi prematur, kelainan tubuh. Pada akhirnya karena kerja keras Dr. Takasago dan Dr. Saito, kedua orangtuanya akirnya menerima keberadaan anaknya dan mau berjanji akan melindungi serta membahagiakan anaknya. Namun sebelumnya anak kembar yang paling sulung meninggal dunia.

3.2 Perilaku Gimu dan Giri dalam Komik “Say Hello To Black Jack”