Analisis Pesan Moral On, Gimu, dan Giri dalam Novel “Tokyo Tower” Karya Lily Franky

(1)

ANALISIS PESAN MORAL ON, GIMU, DAN GIRI DALAM NOVEL “TOKYO TOWER” KARYA LILY FRANKY

RIRI FURANKI SAN GA TSUKUTTA “TOUKYO TAWAA” TO IU SHOUSETSU NO ON, GIMU, GIRI NO DOUGI NO DENGON NO BUNSEKI

SKRIPSI

Skripsi ini Diajukan Kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatra Utara Medan Untuk Melengkapi Salah Satu Syarat

Ujian Sarjana dalam Bidang Ilmu Sastra Jepang

Oleh: Riza Sablina

100708014

DEPARTEMEN SASTRA JEPANG FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2014


(2)

ANALISIS PESAN MORAL ON, GIMU, DAN GIRI DALAM NOVEL “TOKYO TOWER” KARYA LILY FRANKY

RIRI FURANKI SAN GA TSUKUTTA “TOUKYO TAWAA” TO IU SHOUSETSU NO ON, GIMU, GIRI NO DOUGI NO DENGON NO BUNSEKI

SKRIPSI

Skripsi ini Diajukan Kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan Untuk Melengkapi Salah Satu Syarat

Ujian Sarjana dalam Bidang Ilmu Sastra Jepang

Oleh: Riza Sablina

100708014

Pembimbing I Pembimbing II

Zulnaidi, S. S., M. Hum. Muhammad Pujiono, S. S., M. Hum. NIP. 19670807 2004 01 1 001 NIP. 19691011 2002 12 1 001

DEPARTEMEN SASTRA JEPANG FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2014


(3)

Disetujui Oleh :

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA MEDAN

Departemen Sastra Jepang Ketua

Drs. Eman Kusdiyana, M. Hum. NIP. 19600919 1988 03 1 001


(4)

i

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, berkat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Salawat serta salam kepada Rasulullah SAW, teladan yang terbaik bagi umat manusia.

Skripsi yang berjudul Analisis Pesan Moral On, Gimu, dan Giri dalam Novel “Tokyo Tower” Karya Lily Franky ini penulis susun sebagai salah satu syarat untuk dapat menyelesaikan program Sarjana pada Departemen Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatra Utara Medan.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan dan kesalahan, baik dalam susunan kalimat maupun proses analisisnya. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak demi perbaikan skripsi ini sehingga skripsi ini lebih bermanfaat dan lebih sempurna.

Tidak lupa pula pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih, penghargaan dan penghormatan yang sebesar-besarnya kepada: 1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A., selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Sumatra Utara.

2. Bapak Drs. Eman Kusdiyana, M.Hum., selaku ketua Departemen Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatra Utara yang telah banyak memberikan dukungan serta arahan selama proses penyusunan skripsi ini. 3. Bapak Zulnaidi, S.S., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing I yang telah


(5)

ii

penulis dan selalu memberikan nasehat, masukan dan arahan dengan sabar sehingga skripsi ini dapat penulis selesaikan dengan baik.

4. Bapak Muhammad Pujiono, S.S., M.Hum,. Selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktu, pikiran dan tenaga dalam memberikan masukan-masukan, bimbingan serta pengarahan dalam penyusunan skripsi ini, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.

5. Bapak/Ibu dosen pengajar Departemen Sastra Jepang yang telah memberikan ilmu yang sangat bermanfaat kepada penulis.

6. Teristimewa kepada orang tua penulis, Ayahanda tercinta M. Sataruddin Hasan S.Pd dan Ibunda tercinta Mariati Aji S.Pd, yang selalu mendoakan penulis agar selalu sehat, memberi dukungan, perhatian, semangat dan bantuan yang tak terhingga baik dalam bentuk moril dan material hingga saat ini, yang tidak akan mampu penulis balas sampai kapanpun juga.

7. Kepada saudara-saudari penulis, Eka Rahmi (Kakak), Putri Balkis (kakak), Faizah Ratnasari (kakak), dan Rafiqa Zuhry (adik), yang selalu mendukung, menemani, menjaga, dan dengan sabar mendengar keluhan penulis selama ini. 8. Kepada keluarga besar di Banda Aceh, Nenek, Kakek, Bunda, Tante, Om, dan

semua saudara-saudara yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terima kasih atas semua doa dan dukungan yang diberikan selama ini.

9. Kepada Elfrin Novindar Putra yang selalu mendukung, memberi perhatian, semangat, dan dengan sabar mendengar keluhan penulis selama ini.

10. Kepada teman terbaik saya Nurlaila, Liza tri utami, Nuralvi, Aldo, Amy Soraya, Sari, Siti yang selalu membantu, menemani, memaklumi semua kekurangan penulis dengan kesabaran dan kasih sayang yang selalu kalian berikan.


(6)

iii

11. Kepada teman-teman seperjuangan di Departemen Sastra Jepang angkatan 2010 yang tidak bisa disebutkan satu persatu, terima kasih sudah bersama penulis selama 4 tahun terakhir ini.

12. Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi penulis dan bagi kita semua yang ingin lebih memahami tentang moral Jepang, khususnya on, gimu, dan giri.

Medan, September 2014 Penulis


(7)

iv DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ··· i

DAFTAR ISI ··· iv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ··· 1

1.2 Perumusan Masalah ··· 4

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan ··· 4

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori ··· 5

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian ··· 8

1.6 Metodelogi Penelitian ··· 8

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP NOVEL “TOKYO TOWER” DAN KONSEP MORAL JEPANG 2.1 Pengertian Novel ··· 10

2.2 Setting Cerita Novel “Tokyo Tower” ··· 11

2.2.1 Latar atau Setting Cerita Novel “Tokyo Tower” ··· 11

2.2.2 Latar Waktu ··· 13

2.2.3 Latar Budaya ··· 13

2.3 Prinsip-prinsip Dasar Moral ··· 14

2.3.1 Prinsip Sikap Baik ··· 14

2.3.2 Prinsip Keadilan ··· 15

2.3.3 Prinsip Hormat Terhadap Diri Sendiri ··· 16

2.4 Sikap-sikap Kepribadian Moral ··· 16

2.4.1 Kejujuran ··· 16


(8)

v

2.4.3 Kesediaan Untuk Bertanggung Jawab ··· 17

2.4.4 Kemandirian Moral ··· 19

2.4.5 Keberanian Moral ··· 19

2.4.6 Kerendahan Hati ··· 20

2.5 Konsep Moral Jepang ··· 21

2.5.1 On ··· 21

2.5.2 Gimu ··· 22

2.5.3 Giri ··· 23

2.6 Ruang Lingkup Pendekatan Moralitas dan Semiotika ··· 24

2.7 Biografi Pengarang ··· 26

BAB III ANALISIS PESAN MORAL ON, GIMU, DAN GIRI DALAM NOVEL “TOKYO TOWER” 3.1 Sinopsis Novel “Tokyo Tower” ··· 28

3.2 Analisis Novel “Tokyo Tower” ··· 29

3.2.1 On ··· 30

3.2.2 Gimu ··· 37

3.2.3 Giri ··· 42

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan ··· 45

4.2 Saran ··· 46 DAFTAR PUSTAKA


(9)

ABSTRAK

Karya sastra yang baik adalah karya yang mengangkat masalah manusia dan kemanusian. Sesuatu yang mempunyai nilai moral, yaitu nilai yang berpangkal dari nilai-nilai kemanusiaan, serta nilai-nilai baik dan buruk yang universal. Salah satu bentuk karya sastra yang mengangkat masalah manusia dan kemanusiaan serta memiliki nilai moral adalah novel.

Novel memiliki dua unsur, yaitu unsur intrinsik dan ekstrinsik. Pada penelitian ini, unsur yang akan di analisis penulis adalah unsur ekstrinsik, yaitu pesan moral yang terdapat dalam cerita novel “Tokyo Tower”. Dan dalam menganalisis pesan moral ini, penulis menggunakan prinsip moral Jepang. Yaitu on (utang budi), gimu (kewajiban), dan giri (kewajiban).

On merupakan hutang budi yang ditanggung seseorang dari kebaikan orang lain. Kebaikan dan segala pengorbanan yang dilakukan oleh orang tua juga merupakan on yang dipikul seorang anak. Gimu merupakan bentuk kewajiban membayar kembali on yang ia pikul. Gimu tidak memiliki batas waktu dan jumlah dalam pembayarannya. Giri merupakan bentuk lain dari kewajiban membayar utang. Giri merupakan pembayaran kembali utang sesuai dengan jumlah yang diterima dan memiliki batas waktu pembayaran. Jika melebihi batas waktu, maka utang yang dipikul pun semakin besar. Menjaga nama baik agar tidak tercemar juga merupakan giri, yaitu giri terhadap nama. Giri terhadap nama ini juga sering disebut giri “di luar lingkup on”. Giri juga menyinggung tentang perasaan yang tenang dan terkendali, sebagai wujud orang Jepang yang memiliki harga diri dan martabat yang tinggi.


(10)

1. Untuk mengetahui konsep moral dalam kehidupan masyarakat Jepang. 2. Untuk mengetahui pesan moral berupa on, gimu, dan giri yang

diungkapkan oleh Lily Franky dalam novel “Tokyo Tower” melalui para tokoh cerita.

Novel “Tokyo Tower” merupakan sebah novel karya Lily Franky yang bercerita tentang perjuangan seorang ibu dalam membesarkan anaknya. Dan perjuangan pemuda untuk menemukan makna hidup dan bangkit dari keterpurukan untuk membahagiakan sang Ibu.

Ada beberapa tokoh cerita di dalam novel “Tokyo Tower”, yaitu Ma-kun yang merupakan seorang anak yang sangat dekat dengan ibunya. Eiko yang merupakan ibu Ma-kun, dia adalah seorang ibu yang sangat sayang kepada anaknya dan selalu mengorbankan apapun untuk anaknya.

Terdapat beberapa nama tempat yang menjadi setting tempat dalam novel “Tokyo Tower”, yaitu Kokura yang merupakan tempat tinggal Ma-kun semasa kecil, Beppu kota tempat Ma-kun melanjutkan sekolah, dan Tokyo yang merupakan kota tempat terjadi banyak peristiwa antara Ma-kun dan Ibunya. Latar waktu yang terdapat dalam novel “Tokyo Tower” adalah tahun 1966-2001 yang merupakan tahun dimana Ma-kun lahir hingga ibu Ma-kun meninggal.

Dari hasil analisis yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa nilai moral yang terdapat dalam novel “Tokyo Tower” adalah on, gimu, dan giri. Nilai moral yang lebih dominan di dalam novel “Tokyo Tower” adalah nilai on yang merupakan hutang budi.


(11)

要旨 要旨 要旨 要旨

いい文学作品 人間 人類 こ 問題 関 文学作品 あ

義 あ 何 人類 価値そ 一般的 いい価値 良 い価値

あ そ 義 あ 文学作品 人間 人類 こ 問題 関 文学作

品 一 小説 あ

小説 中 内的 外発的 いう 部分 あ こ 研究 作家

分析 外発的 そ 東京タワー いう小説 内容

義 あ あ そ こ 義 価値 分析 作家 日本社

会 義 分析 そ 恩 義務 義理 あ

恩 人 優 さ 借 負担 あ 両親 優 さ

全 犠牲 子供 負担さ 恩 あ 義務 子供 負

担さ こ 恩返 責任 あ 義務 払う 量 期限

い 義理 借 払う責任 ほ 姿 あ 義理 借

支払うこ 支払い期限 あ 期限 過 負担さ 借

大 そ 不評判 い う 家族 評判守 こ 義

理 そ 名前 対 義理 あ 名前 対 義理 外側

義理 呼 義理 うま 行 感 冷静 感 こ 日本人

自尊心 名誉 高い 姿 あ

こ 研究 成目的 次 う あ :


(12)

. フ ンキ 書い 東京タワー いう小説 役者

恩 義務 義理 義 伝言 知 あ

東京タワー いう小説 フ ンキさ 一 作 小説 母

親 子供 育 努力 い 語 あ そ 生 意味 見 け

こ 貧困 立 努力 母親 喜 せ 少年 あ

東京タワー 中 役者 何人 い 母親 親 い男子マー

君 あ マー君 母親 エイコさ あ 彼女 息子 愛

母親 息子 い 何 犠牲 母親 あ

東京タワー 舞台 場所 い 名前 あ そ コク い

うマー君 幼いこ 住宅 あ ベップ マー君 学校 続け

こ そ 東京 マー君 母親 い い 件 場所 あ

東京タワー 件 1966 「001 け そ 間 マー君 生ま

マー君 母親 死 ま 時代 あ

東京タワー 小説中 十五 恩 九 義務, 義理 あ

作家 七 恩 五 義理 け分析

分析 結果 東京タワー 小説 恩 義務 義理 いう 義

価値 あ 判断 小説 中 多 義 価値 恩 受け


(13)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Sastra merupakan ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, keyakinan dalam suatu bentuk gambaran konkrit yang membangkitkan pesona dengan alat bahasa (Murywantobroto dkk, 2008:2). Secara etimologi, sastra berasal dari bahasa latin, yaitu literatur (litera artinya huruf atau karya tulis). Sedangkan secara luas, sastra memiliki arti sekumpulan alat untuk mengajar dan memberi petunjuk yang baik (Ratna, 2011:189).

Suatu karya sastra dapat dijadikan sebagai sarana dalam mengembangkan jiwa humanitas, yaitu jiwa yang halus, berbudi dan manusiawi. Menurut Suharianto (1982:11) karya sastra adalah pengejawatan kehidupan sebagai hasil pengamatan sastrawan atas kehidupan buatan atau rekaan seorang pengarang yang biasanya mengisahkan kehidupan manusia dengan segala permasalahannya dan dengan apa yang melingkupinya. Sehubungan dengan hal itu, karya sastra mempunyai kemampuan yang dapat menyentuh pembaca agar dapat menjadi manusia yang responsif terhadap hal-hal yang luhur dalam hidup ini. Karena pada hakikatnya manusia selalu mencari nilai-nilai kebenaran, kebaikan dan keindahan.

Karya sastra yang baik adalah karya yang mengangkat masalah manusia dan kemanusian. Sesuatu yang mempunyai nilai moral, yaitu nilai yang berpangkal dari nilai-nilai kemanusiaan, serta nilai-nilai baik dan buruk yang universal. Salah satu bentuk karya sastra yang mengangkat masalah manusia dan kemanusiaan serta memiliki nilai moral adalah novel.


(14)

2

Novel adalah sebuah karya satra prosa fiksi yang panjangnya cukup, tidak terlalu panjang namun juga tidak terlalu pendek yang menggambarkan dari kehidupan dan perilaku nyata dari zaman pada saat novel itu ditulis (Nurgiyantoro, 2010:10). Sebuah novel biasanya mengemukakan suatu hal yang mencakup unsur-unsur cerita yang membangun novel itu sendiri. Unsur-unsur-unsur yang terdapat dalam novel adalah unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik.

Menurut Nurgiyantoro (1998:23) unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur yang dimaksud adalah peristiwa, cerita, plot, penokohan, tema, latar, sudut pandang penceritaan, bahasa atau gaya bahasa, dan lain-lain. Sedangkan unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra itu, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangun cerita sebuah karya sastra, namun tidak ikut menjadi bagian di dalamnya. Pada penelitian ini, unsur yang akan di analisis penulis adalah unsur ekstrinsik, yaitu pesan moral yang terdapat dalam cerita sebuah novel. Dan dalam menganalisis pesan moral ini, penulis menggunakan prinsip moral Jepang.

Moral merupakan istilah tentang perilaku atau akhlak yang diterapkan kepada manusia sebagai individu maupun sebagai sosial. Moral juga dapat diartikan sebagai ajaran tentang baik dan buruk. Sebuah pesan moral tidak dapat lepas dari sebuah karya sastra, karena karya sastra tidak hanya sebuah karya seni belaka yang menyimpan keindahan semata bagi para pembaca maupun pengarangnya sendiri, namun di dalamnya terdapat pesan-pesan sosial yang akan sangat berpengaruh bagi masyarakat. Menurut Nurgiyantoro (1998: 320) moral dalam karya sastra biasanya mencerminkan pandangan hidup pengarang yang bersangkutan dan pandangannya tentang nilai-nilai kebenaran, dan hal itulah yang


(15)

3

ingin disampaikannya kepada pembaca. Pesan moral yang telah dijelaskan sebelumnya banyak terdapat dalam novel “Tokyo Tower”.

Novel “Tokyo Tower” adalah novel karya Lily Franky yang memiliki nama asli Nakagawa Masaya. Novel ini bercerita tentang perjuangan seorang ibu dalam membesarkan anaknya, serta perjuangan pemuda untuk menemukan makna hidup dan bangkit dari keterpurukan untuk membahagiakan sang Ibu. Di dalam novel “Tokyo Tower” karya Lily Franky ini terdapat banyak nilai moral yang ingin disampaikan kepada pembaca. Terutama nilai moral Jepang, yaitu on (hutang budi), gimu (kewajiban), dan giri (kewajiban). Berikut salah satu contoh cuplikan teks yang mengandung nilai moral yang terdapat dalam novel “Tokyo Tower”.

[... Saat perpisahan dengan orangtua pun tiba. Aku tidak tahu perasaan orangtua yang akan ditinggalkan. Tapi, melihat ekspresi Ibu yang membuatkan makanan enak sambil berkata, “Kau harus makan yang banyak sekarang,” juga memerhatikan punggung ibuku yang sedang menyiapkan makanan di dapur, serta wajahnya saat menghamparkan kasur futon di kamar yang dulunya diisi tempat tidur itu, aku mendapati senyuman senantiasa menghiasi wajahnya. Namun, tetap saja bisa kulihat kesepian menggantung di sana. ...] (hal 110).

Dari cuplikan di atas terlihat jelas kasih sayang orang tua kepada anaknya. Hal itu ditunjukkan dari perhatian tokoh Ibu, dalam keadaan sedih karena akan ditinggal oleh anaknya yang hendak melanjutkan sekolah ke luar kota, tokoh Ibu masih tetap memperhatikan kesehatan anaknya, membuatkan makanan dan berkata “Kau harus makan yang banyak sekarang,”. Dari tindakan tokoh Ibu terdapat nilai on yaitu dari orang tua yang melakukan segala kerepotan dalam memelihara anak (Benedict, 1982:108).


(16)

4

Berdasarkan alasan tersebut, penulis tertarik untuk menganalisis pesan moral yang terdapat dalam novel “Tokyo Tower” yang selanjutnya akan dituangkan dalam skripsi yang berjudul Analisis Pesan Moral On, Gimu, dan Giri dalam Novel “Tokyo Tower” Karya Lily Franky.

1.2 Perumusan Masalah

Novel “Tokyo Tower” karya Lily Franky adalah novel bercerita tentang perjuangan seorang ibu dalam membesarkan anaknya. Dan perjuangan pemuda untuk menemukan makna hidup dan bangkit dari keterpurukan untuk membahagiakan sang Ibu.

Novel “Tokyo Tower” ini terdapat banyak nilai moral. Nilai-nilai moral yang ditunjukkan dalam novel ini adalah mengenai moral hidup, yaitu moral yang menunjukkan sikap-sikap kepribadian moral yang kuat. Sikap-sikap kepribadian yang kuat tersebut meliputi sikap on (hutang budi), gimu (kewajiban), dan giri (kewajiban), nilai moral tersebut merupakan nilai moral Jepang. Namun yang dominan dalam novel ini adalah nilai on dan gimu.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka penulis dapat merumuskan masalah penelitian dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut :

1. Bagaimana konsep moral dalam kehidupan masyarakat Jepang ?

2. Bagaimana pesan moral berupa on, gimu, dan giri yang diungkapkan oleh Lily Franky dalam novel “Tokyo Tower” melalui para tokoh cerita ?

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan

Dalam melakukan sebuah penelitian, sangatlah dibutuhkan pembatasan masalah. Hal ini bertujuan agar pembahasan masalah tidak meluas dan lari dari


(17)

5

topik yang seharusnya diteliti. Penulis membatasi ruang lingkup pembahasan pada analisis pesan moral yang terdapat pada novel “Tokyo Tower” karya Lily Franky, cetakan pertama Desember 2013 dengan tebal 396 halaman. Analisis pesan moral tersebut menggunakan pendekatan semiotik, yaitu dengan cara mengambil cuplikan teks yang berhubungan dengan pesan moral yang akan dianalisis. Pesan moral yang akan dianalisis adalah pesan moral Jepang, yaitu on (hutang budi), gimu (kewajiban), dan giri (kewajiban). Dalam novel “Tokyo Tower” terdapat 15 buah on, 9 buah gimu, dan 3 buah giri. Namun penulis hanya akan menganalisis 7 buah on, 5 buah gimu, dan 3 buah giri.

Sebelum menganalisis pesan moral yang ada dalam novel “Tokyo Tower”, penulis akan menjelaskan juga mengenai pengertian moral, prinsip-prinsip dasar moral, sikap-sikap kepribadian moral, konsep moral Jepang, setting cerita “Tokyo Tower”, serta menceritakan sekilas tentang biografi pengarang novel “Tokyo Tower”.

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori 1. Tinjauan Pustaka

Menurut Suwondo (2003:5) karya sastra merupakan hasil kegiatan kreatif manusia yang berkaitan dengan imajinasi, intuisi, abstraksi kehidupan. Karya sastra ada yang bersifat fiksi dan non fiksi. Salah satu bentuk karya sastra yang bersifat fiksi adalah novel.

Nurgiyantoro (1998:11) mengemukakan bahwa sebuah novel dapat mengemukakan sesuatu secara bebas, menyajikan sesuatu secara lebih banyak, lebih rinci, lebih detail, dan lebih banyak melibatkan berbagai permasalahan yang


(18)

6

lebih kompleks, serta novel juga mampu menyampaikan permasalahan yang kompleks tersebut secara penuh yang membuat novel lebih mudah untuk dibaca.

Novel juga merupakan salah satu karya sastra yang mengangkat masalah manusia dan kemanusiaan serta memiliki nilai moral. Moral adalah sesuatu yang ingin disampaikan pengarang oleh pembaca melalui sebuah karya sastra. Moral merupakan “petunjuk” yang sengaja diberikan oleh pengarang tentang berbagai hal yang berhubungan dengan masalah kehidupan, seperti sikap, tingkah laku, dan sopan santun pergaulan (Nurgiyantoro, 1998: 321).

Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan pendekatan semiotik, semiotik adalah ilmu tentang tanda-tanda (Taum dalam Endraswara, 2013:41). Tanda-tanda yang dimaksudkan dapat berupa suatu pengalaman, pemikiran, perasaan, gagasan, dan lain-lain. Kritik secara semiotik ini menggunakan modal interpretasi kritis yang menghubungkan satu sama lain tanda-tanda yang terdapat dalam karya tersebut.

2. Kerangka Teori

Dalam menganalisis sebuah karya sastra sangat dibutuhkan sebuah pendekatan sebagai acuan bagi penulis. Penulis menggunakan pendekatan moral dan pendekatan semiotik dalam penelitian ini.

Di dalam sebuah karya sastra biasanya selalu terdapat pesan moral yang disampaikan pengarang melalui cerita yang ada di dalam karya sastra tersebut, dimana pesan moral yang disampaikan merupakan nilai-nilai kebaikan dan kebenaran.


(19)

7

Moral dapat diartikan ajaran kesusilaan. Moralitas berarti hal mengenai kesusilaan. Moralitas adalah sistem nilai tentang bagaimana kita harus hidup secara baik sebagai manusia (Simanjuntak, 2011:18).

Moral yang digunakan penulis sebagai landasan dalam penelitian ini adalah moral Jepang yang dikemukakan oleh Benedict (1982:105-156), yaitu :

1. On (utang budi) mengandung arti suatu beban, suatu utang, sesuatu yang harus dipikul seseorang sebaik mungkin (Benedict, 1982:105).

2. Gimu (kewajiban) adalah salah satu jenis kewajiban dalam pembayaran sebuah on. Gimu merupakan pembayaran tanpa batas atas utang (Benedict, 1982:122).

3. Giri (kewajiban) merupakan pembayaran yang tepat sama besar jumlahnya (Benedict, 1982:148).

Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan pendekatan semiotik, semiotik adalah ilmu tentang tanda-tanda (Taum dalam Endraswara, 2013:41). Penelitian semiotik meliputi analisis sastra sebagai sebuah penggunaan bahasa yang bergantung pada (sifat-sifat) yang menyebabkan bermacam-macam cara (modus) wacana mempunyai makna (Preminger, dkk dalam Jabrohim, 2001:71).

Lambang atau tanda di dalam karya sastra adalah lambang bahasa yang mencerminkan sebuah nilai budaya. Sehingga kata-kata atau bahasa yang terdapat dalam novel “Tokyo Tower” tersebut disimbolkan sebagai tanda yang akan diinterpretasikan sebagai wujud refleksi dari adanya perilaku on, gimu, dan giri dari para tokoh cerita.


(20)

8 1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui konsep moral dalam kehidupan masyarakat Jepang. 2. Untuk mengetahui pesan moral berupa on, gimu, dan giri yang

diungkapkan oleh Lily Franky dalam novel “Tokyo Tower” melalui para tokoh cerita.

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang ingin diperoleh dalam penelitian ini adalah :

1. Menambah wawasan bagi penulis dan pembaca tentang bagaimana pesan moral dari novel “Tokyo Tower” ini.

2. Menambah wawasan tentang kebudayaan masyarakat Jepang khususnya bagi mahasiswa sastra Jepang.

1.6 Metodelogi Penelitian

Metode penelitian merupakan cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu pengetahuan atau upaya untuk menerangkan suatu fenomena yang terjadi (Ruseffendi, 1994:4).

Dalam melakukan penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian deskriptif. Menurut Nazir (1988:63) metode deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang.

Selain itu, dalam pengumpulan data penulis juga menggunakan metode pendukung, yakni studi kepustakaan, dengan dua teknik pengumpulan data yaitu:


(21)

9

survey book, menghimpun data dari berbagai macam literatur buku yang berhubungan dengan masalah penelitian. Documentary research, dilakukan dengan menghimpun data yang bersumber dari internet.


(22)

10 BAB II

TINJAUAN UMUM TERHADAP NOVEL “TOKYO TOWER” DAN KONSEP MORAL JEPANG

2.1 Pengertian Novel

Novel sebagai sebuah karya fiksi secara umum dapat didefinisikan sebagai sebuah karangan yang memaparkan ide, gagasan atau khayalan dari penulisnya. Ide atau gagasan tersebut berupa pengalaman langsung yang dimiliki pengarang maupun sebuah ide yang bersifat imajinasi.

Aminuddin (2000:66) mendefinisikan bahwa prosa fiksi adalah kisahan atau cerita yang diemban oleh pelaku-pelaku tertentu dengan pemeran, latar serta tahapan dan rangkaian cerita tertentu yang bertolak dari hasil imajinasi pengarangnya sehingga menjalin suatu cerita. Berdasarkan definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa kebenaran yang terdapat dalam sebuah karya fiksi tidak harus sama dan tidak perlu disamakan dengan kebenaran yang berlaku di dunia nyata. Baik itu para pelakunya (pemerannya), tempat terjadinya dan rangkaian ceritanya, semuanya bersifat fiksi sesuai dengan imajinasi pengarangnya.

Pengertian prosa fiksi di atas juga berlaku untuk pengertian novel. Abrams dalam Nurgiantoro (1998:4) mengemukakan bahwa dalam perkembangannya karya fiksi sering dianggap bersinonim dengan novel. Kata novel berasal dari bahasa Italia, yaitu novella. Secara harfiah novella berarti sebagai “sebuah barang baru yang kecil” yang kemudian diartikan sebagai “cerita pendek dalam bentuk prosa” (Abrams dalam Nurgiantoro, 1998:9).

Menurut Jassin dalam Nurgiantoro (1998:16) mengemukakan bahwa novel dipihak lain dibatasi dengan pengertian suatu cerita yang bermain dalam dunia


(23)

11

manusia dan benda yang ada disekitar kita, tidak mendalam, lebih banyak melukiskan satu saat dari kehidupan seseorang, dan lebih mengenai suatu periode. Berdasarkan pengertian tersebut, novel menceritakan satu periode dalam kehidupan seseorang, juga dapat menceritakan kehidupan manusia dari lahir sampai meninggal.

Berdasarkan beberapa pengerti di atas, dapat disimpulkan bahwa novel adalah suatu karya sastra berbentuk prosa fiksi. Novel mengandung unsur-unsur pembangun cerita dan merupakan sebuah pandangan dari sebuah kenyataan yang dibangun secara imajinatif dalam sebuah cerita yang umumnya memaparkan tentang kehidupan manusia dan segala permasalahannya, lingkungan dan kondisi sosial yang terdapat di sekitar pengarang.

2.2 Setting Cerita Novel “Tokyo Tower”

Latar atau setting adalah penggambaran situasi tempat dan waktu serta terjadinya peristiwa (Suroto 1989: 94). Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dikatakan bahwa latar atau setting merupakan tempat terjadinya suatu peristiwa. Nurgiyantoro juga menjelaskan (1998: 216) bahwa latar atau setting menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa. Hal ini berarti bahwa tidak hanya tempat, namun waktu dan lingkungan sosial juga merupakan komponen lain yang terdapat dalam latar atau setting sebuah cerita.

2.2.1 Latar atau Setting Cerita Novel “Tokyo Tower”

Ada beberapa lokasi yang menjadi latar tempat dalam cerita novel “Tokyo Tower”, yaitu Kokura, kamar di sudut kafetaria, Chikuho, rumah bangsal, Beppu, dan yang terakhir adalah Tokyo.


(24)

12 a) Kokura

Di Kokura, ia tinggal di rumah neneknya, ibu dari ayahnya Ma-kun. Disana ia tinggal bersama ibunya, ayahnya, neneknya, bibinya, serta 4 mahasiswa yang menyewa kamar di rumah neneknya. Tinggal bersama mertua, saudara ipar dan bersama seorang suami yang kasar, membuat beban fisik dan psikis ibu Ma-kun terasa sangat berat. Hal ini menjadi alasan ibu kunmemutuskan mengajak Ma-kun pindah dari rumah tersebut. Terpisah dari ayahnya.

b) Kamar di Sudut Kafetaria

Ruangan ini berada di sudut kafetaria sebuah asrama yang berada di samping rumah mertua dari kakak iparnya ibu Ma-kun. Ibu Ma-kun memenuhi kamar ini dengan segala perabotan yang dibutuhkan Ma-kun, seperti rak buku dan bantalan yang empuk agar Ma-kun betah di kamar tersebut. Mereka berdua tinggal di kamar tersebut selama satu tahun.

c) Chikuho

Chikuho merupakan kota kelahiran ibu Ma-kun. Disini jugalah Ma-kun dan ibunya tinggal setelah pindah dari kamar yang ada di sudut kafetaria. Mereka tinggal di rumah nenek Ma-kun, yaitu ibunya ibu Ma-kun.

d) Rumah Bangsal

Saat kelas 1 SMP, Ma-kun dan ibunya pindah ke sebuah rumah bekas bangsal rumah sakit tua yang disewa dari seorang kenalan ibunya setelah ibunya membatalkan pindah ke Kokura untuk hidup bersama lagi tanpa alasan yang jelas. Rumah bekas bangsal rumah sakit ini hanya berjarak satu stasiun kereta dari rumah neneknya yang berada di Chikuho.


(25)

13 e) Beppu

Ma-kun memutuskan untuk bersekolah di kota lain saat SMA. Dan ayahnya menyarankan untuk bersekolah di Beppu. Ma-kun lulus dari beberapa tes dan tes kemampuan menggambar yang menjadi syarat masuk ke SMA di Beppu. Setelah tamat SMP, Ma-kun yang masih berumur lima belas tahun, hidup sendirian di kota lain tanpa orang tua dan sanak saudara.

f) Tokyo

Banyak peristiwa yang terjadi di kota ini. Dimulai saat Ma-kun berkuliah di kota ini, kemudian menjadi pengangguran, terlilit hutang, tidak memiliki tempat tinggal, dan kepindahan ibunya ke Tokyo. Di kota inilah Ma-kun, sebagai seorang anak berusaha keras keluar dari kondisinya yang buruk menjadi yang lebih baik karena dia ingin membahagiakan ibunya dan membalas segala kerja keras yang telah ibunya lakukan selama ini untuk memenuhi segala keinginan Ma-kun. Hingga akhirnya ibunya meninggal di kota ini karena kanker.

2.2.2 Latar Waktu

Latar waktu merupakan penjelasan tentang kapan terjadinya suatu peristiwa dalam novel. Cerita novel “Tokyo Tower” memiliki latar tahun 1966 sampai tahun 2001. Kisah yang di ceritakan pada tahun-tahun tersebut adalah saat Ma-kun berusia 3 tahun sampai kisa Ma-kun dan ibunya tinggal di Tokyo. Dan pada tahun 2001 itulah ibu Ma-kun meninggal karena penyakit kanker.

2.2.3 Latar Budaya

Latar budaya yang terdapat dalam novel “Tokyo Tower” adalah budaya hutang budi dan balas budi yang tertanam pada masyarakat Jepang yang di


(26)

14

kemukakan oleh Ruth Benedict. Hal ini di karenakan novel “Tokyo Tower” ini menceritakan tentang balas budi seorang anak terhadap on yang telah diberikan ibunya selama hidupnya.

2.3 Prinsip-Prinsip Dasar Moral 2.3.1 Prinsip Sikap Baik

Sikap yang dituntut dari kita sebagai dasar dalam hubungan dengan siapa saja adalah sikap positif dan baik. Seperti halnya dalam prinsip utilitarisme, bahwa kita harus mengusahakan akibat-akibat baik sebanyak mungkin dan mengusahakan untuk sedapat-dapatnya mencegah akibat-akibat buruk dari tindakan kita, kecuali ada alasan khusus, tentunya kita harus bersikap baik terhadap orang lain.

Prinsip moral dasar pertama disebut prinsip sikap baik. Prinsip ini mendahului dan mendasari semua prinsip moral lain. Prinsip ini mempunyai arti yang amat besar bagi kehidupan manusia.

Sebagai prinsip dasar etika, prinsip sikap baik menyangkut sikap dasar manusia yang harus memahami segala sifat konkret, tindakan dan kelakuannya. Prinsip ini mengatakan bahwa pada dasarnya, kecuali ada alasan khusus, kita harus mendekati siapa saja dan apa saja dengan positif, dengan menghendaki yang baik bagi dia. Artinya, bukan semata-mata perbuatan baik dalam arti sempit, melainkan sikap hati positif terhadap orang lain, kemauan baik terhadapnya. Bersikap baik berarti, memandang seseorang dan sesuatu tidak hanya sejauh berguna bagi dirinya, melainkan menghendaki, menyetujui, membenarkan, mendukung, membela, membiarkan, dan menunjang perkembangannya (Suseno, 1989:131).


(27)

15

Bagaimana sifat baik itu harus dinyatakan secara konkret, tergantung pada apa yang baik dalam situasi konkret itu. Maka prinsip ini menuntut suatu pengetahuan tepat tentang realitas, supaya dapat diketahui apa yang masing-masing baik bagi yang bersangkutan.

Prinsip sikap baik mendasari semua norma moral, karena hanya atas dasar prinsip itu, maka akan masuk akal bahwa kita harus bersikap adil, atau jujur, atau setia kepada orang lain.

2.3.2 Prinsip Keadilan

Prinsip kebaikan hanya menegaskan agar kita bersikap baik terhadap siapa saja. Tetapi kemampuan manusia untuk bersikap baik secara hakiki terbatas, tidak hanya berlaku bagi benda-benda materiil, melainkan juga dalam hal perhatian dan cinta kasih. Kemampuan untuk memberi hati kita juga terbatas. Maka secara logis dibutuhkan prinsip tambahan yang menentukan bagaimana kebaikan itu harus dibagi. Prinsip itu adalah prinsip keadilan.

Adil pada hakikinya berarti bahwa kita memberikan kepada siapa saja apa yang menjadi haknya. Karena pada hakekatnya semua orang sama nilainya sebagai manusia, maka tuntutan paling dasariah keadilan adalah perlakuan yang sama terhadap semua orang, tentu dalam situasi yang sama (Suseno,1989:132).

Prinsip keadilan mengungkapkan kewajiban untuk memberikan perlakuan yang sama terhadap semua orang lain yang berada dalam situasi yang sama dan untuk menghormati hak semua pihak yang bersangkutan. Secara singkat, keadilan menuntut agar kita jangan mau mencapai tujuan-tujuan, termasuk hal yang baik, dengan melanggar hak seseorang.


(28)

16 2.3.3 Prinsip Hormat Terhadap Diri Sendiri

Prinsip ini menyatakan bahwa manusia wajib untuk selalu memperlakukan diri sebagai sesuatu yang bernilai pada dirinya sendiri. Prinsip ini berdasarkan paham bahwa manusia adalah person, pusat berpengertian dan berkehendak, yang memiliki kebebasan dan suara hati, mahluk yang berakal budi (Suseno, 1989:133).

Prinsip ini mempunyai dua arah. Pertama, dituntut agar kita tidak membiarkan diri diperas, diperalat, atau diperbudak. Perlakuan tersebut tidak wajar untuk kedua belah pihak, maka yang diperlakukan demikian jangan membiarkannya berlangsung begitu saja apabila ia dapat melawan, sebab kita mempunyai harga diri. Dipaksa untuk melakukan atau menyerahkan sesuatu tidak pernah wajar. Kedua, kita jangan sampai membiarkan diri terlantar.

Manusia juga mempunyai kewajiban terhadap dirinya sendiri, berarti bahwa kewajibannya terhadap orang lain diimbangi oleh perhatian yang wajar terhadap dirinya sendiri.

Sebagai kesimpulan, kebaikan dan keadilan yang kita tunjukkan kepada orang lain, perlu diimbangi dengan sikap yang menghormati diri kita sendiri sebagai mahluk yang bernilai pada dirinya sendiri. Kita mau berbaik kepada orang lain dan bertekad untuk bersikap adil, tetapi tidak dengan membuang diri.

2.4 Sikap-Sikap Kepribadian Moral 2.4.1 Kejujuran

Dasar setiap usaha untuk menjadi orang kuat secara moral adalah kejujuran. Tanpa kejujuran kita sebagai manusia tidak dapat maju karena kita belum berani menjadi diri kita sendiri. Tidak jujur berarti tidak seia sekata dan itu berarti bahwa kita belum sanggup untuk mengambil sikap lurus. Orang yang tidak lurus, tidak


(29)

17

mengambil dirinya sendiri sebagai titik tolak, melainkan apa yang diperkirakan diharapkan oleh orang lain. Tanpa kejujuran, keutamaan-keutamaan moral lainnya akan kehilangan nilai. Bersikap baik terhadap orang lain, tetapi tanpa kejujuran adalah kemunafikan.

Menurut Suseno (2010:142-143), bersikap jujur terhadap orang lain berarti dua: Pertama, sikap terbuka, kedua sikap fair. Dengan terbuka, tidak dimaksud bahwa segala pertanyaan orang lain harus kita jawab dengan selengkapnya, atau bahwa orang lain berhak untuk mengetahui segala perasaan dan pikiran kita. Melainkan yang dimaksud ialah bahwa kita selalu muncul sebagai diri kita sendiri, sesuai dengan kenyakinan kita. Kita tidak menyesuaikan kepribadian kita dengan harapan orang lain. Kedua, terhadap orang lain orang jujur bersikap wajar atau fair, ia memperlakukannya menurut standart-standart yang diharapkannya dipergunakan orang lain terhadap dirinya. Ia menghormati hak orang lain, ia selalu akan memenuhi janji yang diberikan, juga terhadap orang yang tidak dalam posisi untuk menuntutnya. Ia tidak pernah akan bertindak bertentangan dengan suara hati atau kenyakinannya. Tetapi hanya dapat bersikap jujur terhadap orang lain, apabila kita jujur terhadap diri kita sendiri.

2.4.2 Nilai-Nilai Otentik

Otentik berarti, kita menjadi diri kita sendiri. “Otentik” berarti asli. Manusia otentik adalah manusia yang menghayati dan menunjukkan diri sesuai dengan keasliannya, dengan kepribadian yang sebenarnya.

2.4.3 Kesediaan Untuk Bertanggung Jawab

Kejujuran sebagai kualitas dasar kepribadian moral menjadi dasar dalam kesediaan untuk bertanggung jawab. Bertanggung jawab berarti suatu sikap


(30)

18

terhadap tugas yang membebani kita, kita merasa terikat untuk menyelesaikannya. Kita akan melaksanakannya dengan sebaik mungkin, meskipun dituntut pengorbanan atau kurang menguntungkan atau ditentang oleh orang lain. Tugas itu bukan sekedar masalah dimana kita berusaha untuk menyelamatkan diri tanpa menimbulkan kesan yang buruk, melainkan tugas itu kita rasakan sebagai sesuatu yang mulai sekarang harus kita pelihara, kita selesaikan dengan baik. Merasa bertanggung jawab berarti bahwa meskipun orang lain tidak melihat, kita tidak merasa puas sampai pekerjaan itu diselesaikan sampai tuntas.

Wawasan orang yang bersedia untuk bertanggug jawab secara prinsipial tidak terbatas. Ia tidak membatasi perhatiannya pada apa yang menjadi urusan dan kewajibannya, melainkan merasa bertanggung jawab di mana saja ia diperlukan. Ia bersedia untuk mengarahkan tenaga dan kemampuan ketika ia ditantang untuk menyelamatkan sesuatu. Ia bersikap positif, kreatif, kritis dan objektif (Suseno, 2010:146).

Dan lagi, kesediaan untuk bertanggung jawab termasuk kesediaan untuk diminta dan untuk memberikan, mempertanggungjawabkan atas tindakan-tindakannya, atas pelaksanaan tugas dan kewajibannya. Kalau ia ternyata lalai atau melakukan kesalahan, ia bersedia untuk dipersalahkan. Ia tidak pernah akan melempar tanggung jawab atas suatu kesalahan yang diperbuatnya kepada orang lain. Sebaliknya, ia bersedia untuk mengaku bertanggung jawab atas kesalahannya. Kesediaan untuk bertanggung jawab demikian adalah tanda kekuatan batin yang sudah mantap.


(31)

19 2.4.4 Kemandirian Moral

Jika kita ingin mencapai kepribadian moral yang kuat, maka kita harus memiliki sikap kemandirian moral. Kemandirian moral berarti bahwa kita tidak pernah ikut-ikutan saja dengan berbagai pandangan moral lingkungan kita, melainkan selalu membentuk penilaiaan dan pendirian sendiri dan bertindak sesuai dengannya. Kita tidak sekedar meniru apa yang biasa.

Menurut Suseno (2010:147), kemandirian moral adalah kekuatan batin untuk mengambil sikap moral sendiri dan untuk bertindak sesuai dengannya. Mandiri secara moral berarti bahwa kita tidak dapat dibeli oleh mayoritas, bahwa kita tidak akan pernah rukun hanya demi kebersamaan kalau kerukunan itu melanggar keadilan. Sikap mandiri pada hakikatnya merupakan kemampuan untuk selalu membentuk penilaian sendiri terhadap suatu masalah moral.

2.4.5 Keberaniaan Moral

Keberaniaan moral menunjukkan diri dalam tekad untuk tetap mempertahankan sikap yang telah dinyakini sebagai kewajiban, sekalipun tidak disetujui atau secara aktif dilawan oleh lingkungan. Orang yang memiliki keutamaan itu tidak mundur dari tugas dan tanggung jawab juga kalau ia mengisolasikan diri, dibuat merasa malau, dicela, ditentang atau diancam oleh banyak orang, oleh orang-orang yang kuat yang memiliki kedudukan dan juga oleh mereka yang penilaiannya disegani.

Keberaniaan moral adalah kesetiaan terhadap suara hati yang menyatakan diri dalam kesediaan untuk mengambil resiko konflik (Suseno, 2010:147). Keberanian moral berarti berpihak pada yang lebih lemah melawan yang kuat, yang memperlakukannya dengan tidak adil. Orang yang berani secara moral akan


(32)

20

membuat pengalaman yang menarik. Setiap kali ia berani mempertahankan sikap yang dinyakini, ia merasa lebih kuat dan berani dalam hatinya , dalam arti ia semakin dapat mengatasi perasaan takut dan malu. Moral keberanian akan membuat kita merasa lebih mandiri. Yang memberikan semangat dan kekuatan berpijak bagi mereka yang lemah.

2.4.6 Kerendahan Hati

Kerendahan hati tidak berarti bahwa kita merendahkan diri, melainkan bahwa kita melihat diri seada kita. Kerendahan hati adalah kekuatan batin untuk melihat diri sesuai dengan kenyataannya (Suseno, 2010:148). Orang yang rendah hati tidak hanya melihat kelemahannya melainkan juga kekuatannya.

Dalam bidang moral kerendahan hati tidak hanya berarti bahwa kita sadar akan keterbatasan kebaikan kita, melainkan juga bahwa kemampuan kita untuk memberikan penilaian moral terbatas. Dengan rendah hati, kita betul-betul bersedia untuk memperhatikan dan menanggapi setiap pendapat lawan, bahkan untuk seperlunya mengubah pendapat kita sendiri.

Kerendahan hati tidak bertentangan dengan keberanian moral. Tanpa kerendahan hati keberanian moral mudah menjadi kesombongan, bahwa kita tidak rela untuk memperhatikan orang lain, atau bahkan kita sebenarnya takut dan tidak berani untuk membuka diri. Orang yang rendah hati sering menunjukkan daya tahan yang paling besar apabila betul-betul harus diberikan perlawanan.

Orang yang rendah hati tidak merasa diri penting dan karena itu berani untuk mempertaruhkan diri apabila ia sudah menyakini sikapnya sebagai tanggung jawabnya.


(33)

21 2.5 Konsep Moral Jepang

Jepang memiliki beragam nilai moral, salah satunya adalah moral mengenai budaya malu. Budaya malu yang akan digunakan penulis pada analisis ini adalah budaya malu tentang utang budi dan pembayaran utang budi yang diungkapkan oleh Ruth Benedict, yaitu on, gimu, dan giri.

2.5.1 On

Dalam semua pemakaiannya on mengandung arti suatu beban, suatu utang, sesuatu yang harus dipikul seseorang sebaik mungkin. Seseorang yang menerima on akan merasa dirinya lebih rendah dari si pemberi on. Karena on diterima bukan hanya dari seorang atasan atau seseorang yang berusia lebih tua saja, namun on juga diterima dari orang setingkatnya (Benedict 1982: 105). Di Jepang, bantuan atau kebaikan yang diterima seseorang akan menjadi on bagi si penerimanya.

Hal ini yang membuat masyarakat Jepang tidak sembarangan memberikan bantuan, karena mereka takut kalau bantuan atau kebaikan yang mereka lakukan akan menjadi beban bagi si penerima bantuan atau kebaikan tersebut.

Kebaikan dan kasih sayang seorang ibu juga merupakan on bagi anaknya. Segala sesuatu yang dilakukan sang Ibu baginya ketika ia masih bayi, semua pengorbanan ibunya baginya sebagai anak, segala sesuatu yang dilakukan ibunya untuk kepentingan dirinya sebagai pria dewasa, dan semua hal yang menjadi utangnya terhadap ibunya semata-mata karena ibunya itu ada (Benedict, 1982: 106). Benedict (1982:108) juga menjelaskan bahwa on dari orang tua adalah pemeliharaan sehari-hari dan segala kerepotan yang harus dihadapi bapak dan ibu.


(34)

22 2.5.2 Gimu

Gimu adalah salah satu jenis kewajiban dalam pembayaran sebuah on. Gimu merupakan pembayaran tanpa batas atas utang (Benedict, 1982: 122). Yang dimaksud dengan tanpa batas adalah, dimana seseorang yang menanggung on akan membalas atau membayar utang yang tidak memiliki batasan jumlah dan jangka waktu. Orang yang menanggung on tidak akan berhenti membayar utangnya, meskipun dia sudah pernah membayarnya sekali atau dua kali. Karena dia merasa on yang dibebankan terhadapnya sangat berat yang tidak akan cukup bila hanya dibalas sekali atau dua kali saja .

Benedict (1982: 129) menjelaskan bahwa membesarkan dan mendidik anak-anak sendiri merupakan gimu bagi setiap orang tua di Jepang. Karena bagi bangsa Jepang ini merupakan pembayaran kembali utang-utang kepada nenek moyangnya dengan cara meneruskan kepada anak-anakanya, asuhan yang telah diterimanya sendiri. Gimu sendiri dikelompokkan menjadi dua jenis kewajiban yang berbeda : pembayaran on kepada orang tua sendiri, yang adalah ko, dan pembayaran kembali on kepada Kaisar, yang adalah chu. Kedua gimu ini adalah pembayaran on tanpa batas (Benedict 1982: 122).

Gimu tetap wajib dibayar seseorang meskipun hal yang diminta dari orang yang membebankan on terhadapnya sulit. Menurut Benedict (1982:140-141) bagaimanapun banyaknya tuntutan sukar yang dituntutnya sari seseorang, gimu setidaknya adalah sekelompok kewajiban yang menjadi utang seseorang kepada lingkaran keluarga terdekatnya dan kepada Pengusaha yang menjadi lambang negaranya, cara hidupnya dan cinta kepada negaranya.


(35)

23 2.5.3 Giri

Giri juga merupakan kewajiban membayar kembali utang selain gimu. Giri dikelompokkan menjadi dua, yaitu giri terhadap dunia, dan giri terhadap nama seseorang. Pembayaran kembali giri dianggap sebagai suatu pembayaran kembali yang tepat sama besar jumlahnya (Benedict, 1982: 148). Di Jepang memiliki larangan untuk memberikan hadiah yang nilainya lebih tinggi sebagai balasan hadiah yang telah diberikan sebelumnya. Karena memiliki batasan waktu, maka apabila seseorang melewati batas waktu dari pembayaran giri tersebut, maka giri orang tersebut akan terus membesar. Misalnya, pada seorang murid yang merasa harus membayar giri terhadap guru SD nya yang telah mendidiknya namun giri tersebut tidak dibayarnya selama bertahun-tahun, maka giri iya tanggung semakin menumpuk. Ini merupakan salah satu contoh giri terhadap dunia.

Giri terhadap nama seseorang adalah kewajiban untuk menjaga agar reputasinya tidak bernoda (Benedict, 1982: 152). Giri terhadap nama ini merupakan kewajiban yang berada di lingkup on. Maksudnya, seseorang melakukan kewajiban tidak dilakukan tanpa dasar utang tertentu yang dipunyai orang itu pada orang lain. Seseorang yang tidak mampu membayar giri hingga jatuh tempo, maka ia akan bunuh diri untuk membersihkan namanya dan sebagai wujud pambayaran giri nya. Ini merupakan salah satu contoh giri terhadap nama.

Benedict (1982:155) berpendapat bahwa giri ini juga mencakup banyak tingkah laku yang tenang dan terkendali. Tidak memperlihatkan perasaan, pengendalian diri yang diharuskan dari seorang Jepang yang mempunyai harga diri, merupakan bagian dari giri terhadap nama.


(36)

24

Giri juga menyinggung tentang bagaimana seharusnya cara hidup yang tepat dan sesuai dengan tempat yang dia tinggali. Seperti yang di jelaskan oleh Benedict (1982:156) bahwa giri terhadap nama juga mewajibkan seseorang untuk hidup sesuai dengan tempatnya dalam hidup ini.

2.6 Ruang Lingkup Pendekatan Moralitas dan Semiotika

Kata moral berasal dari bahasa latin mores. Mores berasal dari kata mos yang berarti kesusilaan, tabiat atau kelakuan. Moral dengan demikian dapat diartikan ajaran kesusilaan. Moralitas berarti hal mengenai kesusilaan. Moralitas adalah sistem nilai tentang bagaimana kita harus hidup secara baik sebagai manusia (Simanjuntak, 2011:18). Sistem nilai ini terkandung dalam ajaran berbentuk petuah-petuah, nasihat, wejangan, peraturan, dan semacamnya, yang diwariskan secara turun-temurun melalui agama atau kebudayaan tertentu tentang bagaimana manusia harus hidup secara baik, agar ia benar-benar menjadi manusia yang baik. Moralitas juga memberi manusia aturan atau petunjuk konkret tentang bagaimana ia harus bertindak dalam hidup ini sebagai manusia yang baik dan bagaimana menghindari perilaku-perilaku yang tidak baik.

Ada perkataan lain yang mengungkapkan kesusilaan yaitu etika. Perkataan etika berasal dari bahasa yunani ethos dan ethikos yang berarti kesusilaan, perasaan batin, kecenderungan untuk melakukan suatu perbuatan.

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia dari W.J.S Poerwadarminto (dalam Salam 2000:2), terdapat keterangan bahwa moral adalah ajaran tentang baik-buruk perbuatan dan kelakuan, sedangkan etika adalah ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral).


(37)

25

Dari beberapa keterangan tersebut, dapat disimpulankan bahwa moral mempunyai pengertian yang sama dengan kesusilaan, yaitu memuat ajaran tentang baik buruknya perbuatan. Jadi, perbuatan itu dinilai sebagai perbuatan yang baik atau perbuatan yang buruk. Penilaian itu menyangkut perbuatan yang dilakukan dengan sengaja. Memberikan penilaian atas perbuatan dapat disebut memberikan penilaian etis atau moral. Sasaran dari moral adalah keselarasan dari perbuatan manusia dengan aturan-aturan mengenai perbuatan-perbuatan manusia itu sendiri.

Secara etimologis istilah semiotika berasal dari bahasa Yunani semeion yang berarti ‘tanda’ (Sudjiman dan van Zoest, 1996: vii). Semiotika kemudian didefinisikan sebagai studi tentang tanda dan cara tanda-tanda itu bekerja.

Pokok perhatian semiotika adalah tanda. Tanda itu sendiri adalah sebagai sesuatu yang memiliki ciri khusus yang penting. Pertama, tanda harus dapat diamati, dalam arti tanda itu dapat ditangkap. Kedua, tanda harus menunjuk pada sesuatu yang lain. Artinya bisa menggantikan, mewakili dan menyajikan.

Preminger dalam Pradopo (2003: 119) berpendapat semiotik adalah ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial/masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda, semiotik itu mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, dan konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Dari pengertian semiotik tersebut dapat disimpulkan bahwa semiotik (semiotika) adalah ilmu untuk mengetahui tentang sistem tanda, konvensi-konvensi yang ada dalam komunikasi dan makna yang terkandung di dalamnya.


(38)

26

Di dalam ilmu semiotik, tanda memiliki dua aspek yang penting yaitu penanda (signifier) dan petanda (signified). Penanda adalah bentuk normalnya yang menandai sesuatu yang disebut petanda, sedangkan petanda adalah sesuatu yang ditandai oleh petanda itu yaitu artinya. Contohnya, kata “Ibu” merupakan tanda suatu bunyi yang menandai arti ‘orang yang melahirkan kita’.

2.7 Biografi Pengarang

Lily Franky lahir 04 November 1963 di Kyushu utara, Fukuoka, Jepang. Lily Franky adalah nama pena yang ia gunakan, nama sesungguhnya adalah Masaya Nakagawa. Nama lily franky ia gunakan agar orang-orang yang membaca karyanya merasa penasaran apakah ia seorang wanita atau pria, apakah orang asing atau orang jepang. Ia ingin terkesan misterius. Lily franky merupakan lulusan dari Mushashino Art University di Tokyo.dia mengawalikarirnya dengan menjadi seorang ilustrator dan kolumnis di sebuah majalah. Gaya penulisannya memiliki respon yang baik. Saat ini ia dikenal sebagai penulis di buku-buku anak-anak, fotografer, desainer, dan penulis lirik.

Pria yang memiliki tinggi 174cm dan berat 62kg ini melakukan debut pertamanya sebagai penulis fiksi pada tahun 2003, yaitu dengan mengeluarkan koleksi cerita pendek yang berjudul “Boroboro Natta ni hito e”. Yang kemudian dilanjutkan dengan menulis sebuah otobiografi tentang dirinya, yang berjudul Tokyo Tower: (Mom and Me, and Sometimes Dad). Novel Tokyo Tower ini mengisahkan tentang kehidupannya bersama ibunya dan terkadang bersama ayahnya. Novel ini menjadi best seller. Kemudian novel ini dibuat menjadi sebuah serial TV dan sebuah Film dengan judul yang sama.Dia juga beberapa kali


(39)

27

mucul dalam beberapa judul film, yaitu “Moju tai Issunboshi (Blind Beast vs. Killer Dwarf)” dan “Gururi no Koto (All Around Us).”


(40)

28 BAB III

ANALISIS PESAN MORAL ON, GIMU, DAN GIRI DALAM NOVEL “TOKYO TOWER”

3.1 Sinopsis Novel “Tokyo Tower”

Novel “Tokyo Tower” adalah novel karya Lily Franky yang bernama asli

Nakagawa Masaya yang bercerita tentang perjuangan seorang ibu dalam

membesarkan anaknya, serta perjuangan pemuda untuk menemukan makna hidup dan bangkit dari keterpurukan untuk membahagiakan sang Ibu.

Ma-kun adalah nama panggilan kecil Nakagawa Masaya yang diberikan oleh ibunya (Eiko). Ma-kun, seorang anak lelaki biasa. Ia dibesarkan oleh sang ibu. Awalnya Ma-kun tinggal bersama ayah dan ibunya. Namun karena menumpang dan hidup bersama mertua, saudara ipar, dan penghuni kos maka ibu Ma-kun membawanya keluar dan menumpang di rumah mertua kakak perempuan ayahnya. Di situlah awal hidup terpisah dengan ayahnya. Keduanya lantas pindah lagi ke Chihuko, tinggal bersama nenek dari pihak ibu. Eiko adalah figur ibu yang luar biasa kuat. Semenjak hidup terpisah dengan Koji (ayah Ma-kun), ia hidup berdua dengan Ma-kun, menjadi ayah sekaligus ibu Ma-kun, menyiapkan segala kebutuhan Ma-kun termasuk mencari nafkah untuk meghidupi hari-hari mereka. Ma-kun adalah anak yang mendapat banyak luapan cinta dari ibunya. Meskipun ayah dan ibu Ma-kun harus tinggal terpisah, bukan berarti keduanya bercerai. Di saat terpenting, ayah kun selalu hadir. Bahkan saat pertimbangan hidup Ma-kun di Tokyo, sang ayah juga memiliki peranan.

Ma-kun tidak pernah jauh dari ibu yang mengasuhnya seorang diri. Namun saat beranjak dewasa, keinginan kuat untuk meninggalkan desa dan hidup mandiri


(41)

29

membuatnya pergi meninggalkan sang Ibu ke Tokyo, kota paling sibuk di Jepang. Di Tokyo, Ma-kun terjerumus dalam kebebasan tanpa kehadiran Ibu. Namun saat ibunya ikut tinggal bersamanya di Tokyo, kehidupannya mulai membaik. Ibu hadir dalam saat-saat tersulit Ma-kun merancang kembali kehidupannya yang sempat berantakan.

Sewaktu kecil, Ma-kun pernah terkena disentri dan harus dirawat di ruang isolasi. Siapa sangka belasan tahun kemudian, ia juga harus menjenguk seseorang di ruang isolasi, ibunya. Penyakit yang diderita sang ibu membuat Ma-kun berjuang mencari uang, ia tidak lagi menjadi seorang yang suka menghabiskan uangnya untuk berjudi.

Pada usia kepala tiga, ia masih sangat lengket dengan ibunya dan belum memikirkan untuk menikah. Kedekatannya juga menular pada kawan-kawannya, bahkan di saat salah seorang temannya berulang tahun, ibunya hadir di tengah para anak muda yang berbahagia.Sampai saat yang paling ditakuti itu dating. Ibu Ma-kun mengidap penyakin kanker di bagian perut dan meninggal di Tokyo.

3.2 Analisis Novel “Tokyo Tower”

Sebagaimana yang telah penulis jabarkan pada bab-bab sebelumnya, tentang pengertian moral dan juga hal-hal yang meliputi prinsip-prinsip moral Jepang yaaitu on, gimu, dan giri. Maka selanjutnya penulis akan jelaskan satu-persatu prinsip moral Jepang yang ada dalam novel “Tokyo Tower”.

Teori-teori tersebut di atas akan kita lihat dan analisis pada cuplikan-cuplikan dari cerita novel “Tokyo Tower” sebagai berikut:


(42)

30 3.2.1 On

Cuplikan 1 : (Franky, 2013:17-18)

[Ruangan itu kosong. Semua sudutnya bersih. Ibu kemudian membelikanku rak buku besar dengan dua pintu yang bisa ditarik. Ibu juga membuatkan bantalan duduk yang empuk, hasil rajutan wol dan diisi busa.]

Analisis :

Dari cuplikan 1 di atas, terlihat jelas kasih sayang yang diberikan ibu Ma-kun kepadanya. Terlihat dari kerepotan ibunya yang menyediakan segala keperluan Ma-kun di kamar kosong itu. Misalnya membelikan Ma-kun rak buku besar, membuatkan bantalan duduk yang empuk, hasil rajutan wol dan diisi busa. Di bagian tengah bantalan wol tersebut ibunya membuatkan gambar Atom boy. Karena kun menyukai tokoh Atom boy. Semua itu dilakukan ibunya agar Ma-kun merasa senang dan nyaman seperti berada di kamarnya sendiri.

Hal ini sesuai dengan teori moral Jepang yang menyebutkan bahwa on dari orang tua adalah pemeliharaan sehari-hari dan segala kerepotan yang harus dihadapi bapak dan ibu (Benedict, 1982:108). Dan cuplikan di atas merupakan on yang terima dari ibu atas segala kerepotan yang ibu lakukan kepada anak.

Cuplikan 2 : (Franky, 2013:23)

[Penyakit disentri membuatku kembali masuk ke rumah sakit. Kali ini bukan hanya dirawat, tapi diisolasi. Bagian isolasi rumah sakit tersebut berada di atas bukit, di bagian paling pojok. Ibu yang mengkhawatirkanku pun ikut menemani. Setiap melihatku gugup dan cemas, dia selalu memberikan suntikan semangat, keberanian, dan kasih sayang.]


(43)

31 Analisis :

Dari cuplikan 2 di atas, terlihat jelas kasih sayang yang diberikan ibu Ma-kun kepadanya. Terlihat dari kalimat “Setiap melihatku gugup dan cemas, dia selalu memberikan suntikan semangat, keberanian, dan kasih sayang”. Ibu Ma-kun selalu memberikan suntikan semangat agar Ma-Ma-kun tidak merasa takut dan khawatir akan penyakitnya yang kata dokter itu merupakan penyakit yang menular, meskipun sebenarnya ibu Ma-kun sendiri merasa khawatir dengan keadaan Ma-kun.

Hal ini sesuai dengan teori moral Jepang yang menyebutkan bahwa on merupakan kebaikan dan kasih sayang seorang ibu juga merupakan on bagi anaknya. Segala sesuatu yang dilakukan sang Ibu baginya ketika ia masih bayi, semua pengorbanan ibunya baginya sebagai anak, segala sesuatu yang dilakukan ibunya untuk kepentingan dirinya sebagai pria dewasa, dan semua hal yang menjadi utangnya terhadap ibunya semata-mata karena ibunya itu ada (Benedict, 1982: 106).

Cuplikan 3 : (Franky, 2013:35)

[Suatu saat, ketika pertama kali aku bisa mengendarai sepeda tanpa memegang stang, di putaran yang membelok tajam, keseimbanganku hilang dan kami pun jatuh menabrak pagar tembok pembatas jalan. Aku yang pulang dengan tubuh berdarah-darah baru tahu dari Ibu bahwa sepeda tersebut tak ada rem. Dalam perjalanan pulang-pergi ke rumah sakit, kami singgah di toko sepeda dan Ibu membelikan aku sepeda yang baru.]


(44)

32 Analisis :

Dari cuplikan 3 di atas, terlihat jelas pengorbanan yang diberikan ibu Ma-kun kepadanya. Yaitu dengan membelikan Ma-Ma-kun sepeda baru karena sepedanya yang lama sudah tidak memiliki rem sehingga membuat dia celaka. Ini dilakukan ibunya agar Ma-kun dapat bersepeda tanpa harus menggunakan kakinya lagi sebagai rem dan mengurangi resiko mengalami kecelakaan. Padahal saat itu kondisi keuangan ibunya sedang buruk.

Hal ini sesuai dengan teori moral Jepang yang menyebutkan bahwa on merupakan kebaikan dan kasih sayang seorang ibu juga merupakan on bagi anaknya. Segala sesuatu yang dilakukan sang Ibu baginya ketika ia masih bayi, semua pengorbanan ibunya baginya sebagai anak, segala sesuatu yang dilakukan ibunya untuk kepentingan dirinya sebagai pria dewasa, dan semua hal yang menjadi utangnya terhadap ibunya semata-mata karena ibunya itu ada (Benedict, 1982: 106). Dan cuplikan di atas merupakan on yang berupa pengorbanan ibu baginya sabagai anak.

Cuplikan 4 : (Franky, 2013:155)

[“Ibu akan bekerja keras selama setahun ke depan. Kau juga, berusahalah selama setahun ini hingga lulus. Bisa, kan?”

“Hmm, sepertinya aku bisa,” ujarku ragu.

“Tidak ada jalan lain, kau mengulang lagi saja….”

Akhirnya, akupun kembali kuliah, dan menjadi mahasiswa tahun kelima. Meskipun perasaan menyesal bergejolak, namun aku yang sudah terlanjur


(45)

33

menjadi mahasiswa pemalas hanya menghabiskan hari-hariku dengan bermain judi pachinko.]

Analisis :

Dari cuplikan 4 di atas, terlihat jelas pengorbanan ibu Ma-kun yang tetap berusaha membiayai kuliah Ma-kun yang memasuki tahun kelima dengan bekerja keras. Hal ini dilakukan ibunya setelah Ma-kun memutuskan tidak wisuda karena merasa tidak enak jika harus membebani ibunya dengan biaya kuliah setahun lagi. Ma-kun harus mengulang kuliahnya setahun lagi karena selama empat tahun kuliah dia hanya bermain-main dan berjudi pachinko.

Hal ini sesuai dengan teori moral Jepang yang menyebutkan bahwa on merupakan kebaikan dan kasih sayang seorang ibu juga merupakan on bagi anaknya. Segala sesuatu yang dilakukan sang Ibu baginya ketika ia masih bayi, semua pengorbanan ibunya baginya sebagai anak, segala sesuatu yang dilakukan ibunya untuk kepentingan dirinya sebagai pria dewasa, dan semua hal yang menjadi utangnya terhadap ibunya semata-mata karena ibunya itu ada (Benedict, 1982: 106). Dan on dari orang tua adalah pemeliharaan sehari-hari dan segala kerepotan yang harus dihadapi bapak dan ibu (Benedict, 1982:108). Cuplikan di atas merupakan on yang berupa pengorbanan ibu baginya sabagai anak, dan juga merupakan on dari segala kerepotan yang dihadapi ibu.

Cuplikan 5 : (Franky, 2013:207-208)

[Beberapa hari setelah itu. Siang dan malam aku memikirikan cara untuk memperoleh pinjaman uang, tapi tetap tidak ada titik terang. Lantas, tiba-tiba saja Enomoto menyodorkan amplop berisi satu juta yen.


(46)

34 “Pakailah ini.”

“Lho? Dari mana uang ini?”

“Aku pinjam dari orang tuaku. Aku sudah berjanji akan aku cicil setiap bulan.”

“Tapi, tidak usah....”

“Kita kan tinggal bersama. Pakailah ini.”

Aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi, selain meminta maaf. Maafkan aku, Enomoto. Aku berjanji akan mengangsurnya setiap bulan, sesuai janjimu kepada orang tua mu. Rasanya tidak ada hubungan guru-siswa seperti ini di tempat lain.]

Analisis :

Dari cuplikan 5 di atas, terlihat jelas Ma-kun menerima on dari Enomoto dan Ma-kun merasa harus membayar kebaikan temannya tersebut, yang telah meminjamkannya uang untuk menyewa apartemen baru yang dipinjam Enomoto dari orang tuanya. Ma-kun berjanji akan mengansurnya setiap bulan, sesuai janji Enomoto kepada orang tuanya.

Hal ini sesuai dengan teori Benedict (1982: 105) yang menyebutkan bahwa dalam semua pemakaiannya on mengandung arti suatu beban, suatu utang, sesuatu yang harus dipikul seseorang sebaik mungkin. Seseorang yang menerima on akan merasa dirinya lebih rendah dari si pemberi on. Karena on diterima bukan hanya dari seorang atasan atau seseorang yang berusia lebih tua saja, namun on juga diterima dari orang setingkatnya. Dan cuplikan di atas merupakan on yang diterima dari orang setingkatnya.


(47)

35 Cuplikan 6 : (Franky, 2013:232)

[“Tempat tidur lipatmu itu membuat punggung sakit, bukan? Tidur di tempat seperti itu membuatmu tak bisa beristirahat dengan baik. Ada toko furniture di kompleks perbelanjaan Sasazuka. Ibu sudah pesan di sana. Lagi pula, karena akan dipakai tiap hari, jadi Ibu beli saja. Tidurnya di tempat tidur itu, ya.”

“Harganya berapa?” “Sekitar 140.000 yen.”

“Ibu punya uang sebanyak itu?”

“Oh, itu jumlah uang Ibu seluruhnya.”]

Analisis :

Dari cuplikan 6 di atas, terdapat kasih sayang dan pengorbanan ibu kepada Ma-kun. Hal ini tampak dari perhatian ibunya terhadap Ma-kun yang membelikan Ma-kun tempat tidur baru agar Ma-kun dapat beristirahat dengan baik setelah dia bekerja, karena tempat tidur lipatnya yang lama membuat punggung Ma-kun sakit. Tempat tidur itu dibeli ibunya dengan semua tabungan yang dimilikinya.

Hal ini sesuai dengan teori moral Jepang yang menyebutkan bahwa on merupakan kebaikan dan kasih sayang seorang ibu juga merupakan on bagi anaknya. Segala sesuatu yang dilakukan sang Ibu baginya ketika ia masih bayi, semua pengorbanan ibunya baginya sebagai anak, segala sesuatu yang dilakukan ibunya untuk kepentingan dirinya sebagai pria dewasa, dan semua hal yang menjadi utangnya terhadap ibunya semata-mata karena ibunya itu ada (Benedict,


(48)

36

1982: 106). Dan cuplikan di atas merupakan on yang diberikan seorang ibu untuk kepentingan anak sebagai pria dewasa.

Cuplikan 7 : (Franky, 2013:393)

[Sejak kecil, meskipun kami tinggal di berbagai tempat, namun Ibu selalu menyediakan bagiku makanan maupun pakaian yang berlebihan dibandingkan anak-anak lainnya. Demi melakukan itu, Ibu sampai tidak membeli barang untuk keperluan sendiri, ya.

Ibu juga menyekolahkanku di tempat yang kuinginkan, dan meskipun setelah lulus, aku hanya bermalas-malasan tidak mencari kerja, Ibu tetap mengirimiku uang sepulu ribu sampai dua pulu ribu yen. Uang yang diperolehnya dari bekerja sambilan di beberapa tempat.]

Analisis :

Dari cuplikan 7 di atas, terdapat kasih sayang dan pengorbanan ibu. Hal ini tampak dari perhatian ibunya terhadap Ma-kun yang selalu menyediakan makanan maupun pakaian untuk Ma-kun dengan berlebihan sedangkan dia tidak membeli apapun untuk dirinya sendiri. Ibunya juga menyekolahkan Ma-kun ditempat yang Ma-kun inginkan dan tetap mengiriminya uang saku meskipun Ma-kun telah lulus yang dihasilkan dari bekerja sambilan di berbagai tempat.

Hal ini sesuai dengan teori moral Jepang yang menyebutkan bahwa on merupakan kebaikan dan kasih sayang seorang ibu juga merupakan on bagi anaknya. Segala sesuatu yang dilakukan sang Ibu baginya ketika ia masih bayi, semua pengorbanan ibunya baginya sebagai anak, segala sesuatu yang dilakukan ibunya untuk kepentingan dirinya sebagai pria dewasa, dan semua hal yang


(49)

37

menjadi utangnya terhadap ibunya semata-mata karena ibunya itu ada (Benedict, 1982: 106). Dan on dari orang tua adalah pemeliharaan sehari-hari dan segala kerepotan yang harus dihadapi bapak dan ibu (Benedict, 1982:108). Cuplikan di atas merupakan on yang berupa pengorbanan ibu baginya sabagai anak, dan juga merupakan on dari ibu dalam bentuk pemeliharaan sehari-hari.

3.2.2 Gimu

Cuplikan 1 : (Franky, 2013:196)

[“Satu keinginan Ibumu sebelum meninggal adalah jalan-jalan ke Hawai. Kau juga ikut, ya,” kata Bibi di telpon.

Kami berangkat ketika tubuh Ibu kembali bugar. Sebagai perjalanan ke luar negeriku yang pertama, aku sama sekali tidak menganggap ini acara jalan-jalan selama lima hari empat malam di Hawai bersama Ibu dan Bibi.

Bukan masalah apakah perjalanan ini menyenangkan atau tidak. Sedari awal, Bibi mengatakan bahwa ini merupakan harapan Ibu sebelum meninggal sehingga aku tidak berdaya untuk menolaknya.

Analisis :

Dari cuplikan 1 di atas, terlihat gimu dari Ma-kun yang berusaha untuk dapat memenuhi keinginan terakhir ibunya yaitu ingin pergi ke Hawai sebelum ibunya meninggal. Ini dilakukan Ma-kun sebagai wujud balasan atas kebaikan ibunya yang telah mengurusnya selama ini. Meskipun Ma-kun harus menggunakan seluruh uang simpanan yang ia miliki untuk membeli tiket pesawat dan untuk membayar keperluan lainnya serta untuk biaya mereka selama di Hawai.


(50)

38

Hal ini sesuai dengan teori moral Jepang yang menyebutkan bahwa bagaimanapun banyaknya tuntutan sukar yang dituntutnya dari seseorang, gimu setidaknya adalah sekelompok kewajiban yang menjadi utang seseorang kepada lingkaran keluarga terdekatnya dan kepada Pengusaha yang menjadi lambang negaranya, cara hidupnya dan cinta kepada negaranya (Benedict, 1982:140-141). Dan cuplikan di atas merupakan gimu dalam bentuk kewajiban yang menjadi hutang seseorang kepada lingkaran keluarga terdekatnya.

Cuplikan 2 : (Franky, 2013:210)

[Seperti biasa, sebelum menutup telepon, Ibu selalu bertanya, “Bagaimana pekerjaanmu?” lalu memberikan nasehat, “Jaga kesehatan dan tetap semangat, ya.”

Saat itulah, hampir tanpa sadar, aku berseru, “Bu….” “Ada apa?”

“Ibu mau ke Tokyo?” “Eh?”

“Ibu mau tinggal bersamaku di Tokyo?”]

Analisis :

Dari cuplikan 2 di atas, terdapat gimu dari Ma-kun yang terlihat dari ajakan kun kepada ibunya untuk tinggal bersama di Tokyo. Hal itu dilakukan Ma-kun karena melihat kondisi kesehatan ibunya yang semakin menurun dan usia yang semakin tua untuk tinggal seorang diri dan bekerja. Jadi Ma-kun memutuskan untuk mengajak ibunya untuk tinggal di Tokyo agar dia bisa mengurus dan memperhatikan kesehatan ibunya di sisa hidupnya.


(51)

39

Hal ini sesuai dengan teori Benedict (1982: 122) yang menyebutkan bahwa gimu adalah salah satu jenis kewajiban dalam pembayaran sebuah on. Gimu merupakan pembayaran tanpa batas atas utang.

Cuplikan 3 : (Franky, 2013:311)

[Dengan kamar tersebut, dapur yang luas, lantai 2 di mana aku bisa bekerja dan lantai 3 di mana Ibu bisa beristirahat, serta toilet yang berada di setiap lantai sehingga tidak perlu naik-turun, rumah ini memiliki semua yang kuidamkan, meskipun harganya mahal.

Alasan lain kenapa aku ingin menyewa rumah itu adalah karena di dekatnya ada papan nama sebuah pusat perawatan panggilan. Entah mengapa, keberadaannya membuatku merasa tenang. Jika aku menyewa tempat ini, maka Ibu bisa mendapatkan perawatan dirumah.]

Analisis :

Dari cuplikan 3 di atas, terdapat gimu dari Ma-kun yang terlihat dari perhatian Ma-kun kepada ibunya dengan menyewakan sebuah rumah sesuai dengan yang diidamkannya, yaitu rumah tiga lantai yang lantai 2 dimana menjadi tempat Ma-kun bekerja dan lantai 3 tempat ibu beristirahat, serta toilet yang berada di setiap lantai sehingga ibunya tidak perlu naik-turun hanya untuk ke toilet. Rumah tersebut juga dekat dengan sebuah pusat perawatan panggilan yang membuat Ma-kun merasa tenang karena ibunya bisa mendapatkan perawatan di rumah. Hal ini merupakan wujud balas budi yang diberikan Ma-kun kepada ibunya setelah segala pengorbanan dan kasih sayang yang telah diberikan ibunya kepada Ma-kun.


(52)

40

Hal ini sesuai dengan teori Benedict (1982: 122) yang menyebutkan bahwa gimu adalah salah satu jenis kewajiban dalam pembayaran sebuah on. Gimu merupakan pembayaran tanpa batas atas utang.

Cuplikan 4 : (Franky, 2013:315)

[Tak lama berselang, Ibu pun dipindah ke ruangan sendiri yang berada di lantai yang sama. Sejak itu, aku mendapatkan satu tempat tidur juga dan merawat ibu disana.

Kalau sudah pindah ke ruangan sendiri, berarti waktunya sudah tidak lama lagi.

Aku langsung teringat perkataan ayah tempo hari.

“Kalau di sini, orang-orang bisa datang berkunjung dengan bebas sehingga tak mengganggu pasien lainnya, kan.”

“Iya,ya.”

“Di sini luas. Aku juga diberi satu tempat tidur. Tiap hari aku akan tidur di sini.”]

Analisis :

Dari cuplikan 4 di atas, terdapat gimu dari Ma-kun terhadap ibunya yang ikut tidur di rumah sakit untuk menjaga ibunya sepanjang malam, setelah ibunya dipindahkan ke ruangan sendiri yang masih berada di lantai yang sama dengan kamar sebelumnya. Hal ini dilakukannya karena dia tidak ingin melewati waktu tanpa menjaga ibunya. Karena ayahnya pernah berkata bahwa jika seorang pasien sudah masuk ke ruang, maka umur pasien tersebut sudah tidak akan lama. Hal ini merupakan wujud gimu seorang anak kepada orang tua.


(53)

41

Hal ini sesuai dengan teori moral Jepang yang menyebutkan bahwa gimu adalah dikelompokkan menjadi dua jenis kewajiban yang berbeda : pembayaran on kepada orang tua sendiri, yang adalah ko, dan pembayaran kembali on kepada Kaisar, yang adalah chu. Kedua gimu ini adalah pembayaran on tanpa batas (Benedict, 1982: 122). Dan cuplikan di atas merupakan gimu terhadap orang tua.

Cuplikan 5 : (Franky, 2013:368)

[Ibu juga menabung untuk biaya pemakamannya sendiri, tiga ribu yen sebulan selama 90 kali. Selama ini, dia sudah menyetor sekitar 70 kali. Dia tidak ingin merepotkan orang lain, bahkan setelah meninggal sekali pun. Ibu memilih program tabungan kematian yang paling murah yaitu 270.000 yen. Ibu pasti akan kaget kalau mengetahui bahwa tagihan pemakaman tersebut menjadi sekitar 2.000.000 yen. Biayanya membengkak dengan berbagai tamabahan lainnya, termasuk bunga lily yang ku minta untuk disediakan.

Tapi aku tidak perduli berapa pun besarnya uang yang dikeluarkan. Para tamu mengatakan bahwa upacara pemakaman Ibu bagus. Aku tidak perduli seberapa besar uang yang ku pinjam demi melaksanakan upacara pemakaman yang hanya sekali itu untuk Ibu. Mau lima juta atau sepuluh juta, tidak masalah.]

Analisis :

Dari cuplikan 5 di atas, terdapat gimu dari Ma-kun terhadap ibunya yang rela berhutang untuk menambahi biaya upacara pemakaman yang hanya sekali untuk ibunya. Hal itu dilakukannya agar upacara pemakamannya ibunya terlihat


(54)

42

bagus di mata para tamu yang datang ke upacara pemakaman tersebut. Dia tidak perduli dengan berapapun jumlah uang yang akan ia keluarkan, maupun itu lima juta atupun sepuluh juta, baginya itu tidak menjadi sebuah masalah. Hal ini merupakan wujud gimu seorang anak kepada orang tua.

Hal ini sesuai dengan teori moral Jepang yang menyebutkan bahwa gimu adalah dikelompokkan menjadi dua jenis kewajiban yang berbeda : pembayaran on kepada orang tua sendiri, yang adalah ko, dan pembayaran kembali on kepada Kaisar, yang adalah chu. Kedua gimu ini adalah pembayaran on tanpa batas (Benedict, 1982: 122). Dan cuplikan di atas merupakan gimu terhadap orang tua.

3.2.3 Giri

Cuplikan 1 : (Franky, 2013:110)

[Saat perpisahan dengan orangtua pun tiba. Aku tidak tahu perasaan orangtua yang akan ditinggalkan. Tapi, melihat ekspresi Ibu yang membuatkan makanan enak sambil berkata, “Kau harus makan yang banyak sekarang,” juga memerhatikan punggung ibuku yang sedang menyiapkan makanan di dapur, serta wajahnya saat menghamparkan kasur futon di kamar yang dulunya diisi tempat tidur itu, aku mendapati senyuman senantiasa menghiasi wajahnya. Namun, tetap saja bisa kulihat kesepian menggantung di sana.]

Analisis :

Dari cuplikan 1 di atas, terdapat giri terhadap nama yang diperlihatkan oleh ibu Ma-kun yang tetap tegar saat hari dia akan berpisah dengan Ma-kun yang akan bersekolah di Beppu. Ibunya tetap menyediakan makanan enak buat Ma-kun


(55)

43

dan tetap memperlihatkan senyuman di wajahnya. Hal ini dilakukan ibunya agar tidak terlihat sedih yang dapat membebani Ma-kun.

Hal ini sesuai dengan teori moral Jepang yang menyebutkan bahwa giri ini juga mencakup banyak tingkah laku yang tenang dan terkendali. Tidak memperlihatkan perasaan, pengendalian diri yang diharuskan dari seorang Jepang yang mempunyai harga diri, merupakan bagian dari giri terhadap nama (Benedict, 1982: 155). Dan cuplikan di atas merupakan giri terhadap nama yang tidak memperlihatkan perasaannya kepada orang lain.

Cuplikan 2 : (Franky, 2013:191)

[Ibu meneleponku beberapa lama sekembalinya dari rumah sakit itu. “Ibu mengidap kanker,” ujarnya datar.

“Dimana?”

“Kanker kelenjar tiroid.” “Bisa sembuh?”

“Tidak usah khawatir, tidak berbahaya, kok.”]

Analisis :

Dari cuplikan 2 di atas, terdapat giri terhadap nama yang diperlihatkan oleh ibu Ma-kun yang tetap bersikap tenang saat mengabarkan kepada Ma-kun bahwa ia mengidap kangker tiroid dan mencoba meyakinkan Ma-kun bahwa kanker tersebut tidak berbahaya. Hal ini dilakukannya agar Ma-kun tidak khawatir.

Hal ini sesuai dengan teori moral Jepang yang menyebutkan bahwa giri ini juga mencakup banyak tingkah laku yang tenang dan terkendali. Tidak memperlihatkan perasaan, pengendalian diri yang diharuskan dari seorang Jepang


(56)

44

yang mempunyai harga diri, merupakan bagian dari giri terhadap nama (Benedict, 1982: 155). Dan cuplikan di atas merupakan giri terhadap nama yang bertingkah laku tenang dan terkendali, serta tidak memperlihatkan perasaan sakit kepada orang lain.

Cuplikan 3 : (Franky, 2013:229)

[Sambil mengingat masa-masa sekolahnya, Ibu berkata, “Dulu Ibu ingin melanjutkan sekolah dan belajar Bahasa Inggris....” Sekarang, di kelompok Shirakaba itu ada kegiatan di mana anggotanya bisa merasakan kehidupan kampus. Saat keluar bersama kelompoknya itu, Ibu selalu mengenakan riasan yang lebih tebal dari biasanya dan memakai bros yang berbeda.]

Analisis :

Dari cuplikan 3 di atas, terdapat giri terhadap nama yang diperlihatkan oleh ibu Ma-kun yang berpenampilan tidak seperti biasanya. Saat pergi dengan kelompok sosial yang dia ikuti, ibu Ma-kun menyesuaikan penampilannya dengan orang-orang yang ada di kelompok sosial tersebut dengan memakai riasan dan menggunakan bros.

Hal ini sesuai dengan teori Benedict (1982: 156) yang menyebutkan bahwa giri terhadap nama juga mewajibkan seseorang untuk hidup sesuai dengan tempatnya dalam hidup ini.


(1)

43

dan tetap memperlihatkan senyuman di wajahnya. Hal ini dilakukan ibunya agar tidak terlihat sedih yang dapat membebani Ma-kun.

Hal ini sesuai dengan teori moral Jepang yang menyebutkan bahwa giri ini juga mencakup banyak tingkah laku yang tenang dan terkendali. Tidak memperlihatkan perasaan, pengendalian diri yang diharuskan dari seorang Jepang yang mempunyai harga diri, merupakan bagian dari giri terhadap nama (Benedict, 1982: 155). Dan cuplikan di atas merupakan giri terhadap nama yang tidak memperlihatkan perasaannya kepada orang lain.

Cuplikan 2 : (Franky, 2013:191)

[Ibu meneleponku beberapa lama sekembalinya dari rumah sakit itu. “Ibu mengidap kanker,” ujarnya datar.

“Dimana?”

“Kanker kelenjar tiroid.” “Bisa sembuh?”

“Tidak usah khawatir, tidak berbahaya, kok.”]

Analisis :

Dari cuplikan 2 di atas, terdapat giri terhadap nama yang diperlihatkan oleh ibu Ma-kun yang tetap bersikap tenang saat mengabarkan kepada Ma-kun bahwa ia mengidap kangker tiroid dan mencoba meyakinkan Ma-kun bahwa kanker tersebut tidak berbahaya. Hal ini dilakukannya agar Ma-kun tidak khawatir.

Hal ini sesuai dengan teori moral Jepang yang menyebutkan bahwa giri ini juga mencakup banyak tingkah laku yang tenang dan terkendali. Tidak memperlihatkan perasaan, pengendalian diri yang diharuskan dari seorang Jepang


(2)

44

yang mempunyai harga diri, merupakan bagian dari giri terhadap nama (Benedict, 1982: 155). Dan cuplikan di atas merupakan giri terhadap nama yang bertingkah laku tenang dan terkendali, serta tidak memperlihatkan perasaan sakit kepada orang lain.

Cuplikan 3 : (Franky, 2013:229)

[Sambil mengingat masa-masa sekolahnya, Ibu berkata, “Dulu Ibu ingin melanjutkan sekolah dan belajar Bahasa Inggris....” Sekarang, di kelompok Shirakaba itu ada kegiatan di mana anggotanya bisa merasakan kehidupan kampus. Saat keluar bersama kelompoknya itu, Ibu selalu mengenakan riasan yang lebih tebal dari biasanya dan memakai bros yang berbeda.]

Analisis :

Dari cuplikan 3 di atas, terdapat giri terhadap nama yang diperlihatkan oleh ibu Ma-kun yang berpenampilan tidak seperti biasanya. Saat pergi dengan kelompok sosial yang dia ikuti, ibu Ma-kun menyesuaikan penampilannya dengan orang-orang yang ada di kelompok sosial tersebut dengan memakai riasan dan menggunakan bros.

Hal ini sesuai dengan teori Benedict (1982: 156) yang menyebutkan bahwa giri terhadap nama juga mewajibkan seseorang untuk hidup sesuai dengan tempatnya dalam hidup ini.


(3)

45 BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Berdasarkan analisis terhadap novel “Tokyo Tower” karya Lily Franky, penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Ditemukan beberapa nilai moral Jepang di dalam cerita novel “Tokyo Tower” karya Lily Franky. Nilai moral yang terkandung di dalamnya adalah on (utang budi), gimu (kewajiban), dan giri (kewajiban).

2. On merupakan hutang budi yang ditanggung seseorang dari kebaikan orang lain. Kebaikan dan segala pengorbanan yang dilakukan oleh orang tua juga merupakan on yang dipikul seorang anak.

3. Gimu merupakan bentuk kewajiban membayar kembali on yang ia pikul. Gimu tidak memiliki batas waktu dan jumlah dalam pembayarannya. Gimu dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu pembayaran on kepada orang tua sendiri, yang disebut ko, dan pembayaran on kepada Kaisar, yang disebut chu.

4. Giri merupakan bentuk lain dari kewajiban membayar utang. Giri merupakan pembayaran kembali utang sesuai dengan jumlah yang diterima dan memiliki batas waktu pembayaran. Jika melebihi batas waktu, maka utang yang dipikul pun semakin besar. Menjaga nama baik agar tidak tercemar juga merupakan giri, yaitu giri terhadap nama. Giri terhadap nama ini juga sering disebut giri “di luar lingkup on”. Giri juga menyinggung tentang perasaan yang tenang dan terkendali, sebagai wujud orang Jepang yang memiliki harga diri dan martabat yang tinggi.


(4)

46

5. Terdapat dua jenis kewajiban atas pembayaran on, yaitu gimu dan giri. Perbedaan dari kedua kewajiban ini adalah gimu tidak memiliki batas waktu dan jumlah dalam pembayarannya. Sedangkan giri membayar kembali dengan jumlah yang pas, sesuai dengan jumlah utang yang ia terima, dan memiliki batas waktu dalam pembayarannya.

6. Dari analisis di atas, terlihat nilai on yang lebih dominan muncul dalam cerita novel “Tokyo Tower” karya Lily Franky dari pada nilai gimu dan giri.

4.2 Saran

Dari penelitian ini, diharapkan agar pembaca dapat menambah pengetahuan dan mendapatkan pelajaran yang baik dalam bersikap dan dapat mengaplikasikan nilai-nilai moral tersebut di dalam kehidupan sehari-hari.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin. 2000. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: PT Sinar Baru Algensindo

Benedict, Ruth. 1982. Pedang Samurai dan Bunga Seruni; Pola-Pola Kebudayaan Jepang. Jakarta: Sinar Harapan

Endraswara, Suwardi. 2013. Teori Kritik Sastra.Yogyakarta: CAPS Fanky, Lily. 2013. Tokyo Tower. Indonesia: Kansha Publishing

Jabrohim. 2001. Metodelogi Penelitian Sastra. Yogyakarta: PT Prasetia Widya Pratama

Murywantobroto, dkk. 2008. MengenalProsa Fiksi. Semarang: IKIP Press Nazir, Moh. 1988. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia

Nurgiyantoro, Burhan. 1998. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

. 2010. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University press

Pradopo, Rachmat Djoko. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yoyakarta: PT Hanindita Graha Widya

Ratna, Nyoma Kutha. 2011. Antropologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Ruseffendi. 1994. Dasar-dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang Non Eksakta

Lainnya. Semarang: IKIP Semarang Press

Salam, Burhanuddin. 2000. Etika Individual (Pola Dasar Filsafat Moral). Jakarta: PT Asdi Mahasatya

Simanjuntak, Reminisere U F. 2011. Skripsi Analisis Pesan Moral dalam Dongeng Momotaro Karya Yei Theodora Ozaki. Medan: USU Press Soseno, Magnif F. 1989. Etika Dasar. Yogyakarta: Kanisus

Sudjiman, Panuti dan Aart van Zoest. 1992. Serba-Serbi Semiotika. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama


(6)

Suwondo, Tirto. 2003. Studi Sastra Beberapa Alternatif. Yogyakarta: Hanindita Graha Widya