Chu Ko Nimmu Konsep Gimu

Jenis gimu diatas adalah jenis Gimu tanpa syarat. Jenis kewajiban Gimu ada tiga yaitu: Chu, Ko dan Nimmu.

A. Chu

Chu adalah salah satu jenis kewajiban gimu yang ditujukan kepada kaisar, hukum dan negara. Kewajiban Gimu Chu adalah konsep balas budi dari pengikut terhadap tuan, bukan balas budi terhadap orang tuanya. Dalam zaman edo konsep Chu adalah balas budi bushi terhadap tuan, balas budi tuan terhadap shogun, sehingga konsep Chu ini bertumpuh ditangan shogun, Situmorang 1995:67. Benedict 1982:133 mengatakan bahwa konsep Chu adalah pemimpin sekuler yaitu shogun. Kesetiaan pada shogun sering bertentangan dengan kesetiaan bushi kepada tuan. Kesetiaan pada shogun dirasakan sesuatu yang terpaksa sehingga dikatakan terasa dingin, tidak sehangat kesetiaan terhadap tuan. Oleh karena itu orang Jepang berpendapat bahwa patuh pada hukum merupakan pembayaran kembali atas utangnya kepada kaisar.

B. Ko

Ko adalah kewajiban terhadap orang tua dan nenek moyang yang dimaksud terhadap keturunannya, Benedict 1982:125. Kewajiban Gimu Ko adalah pembayaran On kepada orang tua sendiri, yaitu setiap orang Jepang telah menyadari telah menerima On dari orang tuannya masing-masing. On tersebut adalah segala hal yang telah dilakukan oleh orang tuannya untuk membesarkannya hingga mampu mandiri. Di Jepang tidak ada ungkapan yang mengatakan “kewajiban bapak terhadap anak-anaknya” dan semua tugas seperti itu dicakup oleh Ko kepada orang tua dan kepada orang tuanya orang tua leluhur. Bakti filial ini meletakkan semua tanggung jawab yang banyak ke atas pundak Universitas Sumatera Utara kepala keluarga untuk mencari nafkah kepada anak-anaknya, mendidik putra- putranya dan adik-adik lelakinya mengurus pengolahan tanah keluarga, memberikan tempat berlindung kepada sanak keluarga yang memerlukan.

C. Nimmu

Nimmu adalah kewajiban terhadap pekerjaan. Yang dimaksud disini adalah bertanggung jawab atas pekerjaan yang di tugaskan kepadanya sampai tuntas. Mengutamakan kepentingan umum dibandingkan kepentingan individu atau perseorangan. Contoh perilaku yang mencerminkan adanya budaya Gimu khususnya di Jepang adalah karoshi. Karoshi adalah mati karena bekerja berlebihan atau overtime working. Para karyawan melakukan karoshi ini adalah karena mereka merasa berkewajiban atau merasa bertanggung jawab untuk menyelesaikan tugas demi perusahaan mereka.

2.1.1 Konsep Giri

Pengertian Giri bila dilihat dari karakter kanjinya dibagi menjadi Gi dan Ri, yaitu Gi adalah kebenaran, moralitas, kemanusiaan, integritas, keutuhan, kehormatan, kesetiaan, kesatriaan dan ketaatan. Sedangkan adalah alasan, akal, keadilan, kebenaran dan prinsip. Jadi secara harafiah pengertian giri adalah rasa tanggung jawab, kehormatan, keadilan, kesopanan, dan berhutang budi, Andrew N Nelson 2006 : 725 Mattulada mengatakan dalam Nur Afni 2005:30 bahwa Giri merupakan hutang yang harus dilunasi dengan perhitungan yang pasti atas suatu kebajikan yang diterima yang mempunyai batas waktu. Dalam pengertian lain Giri adalah suatu kewajiban untuk membalas sikap atau kebaikan yang telah diterima dari orang lain dengan setimpal. Oleh karena itu, “Giri” begitu kata Universitas Sumatera Utara pepatah orang Jepang adalah “sesuatu yang paling berat untuk ditanggung”. Kemudian Ruth Benedict mengatakan Giri bagi orang Jepang adalah yang paling berat. Selanjutnya dari segi pertukaran, Giri mempunyai batasan yanng lebih jelas dari Gimu. On yang berlaku diantara dua pihak yang memiliki hubungan yang hierarkis dalam pengembaliannya tidak mengenal batas. Sedangkan Giri merupakan kewajiban untuk mengembalikan semua anugrah yang pernah diterima dengan nilai yang sama persis. Sehingga pemenuhan kewajiban Giri yang kurang dari nilai yang diterima menyebabkan seseorang dicap sebagai orang yang tidak tahu Giri. Sehingga orang Jepang berusaha sebisa mungkin untuk menghindari celaan yang ditakuti, “orang yang tidak tahu giri”. Jepang mengagungkan tema balas dendam sama seperti mengagungkan kesetiaan sampai mati. Dan keduannya adalah giri; kesetiaan adalah giri kepada penguasa dan pembalasan dendam atas suatu penghinaan adalah giri kepada nama baiknya sendiri. Di Jepang, kedua giri itu adalah dua sisi dari perisai yang sama. Meskipun demikian, sekarang cerita-cerita lama tentang kesetiaan itu merupakan impian di siang hari yang menyenangkan bagi orang jepang, karena “membayar kembali giri” tidak lagi berupa kesetiaan kepada penguasa seseorang yang sah, melainkan memenuhi segala macam kewajiban terhadap berbagai macam orang. Orang yang dipojokkan akan merasa sendiri bahwa ia harus patuh, ia berkata “kalau saya tidak memegang bahu orang- on saya orang dari siapa saya telah menerima on, giri saya mendapat nama jelek. “semua ucapan ini Universitas Sumatera Utara mengungkapkan hadirnya suatu keengganan dan kepatuhan hanya “demi kesopanan”, seperti dikatakan kamus bahasa jepang. Peraturan–peraturan giri hanyalah merupakan peraturan–peraturan pembayaran kembali yang wajib, peraturan-peraturan itu bukan seperangkat peraturan moral seperti sepuluh perintah Tuhan. Kalau seseorang dipaksa dengan giri, maka dianggap bahwa ia mungkin harus mengesampingkan rasa keadilannya dan sering berkata, “saya tidak dapat berbuat benar gi karena giri” peraturan– peraturan giri juga tidak ada sangkut–pautnya dengan “cintailah sesama seperti engkau mencintai dirimu sendiri; peraturan–peraturan itu tidak mengharuskan orang untuk berbuat baik dari dalam hatinya. Mereka mengatakan bahwa orang harus melakukan giri, karena, “kalau tidak, maka ia akan disebut orang yang idak tahu giri dan ia akan dibuat malu di depan umum.” Yang membuat giri ditaati adalah apa kata orang tentang itu. Dan memang “giri terhadap dunia” sering muncul dalam terjemahan inggris dengan “sejalan dengan pendapat umum”, dan kamus menerjemahkan kalimat “memang harus begitu karena itu adalah giri terhadap dunia” dengan “orang tidak menerima tindakan yang lain”. Bangsa Jepang melarang pemberian hadiah yang bernilai lebih dari hadiah yang diterima sebelumnya. Orang tidak menjadi semakin terhormat dengan mengembalikan “beludru murni”. Salah satu komentar terburuk yang dikatakan orang tentang suatu hadiah adalah bahwa sipemberi “telah membayar kembali ikan teri dengan ikan kakap”. Begitu juga hal–hal dengan giri. Bangsa Jepang mempunyai konvensi lain mengenai giri yang analog dengan konvensi-konvensi barat tentang pembayaran kembali uang. Kalau pembayaran kembali Universitas Sumatera Utara ditangguhkan melewati batas waktu jatuh temponya, utangnya bertambah besar seakan-akan terkena bunga. Seseorang yang “dipojokkan dengan giri” sering terpaksa membayar kembali utang–utang yang semakin membesar dengan berlalunya waktu. Giri memiliki dua pembagian yang jelas yaitu giri terhadap dunia dan giri terhadap nama baik.

A. Giri Terhadap Dunia