Stres pada mahasiswa kedokteran Stresor yang potensial pada mahasiswa kedokteran

Reaksi psikologis terhadap stres dapat meliputi : 1. Kognisi Stres dapat melemahkan ingatan dan perhatian dalam aktivitas kognitif Cohen dkk dalam Sarafino, 1994. Stresor berupa kebisingan dapat menyebabkan defisit kognitif pada anak-anak Cohen dalam Sarafino, 1994. Kognisi juga dapat berpengaruh dalam stres. Baum dalam Sarafino, 1994 mengatakan bahwa individu yang terus menerus memikirkan stresor dapat menimbulkan stres yang lebih parah terhadap stresor. 2. Emosi Emosi cenderung terkait dengan stres. Individu sering menggunakan keadaan emosionalnya untuk mengevaluasi stres. Proses penilaian kognitif dapat mempengaruhi stres dan pengalaman emosional Maslach, Schachter Singer, Scherer dalam Sarafino, 1994. Reaksi emosional terhadap stres yaitu rasa takut, fobia, kecemasan, depresi, perasaan sedih, dan rasa marah Sarafino, 1994 3. Perilaku Sosial Stres dapat mengubah perilaku individu terhadap orang lain Sarafino, 1994. Individu dapat berperilaku menjadi positif maupun negatif. Bencana alam dapat membuat individu berperilaku lebih kooperatif, dalam situasi lain, individu dapat mengembangkan sikap bermusuhan Sherif Sherif dalam Sarafino, 1994. Stres yang diikuti dengan rasa marah menyebabkan perilaku sosial negatif cenderung meningkat sehingga dapat menimbulkan perilaku agresif Donnerstein Wilson dalam Sarafino, 1994. Stres juga dapat mempengaruhi perilaku membantu pada individu Cohen Spacapan dalam Sarafino, 1994

2.4. Stres pada mahasiswa kedokteran

Universitas Sumatera Utara Mahasiswa kedokteran mengalami stres dari awal proses belajar. Guthrie, 1995. Walaupun sebagian besar dari stres adalah normal dalam proses belajar kedokteran dan dapat menjadi motivator bagi sebagian individu, tidak semua mahasiswa menganggap stres bersifat konstruktif. Linn, 1984. Untuk sebagian besar individu, stres menciptakan perasaan takut, ketidakmampuan, rasa tidak berguna, amarah, rasa bersalah dan dapat dihubungkan dengan dengan buruknya kesehatan jiwa maupun fisik. Moffat, Mosley, Stewart dalam Dyrbye, 2005 Mahasiswa menggunakan bermacam-macam cara untuk menanggulangi atau coping stres dan yang berbeda-beda tergantung dari tahun kuliah dan sumber dari stres. Stern, 1993. Cara-cara menanggulangi stres yang spesifik bagi setiap mahasiswa akan menentukan efek dari stres dalam kesehatan psikis maupun fisik dan menentukan apakah stres akan memberikan pengaruh negatif ataupun positif. Vitaliano, 1988. Penanggulangan stres yang bersifat lepas tangan seperti menghindari permasalahan, terlalu banyak melamun, menghindari kehidupan sosial dan menyalahkan diri sendiri memiliki dampak negatif dan dapat berhubungan dengan depresi, kecemasan dan juga kesehatan psikis yang buruk. Sebaliknya, strategi yang bersifat menghadapi masalah seperti pemecahan masalah, pikiran dan sifat positif, mencari dukungan sosial dan mengekspresikan emosi akan memungkinkan mahasiswa untuk dapat beradaptasi, yang akan mengurangi kecemasan, depresi dan efek-efeknya terhadap kesehatan jiwa maupun fisik. Stewart Park dalam Dyrbye, 2005

2.5. Stresor yang potensial pada mahasiswa kedokteran

Garbee dkk 1980 menyatakan ada enam kategori dari stresor potensial pada mahasiswa fakultas kedokteran gigi yang kemudian dimodifikasi oleh Murphy 2008 menjadi lima kategori dengan tujuan untuk membandingkan stresor potensial tersebut terhadap mahasiswa kedokteran. Kelima kategori stresor tersebut adalah : 1. Kemampuan akademik sebagai stresor yang potensial Universitas Sumatera Utara Penelitian yang dilakukan terhadap mahasiswa kedokteran telah melaporkan tekanan kompetitif untuk mencapai nilai bagus dalam ujian teori dan evaluasi praktek klinis. Radcliffe, 2003 dan Morrison, 2001 Penelitian lain mengemukakan bahwa beban kerja yang berat dan panjang selama berjam-jam selama pelatihan profesi merupakan pengalaman yang sangat penuh dengan stres. Dahlin, 2005., Spencer, 2004., dan Aktekin, 2001 2. Hubungan mahasiswa dengan fakultas sebagai stresor yang potensial Mahasiswa-mahasiswa kedokteran melaporkan bahwa mereka menemukan beberapa dosen yang bersedia untuk membantu mereka sebagai mentor. Radcliffe, 2003. Anggota-anggota dan staf-staf fakultas kedokteran umumnya tidak menyadari tingginya tingkat stres yang dihadapi mahasiswa dan tidak mengenali tanda-tanda kelelahan mahasiswa. Dyrbye, 2006. Hayes 2004 mengemukakan bahwa sekolah-sekolah medis mempromosikan budaya intimidasi bagi mahasiswa yang tidak mematuhi norma-norma perilaku yang diharapkan oleh fakultas. Holm Aspergen 1999 melaporkan bahwa mahasiswa kedokteran yang menggunakan pendekatan secara ilmiah dan humanistik biasanya sering dikritik sebagai tidak kompeten secara profesional dibandingkan rekan- rekan mereka yang bergantung secara eksklusif pada pendekatan impersonal dan ilmiah untuk mengelola pasien. 3. Pasien dan tanggung jawab klinis sebagai stresor yang potensial Dampak stres kronis dalam pelatihan sekolah kedokteran telah dilaporkan memiliki kontribusi terhadap perasaan depersonalisasi dalam hubungan mahasiswa kedokteran dengan pasien mereka. Mahasiswa mengeluh tentang ketidakmampuan mereka untuk berempati dengan kecemasan pasien mereka dalam menghadapi penyakitnya. Spencer, 2004., Dyrbye, 2006., dan Holm, 1993. Spencer 2004 menyimpulkan bahwa penurunan empati di kalangan mahasiswa kedokteran adalah karena hubungan sosial yang singkat dan sementara, terburu-buru dan sebagian-sebagian dengan pasien serta menghindari keakraban selama pelatihan medis. Universitas Sumatera Utara 4. Permasalahan pribadi sebagai stresor yang potensial Penelitian pada mahasiswa fakultas kedokteran telah melaporkan hubungan frustrasi mahasiswa dengan kurangnya dukungan sosial sekolah mereka dan jumlah waktu untuk istirahat dan relaksasi tidak memadai. Morrison, 2001., Aktekin, 2001., Ball, 2002., dan Stewart 1999. Tanggung jawab dan masalah keuangan juga ditemukan sebagai sumber stres yang signifikan untuk mahasiswa kedokteran. Morrison, 2001. Stewart 1999 mengemukakan bahwa hilangnya kesempatan untuk bersosialisasi dan berekreasi memberikan kontribusi terhadap tingkat stres yang lebih tinggi, prestasi akademik yang kurang baik dan menunjukkan gejala depresi yang lebih banyak pada mahasiswa kedokteran di tahun terakhir kuliah. Hayes 2004 melaporkan bahwa pelatihan sekolah kedokteran memang memiliki efek negatif terhadap kemampuan beberapa anggota kelas untuk mencocokkan diri dengan rekan-rekan mereka. 5. Identitas profesional sebagai stresor yang potensial Mahasiswa kedokteran tampaknya menghadapi tantangan selama pelatihan profesi mereka dalam mengembangkan dan mempertahankan rasa percaya diri dalam kemampuan mereka untuk menjadi dokter yang baik. Sering sekali, tantangan-tantangan ini ditemukan dipengaruhi oleh jenis kelamin dan juga terkait dengan keharusan bagi siswa untuk menunjukkan kesempurnaan dalam semua aspek perilaku dan keterampilan klinis. Henning, 1998., Bellini, 2005., Stecker, 2004., dan Shapiro, 2000 Mahasiswa kedokteran juga mengalami stres karena perasaan kurang berkompetensi untuk mampu mengobati pasien. Henning 1998 menyatakan Universitas Sumatera Utara bahwa mahasiswa kedokteran yang mengejar kesempurnaan membuat mereka merasa seperti penipu jika mereka mengalami kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan sulitnya kehidupan profesional. Dahlin 2005 melaporkan bahwa mahasiswa tahun ketiga dan keenam di sekolah-sekolah kedokteran Swedia menderita stres yang signifikan dari kurangnya kepercayaan diri terhadap kemampuan pribadi mereka untuk bertahan selama berjam-jam dan melaksanakan tugas klinis dengan kompeten. Beberapa faktor stres dapat dihubungkan dengan depresi. Kejadian gejala depresi yang dilaporkan oleh mahasiswa kedokteran dirasakan lebih besar daripada yang ditemukan dalam populasi umum. Dahlin, 2005. Penelitian ini juga menemukan bahwa mahasiswa kedokteran perempuan melaporkan tingkat stres yang lebih tinggi dari laki-laki dan bahwa jenis stresor yang memiliki dampak terbesar pada kesejahteraan mahasiswa berubah seiring dengan kenaikan tingkatan mahasiswa dari tahap praklinis sampai ke pelatihan klinis. Radcliffe dan Lester 2003 melaporkan bahwa mengembangkan sikap profesional dirasakan oleh mahasiswa kedokteran sebagai salah satu aspek yang paling menuntut dari pelatihan mereka. Peneliti ini melaporkan bahwa periode transisi, seperti lulus dari tahap praklinis ke pelatihan klinis, dianggap sebagai saat yang paling menegangkan dan paling stres dalam mereka pendidikan profesi mereka. Rosenfield dan Jones 2004 menyatakan bahwa terlalu banyak penekanan yang ditempatkan pada objek ilmiah dalam pelatihan medis. Mengetahui kapan saatnya berbicara, bertindak, mendengarkan, atau mentolerir penderitaan pasien adalah bagian dari bentuk seni pengobatan. Efek samping yang patut disayangkan dari pelatihan medis yang dikemukakan oleh para peneliti ini adalah bahwa pelatihan ini menghasilkan dokter yang percaya bahwa penyangkalan diri adalah berharga dan diperlukan serta hidup dengan stres adalah normal. Penelitian juga menemukan bahwa fakultas mempengaruhi rasa efektivitas diri mahasiswa melalui pengaruh sosial dan perilaku kelompok. Wilkes dan Raven 2002 mengartikan pengaruh sosial sebagai “sebuah perubahan dalam sikap, Universitas Sumatera Utara keyakinan, atau perilaku dari seseorang yang dihasilkan dari tindakan dari orang lain atau sekelompok orang . Mahasiswa sering dianggap sebagai anggota terendah dari kekuasaan, yang membuat mereka lebih rentan terhadap pengaruh sosial. Karena mahasiswa tidak yakin dengan kompetensi mereka, takut mendapat nilai jelek, atau ingin menyenangkan atasan dan senior, perasaan-perasaan ini mungkin memiliki efek yang mendalam terhadap kemampuan mereka untuk belajar dan mengadopsi sikap profesional. Wilkes dan Raven juga berpendapat bahwa stresor identitas profesi dari mahasiswa kedokteran disebabkan oleh hubungan yang buruk dengan anggota fakultas, yang mungkin tidak selalu menjadi contoh yang baik bagi perilaku profesional. Kurangnya sikap profesional yang tepat meliputi perilaku-perilaku seperti sinisme, tidak hormat, dan kebencian terhadap pasien dan staf pendukung. Sebagian mahasiswa kedokteran yang ingin membangun hubungan yang menguntungkan dengan pembimbing atau instruktur fakultas mereka dapat meniru perilaku ini. Gaya profesional dari seorang anggota fakultas mungkin menunjukkan perasaan aman terhadap dirinya dan kepercayaan dirinya terhadap kompetensi yang dimilikinya. Gaya mengajar baik yang bersifat memelihara dan mengasuh atau yang bersifat melecehkan dan keras terhadap mahasiswa juga mungkin mencerminkan kebutuhan psikososial dari anggota fakultas itu sendiri. Selain pengaruh fakultas, Wilkes dan Raven juga menemukan bahwa faktor-faktor seperti jadwal panggilan, kurang tidur, perubahan mood, kurangnya nutrisi yang baik, kurangnya waktu yang berkualitas bersama keluarga dan teman-teman, dan kekhawatiran atas pengelolaan keuangan juga dapat menyebabkan stres pada mahasiswa kedokteran. Universitas Sumatera Utara BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFENISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep