Komplikasi Oral Pada Pasien yang Menjalani Radioterapi Kanker Nasofaring Di RSUP. Haji Adam Malik

(1)

KOMPLIKASI ORAL PADA PASIEN YANG MENJALANI

RADIOTERAPI KANKER NASOFARING

DI RSUP. HAJI ADAM MALIK

(LAPORAN KASUS)

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi

Oleh :

ERWINA NIM : 060600117

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2010


(2)

Fakultas Kedokteran Gigi

Departemen Ilmu Penyakit Mulut Tahun 2010

Erwina

Komplikasi Oral Pada Pasien yang Menjalani Radioterapi Kanker Nasofaring Di RSUP. Haji Adam Malik (Laporan Kasus). ix + 46 halaman

Kanker nasofaring merupakan tumor ganas yang berasal dari sel epitel nasofaring dan banyak dijumpai di antara tumor ganas pada bagian THT (telinga hidung dan tenggorokan). Salah satu terapi yang dapat dilakukan adalah radioterapi. Radioterapi dapat mencegah pertumbuhan dan pembelahan sel kanker dengan sangat cepat, namun dapat menimbulkan komplikasi oral seperti mukositis, kandidiasis, xerostomia, karies gigi, dysgeusia, osteoradionekrosis, dan nekrose pada jaringan lunak.

Penulisan ini merupakan laporan kasus mengenai komplikasi oral pada pasien yang menjalani radioterapi pada kanker nasofaring. Berdasarkan anamnese yang dilakukan, pasien mengeluhkan mulutnya kering (xerostomia), sulit untuk membuka mulut, sulit untuk makan dan minum, dan kehilangan rasa pengecapan (dysgeusia). Pemeriksaan klinis rongga mulut menunjukkan adanya ulser dan bercak-bercak putih yang didiagnosa sebagai mukositis dan kandidiasis.

Dokter gigi seharusnya juga mempunyai peranan penting untuk mengevaluasi dan mengatasi gangguan yang terdapat di rongga mulut yang merupakan akibat dari radioterapi kanker nasofaring dengan cara yang tepat dan sesuai, untuk mengurangi


(3)

keparahan komplikasi tersebut. Selain itu, edukasi kepada pasien dan keluarga pasien juga penting untuk meningkatkan keberhasilan perawatan.


(4)

PERNYATAAN PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan tim penguji skripsi

Medan, 2 September 2010

Pembimbing : Tanda tangan

Sayuti Hasibuan, drg., Sp. PM ... NIP : 19700915 199701 1 001


(5)

TIM PENGUJI SKRIPSI

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan tim penguji pada tanggal 2 September 2010

TIM PENGUJI

KETUA : Sayuti Hasibuan, drg., Sp. PM ANGGOTA : 1. Syuaibah Lubis, drg


(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis serta shalawat dan salam kepada junjungan besar Nabi Muhammad SAW sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Komplikasi Oral Pada Pasien yang Menjalani Radioterapi Kanker Nasofaring Di RSUP. Haji Adam Malik (Laporan Kasus)” sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana kedokteran gigi di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

Ucapan terima kasih dengan segenap cinta dan ketulusan hati kepada keluarga tersayang, penulis persembahkan kepada papa Saiful Sulun dan mama Zulfikar Mahadi, juga kepada Bang Boy, Ewin, Mbak Wik, Sulthan, Aldi, Mamed, dan Pak Rus atas segala perhatian, dukungan moril dan materil, motivasi, harapan dan doa, serta kasih sayang yang melimpah.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis mendapat banyak bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, dengan segala kerendahan hati dan penghargaan yang tulus, penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada :

1. Sayuti Hasibuan, drg., Sp.PM selaku dosen pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran dalam membimbing dan mengarahkan penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.


(7)

2. Prof. Nazaruddin, drg., C.Ort., Ph.D., Sp.Ort selaku Dekan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara dan drg. Gema Nazri Yanti selaku dosen pembimbing akademik.

3. Wilda Hafni Lubis, drg., MSi selaku Ketua Departemen Ilmu Penyakit Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

4. Seluruh staff pengajar dan pegawai di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara yang telah membimbing, mendidik, dan membantu penulis selama menuntut ilmu di masa pendidikan.

Terima kasih juga penulis sampaikan atas segala semangat, dukungan, dan perhatian yang telah diberikan oleh Bang Iman, Bang Uke, Kak Oliviti, Ica, Luki, Uul, Nanda, Lita, Esti, Noni, Mita, Tika, Dhita, Bang Topik, Kak Devira, Alia, Tommy, dr. Nova, Kak Indah, Kak Unun, Kak Sally, Bang Bayu, Kak Fany, aua malambai, semua teman-teman yang sudah mensupport dan teman-teman stambuk 2006 lainnya atas bantuan, semangat, motivasi, dan kebersamaan di FKG USU, dan terima kasih yang sebesarnya kepada Muhammad Arfiza Putra atas segala doa, dukungan, motivasi, dan kesabaran selama ini yang diberikan kepada penulis.

Penulis mengharapkan semoga skripsi ini dapat memberikan sumbangan pikiran yang berguna bagi fakultas, pengembangan ilmu, dan masyarakat.

Medan, 2 September 2010 Penulis,

(Erwina) NIM:060600117


(8)

DAFTAR ISI

Halaman HALAMAN JUDUL………..

HALAMAN PERSETUJUAN………... HALAMAN TIM PENGUJI SKRIPSI………..

KATA PENGANTAR………... iv

DAFTAR ISI……….. vi

DAFTAR GAMBAR... viii

DAFTAR TABEL... ix

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Rumusan Masalah... 4

1.3 Tujuan dan Manfaat... 4

1.4 Ruang Lingkup... 5

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kanker Nasofaring... 6

2.1.1 Definisi... 6

2.1.2 Etiologi dan Faktor Predisposisi... 7

2.1.3 Stadium... 8

2.1.4 Gejala... 10

2.1.5 Diagnosis... 11

2.1.6 Terapi... 12

2.2 Radioterapi pada Kanker Nasofaring... 13

2.2.1 Definisi... 13

2.2.2 Mekanisme Kerja... 14

2.2.3 Dosis Radiasi... 15

2.2.4 Tekhnik Radioterapi... 15

2.2.5 Respon Radiasi... 17

2.3 Komplikasi Oral Radioterapi pada Kanker Nasofaring... 17

2.3.1 Mukositis... 18


(9)

2.3.3 Xerostomia... 24

2.3.4 Dysgeusia... 26

2.3.5 Karies Gigi... 28

2.3.6 Osteoradionekrosis... 31

2.3.7 Nekrose Jaringan Lunak... 34

BAB 3 LAPORAN KASUS... 35

BAB 4 DISKUSI... 38

BAB 5 KESIMPULAN... 43


(10)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1 Anatomi hidung……….. 6

2 Mukositis pada bagian bukal dan lidah... 19

3 Patogenesis mukositis………. 22

4 Kandidiasis oral……….. 23

5 Karies radiasi……….. 30

6 Osteoradionekrosis……….. 33

7 Kandidiasi pada bagian palatum dan gingiva... 37


(11)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1 Konsekuensi hiposalivasi yang disebabkan oleh radiasi....… 25 2 Hasil pemeriksaan laboratorium………. 36


(12)

Fakultas Kedokteran Gigi

Departemen Ilmu Penyakit Mulut Tahun 2010

Erwina

Komplikasi Oral Pada Pasien yang Menjalani Radioterapi Kanker Nasofaring Di RSUP. Haji Adam Malik (Laporan Kasus). ix + 46 halaman

Kanker nasofaring merupakan tumor ganas yang berasal dari sel epitel nasofaring dan banyak dijumpai di antara tumor ganas pada bagian THT (telinga hidung dan tenggorokan). Salah satu terapi yang dapat dilakukan adalah radioterapi. Radioterapi dapat mencegah pertumbuhan dan pembelahan sel kanker dengan sangat cepat, namun dapat menimbulkan komplikasi oral seperti mukositis, kandidiasis, xerostomia, karies gigi, dysgeusia, osteoradionekrosis, dan nekrose pada jaringan lunak.

Penulisan ini merupakan laporan kasus mengenai komplikasi oral pada pasien yang menjalani radioterapi pada kanker nasofaring. Berdasarkan anamnese yang dilakukan, pasien mengeluhkan mulutnya kering (xerostomia), sulit untuk membuka mulut, sulit untuk makan dan minum, dan kehilangan rasa pengecapan (dysgeusia). Pemeriksaan klinis rongga mulut menunjukkan adanya ulser dan bercak-bercak putih yang didiagnosa sebagai mukositis dan kandidiasis.

Dokter gigi seharusnya juga mempunyai peranan penting untuk mengevaluasi dan mengatasi gangguan yang terdapat di rongga mulut yang merupakan akibat dari radioterapi kanker nasofaring dengan cara yang tepat dan sesuai, untuk mengurangi


(13)

keparahan komplikasi tersebut. Selain itu, edukasi kepada pasien dan keluarga pasien juga penting untuk meningkatkan keberhasilan perawatan.


(14)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Karsinoma nasofaring adalah kanker yang berasal dari fossa Rosenmuller pada nasofaring yang merupakan daerah transisional dimana epitel kuboid berubah menjadi epitel skuamosa.1 Kanker ini paling banyak dijumpai di antara tumor ganas pada bagian THT (telinga hidung dan tenggorokan) dan menduduki urutan ke empat setelah kanker leher rahim, kanker payudara, dan kanker kulit di Indonesia.1,2

Distribusi penyakit ini paling banyak dijumpai pada ras Mongol, di samping Mediteranian, dan beberapa ras di Afrika di bagian Utara. Di Hongkong tercatat sebanyak 24 pasien kanker nasofaring per tahun per 100.000 penduduk, sedangkan angka rata-rata di Cina bagian selatan berkisar antara 20 per 100.000 penduduk, dibandingkan dengan negara Eropa atau Amerika Utara yang mempunyai angka kejadian hanya 1 per 100.000 penduduk per tahun.2

Angka kejadian karsinoma nasofaring di Indonesia cukup tinggi, yaitu sekitar 4,7 kasus baru per tahun per 100.000 penduduk atau diperkirakan sekitar 7000-8000 kasus per tahun di seluruh Indonesia. Dijumpai lebih banyak pada pria dibandingkan dengan wanita dengan perbandingan 2-4 : 1. Penyakit ini ditemukan terutama pada usia yang masih produktif (30-60 tahun), dengan usia terbanyak adalah 40-50 tahun.1,2

Di RSUP Haji Adam Malik sendiri, pada tahun 1998 sampai tahun 2002 ditemukan 130 penderita kanker nasofaring dari 1370 penderita kanker kepala dan


(15)

leher. Pada tahun 2002 sampai bulan Agustus 2007 ditemukan 924 penderita kanker nasofaring, di mana terdapat 630 orang laki-laki dan 294 orang wanita dan rentang usia berkisar antara 15-82 tahun.1

Penanggulangan kanker nasofaring sampai saat ini masih merupakan suatu masalah, hal ini karena etiologi yang masih belum pasti, gejala dini yang tidak khas serta letak nasofaring yang tersembunyi, sehingga diagnosis sering terlambat. Pilihan pengobatan yang dapat dilakukan adalah dengan pembedahan, radioterapi, dan kemoterapi.3 Sampai saat ini dasar pengobatan kanker nasofaring yang masih memegang peranan penting adalah dengan radioterapi.1,2

Radioterapi pada kanker nasofaring harus dilakukan secara bertahap dan berulang-ulang dengan menggunakan dosis yang tinggi.3 Namun, radioterapi yang dilakukan berulang-ulang ini mempunyai efek samping pada kulit dan rongga mulut itu sendiri. Insidens dimana radioterapi menimbulkan efek samping adalah sebanyak 13-89%.7

Kanker nasofaring secara tidak langsung yaitu melalui radioterapi dapat merusak jaringan normal di sekitar daerah yang terkena radiasi.4 Reaksi ini ada yang bersifat akut (selama atau beberapa minggu setelah radioterapi) dan kronis (beberapa bulan atau beberapa tahun setelah radioterapi).3 Pada rongga mulut, komplikasi akut yang dapat terjadi adalah mukositis, kandidiasis, dysgeusia dan xerostomia (mulut kering), sedangkan yang bersifat kronis adalah karies gigi, osteoradionekrosis, dan nekrose pada jaringan lunak.5

Perubahan pada mukosa oral telah diteliti dan dipelajari sejak radiasi digunakan sebagai terapi pada kanker.6 Menurut penelitian yang dilakukan oleh Jham


(16)

B C, Reis P M, dkk (2007) mukositis oral ditemukan sebanyak 61,7% dari seluruh sampel dan muncul pada radioterapi yang ke 15 atau minggu ke 3.7 Pasien radioterapi sangat mudah terjadi kandidiasis oral yang disebabkan oleh jamur yaitu Candida albicans. Penelitian yang dilakukan Jham B C, Reis P M, dkk (2007) menunjukkan bahwa prevalensi Candida meningkat pada pasien, dari 7,2% pada saat kunjungan pertama ke dokter menjadi 45,8% pada saat radioterapi dan terus bertambah menjadi 21,1% setelah radioterapi.7

Radioterapi dapat menyebabkan pengurangan aliran saliva sehingga menyebabkan xerostomia (mulut kering). Xerostomia dikeluhkan sebanyak 80% pasien yang menerima radioterapi. Keluhan mulut kering yang terus berlangsung, juga dapat menyebabkan terjadinya karies gigi.3 Dysgeusia atau hilangnya rasa pengecapan dikeluhkan sekitar 70% oleh pasien yang menerima radioterapi pada minggu kedua atau ketiga radioterapi.3 Osteoradionekrosis, dan nekrose pada jaringan lunak juga dapat terjadi pada pasien setelah radioterapi. Namun insidensnya lebih kecil, hanya sekitar 2-10% dibandingkan dengan komplikasi oral lainnya.5

Mengingat tingginya angka kejadian kanker nasofaring yang terjadi, sehingga radioterapi juga banyak dilakukan, maka penting diketahui pengaruh dan efek samping radioterapi dalam menyebabkan komplikasi di dalam mulut, dimana komplikasi ini juga mempunyai insidens yang cukup tinggi. Pada skripsi ini akan dilaporkan suatu kasus komplikasi oral radioterapi pada kanker nasofaring.


(17)

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, dapat dirumuskan beberapa masalah yang terkait yaitu :

1. Apa saja komplikasi oral yang terjadi pada kasus tersebut?

2. Bagaimana mekanisme terjadinya komplikasi oral akibat radioterapi pada kanker nasofaring?

1.3Tujuan dan Manfaat

Tujuan penulisan skripsi ini adalah :

1. Mengetahui apa saja komplikasi oral yang dapat terjadi pada kasus tersebut.

2. Mengetahui bagaimana mekanisme terjadinya komplikasi oral akibat radioterapi pada kanker nasofaring

Manfaat penulisan skripsi ini adalah :

1. Menambah pengetahuan para dokter, dokter gigi, dan mahasiswa kedokteran gigi mengenai kanker nasofaring, radioterapi beserta komplikasi oralnya.

2. Agar dokter dan dokter gigi dapat melakukan perawatan yang tepat dan sesuai.

3. Menambah pengetahuan bagi dokter spesialis THT dan dokter gigi bahwa ada kaitan antara radioterapi pada kanker nasofaring dengan rongga mulut sehingga dapat bekerja sama dengan baik.


(18)

1.4Ruang Lingkup

Skripsi ini menjelaskan mengenai kanker nasofaring, radioterapi pada kanker nasofaring dan juga komplikasi oralnya. Juga melaporkan kasus mulut yang disebabkan radioterapi pada kanker nasofaring pada pasien yang berusia 36 tahun.


(19)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kanker Nasofaring 2.1.1 Definisi

Kanker nasofaring adalah tumor ganas yang berasal dari sel epitel nasofaring. Tumor ini bermula dari dinding lateral nasofaring (fossa Rosenmuller) dan dapat menyebar ke dalam atau keluar nasofaring menuju dinding lateral, posterosuperior, dasar tengkorak, palatum, kavum nasi, dan orofaring serta metastasis ke kelenjar limfe leher.1,2,8

Nasofaring sendiri merupakan bagian nasal dari faring yang mempunyai struktur berbentuk kuboid. Banyak terdapat struktur anatomis penting di sekitarnya. Banyak syaraf kranial yang berada di dekatnya, dan juga pada nasofaring banyak terdapat limfatik dan suplai darah. Struktur anatomis ini mempengaruhi diagnosis, stadium, dan terapi dari kanker tersebut.8


(20)

2.1.2 Etiologi dan Faktor Predisposisi

Ada 3 faktor penyebab terjadinya kanker nasofaring, yaitu adanya infeksi Virus Epstein Barr (EBV), faktor genetik, dan faktor lingkungan yang memungkinkan terjadinya insidens yang tinggi pada kanker nasofaring di Cina.8,10

a. Virus Epstein Barr (EBV)

Pada hampir semua kasus kanker nasofaring telah mengaitkan terjadinya kanker nasofaring dengan keberadaan virus ini.2 Virus ini merupakan virus DNA yang diklasifikasi sebagai anggota famili virus Herpes yang saat ini telah diyakini sebagai agen penyebab beberapa penyakit yaitu, mononucleosis infeksiosa, penyakit Hodgkin, limfoma-Burkitt dan kanker nasofaring.11

Virus ini seringkali dijumpai pada beberapa penyakit keganasan lainnya tetapi juga dapat dijumpai menginfeksi orang normal tanpa menimbulkan manifestasi penyakit.2,11 Virus tersebut masuk ke dalam tubuh dan tetap tinggal di sana tanpa menyebabkan suatu kelainan dalam jangka waktu yang lama. Untuk mengaktifkan virus ini dibutuhkan suatu mediator.1 Jadi, adanya virus ini tanpa faktor pemicu lain tidak cukup untuk menimbulkan proses keganasan.2

b. Faktor Genetik

Telah banyak ditemukan kasus herediter dari pasien karsinoma nasofaring.12 Penelitian pertama menemukan adanya perubahan genetik pada ras Cina yang dihubungkan dengan karsinoma nasofaring adalah penelitian tentang Human Leucocyte Antigen (HLA).10 Perubahan genetik mengakibatkan proliferasi sel-sel kanker secara tidak terkontrol. Beberapa perubahan genetik ini sebagian besar akibat mutasi, putusnya kromosom, dan kehilangan sel-sel somatik.


(21)

Teori tersebut didukung dengan adanya studi epidemiologik mengenai angka kejadian dari kanker nasofaring. Kanker nasofaring banyak ditemukan pada masyarakat keturunan Tionghoa.2

c. Faktor Lingkungan

Ikan yang diasinkan kemungkinan sebagai salah satu faktor etiologi terjadinya kanker nasofaring. Teori ini didasarkan atas insiden kanker nasofaring yang tinggi pada nelayan tradisionil di Hongkong yang mengkonsumsi ikan kanton yang diasinkan dalam jumlah yang besar dan kurang mengkonsumsi vitamin, sayur, dan buah segar. 10

Faktor lain yang diduga berperan dalam terjadinya kanker nasofaring adalah debu, asap rokok, uap zat kimia, asap kayu bakar,12 asap dupa, serbuk kayu industri, dan obat-obatan tradisional, tetapi hubungan yang jelas antara zat-zat tersebut dengan kanker nasofaring belum dapat dijelaskan.10

Belakangan ini penelitian dilakukan terhadap pengobatan alami (chinese herbal medicine atau CHB) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang erat antara terjadinya kanker nasofaring, infeksi Virus Epstein Barr (EBV), dan penggunaan CHB.2 Kebiasaan merokok dalam jangka waktu yang lama juga mempunyai resiko yang tinggi menderita kanker nasofaring.10

2.1.3 Stadium

Terdapat beberapa cara untuk menentukan stadium kanker nasofaring. Di Amerika dan Eropa lebih disukai penentuan stadium sesuai dengan kriteria yang ditetapkan AJCC/UICC (American Joint Committe on Cancer / International Union


(22)

Against Cancer). Cara penentuan stadium kanker nasofaring yang terbaru adalah menurut AJCC/UICC edisi ke-6 tahun 2002, yaitu :12,13

Tumor di nasofaring (T)

Tx : Tumor primer tidak dapat ditentukan To : Tidak ditemukan adanya tumor primer Tis : Carcinoma in situ

T1 : Tumor terbatas di nasofaring T2 : Tumor meluas ke jaringan lunak

T2a : Tumor meluas sampai daerah orofaring dan/atau fossa nasalis tanpa perluasan ke depan parafaring

T2b : Dengan perluasan ke parafaring

T3 : Tumor menginvasi struktur tulang dan/atau sinus paranasal

T4 : Tumor meluas ke intrakranial dan/atau mengenai saraf kranial, fossa infratemporal, hipofaring, orbita, atau ruang mastikator

Kelenjar limfe regional (N)

Nx : Pembesaran KGB regional tidak dapat ditentukan No : Tidak ada pembesaran KGB regional

N1 : Metastasis ke KGB unilateral, ukuran ≤ 6 cm, terletak di atas fossa supraklavikula

N2 : Metastasis ke KGB bilateral, ukuran ≤ 6 cm, terletak di atas fossa supraklavikula


(23)

N3 : Metastasis ke KGB :

N3a : Ukuran KGB > 6 cm, di atas fossa supraklavikula N3b : Terletak pada fossa supraklavikula

Metastasis jauh (M)

Mx : Adanya metastasis jauh tidak dapat ditentukan Mo : Tidak ada metastasis jauh

M1 : Ada metastasis jauh Stadium Kanker Nasofaring 0 : Tis No Mo

I : T1 No Mo IIa : T2a No Mo

IIb : T1-2a N1 Mo, T2b No-1 Mo III : T1-2b N2 Mo, T3 No-2 Mo IVa : T4 No-2 Mo

IVb : Semua T N3 Mo IVc : Semua T No-3 M1

2.1.4 Gejala

Pada awalnya pasien mengeluh pilek biasa, kadang-kadang disertai dengan rasa tidak nyaman di telinga, pendengaran sedikit menurun serta mendesing.2 Gejala karsinoma nasofaring ini dapat dibagi dalam 4 kelompok, yaitu gejala nasofaring sendiri, gejala telinga, gejala mata dan saraf, serta metastasis atau gejala di leher.12,14


(24)

Gejala nasofaring dapat berupa epistaksis ringan atau sumbatan pada hidung. Pada keadaan lanjut hidung akan menjadi mampet sebelah atau keduanya. Penjalaran tumor ke selaput lendir hidung dapat mencederai dinding pembuluh darah pada daerah ini dan tentunya akan terjadi pendarahan pada hidung (mimisan).2

Gangguan pada telinga merupakan gejala dini yang timbul karena tempat asal tumor dekat muara tuba eustachius (fossa Rosenmuller). Keluhan ini dapat berupa tinitus, rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri di telinga (otalgia).8,12

Nasofaring berhubungan dekat dengan rongga tengkorak melalui beberapa lubang, maka gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi sebagai gejala lanjut karsinoma nasofaring ini.12 Saraf yang paling sering terkena adalah saraf penggerak bola mata, sehingga tidak jarang pasien mengeluhkan adanya gejala diplopia (penglihatan ganda).2,12,14

Metastasis ke kelenjar leher dalam bentuk benjolan di leher biasanya yang mendorong pasien untuk berobat, karena sebelumnya tidak terdapat keluhan lain.12 Manakala pasien merasa bahwa kelenjar leher menjadi semakin besar, maka dapat dipastikan bahwa penyakitnya telah menjadi kian lanjut. Pembesaran kelenjar leher merupakan pertanda penyebaran kanker nasofaring ke daerah ini yang tidak jarang didiagnosis sebagai tuberkulosis kelenjar.2

2.1.5 Diagnosis

Anamnesis dilakukan berdasarkan keluhan penderita kanker nasofaring. Limfadenopati servikal pada leher bagian atas merupakan keluhan yang paling sering yang menyebabkan penderita kanker nasofaring berobat. Gejala hidung, telinga,


(25)

gangguan neurologi juga sering dikeluhkan penderita kanker nasofaring. Untuk menegakkan diagnosis, selain keluhan tersebut, juga perlu dilakukan pemeriksaan klinis dengan melihat secara langsung dinding nasofaring dengan alat endoskopi, CT scan, atau MRI nasofaring dan sekitarnya.2 Diagnosis pasti ditegakkan dengan melakukan biopsi nasofaring. Biopsi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dari hidung atau dari mulut.12 Pemeriksaanlain seperti foto paru, USG hati, pemindaian tulang dengan radioisotop dilakukan untuk mendeteksi kemungkinan adanya metastasis di organ-organ tersebut.2

2.1.6 Terapi

Terapi standar kanker nasofaring adalah radioterapi. Namun, biasanya sebagian besar penderita datang dengan stadium lanjut (stadium III dan IV), bahkan sebagian lagi datang dengan keadaan umum yang jelek. Keberhasilan terapi sangat dipengaruhi oleh stadium. Keterlambatan untuk mendapatkan penanganan yang adekuat menyebabkan hasil terapi jauh dari menggembirakan.

Kemoterapi merupakan alternatif lain untuk mengobati penderita kanker nasofaring, bisa berupa ajuvan (tambahan) atau dikombinasikan.12 Kombinasi pengobatan dengan kemoterapi diperlukan apabila kanker sudah tumbuh sedemikian besarnya sehingga menyulitkan radioterapi. Selain itu, pemberian kemoterapi diharapkan dapat meningkatkan kepekaan jaringan tumor terhadap radiasi serta membunuh sel-sel kanker yang sudah berada di luar jangkauan radioterapi.2 Imunoterapi dilakukan dengan memberikan vaksin anti virus Epstein Barr pada


(26)

populasi yang rentan sebelum terinfeksi virus Epstein Barr untuk mencegah terjadinya kanker nasofaring.

Pembedahan diseksi leher radikal dilakukan jika masih ada sisa kelenjar paska radiasi atau adanya kekambuhan kelenjar, dengan syarat bahwa tumor primer sudah dinyatakan hilang yang dibuktikan dengan pemeriksaan radiologik dan serologi, serta tidak ditemukannya metastasis jauh.12

2.2 Radioterapi pada Kanker Nasofaring

Radioterapi merupakan terapi standar dari kanker nasofaring. Radioterapi juga dapat dilakukan bersamaan dengan kemoterapi dan atau pembedahan, ataupun dilakukan ketiga-tiganya.4,15 Radioterapi mencegah pertumbuhan dan pembelahan sel dengan sangat cepat.16 Radioterapi berbeda dengan radiologi, dimana radiologi hanya sebagai alat bantu untuk menegakkan diagnosa sedangkan radioterapi sebagai metode pengobatan.15

2.2.1 Definisi

Radioterapi atau terapi radiasi adalah metode pengobatan penyakit-penyakit maligna dengan menggunakan radiasi ion, dengan meningkatkan proses ionisasi pada daerah tertentu yang bertujuan untuk mematikan sel-sel tumor sebanyak mungkin dan memelihara jaringan sehat di sekitar tumor agar tidak menderita kerusakan terlalu berat.3 Karsinoma nasofaring bersifat radioresponsif sehingga radioterapi tetap merupakan terapi terpenting.1,17

Daerah yang diradiasi melibatkan keseluruhan nasofaring dan kelenjar getah bening pada leher.17 Daerah kelenjar getah bening juga diradiasi apabila kanker


(27)

secara klinis ataupun secara radiologi melibatkan daerah tersebut atau apabila ada resiko terjadi penyebaran ke daerah tersebut.15

2.2.2 Mekanisme Kerja

Radioterapi menggunakan radiasi ion. Radiasi ion dibagi menjadi 2 yaitu, corpuscular dan elektromagnetik. Radiasi corpuscular ini berupa elektron, proton, dan neutron, sedangkan radiasi elektromagnetik berupa sinar-X dan sinar gamma. Radiasi elektromagnetik sering disebut dengan photon. Pada praktek klinis, umumnya radioterapi seluruhnya menggunakan photon.3

Radiasi ion bekerja pada DNA sel kanker untukmenghilangkan kemampuan reproduktifitas sel. DNA sel berduplikasi selama mitosis, sel dengan tingkat aktifitas mitotik yang tinggi lebih radiosensitif dibandingkan dengan sel dengan tingkat aktifitas mitotik yang lebih rendah.3 Radioterapi bekerja dengan merusak sel DNA kanker. Kerusakan ini disebabkan oleh photon, elektron, proton, neutron, atau sinar peng-ion yang secara langsung ataupun tidak langsung mengionisasi atom yang membentuk rantai DNA.15

Radiasi pada jaringan dapat menimbulkan ionisasi air dan elektrolit dari cairan tubuh baik intra maupun ekstra seluler, sehingga timbul ion H+ danOH- yang sangat reaktif. Ion itu dapat bereaksi dengan molekul DNA dalam kromosom, sehingga dapat terjadi :

- Rantai ganda DNA pecah

- Perubahan cross-linkage dalam rantai DNA


(28)

Sel-sel yang masih bertahan hidup akan mengadakan reparasi kerusakan DNAnya sendiri-sendiri. Kemampuan reparasi DNA sel normal lebih baik dan lebih cepat dari sel kanker sehingga sel-sel kanker lebih banyak yang tetap rusak dan mati dibandingkan dengan sel-sel normal. Keadaan ini dipakai sebagai dasar untuk radioterapi pada kanker.1

2.2.3 Dosis Radiasi

Radiasi kuratif diberikan kepada semua tingkatan penyakit, kecuali pada penderita dengan metastasis jauh. Sasaran radiasi adalah tumor primer, kelenjar getah bening leher dan supra klavikular.1,2 Dosis total radiasi yang diberikan adalah 6600-7000 rad dengan fraksi 200 rad, 5x pemberian per minggu, sekali sehari.13 Setelah dosis 4000 rad medulla spinalis di blok dan setelah 5000 rad lapangan penyinaran klavikular dikeluarkan.

Radiasi paliatif diberikan untuk metastasis tumor pada tulang dan kekambuhan lokal. Dosis radiasi untuk metastasis tulang adalah 3000 rad dengan fraksi 300 rad, 5x per minggu. Untuk kekambuhan lokal, lapangan radiasi terbatas pada daerah kambuh.1

2.2.4 Tekhnik Radioterapi

Sebelum diberi terapi radiasi, dibuat penentuan stadium klinik, diagnosis histopatologik, sekaligus ditentukan tujuan radiasi, kuratif, atau paliatif. Penderita juga dipersiapkan secara mental dan fisik. Pada penderita, bila perlu juga keluarganya diberikan penerangan mengenai perlunya tindakan ini, tujuan pengobatan, efek


(29)

samping yang mungkin timbul selama periode pengobatan. Pemeriksaan fisik dan laboratorium sebelum radiasi dimulai adalah mutlak. Penderita dengan keadaan umum yang buruk, gizi kurang atau demam tidak dibolehkan untuk radiasi kecuali pada keadaan yang mengancam hidup penderita seperti obstruksi jalan makanan, perdarahan yang masif dari tumor, radiasi tetap dimulai sambil memperbaiki keadaan umum penderita. Sebagai tolak ukur, kadar Hb tidak boleh kurang dari 10 gr%, jumlah lekosit tidak boleh kurang dari 3000 per mm3, dan trombosit 100.000 per uL.2

Penentuan batas-batas lapangan radiasi merupakan salah satu langkah yang terpenting untuk menjamin berhasilnya suatu radioterapi. Lapangan penyinaran meliputi daerah tumor primer dan sekitarnya (daerah yang berpotensi adanya penjalaran) serta kelenjar-kelenjar getah bening regional.1

Ada 2 cara utama pemberian radioterapi, yaitu - Radiasi eksterna / teleterapi

Sumber sinar berupa aparat sinar-X atau radioisotop yang ditempatkan di luar tubuh. Sinar diarahkan ke tumor yang akan diberi radiasi.1 Radiasi ini ditujukan pada kanker primer di daerah nasofaring dan ruang parafaringeal serta pada daerah aliran getah bening leher atas dan bawah serta klavikula.2

- Radiasi interna / brakiterapi

Sumber radiasi dimasukkan ke dalam rongga nasofaring pada tempat tumor berada atau berdekatan dengan tumor guna memberikan dosis maksimal pada tumor primer tetapi tidak menimbulkan cedera yang serius pada jaringan sehat di sekitarnya. Terapi ini diberikan pada kasus yang telah memperoleh dosis radiasi eksterna maksimum tetapi masih dijumpai sisa jaringan kanker atau pada kasus kambuh lokal.2


(30)

2.2.5 Respon Radiasi

Setelah diberikan terapi radiasi, maka dilakukan evaluasi berupa respon terhadap radiasi. Respon dinilai dari pengecilan kelenjar getah bening leher dan pengecilan tumor primer di nasofaring. Penilaian respon radiasi berdasarkan kriteria WHO, yaitu :1

- Complete Response : menghilangkan seluruh kelenjar getah bening yang besar - Partial Response : pengecilan kelenjar getah bening sampai 50% atau lebih - No Change : ukuran kelenjar getah bening yang menetap

- Progressive disease : ukuran kelenjar getah bening membesar 25% atau lebih

2.3 Komplikasi Oral Radioterapi pada Kanker Nasofaring

Radioterapi memegang peranan penting pada perawatan kanker nasofaring.7 Daerah yang diradiasi melibatkan keseluruhan nasofaring dan kelenjar getah bening pada leher. Tidak dapat dihindari, daerah yang diradiasi juga melibatkan rongga mulut, maksila, mandibula, dan kelenjar saliva. Bagaimanapun, radioterapi ini memberikan manfaat pada jaringan, tetapi juga memiliki efek samping yang tidak dapat dihindarkan.3,18

Rongga mulut mempunyai resiko yang tinggi terhadap perawatan radioterapi, sebab radioterapi yang digunakan untuk merusak sel kanker juga dapat merusak sel normal rongga mulut dengan menghentikan pertumbuhan sel-sel secara cepat dan mencegah reproduksi sel-sel di dalam mulut, sehingga akan sulit bagi jaringan mulut untuk mengadakan perbaikan. Sebagai hasilnya, komplikasi oral dapat terjadi seperti


(31)

mukositis, kandidiasis, xerostomia, dysgeusia, karies gigi, osteoradionekrosis, dan nekrose pada jaringan lunak.3,17,18

Komplikasi pada mulut terjadi selama pemberian radioterapi hingga radioterapi telah selesai. Komplikasi ini tergantung pada volume dan daerah yang diradiasi, dosis total, fraksinasi, umur, dan kondisi klinis pasien yang berhubungan dengan perawatan radioterapi. Hanya dengan sedikit kenaikan pada dosis sudah dapat menaikkan insidens komplikasi oral secara signifikan.3 Komplikasi oral juga tergantung pada keadaan mulut pasien sebelum dan selama terapi.7,16

Komplikasi akut yang dapat terjadi adalah mukositis, kandidiasis, dysgeusia dan xerostomia (mulut kering), sedangkan yang bersifat kronis adalah karies gigi, osteoradionekrosis, dan nekrose pada jaringan lunak.5 Reaksi akut terjadi selama terapi dan biasanya bersifat reversibel, sedangkan reaksi yang bersifat kronis biasanya terjadi menahun dan bersifat irreversibel.3,18

2.3.1 Mukositis

Mukositis oral merupakan inflamasi pada mukosa mulut berupa eritema dan adanya ulser yang biasanya ditemukan pada pasien yang mendapatkan terapi kanker. Biasanya pasien mengeluhkan rasa sakit pada mulutnya dan dapat mempengaruhi nutrisi serta kualitas hidup pasien.6,7,16,19

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 29-66% dari seluruh sampel yang menerima radioterapi kanker leher dan kepala terdapat mukositis oral. Keadaan ini dapat bertambah parah apabila kanker tersebut terdapat pada rongga mulut, orofaring, atau nasofaring, kemudian pasien yang menerima radioterapi dengan dosis


(32)

total >5000 cGy, dan juga radioterapi yang dilakukan bersamaan dengan kemoterapi.6 Menurut penelitian yang dilakukan oleh Jham B C, Reis P M, dkk (2007) mukositis oral ditemukan sebanyak 61,7% dari seluruh sampel dan muncul pada radioterapi yang ke 15 atau minggu ke 3.7 Namun, penelitian lain mengatakan bahwa rata-rata kemunculan mukositis terjadi pada minggu pertama radiasi.7

Tanda awal mukositis muncul pada akhir minggu pertama. Beberapa peneliti menyebutkan bahwa terjadi perubahan warna menjadi putih pada mukosa oral karena adanya plak deskuamasi, yang terasa sakit apabila disentuh,4,16 yang diikuti dengan adanya eritema. Peneliti lain mempertimbangkan eritema sebagai reaksi awal dari mukositis.4 Karena banyaknya jaringan yang terkena radiasi, maka sel epitel banyak yang hilang yang terjadi pada kebanyakan kasus mukositis yang parah. Ulser terjadi karena kerusakan langsung pada lapisan sel epitel basal hingga terjadi penggundulan sel epitel tersebut, disamping itu mengakibatkan berkurangnya pembaharuan sel pada lapisan sel epitel basal tersebut. Pembesaran ukuran ulser adalah sebagai hasil pelebaran pseudomembran yang bersebelahan yang menghubungkan ulser tersebut.16


(33)

Ulser sering menyebabkan rasa sakit sehingga pasien memerlukan obat-obatan dan perubahan cara makan untuk mengurangi rasa sakit tersebut.16 Pasien menjadi sulit untuk minum, makan, menelan, dan berbicara. Oleh karena itu, dapat menimbulkan masalah pada gizi pasien. Pada kasus yang parah dapat digunakan nasogastric feeding tube (NGT). Sekitar 20-30% dari pasien membutuhkan alat bantu makan.4 Kadang-kadang pasien juga memerlukan painkiller apabila terasa sangat sakit. Pada saat pasien mencoba makan dan minum, rasa sakit dapat bertambah parah.3

Pasien yang mendapatkan terapi radiasi ataupun kemoterapi memiliki tingkat keparahan mukositis yang berbeda. Keparahan tergantung pada variasi dari faktor penyebabnya, seperti dosis yang digunakan, volume dari jaringan yang terradiasi, dan tipe radiasi.6,16,19 Mukositis yang parah mengharuskan penghentian rangkaian radioterapi. Penghentian ini harus dihindari karena dapat memperpanjang waktu terapi dan dapat terjadi penurunan dari efek terapi.4 Umumnya skala yang digunakan untuk mengukur keparahan mukositis adalah dengan menggunakan ketentuan WHO (World Health Organization), dimana terdapat 4 tingkatan, yaitu :3,16,20

0 = Tidak ada gejala mukositis 1 = Mukosa eritema dan terasa sakit

2 = Adanya ulser dan pasien bisa makan secara normal 3 = Adanya ulser dan pasien hanya bisa minum


(34)

Patogenesis terjadinya oral mukositis yang disebabkan oleh radioterapi terdiri dari 5 fase, yaitu fase inisiasi, sinyal, amplifikasi, ulseratif atau bakteriologi dan fase penyembuhan.3,16

Pada fase pertama, kerusakan jaringan terjadi secara cepat selama kemoterapi atau radioterapi, dimana menyebabkan kerusakan DNA pada sel epitel basal yang selanjutnya terjadi pemecahan rantai DNA pada sel target. Pada fase ini, mukosa tampak normal.

Pada fase kedua dihasilkan pro-inflammatori sitokin, termasuk interleukin 1 (IL-1) dan tumor necrosis faktor-a (TNF-α) yang menengahi respon lokal pada terapi yang diikuti dengan apoptosis dan kerusakan sel.

Selama fase ketiga dari mukositis mulut, sitokin inflamasi yang dibuat selama fase ke dua, seperti TNF-α and IL-1, dapat menyebabkan kerusakan langsung pada jaringan, dilatasi pembuluh darah, dan efek inflammatori lain.

Rangkaian reaksi biologikal dinamik menyebabkan kerusakan pada mukosa, yang biasanya berupa ulser. Ulser dikelilingi oleh eksudat fibrin yang mengandung bakteri, yang sering disebut dengan pseudomembran. Dinding sel merupakan hasil kolonisasi bakteri yang penetrasi ke sub mukosa, yang merupakan tempat pengaktifan makrofag, dimana makrofag ini menghasilkan sitokin tambahan. Kehilangnya integritas mukosa menghasilkan lesi yang sangat sakit.16,30

Pada fase akhir dari mukositis, proliferasi, differensiasi, dan migrasi pada epitel sel akan mengembalikan integritas dari mukosa hingga tampak normal.30 Infeksi sekunder dapat memperlambat proses penyembuhan. Ulser yang besar dan dalam biasanya membutuhkan waktu yang lebih lama untuk penyembuhannya.


(35)

Meskipun percobaan klinis terhadap perubahan ini tidak dilakukan pada manusia, ulser yang dalam dan tidak dapat sembuh yang membutuhkan waktu yang lama untuk penyembuhan, kemungkinan besar menyebabkan terjadinya proses lebih lanjut menjadi nekrose jaringan lunak atau tulang.16

Gambar 3. Patogenesis mukositis.25

3.2 Kandidiasis Oral

Pasien radioterapi sangat mudah terjadi infeksi opurtunistik berupa kandidiasis oral yang disebabkan oleh jamur yaitu Candida albicans.4 Infeksi kandida ditemukan sebanyak 17-29% pada pasien yang menerima radioterapi. Penelitian yang dilakukan Jham B C, Reis P M, dkk (2007) menunjukkan bahwa prevalensi kandidiasis meningkat pada pasien, dari 7,2% pada saat kunjungan pertama ke dokter menjadi 45,8% pada saat radioterapi.7


(36)

Kolonisasi maksimum jamur Candida albicans terjadi 6 bulan setelah radioterapi, dan akan kembali turun menjadi normal pada 12 bulan setelah radioterapi.3

Secara klinis, kandidiasis yang muncul akibat radioterapi berupa kandidiasis pseudomembran, yaitu kandidiasis dengan adanya plak putih yang dapat dihapus dengan dasar eritema. Biasanya ditemukan pada bagian palatum, lidah, dan mukosa bukal.3,5 Kenaikan resiko kandidiasis oral dipengaruhi oleh penurunan laju aliran saliva,3 dan juga dipengaruhi oleh pendapatan keluarga yang rendah, gizi yang buruk atau defisiensi nutrisi, dan kurangnya menjaga kebersihan mulut, walaupun penjelasan sudah diberi tahukan sebelumnya.7

Gambar 4. Kandidiasis oral.21

Saliva penting dalam mempertahankan mikroflora oral normal. Saliva mengencerkan antigen patogenik dan secara mekanis membersihkan mukosa. Antibodi saliva (SIg A) dan faktor-faktor antimikroba nonspesifik penting untuk menurunkan perlekatan dan kolonisasi fungal, oleh karena itu produksi saliva yang


(37)

menurun akibat radioterapi memicu infeksi kandida. Radiasi pada daerah kepala dan leher dapat merubah kecepatan pergantian epitel normal, menyebabkan efek sitotoksik langsung yang dapat merubah integritas epitelium oral dan memicu infeksi sekunder. Defisiensi nutrisi dapat menyebabkan penurunan daya tahan tubuh (imunitas) dan hilangnya integritas sel yang akan mempermudah invasi dan infeksi kandida. Kebersihan mulut yang buruk membantu lingkungan yang konduktif dalam meningkatkan kolonisasi dan perlekatan kandida.22

2.3.3 Xerostomia

Xerostomia atau mulut kering dikeluhkan sebanyak 80% pasien yang menerima radioterapi.3 Xerostomia juga dikeluhkan sampai radioterapi telah selesai dengan rata-rata 251 hari setelah radioterapi. Bahkan tetap dikeluhkan setelah 12-18 bulan setelah radioterapi tergantung pada dosis yang diterima kelenjar saliva dan volume jaringan kelenjar yang menerima radiasi.7

Coppes dkk (2001) menemukan adanya 4 fase dari hilangnya fungsi kelenjar saliva yang disebabkan oleh radiasi. Fase pertama (0-10 hari) ditandai dengan perununan yang cepat pada laju aliran saliva tanpa perubahan sekresi amilase atau jumlah sel asinar. Fase ke dua (10-60 hari) ditandai dengan pengurangan sekresi amilase dan kehilangan sel asinar yang paralel. Laju aliran saliva, sekresi amilase, dan jumlah sel asinar tidak berubah pada pase ketiga (60-120 hari). Fase keempat (120-240 hari) ditandai dengan perburukan fungsi kelenjar tetapi meningkatnya jumlah sel asinar, walaupun morfologi jaringannya buruk.4


(38)

Xerostomia dihubungan dengan kerusakan pada kelenjar saliva yang nantinya menyebabkan penurunan laju aliran saliva. Radioterapi juga menyebabkan perubahan pada komposisi saliva. Saliva berubah menjadi sangat kental, putih, kuning, atau cairan yang berwarna coklat. Kualitas saliva berubah secara jelas dengan terjadinya penurunan pH, penurunan kapasitas buffer, perubahan tingkat elektrolit saliva, dan perubahan non imun dan imun sistem anti bakteri. Penurunan pH berkisar antara 7.0 hingga 5.0. Penurunan kapasitas buffer terutama terjadi karena berkurangnya konsentrasi bikarbonat pada kelenjar parotis. Peningkatan dari konsentrasi sodium, klorida, kalsium, dan magnesium telah dilaporkan, walaupun konsentrasi dari potassium hanya sedikit dipengaruhi.3,4

Saliva merupakan komponen pertahanan pada rongga mulut. Dengan demikian, perubahan kuantitas dan kualitas saliva mempengaruhi pasien yang disinari hingga menyebabkan beberapa masalah yang berkembang secara langsung ataupun tidak langsung sebagai hasil dari berkurangnya output saliva.4

Tabel 1. Konsekuensi Hiposalivasi yang Disebabkan Oleh Radiasi.4

Konsekuensi hiposalivasi yang disebabkan oleh radiasi Kekeringan pada mulut Sensasi terbakar

Rasa haus Pengecapan terganggu

Kesulitan pada fungsi oral Perubahan dari jaringan lunak Kesulitan pada pemakaian gigi palsu Perubahan pada mikroflora oral Ketidaknyamanan pada malam hari Karies radiasi


(39)

Tabel ini berisi daftar konsekuensi hiposalivasi akibat radiasi. Fungsi oral (berbicara, mengunyah, dan menelan) terhambat karena kurangnya pembasahan dan pelicinan (lubrikasi) dari permukaan mukosa rongga mulut. Kemudian menelan dan mengunyah terganggu karena kurang lembabnya makanan oleh karena saliva. Meningkatnya kekentalan dan pengurangan aliran saliva karena penggunaan prostetik yang kurang baik. Saliva merupakan pelicin yang efektif pada permukaan mukosa gigi palsu. Dengan sedikitnya jumlah saliva yang ada, retensi dan gesekan yang dihasilkan selama gigi palsu digunakan menjadi tidak baik, dimana mudah terjadi trauma pada mukosa oral selama penyinaran.4

Banyak pasien menderita ketidaknyamanan pada malam hari. Biasanya muncul pada malam hari karena kekeringan yang serius pada mulut atau harus bangun beberapa kali karena poliuria akibat dari polidipsi pada siang hari.4

2.3.4 Dysgeusia

Dysgeusia adalah respon awal berupa hilangnya rasa pengecapan, dimana salah satunya dapat disebabkan oleh terapi radiasi.4,23 Hal ini merupakan masalah yang sering ditemui pada pasien yang menerima radioterapi kanker nasofaring, karena setidaknya melibatkan 2/3 bagian lidah.23 Pasien menjadi tidak nafsu makan, malas untuk mengunyah, dan dapat mempengaruhi gizi pasien. Kehilangan dari persepsi semua rasa biasanya jarang ditemukan. Persepsi dari rasa pahit dan asam lebih mudah terkena dari pada rasa asin dan manis.4

Penelitian menunjukkan bahwa dysgeusia dikeluhkan sekitar 70% pasien yang menerima radioterapi.3 Dysgeusia ditemukan pada 2-3 hari setelah terapi radiasi


(40)

dengan dosis 200-400 cGy.23 Hal ini terjadi karena taste bud bersifat radiosensitif yang kemudian terjadi degenerasi taste bud.3

Taste bud adalah struktur anatomi yang merupakan tempat dari sel reseptor pengecapan. Taste bud ditemukan terutama pada lidah, selain itu juga ditemukan pada palatum, faring, epiglotis, dan larink. Lidah dilapisi oleh struktur khusus yang disebut dengan papila lidah, dimana terdapat taste bud tersebut. Masing-masing taste bud terdiri dari 50-100 sel reseptor pengecapan, dimana terjadi pergantian yang konstan dengan masa hidup sekitar 10-11 hari. Bagaimanapun juga, serat syaraf yang menginervasi taste bud terpotong atau mengalami kerusakan, maka taste bud akan mengalami degenerasi.23

Dysgeusia juga dipengaruhi oleh kenaikan viskositas laju aliran saliva dan perubahan biochemical saliva yang dapat menimbulkan perubahan barrier mekanis saliva sehingga dapat menyebabkan sulitnya kontak fisik antara lidah dengan bahan makanan.3

Biasanya kehilangan rasa bersifat sementara. Rasa pada umumnya kembali normal atau mendekati batas normal dalam waktu 6 bulan sampai 1 tahun setelah radioterapi.4,23 Walaupun terkadang dapat memerlukan waktu yang lebih lama sekitar 5 tahun.4 Namun, apabila kehilangan rasa pengecapan ini disebabkan karena adanya kerusakan salah satu sel syaraf intragemmal atau sel pengecapan ataupun keduanya, maka kerusakan pada sel ini tidak mungkin kembali, sehingga radiasi yang menyebabkan hilangnya rasa pengecapan ini tidak bisa sembuh. Hal ini terjadi karena serat syaraf tidak membelah dan tidak berproliferasi. Bagaimanapun, kerusakan pada sel pengecapan, mungkin untuk kembali paling sedikit sebagian.23


(41)

Literatur lain mengatakan bahwa penyembuhandysgeusia sampai pada batas mendekati normal terjadi 60-120 hari setelah radioterapi selesai dilakukan.3 Tingkat pemulihan rasa dan waktu pemulihan bergantung pada dosis radiasi yang diterima. Beberapa pasien mengalami penurunan ketajaman rasa, atau bahkan kehilangan rasa secara permanen, namun pasien yang mendekati tingkat normal dari rasa, juga telah dilaporkan.4

2.3.5 Karies Gigi

Karies gigi dapat terjadi pada pasien yang menerima radioterapi. Karies gigi akibat paparan radiasi atau yang sering disebut dengan karies radiasi adalah bentuk yang paling destruktif dari karies gigi, dimana mempunyai onset dan progresi yang cepat.4 Karies gigi biasanya terbentuk dan berkembang pada 3-6 bulan setelah terapi radiasi dan mengalami kerusakan yang lengkap pada semua gigi pada periode 3-5 tahun. Penelitian Jham B C dkk (2007) menemukan karies gigi sebanyak 11% dari seluruh sampel.7 Proses aktivitas karies tidak dapat dievaluasi pada waktu yang cepat setelah radioterapi.

Secara klinis dapat ditemukan 3 tipe lesi karies. Semua tipe lesi ini dapat ditemukan dalam waktu yang sama. Dari sudut pandang progres yang cepat hal ini sangat mengejutkan karena jarang adanya rasa sakit akut yang berhubungan dengan karies radiasi, walaupun dalam keadaan manifestasi yang sangat berat. Dari tampilan histologi lesi karies akibat radiasi sama dengan yang terlihat pada lesi karies gigi pada umumnya.4


(42)

Tipe pertama merupakan lesi yang sering ditemukan, yang bermula pada permukaan labial bagian servikal di insisivus dan kaninus. Pada awalnya, lesi meluas pada permukaan sekitar seluruh daerah servikal dari gigi, dan kemudian meluas ke dalam, sering menyebabkan kehilangan mahkota seluruhnya. Pada gigi molar, kehilangan seluruh mahkota gigi kurang sering terjadi; bagaimanapun juga, karies cenderung menyebar ke seluruh permukaan molar dengan perubahan pada translusensi dan warna sehingga meningkatnya kerapuhan pada gigi. Kadang-kadang, kerusakan yang cepat pada insisal dan permukaan oklusal gigi dapat terlihat dengan atau tanpa lesi servikal.

Tipe kedua dari lesi umumnya terdapat lesi pada bagian superfisial yang awalnya mengenai bagian bukal yang nantinya mempengaruhi bagian lingual atau palatal dari mahkota gigi, dimana permukaan proksimal jarang terkena. Pada tipe lesi ini, kerusakan sering ditemukan dan terlokalisasi pada insisal atau oklusal gigi. Hasilnya adalah dekstruksi pada enamel dan dentin, terutama pada bagian bukal dan palatal gigi.

Tipe ketiga jarang ditemukan. Pada tipe ini ditemukan diskolorisasi atau perubahan warna menjadi cokelat kehitaman yang berat pada seluruh mahkota gigi yang terjadi bersamaan dengan keausan pada permukaan insisal dan oklusal gigi.4


(43)

Gambar 5. Karies radiasi.18

Pergeseran mikroflora oral mulut menjadi bakteri kariogenik, berkurangnya laju aliran saliva, dan perubahan komposisi saliva (kapasitas buffer, pH, imunoprotein, oral clearance) dapat menjadi karies radiasi yang terjadi secara cepat. Peningkatan kepekaan karies juga terjadi karena perubahan kebiasaan dalam makan. Perubahan kebiasaan dalam makan ini berupa memakan makanan yang lebih lembut, lebih lengket, dan makanan kaya karbohidrat (gula), dimana hal ini dapat menyebabkan peningkatan terjadinya karies.4

Masih diperdebatkan bagaimana karies radiasi terjadi, apakah karena efek langsung atau tidak langsung dari penyinaran, atau bahkan keduanya. Beberapa peneliti melaporkan perkembangan karies radiasi tidak tergantung pada daerah gigi yang disinari tetapi faktor yang menentukan adalah apakah kelenjar saliva utama terkena atau tidak, dimana penyinaran menyebabkan perubahan dentinal pada gigi yang vital. Opini terbaru masih tetap berpendapat bahwa karies radiasi penyebab utamanya adalah kerusakan kelenjar saliva yang menyebabkan hiposalivasi. Sehingga, secara kolektif, hiposalivasi berhubungan dengan perubahan pada


(44)

mikrobial, kimia, immunologi, dan parameter makanan yang kariogenik hingga terjadi peningkatan karies yang tinggi pada pasien yang diradiasi.

Bagaimanapun juga, efek langsung dari penyinaran pada gigi yang mempengaruhi dalam perkembangan karies radiasi, belum dapat dijelaskan secara penuh. Beberapa peneliti melaporkan bahwa dekalsifikasi gigi yang disebabkan oleh penyinaran lebih mudah terjadi karies dibandingkan dengan yang tidak disinari, walaupun peneliti lain mengatakan tidak ada perbedaan pada rasio dekalsifikasi pada penelitian in vitro. 4

Kesimpulannya, efek radiasi berupa karies radiasi merupakan efek yang tidak langsung, biasanya disebabkan oleh berkurangnya laju aliran saliva dan akibat yang berhubungan. Oleh karena itu pencegahan harus secara langsung untuk mengobati keluhan yang berhubungan dengan xerostomia, yaitu dengan menjaga kebersihan mulut, perubahan diet, kontrol flora yang bersifat kariogenik, dan pencegahan karies dengan aplikasi fluoride.4

2.3.6 Osteoradionekrosis

Osteoradionekrosis (ORN) merupakan efek kronis yang penting pada radioterapi.7 Osteoradionekrosis adalah nekrose iskemik tulang yang disebabkan oleh radiasi yang menyebabkan rasa sakit karena kehilangan banyak struktur tulang.4 Insidens terjadinya osteoradionekrosis pada mandibula bervariasi dari 2,6% hingga 22%. Mandibula lebih sering terkena dibandingkan dengan maksila. Insidens terjadinya osteoradionekrosis ditemukan sebanyak 5-15%.5


(45)

Osteoradionekrosis dapat terjadi secara spontan atau biasanya terjadi setelah trauma (umumnya setelah pencabutan gigi).3,7,24 Osteoradionekrosis spontan, dimana telah dilaporkan berhubungan dengan peningkatan umur, dosis radiasi yang tinggi (>65 Gy), hiperfraksinasi, penggunaan sumber implan yang terlalu dekat dengan tulang, dan kombinasi cahaya penyinaran intersisial dan eksternal. Hal ini mengakibatkan kematian sel-sel yang lebih banyak pada elemen-elemen jaringan normal.24 Tipe nekrosis ini biasanya terjadi dalam waktu 2 tahun pertama setelah radioterapi. Bagaimanapun juga, kebanyakan kasus umumnya disebabkan oleh trauma.4

Osteoradionekrosis yang disebabkan trauma merupakan gabungan dari kematian sel dan sel yang rusak. Ada beberapa penyebab trauma, termasuk iritasi gigi palsu,24 partikel makanan yang tajam atau kasar, dan sisa tulang yang tajam. Pencabutan gigi dikatakan sebagai penyebab trauma yang paling umum. Seiring dengan berlalunya tahun setelah radioterapi, jaringan menjadi lebih fibrotik dan lebih hipovaskular. Jika, jaringan ini trauma oleh karena prosedur pembedahan (misalnya ekstraksi) atau oleh karena infeksi persisten, maka jaringan membutuhkan penyembuhan luka. Kemampuan penyembuhan yang kurang memadai dapat menyebabkan terjadinya osteoradionekrosis,4,24 dimana resikonya dapat meningkat seiring waktu.

Beberapa faktor sebelum dan sesudah penyinaran dapat meningkatkan resiko terjadinya osteoradionekrosis. Pre-ekstraksi penyinaran diikuti dengan kurangnya waktu penyembuhan diketahui sebagai predisposisi terjadinya osteoradionekrosis. Pada pasien yang bergigi, resiko osteoradionekrosis meningkat setelah radioterapi


(46)

jika ada trauma pada lapangan radiasi, seperti pencabutan gigi atau prosedur pembedahan lainnya (prosedur periodontal, biopsi), kebersihan mulut yang buruk dan perawatan yang kurang, dan infeksi periapikal atau periodontal yang sedang terjadi. Pada pasien yang tidak bergigi trauma yang disebabkan oleh penggunaan gigi palsu dijelaskan sebagai faktor predisposisi, khususnya ketika berhubungan dengan mastikasi tertentu dan kebiasaan parafungsional.4

Diagnosis osteoradionekrosis berdasarkan riwayat pasien dan tanda klinis yaitu rasa sakit yang hebat, pembengkakan, trismus, tulang yang terbuka pada daerah yang diradiasi setelah terapi selesai, dan infeksi yang berulang. Proses ini berjalan hingga membentuk fistula atau merusak susunan tulang dan akhirnya terjadi fraktur patologis spontan.4,24 Pada permeriksaan fisik ditemukan perubahan warna dan perubahan struktur permukaan.24 Penelitian menunjukkan bahwa sekitar 60% pasien mengeluhkan rasa sakit, bervariasi dari rasa sakit yang ringan sampai yang parah.3 Osteoradionekrosis dapat berupa edema, dan fraktur patologis yang terjadi pada 15% pasien.3 Proses terjadinya osteoradionekrosis tidak dapat dievaluasi pada waktu yang cepat setelah radioterapi.7


(47)

2.3.7 Nekrose Jaringan Lunak

Komplikasi oral kronis lain yang dapat terjadi adalah nekrose pada jaringan lunak, dimana 95% kasus dari osteoradionekrosis berhubungan dengan nekrose pada jaringan lunak.Nekrose jaringan lunak didefinisikan sebagai ulser yang terdapat pada jaringan yang terradiasi, tanpa adanya proses keganasan (maligna). Evaluasi secara teratur penting dilakukan sampai nekrose berkurang, karena tidak ada kemungkinan terjadinya kekambuhan. Timbulnya nekrose pada jaringan lunak ini berhubungan dengan dosis, waktu, dan volume kelenjar yang terradiasi. Pasien biasanya mengeluhkan rasa sakit. Selain itu, jaringan lunak bisa terjadi fibrosis setelah radioterapi yang berwarna pucat dan tidak ada fleksibilitas. Apabila fibrosis mengenai otot pengunyahan (otot temporal, masseter, dan pterygoid), trismus dapat terjadi.3


(48)

BAB 3

LAPORAN KASUS

Seorang pasien, laki-laki berusia 36 tahun, pekerja lepas, datang ke RSUP Haji Adam Malik, Medan dengan keluhan utama adanya benjolan di leher sebelah kanan dan kiri sudah ±1 tahun. Dari anamnese, pasien mengeluhkan telinganya berdengung ±6 bulan, riwayat hidung berdarah ±2 bulan terakhir, mempunyai penglihatan ganda, dan sakit kepala. Pemeriksaan klinis pasien ditemukan adanya pembesaran kelenjar getah bening (KGB). Dari hasil anamnese, pemeriksaan klinis, dan pemeriksaan penunjang lainnya, pasien didiagnosa karsinoma nasofaring (NPC) stadium IV. Pengobatan awal yang diterimanya berupa IVFD R. laktat 30 gtt/i, inj. Cefotaxine 1gr/12 jam, inj. Ranitidine 1 amp/8 jam, dan inj. Ketorolac 1 amp/8 jam. Kemudian pasien diberikan radioterapi sebanyak 35x dengan dosis 200 cGy lima kali dalam seminggu dengan dosis total 7000 cGy.

Dari hasil pemeriksaan fisik pasien, didapatkan status presens tanda vital pasien dengan tingkat kesadaran yang baik, yaitu :

• Suhu tubuh : 36,8°

• Tekanan darah : 110/80 mmHg • Heart rate (HR) : 80x

Respitatory rate (RR) : 20x

Hasil pemeriksaan darah lengkap laboratorium di bagian patologi klinik RSUP Haji Adam Malik, didapat hasil sebagai berikut :


(49)

Tabel 2. Hasil Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan Unit Hasil Nilai Normal

Hemoglobin g % 11.20 13.20-17.3

Hematokrit % 34.60 43-49

Leukosit 103/mm3 4.63 4.5-11.0

Trombosit 103/mm3 281 150-450

Efek samping radioterapi yang terlihat pada pasien ini yaitu yang pertama adalah kulit mengelupas pada daerah yang diradiasi, yang timbul setelah radiasi yang ke 13. Kemudian pasien dikonsultasikan ke bagian kulit dan kelamin, yang didiagnosa sebagai dermatitis radiasi. Yang kedua adalah pasien mengeluhkan rasa sakit pada mulutnya, yang menyebabkan pasien menjadi tidak mau makan sehingga pasien diberikan nasogastric feeding tube (NGT). Sayangnya, keluhan ini tidak dikonsultasikan ke bagian gigi dan mulut, hanya diberikan pengobatan oral dengan nystatin drop.

Dari anamnese yang dilakukan, pasien mengeluhkan mulutnya kering (xerostomia), sulit untuk membuka mulut, sulit untuk makan dan minum, dan kehilangan rasa pengecapan (dysgeusia). Pada pemeriksaan ekstra oral tidak dijumpai adanya kelainan. Pada pemeriksaan klinis rongga mulut, dijumpai adanya ulser pada mukosa bukal dan jelas terlihat pada bagian dalam bibir pasien, kemudian dijumpai adanya bercak-bercak putih yang dapat diangkat pada bagian palatum, gingiva, mukosa bukal, dan juga lidah pasien. Berdasarkan anamnese dan pemeriksaan klinis


(50)

rongga mulut, pasien didiagnosa mengalami mukositis dan kandidiasis oral. Penegakan diagnosa kandidiasis oral ditunjang dengan pemeriksaan mikologi, tetapi pada kasus ini tidak dilakukan pemeriksaan mikologi langsung.

Gambar 7. Kandidiasis pada bagian palatum dan gingiva.


(51)

BAB 4 DISKUSI

Pada kasus ini, pasien didiagnosa kanker nasofaring yang kemudian diberikan radioterapi sebanyak 35x, dimana telah dijelaskan sebelumnya radioterapi ini biasanya mempunyai komplikasi pada mulut pasien. Komplikasi pada mulut terjadi selama pemberian radioterapi hingga radioterapi telah selesai. Komplikasi ini tergantung pada volume dan daerah yang diradiasi, dosis total, dan kondisi klinis pasien yang berhubungan dengan perawatan radioterapi.3 Penelitian lain mengatakan bahwa komplikasi oral juga tergantung pada keadaan mulut pasien sebelum dan selama terapi.7,16

Oleh karena itu penting seorang dokter gigi melakukan evaluasi berupa tindakan dental dan juga edukasi kepada pasien sebelum, selama dan setelah dilakukan radioterapi, pastikan gigi dan gusi pasien dalam keadaan yang baik.20,26 Evaluasi ini berupa :5,26

a. Sebelum terapi, komplikasi harus dikoreksi. Kebersihan mulut yang buruk, patologi molar ketiga, lesi periapikal, penyakit periodontal, karies, tambalan yang buruk, keluhan pada pemakaian protesa, orthodontic appliances, dan semua sumber yang dapat menyebabkan infeksi harus dihilangkan. Hal penting lain yang harus dilakukan adalah menghilangkan plak, termasuk menyikat gigi dengan pasta gigi fluoride dan flossing apabila memungkinkan. Pemberian topikal aplikasi fluoride dan kloreksidin juga membantu dalam mengkontrol karies dan plak. Apabila waktunya memungkin untuk melakukan


(52)

prosedur dental khususnya pencabutan gigi harus sudah dilakukan dua sampai tiga minggu sebelum radioterapi dilakukan. Menghitung jumlah saliva dan mengumpulkan model studi juga dapat dilakukan untuk menilai perubahan selama radioterapi.

b. Kepatuhan pasien dalam menjaga kebersihan mulut adalah penting. Edukasi kepada pasien dan keluarga pasien, konsultasi, dan motivasi dapat meningkatkan kesuksesan.

Sayangnya, evaluasi ini tidak dilakukan pada pasien tersebut. Padahal, evaluasi dental ini dapat menurunkan insidens dan keparahan komplikasi oral yang dapat terjadi.5

Pada pemeriksaan intra oral ditemukan mukositis dan kandidiasis pada mulut pasien. Mukositis jelas terlihat pada bagian dalam bibir pasien. Pada kasus ini, tingkat keparahan mukositis pasien mencapai derajat IV menurut ketentuan WHO, karena pada pasien tersebut terdapat mukositis yang meluas, dimana pasien tidak dapat makan dan minum,3,16,20 sehingga pasien memerlukan alat bantu makan berupa nasogastric feeding tube (NGT).4 NGT digunakan karena terdapat mukositis oral yang parah yang menyebabkan rasa sakit sehingga pasien cenderung malas untuk mengunyah dan menelan makanan. Pasien terlihat kurus. Hal ini dapat mempengaruhi nutrisi dan gizi pasien, dimana malnutrisi sendiri dapat meningkatkan resiko keparahan mukositis.

Mukositis pada pasien ini sudah berada pada fase ulserasi, dimana berdasarkan gambaran klinis, sudah menunjukkan adanya ulserasi pada mulut pasien, yang disertai rasa sakit.16,30 Keparahan mukositis ini sendiri tergantung pada variasi


(53)

dari faktor penyebabnya, seperti dosis yang digunakan, volume dari jaringan yang terradiasi, dan tipe radiasi.6,16 Pada kasus ini, dosis total adalah 7000cGy dimana dapat memperparah terjadinya mukositis.6 Literatur menyebutkan bahwa pasien yang menerima radioterapi cenderung terjadi eritema selama dua minggu terapi, dengan dosis total mencapai 2000 cGy, gejala mencapai puncaknya pada minggu kelima atau keenam dari terapi radiasi. Keparahan meningkat sesuai peningkatan dosis, dimana reaksi mukosa terburuk terjadi pada dosis total 5000-7000 cGy. Fraksinasi yang dipercepat (akselarasi fraksinasi) juga menghasilkan onset mukositis yang cepat.4

Status kebersihan mulut pasien ini juga berhubungan dengan keparahan mukositis oral, dimana literatur menyebutkan bahwa kebersihan mulut yang buruk seringkali dihubungkan dengan mukositis yang parah, dimana jaringan mukosa dapat terinfeksi dengan mudah oleh mikroorganisme.27

Infeksi yang paling sering terjadi pada pasien yang menjalani radioterapi kanker nasofaring adalah kandidiasis, dimana penyebab yang paling sering adalah Candida albicans.4 Kandidiasis oral ditegakkan berdasarkan gambaran klinis yang ditunjang oleh pemeriksaan mikologi langsung. Bercak-bercak putih yang dapat diangkat dengan dasar eritema pada gingiva, palatum, mukosa bukal, dan lidah menunjukkan adanya kandidiasis pseudomembran.2,5

Pada kasus ini, faktor yang dapat meningkatkan kandidiasis oral adalah penurunan produksi saliva, defisiensi nutrisi, dan kebersihan mulut yang buruk.7 Saliva penting dalam mempertahankan mikroflora oral normal. Saliva mengencerkan antigen patogenik dan secara mekanis membersihkan mukosa. Antibodi saliva (SIg A) dan faktor-faktor antimikroba nonspesifik penting untuk menurunkan perlekatan


(54)

dan kolonisasi fungal, oleh karena itu produksi saliva yang menurun akibat radioterapi memicu infeksi kandida. Defisiensi nutrisi dapat menyebabkan penurunan daya tahan tubuh (imunitas) dan hilangnya integritas sel yang akan mempermudah invasi dan infeksi kandida.28 Kebersihan mulut yang buruk membantu lingkungan yang konduktif dalam meningkatkan kolonisasi dan perlekatan kandida.22

Pada anamnese, pasien mengeluhkan xerostomia, dimana dijumpai saliva yang sedikit dan kental. Literatur menyebutkan sekresi saliva cenderung menurun pada daerah yang terkena radiasi. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa penggunaan radioterapi dapat menyebabkan hiposalivasi karena terjadi disfungsi kelenjar saliva yang merupakan komplikasi jangka panjang yang terjadi secara progresif dikarenakan atrofi kelenjar yang kronis.3,4 Edukasi yang diberikan dokter adalah pasien diharuskan untuk banyak minum air untuk mengurangi terjadinya kekeringan pada mulut. Namun, banyak minum pada siang hari dapat mengganggu kenyamanan pasien pada malam hari, karena pasien cenderung menjadi poliuria pada malam hari.4 Tapi bagaimanapun, upaya pengurangan efek dari xerostomia harus tetap dilakukan.

Selain itu, berdasarkan anamnese, pasien mengeluhkan kehilangan persepsi rasa (dysgeusia). Dysgeusia ini disebabkan oleh degenerasi taste budd, kerusakan pada syaraf ataupun sel pengecapan,23 dan juga karena perubahan barrier mekanis saliva sehingga dapat menyebabkan sulitnya kontak fisik antara lidah dengan bahan makanan.3 Biasanya kehilangan rasa bersifat sementara. Rasa pada umumnya kembali normal atau mendekati batas normal dalam waktu enam bulan sampai satu tahun setelah radioterapi.4,23 Namun, apabila terjadi kerusakan pada sel syaraf, persepsi rasa tidak kembali dalam waktu 6 bulan.23 Selain itu, dysgeusia menyebabkan pasien


(55)

menjadi tidak nafsu makan, malas untuk mengunyah, dan dapat mempengaruhi gizi pasien. Hal ini menyebabkan defisiensi nutrisi pada pasien yang nantinya dapat menyebabkan berkurangnya imunitas pasien, dimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa berkurangnya imunitas tersebut dapat memperparah terjadinya infeksi. Jadi, pasien harus tetap diberikan edukasi pentingnya menjaga gizi dan nutrisi pasien.7

Pasien ini tidak dikonsultasikan ke bagian gigi dan mulut dan hanya diberikan nystatin drop. Nystatin merupakan pilihan obat untuk perawatan kandidiasis oral yang terlokalisir.28 Namun, pada pemberian akhir dari radioterapi, mukositis dan kandidiasis pada pasien ini masih terlihat. Menurut penelitian, kandidiasis masih ditemukan setelah radioterapi, bahkan meningkat dari sebelum, selama, hingga setelah radioterapi.7 Mukositis dan kandidiasis akan hilang secara bertahap setelah radioterapi dengan menjaga kebersihan mulut dan pengobatan yang adekuat. Xerostomia dan dysgeusia juga masih dikeluhkan pasien ini. Menurut penelitian Jham B C dkk (2007), xerostomia, masih dikeluhkan hingga 251 hari bahkan dapat mencapai 12-18 bulan setelah radioterapi,7 dan menurut literatur, dysgeusia umumnya kembali normal atau mendekati batas normal dalam waktu 6 bulan sampai 1 tahun setelah radioterapi.4,23

Dokter yang bekerja di RSUP Haji Adam Malik seharusnya melibatkan dokter gigi dalam melakukan perawatan komplikasi oral yang timbul akibat radioterapi kanker nasofaring. Hal ini bertujuan agar pasien menerima pengobatan yang lebih relevan terhadap lesi oral yang dideritanya, sehingga diperlukan kerjasama yang baik antara dokter dan dokter gigi dalam merawat pasien tersebut.


(56)

BAB 5 KESIMPULAN

Dapat disimpulkan bahwa komplikasi oral akibat radioterapi kanker nasofaring yang terdapat pada kasus ini adalah mukositis, kandidiasis, xerostomia dan dysgeusia. Komplikasi oral ini terjadi karena radioterapi selain merusak sel kanker juga merusak sel normal rongga mulut dengan menghentikan pertumbuhan sel-sel secara cepat dan mencegah reproduksi sel-sel di dalam mulut, sehingga akan sulit bagi jaringan mulut untuk mengadakan perbaikan. Selain itu, keadaan mulut sebelum dan selama terapi juga mempengaruhi keparahan komplikasi oral tersebut.

Oleh karena itu, dokter gigi juga mempunyai peranan penting untuk mengevaluasi dan mengatasi gangguan yang terdapat di rongga mulut yang merupakan akibat dari radioterapi kanker nasofaring dengan cara yang tepat dan sesuai, untuk mengurangi keparahan komplikasi tersebut. Selain itu, edukasi kepada pasien dan keluarga pasien juga penting untuk meningkatkan keberhasilan perawatan.


(57)

DAFTAR PUSTAKA

1. Asroel H A. Penatalaksanaan radioterapi pada karsinoma nasofaring. USU digital library. 2002: 1-11.

2. Susworo R. Kanker nasofaring epidemiologi dan pengobatan mutakhir. Cermin Dunia Kedokteran. 2004; 144: 16-9.

3. Jham B C, Freire A R. Oral complication of radiotherapy in the head and neck. Rev Bras Otorrinolaringol. 2006; 72 (5): 704-8.

4. Vissink A, Jansma J, Spijkervet F K L, Burlage F R, Coppes R P. Oral sequelae of head and neck radiotherapy. Crit Rev Oral Biol. Med. 2003; 14 (3): 199-212.

5. Lucas J, Rombach D, Goldwein J. Effects of radiotherapy on the oral cavity. OncoLink Cancer Resources. 2001.

6. Kumar P S, Balan A, Sankar A, Bose T. Radiation induced oral mukositis. IJPC. 2009; 15 (2): 95-102.

7. Jham B C, Reis P M, Miranda E L, dkk. Oral health status of 207 head and neck cancer patients before, during, and after radiotherapy. Clin Oral Invest. 2008; 12: 19-24.

8. Titcomb C P. High incidence of nasopharyngeal carcinoma in Asia. J Insur Med. 2001; 33: 235-8.


(58)

10. Anonymous. Epidemiological and etiological factors associated with nasopharyngeal carcinoma. ICMR Bulletin. 2003; 33(9).

11. Thompson M P, Kurzrock R. Epstein-Barr virus and cancer. Clinical Cancer Research. 2004; 10: 803-21.

12. Roezin A dan Adham M. Karsinoma nasofaring, pada telinga hidung tenggorok pada kepala & leher. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2007: 182-7. 13. Chan A T C, Teo P M L, Johnson P J. Nasopharyngeal carcinoma. Annals of

oncology. 2002; 13: 1007-15.

14. Lee A W M, Ko W M, dkk. Nasopharyngeal carcinoma-time lapse before diagnosis and treatment. HKMJ. 1998; 4: 132-6.

15. Anonymous. Wikipedia. Radiation therapy.

16. Volpato L E R, Silva T C, Oliveira T M, Sakai V T, Machado M A. Radiation therapy and chemotherapi-induced oral mucositis. Rev Bras Otorrinolaringol. 2007; 73(4): 562-68.

17. McMillan A S. Oral health and quality of life following radiotherapy for nasopharyngeal carcinoma. J HK Coll Radiol. 2003; 6: 75-7.

18. Sciubba J J, Goldenberg D. Oral complications of radiotherapy. Lan cet On Col. 2006; 7: 175-83.

19. Stokman M A, Spijkervet F K L, dkk. Oral mucositis and selective elimination of oral flora in head and neck cancer patients receiving radiotherapy: a double-blind randomised clinical trial. British Journal of Cancer. 2003; 88: 1012-6.


(59)

20. Pavlatos J. Oral care protocols for patients undergoing cancer therapy. Academy of General Dentistry. 2008: 464-478.

21. Anonymous. Dental and oral complication.

22. Sherman R G, Prusinski, dkk. Oral candidosis. Quintessence Int. 2002; 33:

521-32.

23. Sandow P L, Hejrat-Yazdi M, Heft M W. Taste loss and recovery following radiation therapy. J Dent Res. 2006; 85(7): 608-11.

24. Blanchaert R H, Harris C M, Bailey J. Osteoradionecrosis of the Mandible. 2010)

25. Anonymous. Pathophysiology of mucositis.

26. Shenoy V K, Shenoy K K, Rodrigues S, dkk. Management of oral health in

patients irradiated for head and neck cancer: a review. Kathmandu University Medical Journal. 2007; 5(17): 117-120.

27. Sonis S T, Fey E G. Oral complications of cancer therapy. Oncology. 2002; 16(5): 680-95.

28. Ellepola A N B. Oral candidosis : a brief overview. Bulletin of The Kuwait Institute for Medical Spesialization. 2005; 4: 17-24.

29. Kostler W J, dkk. Oral mucositis complicating chemotherapy and/or radiotherapy: options for prevention and treatment. CA Cancer J Clin. 2001; 51: 290-315.


(1)

dan kolonisasi fungal, oleh karena itu produksi saliva yang menurun akibat radioterapi memicu infeksi kandida. Defisiensi nutrisi dapat menyebabkan penurunan daya tahan tubuh (imunitas) dan hilangnya integritas sel yang akan mempermudah invasi dan infeksi kandida.28 Kebersihan mulut yang buruk membantu lingkungan yang konduktif dalam meningkatkan kolonisasi dan perlekatan kandida.22

Pada anamnese, pasien mengeluhkan xerostomia, dimana dijumpai saliva yang sedikit dan kental. Literatur menyebutkan sekresi saliva cenderung menurun pada daerah yang terkena radiasi. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa penggunaan radioterapi dapat menyebabkan hiposalivasi karena terjadi disfungsi kelenjar saliva yang merupakan komplikasi jangka panjang yang terjadi secara progresif dikarenakan atrofi kelenjar yang kronis.3,4 Edukasi yang diberikan dokter adalah pasien diharuskan untuk banyak minum air untuk mengurangi terjadinya kekeringan pada mulut. Namun, banyak minum pada siang hari dapat mengganggu kenyamanan pasien pada malam hari, karena pasien cenderung menjadi poliuria pada malam hari.4 Tapi bagaimanapun, upaya pengurangan efek dari xerostomia harus tetap dilakukan.

Selain itu, berdasarkan anamnese, pasien mengeluhkan kehilangan persepsi rasa (dysgeusia). Dysgeusia ini disebabkan oleh degenerasi taste budd, kerusakan pada syaraf ataupun sel pengecapan,23 dan juga karena perubahan barrier mekanis saliva sehingga dapat menyebabkan sulitnya kontak fisik antara lidah dengan bahan makanan.3 Biasanya kehilangan rasa bersifat sementara. Rasa pada umumnya kembali normal atau mendekati batas normal dalam waktu enam bulan sampai satu tahun setelah radioterapi.4,23 Namun, apabila terjadi kerusakan pada sel syaraf, persepsi rasa


(2)

menjadi tidak nafsu makan, malas untuk mengunyah, dan dapat mempengaruhi gizi pasien. Hal ini menyebabkan defisiensi nutrisi pada pasien yang nantinya dapat menyebabkan berkurangnya imunitas pasien, dimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa berkurangnya imunitas tersebut dapat memperparah terjadinya infeksi. Jadi, pasien harus tetap diberikan edukasi pentingnya menjaga gizi dan nutrisi pasien.7

Pasien ini tidak dikonsultasikan ke bagian gigi dan mulut dan hanya diberikan nystatin drop. Nystatin merupakan pilihan obat untuk perawatan kandidiasis oral yang terlokalisir.28 Namun, pada pemberian akhir dari radioterapi, mukositis dan kandidiasis pada pasien ini masih terlihat. Menurut penelitian, kandidiasis masih ditemukan setelah radioterapi, bahkan meningkat dari sebelum, selama, hingga setelah radioterapi.7 Mukositis dan kandidiasis akan hilang secara bertahap setelah radioterapi dengan menjaga kebersihan mulut dan pengobatan yang adekuat. Xerostomia dan dysgeusia juga masih dikeluhkan pasien ini. Menurut penelitian Jham B C dkk (2007), xerostomia, masih dikeluhkan hingga 251 hari bahkan dapat mencapai 12-18 bulan setelah radioterapi,7 dan menurut literatur, dysgeusia umumnya kembali normal atau mendekati batas normal dalam waktu 6 bulan sampai 1 tahun setelah radioterapi.4,23

Dokter yang bekerja di RSUP Haji Adam Malik seharusnya melibatkan dokter gigi dalam melakukan perawatan komplikasi oral yang timbul akibat radioterapi kanker nasofaring. Hal ini bertujuan agar pasien menerima pengobatan yang lebih relevan terhadap lesi oral yang dideritanya, sehingga diperlukan kerjasama yang baik antara dokter dan dokter gigi dalam merawat pasien tersebut.


(3)

BAB 5 KESIMPULAN

Dapat disimpulkan bahwa komplikasi oral akibat radioterapi kanker nasofaring yang terdapat pada kasus ini adalah mukositis, kandidiasis, xerostomia dan dysgeusia. Komplikasi oral ini terjadi karena radioterapi selain merusak sel kanker juga merusak sel normal rongga mulut dengan menghentikan pertumbuhan sel-sel secara cepat dan mencegah reproduksi sel-sel di dalam mulut, sehingga akan sulit bagi jaringan mulut untuk mengadakan perbaikan. Selain itu, keadaan mulut sebelum dan selama terapi juga mempengaruhi keparahan komplikasi oral tersebut.

Oleh karena itu, dokter gigi juga mempunyai peranan penting untuk mengevaluasi dan mengatasi gangguan yang terdapat di rongga mulut yang merupakan akibat dari radioterapi kanker nasofaring dengan cara yang tepat dan sesuai, untuk mengurangi keparahan komplikasi tersebut. Selain itu, edukasi kepada pasien dan keluarga pasien juga penting untuk meningkatkan keberhasilan perawatan.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

1. Asroel H A. Penatalaksanaan radioterapi pada karsinoma nasofaring. USU digital library. 2002: 1-11.

2. Susworo R. Kanker nasofaring epidemiologi dan pengobatan mutakhir. Cermin Dunia Kedokteran. 2004; 144: 16-9.

3. Jham B C, Freire A R. Oral complication of radiotherapy in the head and neck. Rev Bras Otorrinolaringol. 2006; 72 (5): 704-8.

4. Vissink A, Jansma J, Spijkervet F K L, Burlage F R, Coppes R P. Oral sequelae of head and neck radiotherapy. Crit Rev Oral Biol. Med. 2003; 14 (3): 199-212.

5. Lucas J, Rombach D, Goldwein J. Effects of radiotherapy on the oral cavity. OncoLink Cancer Resources. 2001.

6. Kumar P S, Balan A, Sankar A, Bose T. Radiation induced oral mukositis. IJPC. 2009; 15 (2): 95-102.

7. Jham B C, Reis P M, Miranda E L, dkk. Oral health status of 207 head and neck cancer patients before, during, and after radiotherapy. Clin Oral Invest. 2008; 12: 19-24.

8. Titcomb C P. High incidence of nasopharyngeal carcinoma in Asia. J Insur Med. 2001; 33: 235-8.


(5)

10. Anonymous. Epidemiological and etiological factors associated with nasopharyngeal carcinoma. ICMR Bulletin. 2003; 33(9).

11. Thompson M P, Kurzrock R. Epstein-Barr virus and cancer. Clinical Cancer Research. 2004; 10: 803-21.

12. Roezin A dan Adham M. Karsinoma nasofaring, pada telinga hidung tenggorok pada kepala & leher. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2007: 182-7. 13. Chan A T C, Teo P M L, Johnson P J. Nasopharyngeal carcinoma. Annals of

oncology. 2002; 13: 1007-15.

14. Lee A W M, Ko W M, dkk. Nasopharyngeal carcinoma-time lapse before diagnosis and treatment. HKMJ. 1998; 4: 132-6.

15. Anonymous. Wikipedia. Radiation therapy.

16. Volpato L E R, Silva T C, Oliveira T M, Sakai V T, Machado M A. Radiation therapy and chemotherapi-induced oral mucositis. Rev Bras Otorrinolaringol. 2007; 73(4): 562-68.

17. McMillan A S. Oral health and quality of life following radiotherapy for nasopharyngeal carcinoma. J HK Coll Radiol. 2003; 6: 75-7.

18. Sciubba J J, Goldenberg D. Oral complications of radiotherapy. Lan cet On Col. 2006; 7: 175-83.

19. Stokman M A, Spijkervet F K L, dkk. Oral mucositis and selective elimination of oral flora in head and neck cancer patients receiving radiotherapy: a double-blind randomised clinical trial. British Journal of


(6)

20. Pavlatos J. Oral care protocols for patients undergoing cancer therapy. Academy of General Dentistry. 2008: 464-478.

21. Anonymous. Dental and oral complication.

22. Sherman R G, Prusinski, dkk. Oral candidosis. Quintessence Int. 2002; 33:

521-32.

23. Sandow P L, Hejrat-Yazdi M, Heft M W. Taste loss and recovery following radiation therapy. J Dent Res. 2006; 85(7): 608-11.

24. Blanchaert R H, Harris C M, Bailey J. Osteoradionecrosis of the Mandible. 2010)

25. Anonymous. Pathophysiology of mucositis.

26. Shenoy V K, Shenoy K K, Rodrigues S, dkk. Management of oral health in

patients irradiated for head and neck cancer: a review. Kathmandu University Medical Journal. 2007; 5(17): 117-120.

27. Sonis S T, Fey E G. Oral complications of cancer therapy. Oncology. 2002; 16(5): 680-95.

28. Ellepola A N B. Oral candidosis : a brief overview. Bulletin of The Kuwait Institute for Medical Spesialization. 2005; 4: 17-24.

29. Kostler W J, dkk. Oral mucositis complicating chemotherapy and/or radiotherapy: options for prevention and treatment. CA Cancer J Clin. 2001; 51: 290-315.