Jilbab dalam Tafsir Al-Azhar dan Al-Misbah Pemakaian jilbab

Dengan kalimat yang singkat namun padat Ibnu „Asyur menyatakan “Setiap manusia baik laki-laki maupun perempuan berhak mendapatkan bagiannya dalam menikmati fasilitas duniawi yang diperuntukkan baginya sebagai balasan atas kerja kerasnya atau sebagian usaha yang telah dia lakukan. 80 Dengan demikian tidak ditemukan satu teks keagamaan yang jelas dan pasti, baik dalam Al-Quran maupun Sunnah, yang mengarah kepada larangan bagi perempuan, yakni pekerjaan yang bermanfaat dunia dan akhirat atau pekerjaan yang memenuhi nilai-nilai yang diamanatkan agama untuk bekerja walau di luar rumahnya. Karena agama menetapkan kaidah yang berbunyi: “dalam hal kemasyarakatan, semuanya boleh selama tidak ada larangan, dan dalam hal ibadah murni, semuanya tidak boleh selama tidak ada tuntutan.

C. Jilbab dalam Tafsir Al-Azhar dan Al-Misbah Pemakaian jilbab

81 yang pernah mengendur di banyak masyarakat Islam sejak akhir abad ke XIX kembali marak sekitar tiga puluhan terakhir ini dan dari hari ke hari semakin banyak peminatnya dikalangan muslimah. Di Indonesia sendiri menurut surat kabar yang penulis baca, sudah ada persatuan wanita berjilbab yaitu kelompok Hijaber. Anggotanya terdiri dari perempuan-perempuan dari berbagai strata sosial dan profesi, seperti pelajar, mahasiswa, ibu rumah, tangga, wanita karir bahkan artis. Banyak analisa tentang faktor-faktor yang mendukung tersebarnya fenomena berjilbab dikalangan kaum Muslimah. Kita tidak dapat menyangkal bahwa mengentalnya kesadaran beragama merupakan salah satu faktor utamanya. Namun agaknya kita pun tidak dapat menyatakan bahwa itulah satu-satunya faktor. Karena, diakui atau tidak, ada wanita-wanita yang memakai jilbab tetapi apa yang dipakainya itu, atau gerak gerik yang diperagakannya, tidak sejalan dengan tuntunan agama dan budaya masyarakat Islam. Ada diantara mereka yang berjilbab tetapi dalam saat yang 80 Ibnu „Asyur, At-Thrir wa at-tanwir, Jilid V, h. 32 81 Kata jilbab diperselisihkan maknanya. Al- Biqa‟i mengatakan baju yang longgar atau kerudung penutup kepala wanita atau pakaian yang menutupi baju dan kerudung yang dipakainya atau semua pakaian yang menutupi wanita. Kalau yang dimaksudkan kerudung maka perintah mengulurkannya adalah menutup wajah dan lehernya. Kalau makna pakaian yang menutupi baju maka perintah mengulurkannya membuat longgar sehingga menutupi semua badan dan pakaian. Thaba ‟thaba‟i memahami makna jilbab yang menutupi seluruh badan atau kerudung yang menutupi wajah dan semua badan dan pakaian. Ibnu Asyur memahami kata jilbab dalam arti pakaian yang lebih kecil dari jubah tapi lebih besar dari kerudung atau penutup wajah diletakkan di atas kepala dan terulur kedua sisinya melalui pipi hingga keseluruh bahu dan belakangnya. sama tanpa malu berdansa-dansi sambil memegang tangan bahkan meminggul pria yang bukan mahramnya. Itu dilakukan di hadapan umum bahkan terlihat dalam tayangan TV baik di Indonesia maupun di negeri-negeri bermasyarakat Islam lainnya. Di sini jilbab mereka pakai bukan sebagai tuntunan agama, tetapi sebagai salah satu mode berpakaian yang merambah kemana-mana. Salah satu faktor yang juga diduga sebagai pendorong maraknya pemakaian jilbab adalah faktor ekonomi. Mahalnya salon-salon kecantikan serta tuntutan gerak cepat dan praktis, menjadikan sementara perempuan memilih jalan pintas dengan mengenakan jilbab. 82 Tulisan berikut ini akan mengetengahkan pandangan Hamka dan Quraish seputar pengertian jilbab, perintah yang mewajibkan perempuan berjilbab, hikmah dari perintah berjilbab dan batas-batas aurat yang boleh ditampakkan dari tubuh seorang perempuan kepada selain mahramnya. Membahas pengertian tentang jilbab, ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikannya. Raghib al-Isfihani w. 502 H1108 M; ahli leksikografi dalam kitabnya Mu‟jam Mufradât li Alfâ Al-Qurân Kamus Kata-kata Al-Quran menjelaskan bahwa jilbab adalah baju dan kerudung. Menurut Ibnu Mansur Jamaluddin Muhammad bin Mukarram al-Anshari dalam karyanya Lisân al- „Arab Kamus Bahasa Arab, jilbab adalah sejenis pakaian yang lebih besar dari pada kerudung dan lebih kecil dari pada ridâ selendang besar yang biasa dipakai kaum wanita untuk menutup kepala dan dada mereka. 83 Hamka mengawali penafsirannya tentang jilbab dengan mengatakan bahwa Islam adalah agama yang bertujuan membangun masyarakat yang berakhlak mulia melalui rumah tangga yang sejahtra dan bahagia. Syahwat yng Allah berikan kepada laki-laki dan perempuan agar supaya mereka berkembang di muka bumi ini. Oleh sebab itu Allah memberi keduanya akal. Akal inilah yang mengatur hubungan yang teratur dan bersih. Sebab jika syahwat tidak terkendali maka kebobrokan akan timbul dan amat sukar diselesaikan.” 84 . Agar tercipta masyarakat yang berakhlak ini maka Allah memerintahkan umatnya laki-laki maupun perempuan untuk menahan pandangan kepada sesama 82 M. Quraish Shihab, Jilbab, Jakarta: Lentera Hati, 2004, h. xi 83 Abdul Aziz Dahlan, dkk., Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996, h. 820 84 Hamka, Tafsîrr Al-Azhar, Jakarta: Panjimas, 1988, Juz 22, h. 178 mereka dan menjaga kesucian diri mereka. Bagi perempuan khususnya diperintahkan untuk menutup dadanya dan tidak menampakkan perhiasannya kecuali kepada mahramnya. Allah berfirman yang artinya: “Katakanlah kepada wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang biasa nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara- saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan terhadap wanita atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. QS. An-Nur [24]: 31 Menurut Hamka ayat ini mengupas sisi kejiwaan manusia terhadap rangsangan sexsual. Karena syahwat seorang penghayal bisa timbul hanya karena melihat tumit wanita, lebih dari melihat tubuhnya sendiri. Maka segala sikap perempuan atau hiasan perempuan yang bisa merangsang laki-laki hendaknya dibatasi jika memang mengaku sebagai perempuan yang beriman. Berhias bagi perempuan dalam Islam sebenarnya tidak dilarang. Sekali lagi Islam tidak melarang tapi mengaturnya. Karena Islam mengakui estetika dan kesenian, tetapi hendaknya keindahan tersebut timbul dari kehalusan pri kemanusiaan, bukan dari kehendak kehewanan yang ada dalam diri manusia. Lanjutan ayat ini menjelaskan bahwa tujuan keindahan bukan untuk mempertontonkan diri atau menggiurkan orang lain. maka ayat ini melarang perempuan menghentakkan kaki ketanah agar jangan diketahui perhiasannya yang dikenakan di kakinya. 85 Dalam rangka membangun masyarakat yang beriman dan berakhlak mulya dan berkeadilan, Hamka mengatakan bahwa laki-laki maupun perempuan dihimbau untuk kembali kejalan yang digariskan Nabi saw. bukan dengan cara mengurung kaum wanita atau menindas, atau membiarkan mereka liar mengacaukan masyarakat dengan kerling 85 Hamka, Tafsîr Al-Azhar, Jakarta: Panjimas, 1988, Juz 22, h. 178 matanya, tetapi dipupuk rasa tanggung jawabnya atas dirinya. Dan tanggung jawab atas masyarakatnya. Maka Allah berfirman; “Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Al-Ahzab [33]: 59 Di dalam ayat ini Rasulullah diperintahkan supaya memerintahkan kepada istri- istrinya dan anak-anaknya yang perempuan serta kepada istri-istri orang yang beriman. Supaya kalau mereka keluar dari rumah hendaklah memakai jilbab. Alasan mengapa kepada istri-istri beliau dan anak-anak beliau di dahulukan, sesudah itu baru kepada istri-istri orang yang beriman adalah agar istri-istri dan anak-anak perempuan nabi itulah yang lebih dahulu dicontoh orang banyak. Perintah itu pun hendaklah disampaiakn pula kepada istri-istri dari orang-orang yang beriman, supaya mereka meletakkan jilbab ke atas badan mereka. Menurut Hamka persoalan pemakaian jilbab tidak dapat dipisahkan dari persoalan aurat, yakni batas minimal bagian tubuh yang wajib ditutup. Karena perintah Allah Swt. Surat Al-Ahzab [33] ayat 59 di atas merupakan ayat yang memerintahkan kepada kaum wanita muslimah untuk menutup tubuh mereka, karena tubuh wanita itu adalah aurat. 86 Di samping berfungsi sebagai penutup aurat, jilbab juga merupakan salah satu identitas wanita muslimah dan sekaligus merupakan upaya untuk mencegah terjadinya hal-hal yang dapat merusak kehormatan dirinya dan orang lain, karena aurat yang dapat mengundang kebirahian syahwat lawan jenisnya tertutup. 87 Berdasarkan ayat ini Hamka mengatakan bahwa hikmah dari perintah ini adalah kehendak agama Islam agar tercipta ketentraman dalam pergaulan, kebebasan yang dibatasi oleh aturan syara‟, penjagaan awal terhadap pribadi, baik laki-laki maupun wanita dan membawa manusia naik kepuncak kemanusiaannya. Ini merupakan pertanggung jawaban manusia terhadap pemeliharaan keimanannya yang diperintahkan kepada laki-laki maupun perempuan. Hamka mencela sikap laki-laki yang tidak mendidik istrinya dan tidak memberinya peluang untuk menambah ilmu dan iman tapi malahan mengurung perempuan atau menutup seluruh tubuhnya. Ini tentu bukanlah peraturan Islam. Hal ini 86 Abdul Aziz Dahlan, dkk., Ensiklopedi Hukum Islam, h. 820 87 Abdul Aziz Dahlan, dkk., Ensiklopedi Hukum Islam, h.820 timbul dari keinginan laki-laki yang ingin menguasai perempuan. Dia membentengi perempuan dengan berbagai dinding dan membungkam mulutnya rapat-rapat sehingga lama kelamaan perempan itu akan kehilangan kepercayaan kepada dirinya sendiri, karena hubungan keluar rumah tertutup semua sehingga iman pun tidak bisa lagi masuk. Lantaran itu maka yang menjadi pembicaraan sesamanya tidak lain hanya bergunjing dan bersolek. Hamka menyadari sulitnya melaksanakan perintah ayat ini di tengah pergaulan di era modern ini, dimana pergaulan yang amat bebas di antara laki-laki dan perempuan. Ini merupakan permulaan dari penyakit yang kronis, yang tidak sembuh selama- lamanya, sampai hancur pribadi dan hilang kendali atas diri. Di satu sisi orang dipaksa bersikap sopan dan bepekerti halus terhadap wanita, tetapi pintu-pintu yang merangsang syahwat di buka selebar-lebarnya. Berbagai model pakaian wanita lepas sama sekali dari kendali agama, masuk dalam kekuasaan “diktator” ahli mode paris, London dan New York. Menurut Hamka kaum wanita saat ini berada di bawah cengkraman ahli mode “Christian Dior”. Tempat-tempat pemandian umum terbuka dan dikerumuni oleh pakaian-pakain yang benar-benar mempertontonkan tubuh wanita dan pria. Ahli-ahli film membuat bentuk pakaian yang mendebarkan seluruh tubuh dengan nama “you can see ” engkau boleh lihat dan rok mini yang memperlihatkan pangkal paha perempuan yang menimbulkan syahwat. 88 Dalam ayat yang ini Hamka mengatakan bahwa pakaian muslim atau modelnya tidaklah ditentukan oleh Al-Quran. Yang jadi pokok yang dikehendaki Al-Quran ialah pakaian yang menunjukkan Iman kepada Tuhan, pakaian yang menunjukkan kesopanan, bukan yang memperagakan badan untuk jadi tontonan laki-laki. 89 Ayat yang memerintahkan pemakaian jilbab ini diakhiri dengan perintah untuk bertaubat “Bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung”. Menurut Hamka ayat ini menyuruh manusia bertaubat, karena selama masih ada laki-laki dan perempuan selama itu pula manusia tidak akan terlepas dari gaya tarik masing-masing. Islam tidak menutup mati perasaan tersebut, karena ketertarikan itu adalah naluri, tetapi Islam menyuruh untuk menjaganya dan mengaturnya dengan tuntunan iman, manusia diperintahkan membatasi diri, 88 Hamka, Tafsîr Al-Azhar, Juz 18, h. 179-180 89 Hamka, Tafsîr Al-Azhar, Juz 22, h. 98 menekurkan mata, menahan hati jangan menonjolkan perhiasan dan menjaga kehormatan. Penafsiran Quraish tentang jilbab pada QS an-Nûr [24]: 31 dalam tafsîr al- Misbâh –berdasarkan penelitian penulis-lebih banyak difokuskan pada pembahasan tentang pandangan ulama dan cendekiawan menyangkut busana muslimah, atau dengan kata lain aurat wanita dan batas-batas yang boleh ditampakkkan dari tubuhnya kepada selain mahramnya. Itupun ditulis dengan sangat ringkas, sehingga penulis kesulitan melacak pemikiran Quraish tentang jilbab. Oleh sebab itu penulis merujuk kepada bukunya : “jilbab” yang memang di tulis untuk membahas masalah tersebut dengan panjang lebar. Dalam buku ini Quraish membentangkan aneka pendapat, baik pandangan ulama-ulama terdahulu yang terkesan ketat, maupun cendekiawan kontemporer yang dinilai lebih longgar. Quraish berusaha menghidangkan berbagai dalil, argumentsai atau dalih masing-masing pendapat dengan menunjukkan kelemahan dan kekuatannya, sesuai dengan nalar dan pertimbangannya. Alasan Quraish memaparkan semua pendapat ulama tentang jilbab adalah untuk mengetahui bahwa apa yang mereka kemukakan itu mungkin dari satu sisi ada benarnya. Karena menghidangkan satu pendapat saja di samping dapat mempersempit dan membatasi seseorang, juga berbeda dengan kenyataan, bahwa hampir dalam semua persoalan rinci keagamaan Islam ditemukan keragaman pendapat. Keragaman itu sejalan dengan ciri redaksi Al-Quran dan Hadis yang dapat menampung aneka pendapat, sama dengan memberi alternatif-alternatif yang kesemuanya dapat ditampung oleh kebenaran. Ini pada gilirannya lebih mempermudah umat melakukan aneka aktivitas yang dapat dibenarkan oleh agama. 90 Quraish memulai penafsiran tentang jilbab dalam tafsîr al-Misbah dengan membahas kandungan penggalan ayat “wal yadhribna bi khumurihinna” . menurut pendapat Quraish penggalan ayat ini berpesan agar dada ditutup dengan kerudung penutup kepala. Ini berarti bahwa kepala rambut juga harus ditutup, inilah pendapat yang logis apalagi jika disadari, bahwa rambut adalah hiasanmakhkota wanita. Bahwa ayat ini tidak menyebut secara tegas perlunya rambut ditutup, hal ini agaknya tidak 90 M. Quraish Shihab, Jilbab, Jakarta: Lentera Hati, 2004, h. xvii perlu disebut. Bukankah mereka telah memakai kerudung yang tujuannya adalah menutup rambut. 91 Namun diakui 92 tidak ditemukan satu ayat pun dalam Al-Quran yang secara tegas dan rinci menetapkan batas-batas aurat wanita yang harus ditutup. Al-Ahzâb [33]: 53 atau Al-Ahzâb [33]: 59 atau An-Nûr [24]: 31 Kesemuanya tidak menunjukkan secara pasti dan tegas bagian-bagian mana yang harus ditutup. Karena itu para ulama tafsîr berbeda pendapat. Quraish menjelaskan berbagai pandangan ulama mulai dari masa sahabat, tabi‟in hingga para pakar tafsîr kontemporer dalam bukunya Jilbab mulai dari halaman 51-81. Secara umum terkait pembicaraan tentang aurat wanita. Dalam menafsirkan surat An-Nûr [24]: 31 ini Quraish –menurut bacaan penulis– mengemukakan beberapa permasalahan diantaranya: yang akan penulis kemukakan adalah penjelasan Quraish tentang pandangan dua kelompok besar, ulama masa lampau tentang permasalahan jilbab khusunya batasan aurat perempuan. Perbedaan pandangan seperti dikemukakan Quraish ini dikuatkan oleh hadis-hadis yang sebagiannya mengesankan mendukung argumentasi pendapat pertama. Dan sebagian lain terkesan melemahkan pendapat pertama dan sebaliknya mendukung pendapat kedua. 93 Pertanyaan ini juga mengesankan adanya upaya saling melemahkan diantara para ahli hadis. Sedangkan Quraish sendiri tidak memberikan ketegasan dalam masalah ini. Setelah memaparkan hadis-hadis tentang jilbab dan ketika memaparkan penafsiran ayat an-Nûr [24]: 31 dengan berbagai dalil dan argumentasi dengan semua kesamaan pendapat dan perbedan-perbedaannya, Quraish tidak menjelaskan atau menetapkan pendapat mana tentang batasan aurat yang lebih kuat dan yang lebih layak untuk diikuti dan diamalkan. Kenyataan ini tentu membingungkan pembaca atau orang yang ingin mengetahui hukumnya. 94 Quraish menyadari sikap seperti ini tanpa menetapkan pendapat mana yang lebih kuat, sedikit banyak telah membingungkan masyarakat umum. Kebingungan ini dapat 91 M. Quraish Shihab, Tafsîr Al-Misbah, vol. 9, h. 329 92 Penulis tidak faham diakui oleh siapa, apakah oleh Quraish sendiri atau orang lain? Tidak jelas karena ia tidak menyebutkan sumbernya. 93 Lihat hadis- hadis yang dikemukakan Quraish dalam buku “jilbab” dari h. 86-89 94 Sikap yang sama kita temukan ketika Quraish dalam diskusi forum pengkajian Islam IAIN UIN Syahid pada Maret 1998 menghasilkan kesimpulan tidak menunjukkan batas aurat yang wajib ditutup menuut hukum Islam dan menyerahkan kepada masing-masing menurut situasi, kondisi dan kebutuhan. Sampai disini orang akan berkata kalau tokoh sekaliber Quraish yang sangat diakui otoritas keilmuannya, belum menemukan pendapat yang kuat apalagi yang kapasitas keilmuannya jauh dibawah Quraish. dipahami jika melihat alasan Quraish tidak menetapkan satu pilihan pendapat dalam persoalan jibab. 95 Karena hingga saat ini penulis Quraish belum dapat mentarjihkan salah satu dari sekian pendapat yang beragam itu. Atau dengan kata lain Quraish mengambil sikap tawaquf yakni tidak atau belum memberi pendapat menyangkut persoalan ini. 96 Berikut ini penulis akan mengemukakan masalah yang penulis inventarisasi dari tafsîr Al-Misbâh yaitu pernyatan Quraish bahwa tidak ditemukan satu ayat pun dalam Al-Quran yang secara tegas dan rinci menetapkan batas-batas aurat wanita yang harus ditutup Al-Ahzâb [33]: 53, Al-Ahzâb [33]: 59 atau An-Nûr [24]: 31. Kesemuanya tidak menunjukkan secara pasti dan tegas bagian-bagian mana yang harus ditutup. Begitu juga hadis-hadis yang menjadi penjelasannya. Karena itu para ulama tafsîr berbeda pendapat. 97 Quraish menjelaskan pandangan dua kelompok besar ulama masa lampau beserta argumentasi masing-masing. Perbedaan pandangan dikalangan ahli tafsîr seperti dikemukakan Quraish dikuatkan oleh hadis-hadis yang sebagiannya mengesankan mendukung argumentasi pendapat pertama. Dan sebagian lain terkesan melemahkan pendapat pertama, dan sebaliknya mendukung pendapat kedua. 98 Lebih lanjut Quraish mengatakan bahwa perdebatan seputar jilbab telah berlangsung lama dan nampaknya tak kunjung selesai, karena petunjuk ayat yang dianggap kurang tegas dan penjelasan hadis-hadis yang terkadang dipermasalahkan keshahihannya. Karena keterbatasan waktu, penulis hanya membatasi perdebatan pada batasan aurat yang harus ditutup dikalangan ulama dahulu dan sekarang, yaitu apakah batasan aurat wanita itu seluruh tubuhnya atau apakah wajah dan kedua telapak tangan termasuk yang harus ditutup. Penulis Quraish sadari banyak sekali silang pendapat seputar batasan aurat, dari yang terlalu ketat sampai yang terkesan sangat longgar. Pembahasan Quraish dimulai dengan mengemukakan pendapat kelompok pertama yang menyatakan bahwa seluruh tubuh wanita aurat, sehingga harus ditutup ini jika kita memahami kata “illâ” dari penggalan ayat “ illâ mâ dzaharo minhâ” dalam 95 M. Quraish Shihab, Jilbab, h. 4 96 M. Quraish Shihab, Jilbab, h.4 97 Lihat penafsiran Quraish pada ayat 31 surah an-Nur vol 9, h 328-333. Tafsir al-Misbah. 98 Lihat hadis-hadis yang dikemukakan Quraish dalam buku “jilbab” dari h. 86-89 arti tetapi, atau dalam istilah ilmu bahasa Arab “istisnâ muqhati‟ maka artinya adalah janganlah mereka menampakkan hiasan mereka sama sekali. Tetapi apa yang tampak secara terpaksa, tidak sengaja seperti ditiup angin, maka itu dapat dimaafkan. 99 Quraish mengatakan bahwa pemahaman ini dikuatkan dengan sekian banyak hadis, seperti sabda Nabi kepada Ali bin Abi Thalib yang diriwayatkan oleh Abû Daud dan Tirmidzi melalui Buraidah: “Wahai Ali jangan ikutkan pandangan pertama dengan pandangan kedua, yang pertama engkau ditolerir dan yang kedua engkau berdosa ” 100 Sedangkan kelompok kedua memahami firman-Nya Kecuali apa yang tampak“ dalam arti “yang biasa dan atau dibutuhkan keterbukaannya sehingga harus tampak.” Kebutuhan disini dalam arti menimbulkan kesulitan bila bagian badan tersebut ditutup. 101 Mayoritas ulama memahami penggalan ayat ini, dalam arti kedua ini. Cukup banyak hadis yang mendukung pendapat ini misalnya hadis “Tidak dibenarkan bagi seorang wanita yang percaya kepada Allah dan hari kemudian untuk menampakkan kedua tangannya kecuali sampai disini nabi kemudian memegang setengah tangan beliau”. HR. At-Thabari hadis lain menyatakan: “...Apabila wanita telah haid tidak wajar terlihat darinya kecuali wajah dan tangannya sampai ke pergelangan ”HR. Abu Daud 102 . Menengahi silang pendapat tersebut, Quraish tidak menegaskan sikapnya terhadap perbedaan pendapat itu. ia cukup menyatakan kesimpulannya dengan mengatakan: “semua kemungkinan yang dikemukakan kedua fihak, dapat saja terjadi, walau sebagian diantaranya terasa, paling tidak oleh penulis Quraish terasa agak dibuat- buat.” Selanjutnya Quraish menghimbau pembacanya untuk memilih hukum yang diyakinya dan mantap melaksananya Quraish mengatakan :” Bagi siapa yang mengakui keshahihan hadis-hadis dan interpretasi yang dikemukakan oleh Ulama yang menyatakan bahwa sekujur badan wanita adalah aurat, apalagi jika ingin sangat berhati- hati maka hendaklah dia mengamalkan hal tersebut dan tidak menampakkan sedikit pun dari bagian tubuhnya, tidak kaki, tidak juga tangan atau bagian dari wajahnya, kecuali jika ada kebutuhan yang sangat mendasar. Selanjutnya bagi yang mengakui pandangan yang sedikit longgar dari pendapat diatas, lebih-lebih jika mengakui keshahihan hadis 99 M. Quraish Shihab, Tafsîr Al-Misbah, Juz 9, h. 329 100 M. Quraish Shihab, Tafsîr Al-Misbâh, Juz 9, h. 329 101 M. Quraish Shihab, Tafsîr Al-Misbâh, Juz 9, h. 330 102 M. Quraish Shihab, Tafsîr Al-Misbâh, Juz 9, h. 330 yang menyatakan bahwa wanita yang telah haid tidak halal dan tidak wajar menampakkan selain wajah dan kedua telapak tangan. Hendaklah dia melaksanakan tuntunan hadis ini yang merupakan kewajibannya. Dan kalau ingin lebih hati-hati lagi maka tidak ada salahnya jika dia menutup seluruh badannya. 103 Untuk menjawab masalah ini penulis menukil dari pendapat Mukhlis bahwa dalam menyikapi nash-nash yang terlihat bertentangan maka dalam tradisi keilmuan Islam, ilmu tafsîr khususnya disepakati bahwa pemahaman nash Al-Quran harus dicari pertama kali dari penjelasan Al-Quran itu sendiri, karena ayat-ayat Al-Quran saling menjelaskan satu dengan lainnya. Bila tidak ditemukan penjelasan dalam Al-Quran, maka penafsiran nash tersebut dicari dari penjelasan dari Rasulullah saw. dalam bentuk hadis shahih, sebab beliau adalah pemegang otoritas penafsiran kalam Tuhan. Bila tidak ditemukan dalam hadis Rasulullah, Penjelasan sahabat yang menyaksikan langsung wahyu diturunkan dan mengalami hidup bersama Rasulullah dapat dijadikan sandaran. Bahkan dalam batas tertentu, seperti dalam hal yang tidak dapat dinalar dan sabab nuzul penjelasan tersebut dapat berkedudukan hukum seperti hadis Rasul marfu‟. 104 Memang dalam penafsiran pesan-pesan Al-Quran selain menerima penjelasan dari Rasulullah terkadang para sahabat menggunakan nalar dalam menangkap pesan- pesan Al-Quran. Tidak jarang mereka keliru memahaminya seperti yang terjadi pada sahabat Adi bin Hatim yang memahami ayat QS. Al-Baqarah [2]: 147 dimana ia memahami ayat “....hattâ yatabayyana lakum al khaith al abyadh min al khaith al aswad” dengan seutas tali dengan berwarna putih dan hitam sebagai tanda memulai dan berhenti puasa, padahal yang dimaksud seperti dalam penjelasan Rasul saw., adalah terbitnya fajar sebagai tanda mulai puasa dan terbenamnya matahari tanda menyudahi puasa. 105 Karena selain penggunaan nalar yang berbeda antara satu dengan yang lain, perbedaan penafsiran dikalangan sahabat juga terjadi karena penjelasan Rasulullah tidak atau belum sampai pada sebagian yang lain, karena itu perselisihan antar mereka kerap terjadi. Tidak jarang perselisihan itu tidak berujung, meskipun dalam banyak hal ditemukan mereka bersepakat. Atas dasar itu dalam kaidah ilmu tafsîr dalam keadaan yang diperselisihkan, kita boleh memilih salah satunya atau meninggalkannya. 103 M. Quraish Shihab, Tafsîr Al-Misbâh, Juz 9, h. 333 104 Muchlis, h. 113, menukil dari buku Fath Al Mugits karya al-Sakhowi 1123 105 Muchlis, h. 114, menukil dari buku Tafsîr al-Thabari 2172 Sebaliknya tidak demikian jika ditemukan kesepakatan dikalangan mereka yang mengharuskan kita mengikutinya. 106 Dalam persoalan pakaian wanita muslimah, tidak ditemukan kata sepakat kalangan sahabat menyangkut keharusan menutup sekujur tubuh atau dengan pengecualian kebolehan membuka wajah dan kedua tangan. Demikian juga dimasa tabi‟in dan seterusnya sampai imam-imam madzhab fiqih. Kendati demikian satu hal yang disepakati mulai dari masa Rasulullah, sahabat, tabi‟in dan seterusnya, adalah wanita muslimah tidak diperkenankan lebih dari yang diperkenankan oleh beberapa penjelasan hadis termasuk yang lemah yaitu muka, kedua telapak tangan, setengah tangan 107 dan kedua kaki. Memang, nash Al-Quran menyangkut jilbab membuka beragam interpretasi tetapi begitu teks dipahami oleh para sahabat dan tidak disanggah oleh Rasulullah bahkan dikuatkan seperti dalam hadis Asma‟ 108 maka pemahamn tersebut menjadi definit. Bagaimana para sahabat sahabiyah dan isahabiyat memahaminya di masa Rasulullah, dalam kitab shahih Bukhari diriwayatkan, Sayyidah Aisyah berkata: “Semoga Allah mengasihi wanita-wanita dari kalangan Muhajirin,...ketika turun ayat: „walyadhribna bi khumurihinna „alâ juyubihinna‟, mereka langsung merobek lebihan kain mereka untuk dijadikan khimar penutup kepala. 109 Ketika Aisyah mendapati kemenakannya Hafshah binti Abdur Rahman menggunakan penutup kepala tetapi lehernya masih terlihat, beliau merobek bagian lain dari penutup kepala yang lebih untuk menutupinya. 106 Muchlis, h. 115, menukil dari ad-dakhil fi al-Tafsîr, Ibrahim Khalifah, h. 28-29 diktat mata kuliah metode ilmu tafsîr tingkat 4, fak. Ushuluddin 1996 107 Kebolehan membuka setengah tangan ini didasari oleh sebuah riwayat yang disebutkan oleh Imam Thabari 18119 dari Qatadah bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Tidak halal bagi seseorang yang percaya kepada Allah dan hari kemudian untuk menampakkan tangannya kecuali sampai disini” Beliau memegang setengah tangan beliau yaitu dari siku bawah. Riwayat ini dan yang semacamnya dibahas panjang lebar dan dilemahkan oleh al-Albani dalam Hijab al- Mar‟ah al-Muslimah, h. 18, karena keterputusan sanad antara qatadah dan Rasulullah munqathi‟ 108 Hadis tersebut diriwayatkan oleh Abu Daud 462 َّا ئ ع ْ ع ث ْ ع َ س ْ ع ه َ ص َّا س ع ْ خد ، ْ ب بأ ْ ب ء ْسأ َ أ ، ْ ع ْعأف ، ق : ق ، َ س ْ ع ه َ ص َّا س ْ ع د ا إ ةأ ْ ْ ا َ إ ،ء ْسأ ا ا ََإ ْ ْ أ ْح ْ ْ ْ ا غ ب » ْج إ شأ :د اد بأ ق ْ َ د ْ ع َّا ئ ع ْ ْ ْ ْ د ْب خ ، س ْ ا Persoalan seputar hadis tersebut diulas panjang lebar oleh M. Quraish Shihab di halaman 89-92. Meskipun hadis itu mursal terputus salah satu sanadnya, tetapi pakar hadis al-Albani menilainya sahih karena ada jalur-jalur riwayat lain yang mendukungnya, diantaranya hadis Al-Baihaqi Lihat: Hijab al- Mar‟ah al-Muslimah, h. 24-26 109 Sahih Bukhari, Kitab Tafsîr, bab walyadhribna bi khumurihinna „ala juyubihinna. Al-Qurthubi menyebutkan sebelum ayat tersebut turun wanita Arab telah mengenakan penutup kepala tetapi dengan menjulurkannya kebelakang sehingga leher bagian atas dada dan kedua telinga tampak kelihatan. Dengan ayat tersebut Allah memerintahkan agar menarik lebihan kain penutup yang dijatuhkan kebelakang untuk menutup bagian depan sampai menutup muka, leher dan dada. 110 Dan bagi yang tidak mengharuskan menutup dada yaitu dengan melilitkannya dari samping hingga menutup leher dan bagian atas dada. Wanita Anshar pun memahami demikian ketika ayat ini turun. Hadis-hadis yang dikemukakan memang hadis dalam bentuk periwayatan orang per orang atau hadis ahad sehingga ia bersifat dzanni al tsubût dari segi ketetapannya tetapi seperti yang dikemukakan al-Syatibi jika terdapat sekian dalil dzanni merujuk pada satu makna maka ia bisa memiliki kekuatan hukum qath‟i. 111 Dalam persoalan jilbab praktik sahabiat yang tidak disanggah oleh Rasul bahkan dikuatkan serta penerimaan umat setelah mereka terhadap pandangan tersebut dari generasi ke generasi secara keseluruhan menjadi bukti dan qarînah bahwa yang dimaksud dalam ayat hijab dan jilbab bahwa para wanita harus menutup seluruh anggota badan tanpa terkecuali atau dengan pengecualian wajah, dengan kedua telapak tangan ditambah kelonggaran sedikit setengah tangan dan kedua kaki. Padahal tidak ditemukan pandangan ulama yang diakui otoritas keilmuannya yang berpendapat rambut, leher, betis dan lainnya boleh dibuka. 112 Karena itu hemat penulis, kurang tepat untuk tidak ingin mengatakan keliru, jika ungkapan: “walyadhribna bikhumurihinna”, dengan melihat sabab nuzulnya, dipahami sebagai kewajiban menutup dada dengan penutup kepala yang saat itu mereka belum lagi menggunakannya menutup dada dan membiarkan rambutnya terurai tanpa penutup. 113 Dari paparan di atas, dapat kita katakan bahwa kewajiban berjilbab dengan ketentuan hadis-hadis di atas didasari atas dalil dan qarînah yang sangat kuat jika tidak ingin dikatakannya menjadi qath‟i. Pada penutup surah ini Quraish mengingatkan 110 Abî „Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abî Bakar al-Qurthuby, Al-Jami‟ li‟ Ahkaam Al- Qur‟an, juz 15 Beirut: Muassasah ar-Risalah, 2006, h. 230 111 Muchlis, h. 120, menukil dari Al-Muwafaqat, 135 112 Ibnu Asyur sendiri berpandangan seperti kebnayakan ahli tafsîr yaitu seluruh tubuh wanita zinah yang harus ditutup, yang boleh dikecualikan wajah dan kedua telapak tangan. Ia juga menyebut riwayat yang memasukkan pengecualian pada kedua kaki dan rambut, tetapi pendapat itu dilemahkannya dengan cara mengutipnya dengan menggunakan kata qilah sighat al-tamridh, Tafsîr al-Tahrir wa al- tanwir 12207 113 M. Quraish Shihab, Jilbab, h. 160 bahwa ada baiknya digaris bawahi dua hal: pertama Al-Quran dan Sunnah secara pasti menyangkut berpakaian ditutup dengan ajakan bertaubat. Demikian juga surat Al-Ahzab ditutup dengan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Ajakan bertaubat agaknya merupakan isyarat bahwa pelanggaran kecil atau besar terhadap tuntunan memelihara pandangan kepada lawan jenis tidak mudah dihindari maka stiap orang dituntut tuk berusaha sebaik-baiknya dan sesuai kemampuannya. Sedangkan kekurangannya hendak memohon ampun kepada Allah, karena Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. 114 114 M. Quraish Shihab, Tafsîr Al-Misbah, Juz 9, h. 334

BAB VI PENUTUP