23
untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat di bidang agama, pendidikan, dan kesehatan. Sedangkan item pengungkapan yang menunjukkan akuntabilitas
horizontal kepada alam menurut syariah enterprise theory adalah adanya pengungkapan tentang kebijakan pembiayaan yang mempertimbangkan isu-isu
lingkungan, menyebutkan jumlah pembiayaan yang diberikan kepada usaha-usaha yang berpotensi merusak lingkungan dan alasan memberikan pembiayaan tersebut,
dan usaha-usaha untuk meningkatkan kesadaran lingkungan pada pegawai.
4. Good Corporate Governance a. Definisi Good Corporate Governance
Forum for Corporate Governance in Indonesia FCGI dalam Yudha Pranata 2007, mendefinisikan Good Corporate Governance sebagai sebagai seperangkat
peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham, pengurus pengelola perusahaan, pihak kreditur, pemerintah, karyawan serta para pemegang
kepentingan intern dan ekstern lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka atau dengan kata lain suatu sistem yang mengatur dan
mengendalikan perusahaan. Sementara itu, World Bank dalam Anggraeni dan Silviana, 2012
mendefinisikan bahwa Good Corporate Governance merupakan suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggungjawab
yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi, dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun
24
administratif, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal and political framework bagi tumbuhnya aktivitas usaha.
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa Good Corporate Governance merupakan suatu sistem tata kelola perusahaan yang berisi peraturan-
peraturan serta etika yang wajib dipenuhi untuk meningkatkan kinerja perusahaan sebagai bentuk pertanggungjawaban perusahaan terhadap pemegang saham,
pengurus pengelola perusahaan, pihak kreditur, pemerintah, karyawan serta para pemegang kepentingan intern dan esktern lainnya.
b. Implementasi Good Corporate Governance
Perbankan Syariah memiliki peraturan tersendiri mengenai pelaksanaan Good Corporate Governance, yaitu Peraturan Bank Indonesia PBI Nomor
1133PBI2009. Terbitnya peraturan ini diharapkan mampu memperkuat industriperbankan syariah menjadi industri yang sehat dan tangguh. Kemudian
peraturan ini juga memperjelas bahwa pelaksanaan GCG di dalam industri perbankan syariah berbeda dengan pelaksanaan GCG di perbankan konnvensional,
dimana pelaksanaan GCG perbankan syariah harus memenuhi prinsip syariah Sharia compliance.
Sharia Compliance merupakan ketaatan bank syariah terhadap prinsip- prinsip syariah. Bank syariah merupakan lembaga keuangan yang yang beroperasi
sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam, artinya bank dalam beroperasinya mengikuti ketentuan-ketentuan syariah Islam khususnya menyangkut tata cara
bermuamalat secara Islam Antonio, 1999.
25
Prinsip Good Corporate Governance dalam Islam juga sesuai dengan yang dirumuskan oleh OECD maupun KNKG. Prinsip-prinsip tersebut adalah
transparansi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, dan keadilan. 1 Transparansi
Keakuratan juga menjadi prinsip penting dalam pelaksanaan Corporate Governance yang Islami. Informasi yang akurat dapat diperoleh jika sistem
yang ada di perusahaan dapat menjamin terciptanya keadilan dan kejujuran semua pihak. Kondisi ini dapat dicapai jika setiap perusahaan menjalankan
etika bisnis yang Islami dan didukung dengan sistem akuntansi yang baik dalam pengungkapan yang wajar dan transparan atas semua kegiatan bisnis.
Widiyanti, 2009. 2 Akuntabilitas
Akuntabilitas tidak hanya terbatas pada pelaporan keuangan yang jujur dan wajar, tetapi yang lebih mengedapankan esensi hidup manusia yang yaitu
merupakan bentuk pertanggungjawaban manusia kepada Allah sebagai zat pemilik seluruh alam semesta. Konsep Islam yang fundametal meyakini
bahwa alam dan seluruh isinya sepenuhnya milik Allah dan manusia dipercaya untuk mengelola sebaik-baiknya demi kemaslahatan umat
Widiyanti, 2009. 3 Pertanggungjawaban
Pertanggungjawaban keuangan perusahaan juga perlu disampaikan dalam bentuk pengungkapan yang jujur dan wajar atas kondisi keuangan perusahaan.
26
Sehingga pemegang saham dan stakeholder dapat mengambil keputusan yang tepat. Pelaporan keuangan yang benar dan akurat, juga akan mengahasilkan
keakuratan dalam pembayaran zakat. Karena dari setiap keuntungan yang diperoleh muslim dalam kegiatan bisnisnya, setidaknya ada 2,5 yang
menjadi hak kaum fakir miskin. Masalah zakat menjadi penting dalam perspektif Islam karena merupakan ciri diimplementasikannya Good
Corporate Governance. Pengelolaan perusahaan yang baik tidak hanya bertujuan untuk memakmurkan manajemen dan pemegang saham, tetapi juga
masyarakat di sekitar perusahaan tersebut khususnya kaum fakir dan miskin Widiyanti, 2009.
4 Independensi Independensi terkait dengan konsistensi atau sikap istiqomah yaitu tetap
berpegang teguh pada kebenaran meskipun harus menghadapi risiko. 5 Keadilan
Prinsip pencatatan yang jujur, akurat dan adil juga telah diatur dalam Al Quran 2: 282. Al-Quran 2: 283 dan Al Quran 21: 47 juga menekankan
bahwa pencatatan atas transaksi keuangan harus dilakukan dengan baik dan benar. Orang yang bertanggungjawab atas pencatatan harus dipilih mereka
yang jujur dan adil. Sekali lagi, ini menunjukkan Islam menghendaki diselenggarakannya bisnis secara adil dan jujur bagi semua pihak Widiyanti,
2009.
27
Good Corporate Governance dalam prinsip syariah dijalankan tidak hanya sebagai bentuk pertanggungjawaban manajemen terhadap pemilik modal, tetapi
lebih pada kebutuhan dasar setiap muslim untuk menjalankan syariat Islam secara utuh dan sempurna. Dengan dasar keyakinan kepada Allah maka Good Corporate
Governance akan memotivasi transaksi bisnis yang jujur, adil dan akuntabel. Isfandayani 2012 menyatakan bahwa GCG mempunyai pilar-pilar
mekanisme supaya sistem GCG efektif. Pilar-pilar tersebut adalah: 1 Peran dan tanggung jawab DPS harus dioptimalkan untuk memberikan
keyakinan bahwa seluruh transaksi yang dilakukan oleh perusahaan tidak melanggar kaidah-kaidah syariah.
2 Bank syariah harus memiliki sistem pengawasan internal dan manajemen resiko yang tangguh untuk mendeteksi dan menghindari terjadinya salahkelola
dan penipuan maupun kegagalan sistem dan prosedur pada bank syariah. 3 Dalam konteks syariah, auditor eksternal tidak saja berperan untuk
memberikan opini bahwa laporan keuangan bank telah disajikan secara wajar sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku. Auditor eksternal juga harus
bekerjasama dan mengorelasikan pekerjaannya dengan DPS dan auditor internal untuk mendapatkan keyakinan bahwa penyajian laporan keuangan
telah memiliki tingkat pengungkapan dan transparansi yang memadai. 4 Transformasi budaya korporasi yang Islami dan peningkatan kualitas SDM
harus menjadi komitmen bagi manajemen bank syariah.
28
5 Perangkat hukum dan peraturan Bank Indonesia dan pasar modal yang sesuai dengan karakteristik bank syariah menjadi prasyarat guna terciptanya iklim
pengawasan dan GCG yang sehat bagi perbankan syariah.
c. Struktur Good Corporate Governance
1 Dewan Komisaris Komite Nasional Kebijakan Governance KNKG, 2006 menyebutkan bahwa
kepengurusan Perseroan Terbatas di Indonesia menganut sistem dua badan yaitu Dewan Komisaris dan Direksi yang mempunyai wewenang dan tanggung jawab yang
jelas sesuai dengan fungsinya masing-masing sebagaimana diamanahkan dalam anggaran dasar dan peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan
yang berlaku untuk hal ini adalah Undang-Undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang menyebutkan bahwa organ perusahaan terdiri dari RUPS,
Direksi, dan Dewan Komisaris. Menurut Egon Zehnder 2000 dalam FCGI 2001, Dewan Komisaris
merupakan inti dari corporate governance, yang ditugaskan untuk menjamin pelaksanaan strategi perusahaan, mengawasi manajemen dalam mengelola
perusahaan, dan mewajibkan terlaksananya akuntabilitas. Komisaris bersifat independen, mereka tidak terlibat dalam pengelolaan perusahaan dan diharapkan
mampu melaksanakan tugasnya secara obyektif Andayani. 2010. Dewan Komisaris memiliki wewenang untuk mengawasi dan memberikan
petunjuk dan arahan pada pengelola perusahaan. Dengan wewenang yang dimiliki, Dewan Komisaris dapat memberikan pengaruh yang cukup kuat dalam menekan
29
manajemen untuk mengungkapkan CSR Gray et al. dalam Anggraini, 2006. Undang-Undang Perseroan Terbatas No. 40 tahun 2007 memiliki ketentuan bahwa
suatu Perseroan Terbatas paling sedikit memiliki dua anggota Dewan Komisaris. Terdapat dua sistem manajemen yang membedakan mekanisme pengawasan
yang dilakukan oleh Dewan Komisaris yaitu FCGI, 2001: a Sistem satu tingkat atau One Tier System
Sistem ini berasal dari sistem hukum anglo saxon, dalam sistem ini perusahaan hanya mempunyai satu Dewan Direksi yang pada umumnya merupakan kombinasi
antara manajer atau pengurus senior Direktur Eksekutif dan Direktur Independen yang bekerja dengan paruh waktu Non Direktur Eksekutif. Negara-negara yang
menganut One Tier System adalah Amerika Serikat dan Inggris.
Gambar 2.1Struktur Board of Directors dalam One Tier System
b Sistem Dua Tingkat atau Two Tier System Sistem ini berasal dari sistem hukum kontinental Eropa. Dalam sistem ini
perusahaan mempunyai dua badan terpisah, yaitu Dewan Pengawas Dewan Komisaris dan Dewan Manajemen Dewan Direksi. Anggota Dewan Direksi
diangkat dan setiap waktu dapat diganti oleh badan pengawas Dewan Komisaris. Dewan Komisaris terutama bertanggungjawab untuk mengawasi tugas-tugas
30
manajemen. Negara negara yang menganut sistem ini adalah Denmark, Jerman, Belanda, Jepang dan Indonesia.
Gambar 2.2 Struktur Two Tiers System yang berkembang di Indonesia
Secara umum Dewan Komisaris ditugaskan dan diberi tanggung jawab atas pengawasan kualitas informasi yang terkandung dalam laporan keuangan. Hal ini
penting mengingat adanya kepentingan dari manajemen untuk melakukan manajemen laba yang berdampak pada berkurangnya kepercayaan investor. Untuk mengatasinya
Dewan Komisaris diperbolehkan untuk memiliki akses pada informasi perusahaan. Dewan Komisaris tidak memiliki otoritas dalam perusahaan, maka Dewan Direksi
bertanggungjawab untuk menyampaikan informasi terkait dengan perusahaan kepada Dewan Komisaris KNKG 2006.
Dewan komisaris ada dua jenis yaitu Komisaris independen dan Komisaris non- independen. Komisaris independen merupakan Komisaris yang tidak berasal dari
pihak terafiliasi, sedangkan Komisaris non-independen merupakan Komisaris yang terafiliasi yang dimaksud dengan terafiliasi adalah pihak yang mempunyai hubungan
bisnis dan kekeluargaan dengan pemegang saham pengendali, anggota Direksi dan
31
Dewan Komisaris lain, serta dengan perusahaan itu sendiri. Mantan anggota Direksi dan Dewan Komisaris yang terafiliasi serta karyawan perusahaan, untuk jangka
waktu tertentu termasuk dalam kategori terafiliasi KNKG 2006. Sembiring 2005 menyatakan bahwa semakin besar jumlah anggota Dewan
Komisaris, maka semakin mudah untuk mengendalikan CEO dan pengawasan yang dilakukan akan semakin efektif. Dikaitkan dengan pengungkapan tanggung jawab
sosial perusahaan, maka tekanan terhadap manajemen juga akan semakin besar untuk mengungkapkannya.
2 Komite Audit Dewan Komisaris dapat membentuk komite-komite yang dapat membantu
pelaksanaan tugasnya. Salah satunya adalah Komite Audit, yang memiliki tugas terpisah dalam membantu Dewan Komisaris untuk memenuhi tanggung jawabnya
dalam memberikan pengawasan secara menyeluruh FCGI, 2002. Dalam Pedoman GCG Indonesia KNKG, 2006 dijelaskan bahwa Komite Audit mempunyai tanggung
jawab pada tiga bidang, yaitu: a Laporan Keuangan Financial Reporting, adalah untuk memastikan bahwa
laporan keuangan yang dibuat oleh manajemen telah memberikan ganbaran yang sebenarnya tentang kondisi keuangan, hasil usahanya, serta rencana dan komitmen
jangka panjang. b Tata Kelola Perusahaan Corporate Governance, adalah untuk memastikan
bahwa perusahaan telah dijalankan sesuai undang-undang dan peraturan yang berlaku, melaksanakan usahanya dengan beretika, melaksanakan pengawasannya
32
secara efektif terhadap benturan kepentingan dan kecurangan yang dilakukan oleh karyawan perusahaan.
c Pengawasan perusahaan Coprorate Control Tanggung jawab Komite Audit untuk pengawasan perusahaan termasuk di
dalamnya pemahaman tentang masalah serta hal-hal yang berpotensi mengandung risiko dan sistem pengendalian intern serta memonitor proses pengawasan yang
dilakukan oleh auditor internal. Ruang lingkup audit internal harus meliputi pemeriksaan dan penilaian tentang kecukupan dan efektifitas sistem pengwasan
intern. Selain itu, menurut KNKG 2006, jumlah anggota Komite Audit harus
disesuaikan dengan kompleksitas perusahaan dengan tetap memperhatikan efektifitas dalam pengambilan keputusan. Komite Audit diketuai oleh Komisaris Independen
dan anggotanya terdiri dari Komisaris dan atau pelaku profesi dari luar perusahaan. Salah seorang anggota memiliki latar belakang dan kemampuan akuntansi dan atau
keuangan.
d. Syariah Governance Dewan Pengawas Syariah
Menurut Peraturan Bank Indonesia No.1133PBI2009, Dewan Pengawas Syariah DPS adalah dewan yang bertugas memberikan nasihat dan saran kepada
Direksi serta mengawasi kegiatan Bank agar sesuai dengan prinsip syariah. Dewan Pengawas Syariah merupakan komponen yang hanya dimiliki oleh
perusahaan yang dijalankan sesuai syariah Islam. Laporan DPS dibuat untuk meyakinkan stakeholder bahwa perusahaan telah menjalankan aktivitas operasinya
33
sesuai dengan prinsip syariah. Keberadaan pengawasan syariah dalam Bank Syariah merupakan penentu dalam pelaksanaan seluruh transaksi dan produk yang ditawarkan
sesuai dengan peraturan dan prinsip Islam. Pentingnya keberadaan pengawasan syariah dalam bank syariah ini sama pentingnya dengan keberadaan corporate
governance dalam suatu perusahaan. Menurut Bhatti dan Bhatti 2010 dalam Rahman dan Abdullah 2013, struktur corporate governance Islam dalam bank
syariah serupa dengan struktur corporate governance konvensional. Dalam corporate governance Islam, praktik corporate governance dilakukan dengan pengawasan yang
dilakukan oleh suatu dewan yang disebut dengan Dewan Pengawas Syariah DPS. Tugas dan Tanggung Jawab DPS diatur dalam Peraturan Bank Indonesia
No.1133PBI2009 pada pasal 46 dan 47. Pada pasal 46, Dewan Pengawas Syariah wajib melaksanakan tugas dan tanggung jawab sesuai dengan prinsip-prinsip GCG.
Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Dewan Pengawas Syariah sebagaimana pada Pasal 47 meliputi antara lain :
1 Menilai dan memastikan pemenuhan Prinsip Syariah atas pedomanoperasional dan produk yang dikeluarkan Bank.
2 Mengawasi proses pengembangan produk baru Bank agar sesuai denganfatwa Dewan Syariah Nasional
β Majelis Ulama Indonesia. 3 Meminta fatwa kepada Dewan Syariah Nasional
β Majelis Ulama Indonesiauntuk produk baru Bank yang belum ada fatwanya.
34
4 Melakukan review secara berkala atas pemenuhan Prinsip Syariah terhadapmekanisme penghimpunan dana dan penyaluran dana serta pelayanan
jasa bank. 5 Meminta data dan informasi terkait dengan aspek syariah dari satuan kerja bank
dalam rangka pelaksanaan tugasnya. Farook et al. 2011 dalam penelitiannya mengenai faktor-faktor penentu
pengungkapan CSR di bank-bank Islam memilih proxy keberadaan Sharia Supervisory Board SSB atau Dewan Pengawas Syariah sebagai atribut pengujian
yang mewakili struktur shariah governance. Menurut pendapatnya, sejumlah bank Islam membentuk lembaga khusus pengawasan untuk membatasi perbedaan
kepentingan antara investor Islam dengan pengelolaan bank syariah. Dewan Pengawas Syariah berfungsi untuk meyakinkan investor bahwa bank-bank Islam
patuh pada hukum dan prinsip-prinsip syariah. Faroek et al. 2011 menambahkan dalam penelitiannya bahwa idealnya masyarakat mengharapkan Dewan Pengawas
Syariah dapat mewakili hukum dan prinsip-prinsip Islam lebih dari manajemen. Sejauh mana keberadaan Dewan Pengawas Syariah mempengaruhi pengungkapan
CSR tergantung pada fungsi Dewan Pengawas Syariah dalam melakukan pengawasan dari sudut pandang investor. Faktor penentu dari tingkat pengawasan tersebut yaitu:
1 Keberadaan Dewan Pengawas Syariah Fungsi Dewan Pengawas Syariah sebagaimana yang dinyatakan oleh AAOIFI
yaitu peran Dewan Pengawas Syariah dalam hal memberikan keyakinan kepada investor maupun stakeholder bahwa bank Islam dalam menjalankan kegiatannya telah
35
patuh pada hukum-hukum dan prinsip-prinsip syariah seperti yang tercantum dalam Alquran dan hadits. Sifat kepatuhan terhadap hukum dan prinsip Islam tidak hanya
dilihat dari kepatuhan dalam menerbitkan laporan syariah saja, namun juga lebih banyak terlibat dalam kegiatan CSR, termasuk pengungkapan CSR Farook et al.
2011. 2 Jumlah Anggota Dewan
Standar AAOIFI menyatakan bahwa jumlah minimum anggota Dewan Pengawas Syariah untuk persyaratan bank-bank syariah paling sedikit tiga anggota.
Semakin besar jumlah anggota dalam sebuah Dewan Pengawas Syariah, semakin tinggi tingkat pengawasannya, maka menyiratkan semakin tinggi pula tingkat
kepatuhan bank terhadap hukum dan prinsip syariah. DPS akan mampu mengalokasikan fungsinya dalam kelompok yang memiliki anggota lebih banyak,
yang memungkinkan DPS untuk meninjau lebih banyak aspek dari kegiatan bank sehingga dapat memastikan tingkat kepatuhan yang lebih tinggi. Salah satu aspek
kepatuhan ini adalah pengungkapan CSR yang lebih luas. Selain itu, dengan jumlah anggota yang lebih besar, penyatuan ide-ide dan perspektif yang lebih beragam dapat
berdampak pada aplikasi yang lebih baik dari hukum Islam, khususnya dalam hal pengungkapan. AAOIFI merekomendasikan bahwa sebaiknya anggota yang duduk
dalam DPS berasal dari latar belakang profesi AAOIFI, 2003. 3 Kualifikasi Pendidikan
Dalam beberapa literatur disebutkan bahwa latar belakang pendidikan yang dimiliki oleh direktur atau anggota dewan dalam hal ini DPS juga memengaruhi
36
tingkat pengungkapan Farook et al. 2011. Biasanya anggota DPS terdiri dari ahli hukum Islam yang mungkin tidak berpendidikan tinggi dalam studi sekuler Farook
et al, 2011. Hal ini dapat menghambat kemampuan mereka dalam penerapan hukum- hukum dan prinsip-prinsip Islam secara menyeluruh dikarenakan kurangnya
pengetahuan komersial praktis mereka. Oleh karena itu, para ahli dengan gelar doktor di bidang ekonomi dan bisnis dapat dikatakan memiliki informasi lebih baik
mengenai implikasi Islam dalam lembaga keuangan, khususnya berkaitan dengan pengungkapan CSR Farook et al, 2011.
Tugas pokok dan concern utama dari DPS adalah dalam hal sharia compliant. Jadi tidak dapat dipungkiri bahwa kompetensi yang dibutuhkan bagi DPS adalah
keahlian dalam hal hukum Islam. Namun perlu disadari pula bahwa keahlian dalam bidang keuangan perbankan juga diperlukan bagi DPS Charles dan Chariri, 2012.
Tentu akan sulit untuk menentukan istimbat mengenai halal atau haramnya suatu aktivitas atau bahkan produk bank, jika DPS hanya mengusai hukum Islam tanpa
memahami praktik perbankan. Lebih lanjut Bakar 2002 dalam Farook et.al 2011 menyatakan bahwa idealnya penasehat syariah anggota dewan harus mempu
memahami bukan saja isu-isu syariah tetapi juga isu-isu mengenai hukum dan ekonomi, karena isu-isu demikian saling melengkapi.
GSFI No.1 tentang β Dewan Pengawas Syariah : Penunjukkan, Komposisi, dan lapor
anβ, secara khusus pada paragraf kedua memberikan rekomendasi tentang komposisi keahlian DPS. Bank syariah harus menunjukkan dan mengangkat DPS
dengan keahlian utama fiqh muamalah, namun hendaknya diangkat pula seseorang
37
yang ahli dalam bidang institusi keuangan Islam ahli keuanganperbankan dengan pengetahuan fiqh muamalah. Dalam kaitan dengan pengungkapan CSR, diduga Bank
Syariah dengan DPS yang memiliki kompetensi dalam bidang keuangan dan perbankan akan melakukan pengungkapan CSR dengan lebih baik.
3 Reputasi Para Ahli Menurut Farook et al 2011 beberapa ahli syariah memiliki jumlah yang
signifikan dalam hal pengetahuan tentang penerapan hukum Islam dalam institusi keuangan. Namun, kualifikasi yang mereka miliki mungkin belum diakui secara
formal atau tidak berasal dari lembaga pendidikan sekuler. Hussain dan Mallin dalam 2003 dalam Farook et al. 2011 melaporkan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi penunjukan direktur pada perusahaan di Bahrain adalah kemampuan yang relevan, pengalaman bisnis dan reputasi. Berdasarkan hal tersebut, diharapkan
bahwa reputasi sebagai proxy untuk pengetahuan industri dan oleh karena itu para ahli memiliki reputasi dengan tingkat pengetahuan tentang prinsip syariah dan bisnis
yang relevan dan banyak menjadi perwakilan bagi Dewan Pengawas Syariah di lembaga keuangan dan perbankan syariah yang paham akan implikasinya pada
perbankan syariah, khususnya berkaitan dengan pengungkapan CSR. Oleh karena itu, ahli yang memiliki reputasi lebih memungkinkan untuk meningkatkan kegiatan CSR
serta pengungkapan informasi CSR kemudian.
38
B. Keterkaitan Antar Variabel 1. Ukuran Dewan Pengawas Syariah tingkat Pengungkapan CSR
Dewan Pengawas Syariah DPS mempunyai peran dalam pengungkapan CSR berdasarkan Islamic Social Reporting ISR perbankan syariah. Hal ini karena
kepatuhan perusahaan terhadap prinsip syariah. Penelitian Farook dan Lanis 2005 menemukan bahwa Islamic Governance sebagai proksi corporate governance di
Bank Islam terbukti berpengaruh positif signifikan terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial. Dalam variabel Islamic Governance tersebut dibahas mengenai jumlah
Dewan Pengawas Syariah, dimana semakin banyak jumlah DPS dapat meningkatkan level pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan. Percy dan Stewart 2010
dalam Widayuni 2014 menjelaskan bahwa fungsi dan tugas Dewan Pengawas Syariah bisa dibagi antara anggota, sehingga memungkinkan anggota-anggota
tertentu untuk fokus pada pelaporan perusahaan. Ukuran Dewan Pengawas Syariah dengan perspektif dan pengalaman yang beragam dapat mengakibatkan kepatuhan
yang lebih baik terhadap hukum syariah pada pelaporan perusahaan. Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis penelitian yang diajukan adalah sebagai berikut:
H
1 :
Ukuran Dewan Pengawas Syariah berpengaruh positf terhadap pengungkapan Corporate Social responsibility.
2. Ukuran Dewan Komisaris dengan Pengungkapan CSR