Kedalaman Muka Air Tanah dan Fluks CO

17 degradasi bahan gambut semakin cepat dengan semakin meningkatnya suhu tanah dan akan mencapai maksimum pada sekitar suhu 35 o C dan 37 o C. Selain itu Chimner 2004 di dalam hasil penelitiannya juga menyebutkan nilai respirasi tanah tahunan pada lahan gambut berkorelasi dengan rata-rata suhu tahunan. Berdasarkan data pengukuran seperti yang dapat dilihat pada Lampiran 3, rata-rata suhu di luar piringan dari ketiga kebun tersebut lebih tinggi dibandingkan rata-rata suhu di dalam piringan. Gambar 1. Rata-Rata Fluks CO 2 dari Lahan Gambut pada Setiap Kebun berdasarkan Lokasi Pengukuran

4.3 Kedalaman Muka Air Tanah dan Fluks CO

2 pada Lahan Gambut Kedalaman muka air tanah dipengaruhi oleh adanya proses drainase lahan gambut yang diperlukan untuk pengelolaan kebun kelapa sawit, baik untuk pertumbuhan akar tanaman kelapa sawit juga untuk digunakan sebagai akses jalan. Perubahan kedalaman muka air tanah pada lahan gambut ini mempengaruhi proses keluarnya CO 2 ke atmosfer melalui suasana oksidasi dan reduksi yang terbentuk. Handayani 2009 menyebutkan bahwa dari hasil pengukuran kedalaman muka air tanah di lapang menunjukkan bahwa dalam transek yang sama, titik pengamatan yang dekat dengan saluran drainase memiliki muka air tanah lebih dalam, dan semakin jauh dengan saluran drainase utama, maka kedalaman muka air tanah semakin berkurang muka air tanah lebih dangkal. Pengukuran kedalaman muka air ini dilakukan pada musim hujan, sehingga perubahan kedalaman muka airnya kurang terlihat jelas. Data hasil 200 400 600 800 1000 1200 Fluks CO 2 mgm 2 jam Piringan Luar Piringan 18 pengukuran dari setiap kebun seperti yang disajikan pada Tabel 4 menunjukkan kedalaman muka air tanah cenderung menurun mulai dari jarak 5-10 m, 75 m sampai 150 m. Kedalaman muka air tanah dapat mempengaruhi terciptanya suasana oksidasi, di mana pada kondisi tersebut proses dekomposisi menjadi lebih cepat. Hal berbeda terjadi pada Kebun Sulin-1 di mana kedalaman muka air tanah pada setiap jarak sama yakni 35 cm. Hal ini diduga karena pengukuran yang dilakukan pada musim hujan sehingga menyebabkan muka air pada saluran drainase yang dangkal mempengaruhi kedalaman muka air tanah pada transek tersebut. Kedalaman muka air tanah pada musim hujan kurang dapat menunjukkan dengan jelas perubahan kedalaman muka air tanah yang terjadi. Kedalaman muka air tanah pada setiap kebun berbeda-beda, berkisar antara 30-59 cm. Tabel 4. Fluks CO 2 dari Lahan Gambut Berdasarkan Kedalaman Muka Air Tanah pada Lokasi Penelitian Kebun Jarak m Kedalaman Muka Air cm Fluks CO 2 mgm 2 jam Piringan Luar piringan Sulin 1 5-10 35 564,85 690,78 75 35 583,50 481,47 150 35 731,11 523,21 Sulin 2 5-10 38 629,69 436,42 75 35 810,50 815,27 150 36 706,89 1046,00 Nahiyang 1 5-10 50 452,01 768,14 75 50 395,49 714,43 150 40 717,15 863,90 Nahiyang 2 5-10 50 708,27 571,21 75 45 454,41 280,08 150 45 404,30 790,10 Tanjung Paring 5-10 59 1258,89 516,40 75 36 546,14 997,68 150 30 1334,00 510,88 Fluks CO 2 yang dihasilkan dari setiap kebun beragam. Apabila seluruh nilai fluks yang diamati dikelompokan akan diperoleh diagram pencar seperti Gambar 2. Fluks yang terukur pada kedalaman muka air tanah yang berbeda-beda, 19 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 F luks C O 2 m gm 2 j a m Kedalaman Muka Air Tanah cm Fluks CO 2 di Dalam dan di Luar Piringan Piringan Luar piringan serta lokasi yang berada baik di piringan maupun di luar pringan tidak membentuk pola yang dapat menunjukkan adanya hubungan diantara fluks CO 2 , kedalaman muka air, maupun lokasi pengukuran. Rata-rata kedalaman muka air tanah dari semua kebun berkisar antara 35-60 cm, sedangkan fluks yang dihasilkan berkisar antara 200-1300 mgm 2 jam. Gambar 2. Diagram Pencar Fluks CO 2 dan Kedalaman Muka Air Tanah pada Lokasi Penelitian Analisis sulit dilakukan jika nilai fluks CO 2 digabung secara keseluruhan. Oleh karena itu, fluks CO 2 yang dihasilkan dari pengukuran dibedakan berdasarkan lokasinya dari tanaman, yaitu di piringan dan di luar piringan Gambar 3 dan Gambar 4. Gambar 3 menunjukkan nilai fluks CO 2 yang dihasilkan di luar piringan. Fluks CO 2 yang terukur paling tinggi terdapat pada Kebun Tanjung Paring yaitu mencapai 1334 mgm 2 jam, meskipun kedalaman muka airnya lebih dangkal yaitu 30 cm. Sedangkan pada kedalaman muka air 59 cm di titik yang lebih dekat dengan saluran drainase fluks yang dihasilkan sebesar 1258,89 mgm 2 jam. Fluks yang dihasilkan menurun pada kedalaman muka air setinggi 36 cm, yaitu menjadi 546,14 mgm 2 jam. Kedalaman muka air yang tinggi menyebakan proses dekomposisi yang lebih lanjut dari tanah gambut, sehingga fluks yang dihasilkan pada titik yang lebih dekat dengan saluran lebih tinggi. Namun fluks yang lebih tinggi 1334 mgm 2 jam justru terdapat pada titik yang lebih jauh dari saluran drainase, meskipun kedalaman muka airnya lebih dangkal yaitu 30 cm. Hal ini dapat disebabkan adanya pengaruh faktor biologi 20 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 F luks C O 2 m gm 2 j a m Kedalaman Muka Air Tanah cm Fluks CO 2 di Dalam Piringan yaitu dari akar tanaman serta aktifitas organisme di daerah rizhosfer. Seperti yang ditunjukkan pada Tabel 4 dimana fluks tertinggi terdapat pada piringan. Fluks CO 2 terendah yang didapatkan dari hasil pengukuran berada di Kebun Nahiyang-1 yaitu 395,49 mgm 2 jam dengan kedalaman muka airnya sebesar 50 cm, sedangkan pada kedalaman muka air yang lebih dangkal 40 cm fluks CO 2 justru meningkat menjadi 717,15 mgm 2 jam. Pola yang sama dengan hasil pengukuran di Kebun Tanjung Paring dimana fluks CO 2 yang dihasilkan pada kedalaman muka air tanah 30 cm lebih besar dibandingkan pada kedalaman 36 cm dan juga 59 cm. Peningkatan fluks CO 2 dengan meningkatnya kedalaman muka air tanah ternyata kurang konsisten pada hasil penelitian ini Lampiran 4. Pada Kebun Sulin-1 terjadi peningkatan fluks CO 2 meskipun kedalaman muka air tanahnya konstan. Kebun Sulin-2 justru menunjukkan fluks CO 2 pada kedalaman muka air tanah yang lebih dangkal menghasilkan fluks CO 2 yang lebih tinggi. Gambar 3. Diagram Pencar Fluks CO 2 dan Kedalaman Muka Air Tanah di Dalam Piringan pada Lokasi Penelitian Hal berbeda terjadi pada kebun Nahiyang-2. Di kedalaman muka air tanah 50 cm, fluks CO 2 yang dihasilkan 708,27 mgm 2 jam, selanjutnya fluks CO 2 turun menjadi 454,41 mgm 2 jam pada kedalaman muka air tanah setinggi 45 cm. Penurunan nilai fluks CO 2 tersebut menunjukkan kedalaman muka air tanah yang semakin dangkal dengan semakin jauh jaraknya dari saluran drainase menghasilkan nilai fluks CO 2 yang juga semakin menurun. Selanjutnya fluks CO 2 semakin menurun menjadi 404,30 mgm 2 jam meskipun kedalaman muka airnya 21 tetap sama. Penurunan nilai fluks CO 2 pada kedalaman yang sama namun jarak yang berbeda dari saluran drainase tidak sebesar dengan penurunan fluks CO 2 saat kedalaman muka air tanahnya berubah dari 50 cm menjadi 45 cm. Hal tersebut menunjukkan adanya pengaruh kedalaman muka air tanah dengan fluks CO 2 yang dihasilkan, di mana muka air tanah yang lebih dalam akan menciptakan kondisi aerob yang mempercepat proses dekomposisi. Gambar 4 menunjukkan nilai fluks CO 2 yang dihasilkan di luar piringan. Fluks CO 2 yang dihasilkan di luar piringan dominan lebih tinggi dibandingkan fluks CO 2 yang dihasilkan di dalam piringan. Fluks CO 2 di piringan yang dihasilkan lebih menyebar dibandingkan fluks CO 2 di luar piringan. Fluks tertinggi terdapat di Kebun Sulin-2 yaitu 1046 mgm 2 jam, sedangkan fluks terendah terdapat di Kebun Nahiyang-2 yaitu 280,08 mgm 2 jam. Pola pada Gambar 4 menunjukkan nilai fluks CO 2 dari seluruh kebun cenderung menurun dengan semakin meningkatnya kedalaman muka air tanah, begitu pula jika dilihat pada masing-masing kebun. Hal tersebut menunjukkan kedalaman muka air tanah kurang memberikan pengaruh yang nyata. Hasil yang sama dari penelitian Watannabe et al. 2009, di mana disebutkan kedalaman muka air tanah tidak memberikan pengaruh yang nyata pada fluks CO 2 . Jauhiainen et al. 2005 dalam Watannabe et al. 2009 juga menyebutkan adanya kepekaan yang rendah dari fluks CO 2 dengan kedalaman muka air tanah yang ditemukan di hutan rawa gambut di Kalimantan. Selain faktor suhu, banyak faktor lain yang menyebabkan terjadinya pola seperti Gambar 4. Handayani 2009 di dalam penelitiannya juga mengalami dinamika seperti yang terjadi pada hasil penelitian ini, namun dalam skala emisi tonhatahun. Tingkat kematangan dan kedalaman gambut serta sistem pengelolaan pada kebun diduga menjadi faktor yang mempengaruhi fluks CO 2 yang dihasilkan. Purwanto et al. 2005 dalam Watannabe et al. 2009 menyebutkan bahwa akumulasi bahan gambut yang lebih bersifat aromatik pada gambut tropis lebih banyak dibandingkan gambut sub tropis, yang kemungkinan diperoleh dari vegetasi yang berbeda-beda dan tingkat dekomposisi dari campuran bahan organik yang masih labil, menjadi penyebab dari variasi yang rendah dari nilai fluks CO 2 . 22 200 400 600 800 1000 1200 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 F luks C O 2 m gm 2 j a m Kedalaman Muka Air Tanah cm Fluks CO 2 di Luar Piringan Gambar 4. Diagram Pencar Fluks CO 2 dan Kedalaman Muka Air Tanah di Luar Piringan pada Lokasi Penelitian 4.4 Tingkat Dekomposisi, Ketebalan dan Fluks CO 2 pada Lahan Gambut Tingkat dekomposisi dan ketebalan dari gambut diperkirakan dapat menjadi faktor yang mempengaruhi nilai fluks CO 2. Ketersediaan bahan gambut baik kuantitas maupun kualitas karbon merupakan kunci pengendali dinamika gas Sylvia et al., 1998 dalam Handayani, 2009, ketersediaan bahan tersebut dipengaruhi oleh tingkat dekomposisi dan ketebalan gambut. Hasil pengukuran disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Tingkat Dekomposisi, Ketebalan dan Fluks CO 2 pada Lahan Gambut di Lokasi Penelitian No Kebun Estate Contoh Blok Tingkat Dekomposisi 0-50 cm Ketebalan cm Rata-Rata mgm 2 jam Piringan Luar Piringan 1 Sulin 1 UG-09 J-60 Saprik S.1 150-300 cm S.1 626,49 565,15 2 Sulin 2 SK-1 N-81 Hemik S.2 150 cm S.2 715,69 765,90 3 Nahiyang 1 Hi-3 A-79 Saprik N.1 300 cm N.1 521,55 782,16 4 Nahiyang 2 Hi-2 D-85 SaprikHemik N.2 150-300 N.2 522,33 547,13 5 Tanjung Paring UG-14 R-36 SaprikHemik TP 330 cm TP 1046,34 674,99 23 Berdasarkan ketebalan gambut, lahan gambut dapat dibedakan menjadi 5 kelompok Najiyati et al., 2005, yaitu lahan bergambut 0-50 cm, dangkal 50- 100 cm, sedang 100-200 cm, dalam 200-300 cm dan sangat dalam 300 cm. Tingkat kematangan gambut pada kelima kebun bervariasi seperti yang tertera pada Tabel 5. Tingkat kedalaman mulai dari sedang sampai sangat dalam, sedangkan untuk tingkat dekomposisi pada kedalaman 0-50 cm, rata-rata berada pada tingkat kematangan saprik. Tingkat dekomposisi gambut berpengaruh terhadap kandungan C-organik di dalamnya. Kehilangan C-organik melalui proses dekomposisi bahan gambut akan menghasilkan CO 2 . Umumnya pada tingkat dekomposisi lanjut seperti hemik dan saprik akan memperlihatkan kadar C- organik lebih rendah dibanding dengan fibrik. Pada Gambar 5 ditunjukkan gambut pada tingkat kematangan hemik di Kebun Sulin-2 rata-rata fluks CO 2 yang dihasilkan lebih tinggi dibandingkan kebun-kebun yang lain. Gambut pada tingkat dekomposisi hemik memiliki stabilitas rendah dan kandungan bahan organik yang lebih tinggi dibandingkan saprik. Oleh karena itu, pada saat terdrainase bahan organik akan teroksidasi menghasilkan gas CO 2. Kehilangan C pada gambut ini lebih tinggi daripada gambut lebih matang saprik. Gambar 5. Fluks CO 2 dan Tingkat Dekomposisi Gambut pada Lokasi Penelitian 200 400 600 800 1000 1200 F luks C O 2 m gm 2 j a m Tingkat Dekomposisi 0-50 cm Fluks CO 2 Pada Tingkat Kematangan Gambut Piringan Luar Piringan 24 200 400 600 800 1000 1200 150-300 cm S.1 150 cm S.2 300 cm N.1 150-300 N.2 330 cm TP F luks C O 2 m gm 2 j a m Tingkat Ketebalan cm Fluks CO 2 Pada Tingkat Ketebalan Gambut Piringan Luar Piringan Pada Kebun Tanjung Paring didapatkan nilai fluks CO 2 yang lebih tinggi dibandingkan dengan Kebun Sulin-2, sedangkan gambut pada Kebun Tanjung Paring sebagian besar termasuk dalam gambut saprik. Hal tersebut diduga karena masih adanya pengaruh kedalaman muka air tanah, di mana Kebun Tanjung Paring memiliki kedalaman muka air tanah tertinggi yaitu 59 cm. Selain itu faktor-faktor lain seperti suhu dan respirasi akar yang juga dapat mempengaruhi fluks CO 2 yang dihasilkan dari lahan gambut. Sylvia et al. 1998 dalam Handayani 2009 menyatakan bahwa ketersediaan bahan gambut baik kuantitas maupun kualitas karbon merupakan pengendali dinamika gas. Ketebalan gambut mempengaruhi nilai fluks CO 2 yang dihasilkan, baik pada proses keluarnya gas CO 2 maupun proses dekomposisi yang menghasikan gas CO 2 . Pada Gambar 6 dapat dilihat bahwa Kebun Sulin-2 memiliki tingkat ketebalan yang paling rendah dibanding keempat kebun lain. Handayani 2009 menyebutkan gambut dalam memiliki tingkat kesuburan lebih rendah dibandingkan gambut dangkal, sehingga pada gambut dangkal dekomposisi akan berjalan lebih cepat dibandingkan dengan dekomposisi gambut dalam. Selain itu seperti yang tertera pada Tabel 5, bahwa Kebun Sulin-2 merupakan gambut dengan tingkat dekomposisi hemik di mana bahan organik yang dimiliki masih cukup banyak, sehingga memungkinkan dekomposisi lebih besar dan nilai rata-rata fluks CO 2 yang dihasilkan lebih tinggi. Gambar 6. Fluks CO 2 dan Tingkat Ketebalan Gambut pada Lokasi Penelitian 25 Pada Kebun Tanjung Paring rata-rata fluks CO 2 lebih tinggi dibandingkan Kebun Sulin-2, sedangkan ketebalan gambut sangat dalam yaitu 330 cm. Hal ini diduga karena Kebun Tanjung Paring memiliki kedalaman muka air yang paling tinggi di dekat saluran drainase dibandingkan keempat kebun yang lain, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 4. Nilai fluks CO 2 yang tertinggi juga diperoleh pada lokasi piringan, sehingga dimungkinkan peran aktivitas dari perakaran dan mikroorganisme yang mempengaruhi nilai fluks CO 2 pada kebun ini menjadi lebih tinggi.

V. KESIMPULAN DAN SARAN