Gambut di Indonesia Sifat-Sifat Tanah Gambut

4 sebesar : a. 18 atau lebih, bila fraksi mineralnya mengandung liat 60 atau lebih, atau b. 12 atau lebih, bila fraksi mineralnya tidak mengandung liat, atau c. 12 atau lebih ditambah liat x 0,1 bila fraksi mineralnya mengandung 60 liat.

2.1.2 Gambut di Indonesia

Di Indonesia gambut terbentuk dalam ekosistem lahan rawa. Proses pembentukan gambut terjadi di daerah cekungan di bawah pengaruh penggenangan yang cukup lama Sabiham, 2006. Barchia 2006, menyebutkan bahwa tanah gambut terjadi di bawah kondisi yang jenuh air seperti daerah depresi, danau dan pantai yang banyak menghasilkan bahan organik yang melimpah oleh vegetasi yang telah beradapatasi dengan kondisi setempat seperti rumput-rumputan, mangrove atau hutan rawa. Indonesia memiliki lahan gambut terluas di antara negara tropis, yaitu sekitar 21 juta ha, yang tersebar terutama di Sumatera, Kalimantan dan Papua BB Litbang SDLP, 2008 dalam Agus dan Subiksa, 2008. Perluasan pemanfaatan lahan gambut meningkat pesat di beberapa provinsi yang memiliki areal gambut luas, seperti Riau, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah . Namun karena variabilitas lahan ini sangat tinggi, baik dari segi ketebalan gambut, kematangan maupun kesuburannya, tidak semua lahan gambut layak untuk dijadikan areal pertanian. Faktor pembatas utama adalah kondisi media perakaran dan unsur hara yang tidak mendukung pertumbuhan tanaman . Dari 18,3 juta ha lahan gambut di pulau-pulau utama Indonesia, hanya sekitar 6 juta ha yang layak untuk pertanian Agus dan Subiksa, 2008.

2.1.3 Sifat-Sifat Tanah Gambut

Berdasarkan tingkat dekomposisinya, gambut dibedakan menjadi tiga jenis yaitu gambut fibrik, hemik dan saprik. Gambut fibrik adalah bahan tanah gambut yang masih tergolong mentah yang dicirikan dengan tingginya kandungan bahan- bahan jaringan tanaman atau sisa-sisa tanaman yang masih dapat dilihat keadaan 5 aslinya dengan ukuran beragam dengan diameter antara 0,15 mm hingga 2,00 cm. Gambut hemik adalah tanah gambut yang sudah mengalami perombakan dan bersifat separuh matang. Gambut saprik adalah bahan tanah gambut yang sudah mengalami perombakan lanjut dan bersifat matang hingga sangat matang Noor, 2001. Bila dilihat volume seratnya, fibrik memiliki serat 23 volume, hemik 13- 23 volume dan saprik kurang dari 13 volume. Tingkat dekomposisi gambut sangat mempengaruhi sifat fisik tanah gambut. Kerapatan lindak adalah salah satu pengukuran yang penting untuk menafsirkan data analisis tanah, terutama yang menunjukkan kesuburan Andriesse, 2003. Kerapatan lindak atau bulk density BD tanah gambut sangat rendah jika dibandingkan dengan tanah mineral. Tanah gambut memiliki BD yang beragam antara 0,01 gcm 3 - 0,20 gcm 3 . Makin rendah kematangan gambut, maka makin rendah nilai BD-nya. Nilai BD gambut fibrik hemik saprik. Kerapatan lindak yang rendah dari gambut memberi konsekuensi rendahnya daya tumpu tanah gambut Noor, 2001. Kadar air tanah gambut merupakan air yang ditahan oleh gambut terutama sebagai air kapiler dan air terjerap. Air yang tertahan secara kapiler dipengaruhi oleh porositas total dan tingkat dekomposisi, sedangkan air yang terjerap dipengaruhi oleh sifat koloidal dan luas permukaan spesifik gambut. Namun demikian, kapasitas air maksimum untuk gambut fibrik 850-3000 , gambut hemik 450-850 , dan gambut saprik 450 Andriesse, 2003. Di lapangan kadar air yang bervariasi ini tidak hanya mempunyai keterkaitan dengan tingkat kematangan atau tingkat dekomposisi gambut. Kadar air yang tinggi lebih banyak disebabkan oleh bentuk permukaan tanah mineral yang cekung berada di bawah gambut. Dengan kemampuan menampung air yang tinggi, maka daerah cekungan dapat berfungsi sebagai penyimpan air yang cukup besar Sabiham, 2006. Sifat fisik yang penting dari tanah gambut yaitu sifat kering tidak balik irreversible drying. Kering tidak balik berkaitan dengan kemampuan gambut dalam menyimpan, memegang, dan melepas air. Gambut yang mengalami kekeringan hebat setelah reklamasi atau pembukaan lahan akan berkurang kemampuannya dalam memegang air. Keadaan ini disebut dengan kering tak balik. Gambut yang telah mengalami kering tak balik menjadi rawan terbakar. 6 Gambut yang terbakar mempunyai kemampuan memegang air tinggal sebesar 50 Rieley et al., 1996 dalam Noor, 2001. Menurut Noor 2001 kering tak balik besar terjadi pada gambut tropik, khususnya gambut rawa. Sebagian pakar berpendapat bahwa penurunan kemampuan gambut yang mengalami kekeringan dalam menyerap air merupakan akibat terbentuknya selimut coating penahan air. Coulter 1975 dalam Andriesse 2003 menyatakan bahwa sifat hidrofobik gambut dari gambut kering adalah karena adanya lapisan seperti resin yang terbentuk pada waktu pengeringan. Sifat lain dari tanah gambut yang penting yaitu sifat kimianya. Sifat dan ciri kimia tanah gambut yang utama antara lain kemasaman tanah, kapasitas tukar kation, C-organik dan kadar abu. Kemasaman pH tanah-tanah organik berkaitan dengan kehadiran senyawa-senyawa organik, alumunium dan hidrogen yang dapat dipertukarkan, serta besi sulfida dan senyawa-senyawa sulfur lain yang dapat dioksidasi. Gambut-gambut tropika yang bersifat ombrogen dan oligotrofik, yang mencangkup sebagian tropika daratan rendah biasanya bersifat masam atau sangat masam dengan kisaran pH sebesar 3-4,5 Andriesse, 2003. Kemasaman tanah gambut cenderung makin tinggi jika gambut tersebut makin tebal. Gambut dangkal mempunyai pH antara 4,0-5,1, sedangkan gambut dalam mempunyai pH antara 3,1-3,9. Kapasitas tukar kation KTK tanah gambut memegang peranan penting dalam pengelolaan tanah dan menjadi penciri kesuburan tanah. Nilai KTK gambut berkisar dari 50 sampai lebih dari 100 cmol + kg -1 bila dinyatakan atas dasar bobot tetapi lebih rendah jika dinyatakan atas dasar volume Radjagukguk, 1997. Nilai KTK tanah gambut sangat bergantung pada pH. Andriesse 2003 menyatakan KTK tanah gambut pada pH 7, tanah organik yang mengalami sedikit perombakan mempunyai KTK 100 cmol + kg -1 , tetapi yang mempunyai tingkat perombakan tinggi tergolong gambut saprik mempunyai KTK sekitar 200 cmol + kg -1 . Kandungan C-organik dalam tanah gambut tergantung tingkat dekomposisinya. Proses dekomposisi menyebabkan berkurangnya kadar karbon dalam tanah gambut. Umumnya pada tingkat dekomposisi lanjut seperti hemik dan saprik akan menunjukkan kadar C-organik lebih rendah dibandingkan dengan 7 fibrik. Kandungan C-organik gambut dapat bervariasi dari 12-60. Kisaran besaran ini menunjukkan jenis bahan organik, tahap dekomposisi dan kemungkinan juga metode pengukurannya Andriesse, 2003. Kadar abu pada gambut alami yang belum terganggu tergolong rendah. Kadar abu yang rendah menunjukkan bahwa tanah gambut tersebut miskin. Semakin tinggi kadar abu, maka semakin tinggi mineral yang dikandungnya. Radjagukguk 1997 di dalam penelitiannya menyatakan bahwa kadar abu gambut Indonesia berkisar 2,4-16,9. Semakin dalam ketebalan gambut, makin rendah kadar abunya. Kadar abu sangat dalam 3m sekitar 5, gambut dalam dan tengahan 1-3m berkisar 11-12 dan gambut dangkal sekitar 15 Noor, 2001.

2.2 Emisi Gas Rumah Kaca