15
4.2 Fluks CO
2
di Dalam dan Luar Piringan pada Lahan Gambut
Pengukuran Fluks CO
2
merupakan pengukuran dasar dan sering digunakan dalam penentuan emisi gas. Fluks CO
2
dapat dinyatakan sebagai besarnya aliran konsentrasi CO
2
yang keluar dari suatu luasan tertentu dan periode tertentu, biasanya dinyatakan dalam mgm
2
jam. Pengukuran fluks CO
2
ini berdasarkan pada pengukuran contoh gas dari sungkup tertutup. Pengambilan contoh gas
dilakukan dengan tiga kali pengulangan pada setiap kebun kecuali Tanjung Paring, dengan selang waktu satu jam. Dalam satu ulangan terdiri dari 3 contoh.
Pada setiap contoh dilakukan pengukuran gas dengan selang waktu 30 menit. Nilai fluks CO
2
tanah bervariasi dipengaruhi oleh berbagai faktor di ekosistem, waktu, kualitas dan kuantitas C-organik, dan faktor lingkungan.
Kedalaman muka air tanah yang dipengaruhi oleh jarak dari saluran drainase merupakan salah satu faktor lingkungan yang mempengaruhi proses dekomposisi
bahan organik pada gambut. Faktor lain yaitu daerah piringan yang merupakan tempat terkonsentrasinya rambut-rambut akar yang memberikan pengaruh dalam
pengukuran fluks CO
2
di lahan gambut. Hasil pengukuran fluks CO
2
masing- masing transek pada lokasi penelitian disajikan dalam Tabel 3 dan diilustrasikan
pada Gambar 1. Tabel 3. Fluks CO
2
dari Lahan Gambut pada Lokasi Penelitian Berdasarkan Jarak dari Saluran Drainase dan Lokasi Pengukuran
Kebun Lokasi
Pengukuran Jarak dari Saluran m
Rata-Rata Fluks
mgm
2
jam Rata-Rata
Emisi tonhatahun
10 75
150 Sulin 1
Piringan 564,85
583,50 731,11 626,49
54,88 Luar Piringan
690,78 481,47 523,21
565,15 49,51
Sulin 2 Piringan
629,69 810,50 706,89
715,69 62,69
Luar Piringan 436,42
815,27 1046
765,90 67,09
Nahiyang 1
Piringan 452,01
395,49 717,15 521,55
45,69 Luar Piringan
768,14 714,43 863,90
782,16 68,52
Nahiyang 2
Piringan 708,27
454,41 404.3
522,33 45,76
Luar Piringan 571,21
280,08 790,10 547,13
47,93 Tanjung
Paring Piringan
1258,89 546,14
1334 1046,34
91,66 Luar Piringan
516,40 997,68 510,88
674,99 59,13
16
Berdasarkan Tabel 3, rata-rata nilai fluks CO
2
berkisar antara 521-1047 mgm
2
jam di dalam piringan dan 547-766 mgm
2
jam di luar piringan. Pada Kebun Sulin-1 dan Tanjung Paring menunjukkan nilai fluks CO
2
yang dihasilkan di dalam piringan lebih besar dari pada di luar piringan, yaitu 626,46 mgm
2
jam dan 1046,34 mgm
2
jam di dalam piringan, sedangkan di luar piringan 565,15 mgm
2
jam dan 674,99 mgm
2
jam. Tingginya fluks CO
2
di rhizosfer ini sangat berkaitan erat dengan pengaruh kualitas media akar yang mampu mengubah sifat
fisik, kimia dan biologi tanah di sekitar akar Darrah, 1993; Gregory dan Hinsinger, 1999 dalam Handayani, 2009. Tanah yang dipengaruhi oleh aktivitas
akar merupakan tanah yang memiliki populasi mikrob lebih banyak dibandingkan dengan yang tidak. Selain merupakan daerah terkonsentrasinya akar tanaman,
piringan di sekitar tanaman kelapa sawit juga merupakan daerah pemupukan. Oleh karena itu, disamping meningkatnya populasi mikrob, aktivitas mikrob di sekitar
daerah perakaran juga meningkat akibat tingginya konsentrasi nutrisi dari hasil pemupukan yang diberikan dan juga pengaruh eksudat akar. Meningkatnya
populasi dan aktivitas mikrob menyebabkan respirasi mikrob juga semakin meningkat. Dengan demikian, produksi CO
2
yang merupakan resultan dari respirasi mikroorganisme dan respirasi akar di rhizosfer lebih tinggi daripada non
rhizosfer Handayani, 2009. Namun mekanisme proses keluarnya gas CO
2
dari dalam tanah ke atmosfer sangatlah kompleks dan juga dipengaruhi oleh banyak faktor. Satu faktor
tidak dapat langsung menghasilkan dampak yang nyata terhadap nilai fluks CO
2,
beberapa faktor dapat saling mempengaruhi. Dari banyak hasil penelitian menunjukkan bahwa banyak faktor mempunyai pengaruh yang beragam terhadap
nilai fluks CO
2
. Hal ini berkaitan erat dengan beragamnya karakteristik inhern tanah gambut dari masing-masing titik pengamatan seperti ketebalan gambut dan
pengelolaan kebun yang sangat berbeda Handayani, 2009. Pada Gambar 1 dapat dilihat bawa Kebun Sulin-2, Nahiyang-1 dan
Nahiyang-2 diperoleh hasil pengukuran fluks CO
2
yang lebih tinggi di luar piringan dibandingkan dengan yang berada di piringan. Hal tersebut dapat
disebabkan oleh faktor suhu yang lebih tinggi di luar piringan, sehingga proses dekomposisi gambut pun menjadi lebih tinggi. Barchia 2006 menyebutkan,
17
degradasi bahan gambut semakin cepat dengan semakin meningkatnya suhu tanah dan akan mencapai maksimum pada sekitar suhu 35
o
C dan 37
o
C. Selain itu Chimner 2004 di dalam hasil penelitiannya juga menyebutkan nilai respirasi
tanah tahunan pada lahan gambut berkorelasi dengan rata-rata suhu tahunan. Berdasarkan data pengukuran seperti yang dapat dilihat pada Lampiran 3, rata-rata
suhu di luar piringan dari ketiga kebun tersebut lebih tinggi dibandingkan rata-rata suhu di dalam piringan.
Gambar 1. Rata-Rata Fluks CO
2
dari Lahan Gambut pada Setiap Kebun berdasarkan Lokasi Pengukuran
4.3 Kedalaman Muka Air Tanah dan Fluks CO