Kondisi Sumberdaya Hutan di Provinsi Jambi

86 2000 4000 6000 8000 10000 12000 14000 Merangin Sarolangun Batanghari Muaro Jambi Tebo KabupatenKota Asal Vo lu m e m 3 Jalur Darat Jalur Sungai Total Gambar 40 Volume tujuan peredaran kayu bulat Kota Jambi tahun 2004 berdasarkan jalur transportasi.

6.5 Kondisi Sumberdaya Hutan di Provinsi Jambi

Kondisi penutupan lahan Provinsi Jambi berdasarkan Peta Penutupan Lahan skala 1: 250 . 000 hasil penafsiran citra landsat 7 ETM+ liputan tahun 2000, diketahui luas penutupan lahan sebagai hutan di Provinsi Jambi sebesar 1 . 230 . 900 ha 55.9, non hutan sebesar 509 . 300 ha 23.1, dan tidak ada data sebesar 461 . 100 ha 21.0 dari total luas kawasan hutan Provinsi Jambi sebesar 2 . 201 . 300 ha Badan Planologi Kehutanan 2003. Perincian luas penutupan lahan tersebut disajikan pada Tabel 19. Tabel 19 Luas penutupan lahan dalam kawasan dan luar kawasan hutan di Provinsi Jambi tahun 2003 Kawasan Hutan x 1.000 ha APL Total Kawasan Hutan tetap Jumlah Persentase HL KSA KPA HP HPT Jumlah HPK Jumlah 1 . 000 ha 1 . 000 ha Hutan 96.0 349.1 574.8 211.1 1 . 230.9 - 1 . 230.9 56.9 231.9 1 . 462.8 30.4 Non Hutan 22.6 187.4 241.1 58.2 509.3 - 509.3 23.1 1 . 862.3 2 . 371.6 49.4 Tidak Ada Data 55.8 177.2 194.5 33.7 461.1 - 461.1 21.0 508.8 969.9 20.2 Jumlah 174.3 713.7 1 . 010.4 302.9 2 . 201.3 - 2 . 201.3 100.0 2 . 603.0 4 . 804.3 100.0 Sumber : Badan Planologi Kehutanan, Departemen Kehutanan 2003. Keterangan : - HL : Hutan Lindung - KSAKPA : Kawasan Suaka AlamKawasan Pelestarian Alam - HP : Hutan Produksi - HPT : Hutan Produksi Terbatas - HPK : Hutan Produksi yang dapat dikonversi - APL : Areal Penggunaan Lain 87 Hutan produksi di Provinsi Jambi, terdiri dari : Hutan Primer seluas 59 . 100 ha, Hutan Sekunder seluas 436 . 100 ha, dan Hutan Tanaman seluas 79 . 600 ha; non hutan seluas 241 . 100 ha; dan tidak ada data seluas 194 . 500 Dephut, Badan Planologi Kehutanan 2003. Data tersebut menjelaskan bahwa Hutan Produksi di Provinsi Jambi yang masih berhutan hanya sebesar 56.9, hal ini cukup ironis jika tidak diikuti dengan keseriusan Pemerintah Daerah dan Pusat dalam melakukan pembangunan kehutanan rehabilitasi hutan. Secara nasional kapasitas industri dan konsumsi lainnya diperkirakan membutuhkan kayu bulat sebesar 60 juta m 3 tahun , sementara kemampuan supply lestari hanya sekitar 22 juta m 3 tahun, sehingga terdapat kesenjangan sebesar 30- 40 juta m 3 tahun. Di samping itu, pertumbuhan industri pengolahan kayu di luar negeri, seperti : Malaysia, Taiwan, Korea, dan RRC yang juga membutuhkan bahan baku kayu gergajian dari Indonesia menambah kesenjangan yang memacu kegiatan penebangan liar Saparjadi 2003. Berdasarkan kajian pada sub bab sebelumnya tentang pemenuhan kayu bulat riil untuk industri di Provinsi Jambi tahun 2004, maka terjadi kekurangan pemenuhan kayu bulat dari dalam Provinsi Jambi sebesar 2 . 245 . 908 m 3 48.9 dari total kebutuhan kayu bulat sebesar 4 . 597 . 271 m 3 , sedangkan kemampuan Provinsi Jambi dalam supply kayu bulat ke Provinsi Jambi sendiri sebesar 2 . 361 . 271 m 3 51.1. Proyeksi kebutuhan kayu bulat di Provinsi untuk tahun 2005 dengan asumsi jumlah industri yang aktif adalah sama dengan data tahun 2004 sebesar 100 buah dengan total kapasitas sebesar 3 . 114 . 032 m 3 , maka diperkirakan kebutuhan kayu bulat pada tahun 2005 di Provinsi Jambi sebesar 6 . 120 . 588 m 3 . Penetapan jatah produksi hasil hutan kayu tahun 2005 untuk Provinsi Jambi yang berasal dari pemanfaatan hutan alam produksi berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Nomor SK.252VI-BPHA2004 adalah sebesar 120 . 650 m 3 . Kondisi ini menggambarkan bahwa hanya 120 . 650 m 3 kayu bulat dari hutan alam yang diizinkan oleh Departemen Kehutanan untuk dihasilkan Provinsi Jambi dalam memenuhi kebutuhan kayu bulat sebesar 6 . 120 . 588 m 3 , sehingga ada kekurangan sebesar 5 . 999 . 938 m 3 yang harus dipenuhi dari hutan tanaman dan peredaran dari luar Provinsi Jambi. Hal ini tentunya tidak mudah untuk menutup kekurangan kayu bulat tersebut, sehingga pemberian izin industri oleh Pemerintah 88 Daerah Provinsi Jambi dan Departemen Kehutanan perlu mendapatkan perhatian yang serius, karena kemampuan Provinsi Jambi dalam memenuhi kebutuhan kayu bulat yang sangat kecil. Jika kondisi ini akan berlangsung terus pada tahun-tahun ke depan, maka tidak menutup kemungkinan akan tetap terjadi penebangan liar dan peredaran kayu bulat illegal di Provinsi Jambi. Peredaran kayu bulat illegal mempunyai dampak negatif terhadap kondisi ekonomi, politik, sosial, dan budaya, seperti disampaikan Saparjadi 2003, bahwa kegiatan peredaran kayu bulat illegal mempunyai dampak kerugian yang sangat luas, yaitu menyebabkan : 1 degradasi sumberdaya hutan; 2 economic loss; 3 degradasi moral aparat, pengusaha dan rakyat; 4 degradasi sosial kemasyarakatan; 5 degradasi budaya masyarakat; 6 hubungan bilateral dan multilateral terganggu; 7 struktur pembangunan di sektor lain akan terganggu. Adanya dampak sangat besar yang ditimbulkan oleh kegiatan peredaran kayu bulat illegal, maka pemantauan peredaran kayu bulat khususnya di Provinsi Jambi harus terus diupayakan dengan serius dan salah satu upaya tersebut dengan memanfaatkan data hasil hutan yang ada. Upaya tersebut merupakan salah satu bentuk kontrol manajemen dalam mengantisipasi permasalahan kesenjangan bahan baku kayu bulat antara supply dan demand yang ada, karena ketimpangan bahan baku tersebut sebagai salah satu pemicu adanya penebangan liar maupun peredaran kayu bulat illegal. 89 VII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

7.1 Kesimpulan