Pasang Surut Perbandingan Hasil Pemodelan dengan Data Lapang .1 Angin

Keseluruhan data angin baik data angin ECMWF maupun data angin BMKG memiliki pola yang hampir sama pada bulan September 2008. Perbedaan dari keduanya disebabkan oleh perbedaan pemrosesan data, data angin ECMWF merupakan data model yang dikembangkan oleh sebuah perusahaan Eropa dengan analisis berulang reanalisis dengan konstanta data asimilasi dan model atmosfer Metzger, 2003. Data BMKG merupakan data insitu yang diambil pada ketinggian 46 meter diatas permukaan laut. Ketidaksamaan ini menyebabkan perbedaan antara data angin ECMWF dan data angin BMKG, data angin BMKG harus dilakukan beberapa koreksi sehingga memiliki kesamaan dengan data angin ECMWF. Faktor lain yang menyebabkan perbedaan adalah titik pengambilan data ECMWF berada pada laut lepas sedangkan pengambilan data BMKG berada pada daratan sehingga gaya gesek permukaan menyebabkan perbedaan kecepatan dan arah angin. Gerak angin dipengaruhi oleh beberapa faktor lain seperti rotasi bumi dan gaya gesek serta kelandaian tekanan Pariwono, 1989.

4.1.2 Pasang Surut

Elevasi permukaan laut merupakan salah satu data masukan syarat batas terbuka pada model hidrodinamika 2 dimensi. Model hidrodinamika 2 dimensi terdiri dari tiga batas terbuka yaitu batas terbuka bagian Utara, bagian Barat, dan bagian Timur. Batas terbuka Utara diisi oleh data masukan berupa elevasi permukaan laut pada beberapa titik salah satunya pada koordinat 108.1316 o BT dan 5.1036 o LS, 105.6813 o BT dan 6.0279 o LS pada batas terbuka bagian Barat, serta 110.4723 o dan 6.4264 o LS pada batas terbuka bagian Timur. Elevasi permukaan laut pada bulan September 2008 untuk masukan model mencakup tiga jenis grafik pasang surut pada tiga batas terbuka Gambar 9. Gambar 9. Elevasi permukaan laut sebagai masukan model hidrodinamika 2 dimensi pada bulan September 2008 di syarat batas terbuka bagian Utara atas, Barat tengah, dan Timur bawah Pasang surut pada batas terbuka di bagian Utara menunjukan nilai pasang tertinggi adalah 0.39 meter di atas rata-rata tinggi permukaan laut Mean Sea Level dan surut terendah adalah 0.46 meter di bawah rata-rata tinggi permukaan laut, sehingga daerah tersebut memiliki tunggang pasang surut sebesar 0.86 meter. Elevasi permukaan laut pada batas terbuka bagian Barat memiliki nilai pasang tertinggi sebesar 0.67 meter di atas rata-rata tinggi permukaan laut dan surut terendah sebesar 0.55 meter di bawah permukaan laut sehingga memiliki tunggang pasang surut 1.22 meter. Elevasi permukaan laut di batas terbuka bagian timur memiliki tunggang pasang surut sebesar 0.71 meter dengan pasang tertinggi sebesar 0.41 meter diatas permukaan laut dan surut terendah sebesar 0.3 di bawah permukaan laut. Batas terbuka bagian Barat memiliki tunggang pasang surut lebih tinggi dibandingkan dengan batas terbuka lainnya, hal tersebut disebabkan oleh tipe topografi perairan serta rambatan gelombang pasang surut dari perairan sekitarnya. Data pasang Tabel 3. Tipe pasang surut menurut bilangan fromzal di laut Jawa Stasiun Tide Gauge Perbandingan O 1 +K 1 M 2 +S 2 Tipe pasang surut Pulau Pari 6.98 Diurnal Jakarta 3.72 Diurnal Cirebon 0.73 Campuran ke semidiurnal surut menghasilkan beberapa komponen pasang surut utama yaitu O 1 , K 1 , M 2 , dan S 2 . Perbandingan antara jumlah komponen utama pasang surut bertipe diurnal O 1 +K 1 dengan jumlah komponen utama pasang surut bertipe semidiurnal M 2 +S 2 dikenal dengan bilangan Fromzal. Bilangan tersebut menghasilkan prediksi tipe pasang surut di daerah tersebut, Dua stasiun yaitu Pulau Pari dan Jakarta memiliki tipe pasang surut diurnal sedangkan pada stasiun Cirebon memiliki tipe pasang surut campuran condong ke semidiurnal Tabel 3. Model hidrodinamika 2 dimensi menghasilkan data elevasi permukaan laut dengan keluaran data per jam. Data observasi lapang yang telah dilakukan oleh penelitian sebelumnya digunakan untuk verifikasi hasil model hidrodinamika 2 dimensi melalui perbandingan 4 komponen pasang surut utama yaitu O 1 , K 1 , M 2 ,dan S 2 . Masing-masing komponen hasil observasi lapang dibandingkan dengan hasil model hidrodinamika 2 dimensi sehingga didapatkan selisih amplitudo dan fase antara kedua data tersebut. Selisih amplitudo antara hasil model dan hasil observasi lapang kurang dari 10 cm dengan rata-rata selisih terkecil adalah komponen utama pasang surut O 1 dan rata-rata selisih terbesar adalah komponen utama pasang surut K 1 . Stasiun yang memiliki selisih amplitudo terkecil antara hasil model dan hasil observasi lapang adalah Jakarta pada komponen pasang surut S 2 , Selisih amplitudo pasang surut dibawah 10 cm pada setiap stasiun dikuatkan juga oleh penelitian Koropitan Tabel 4. Validasi data model pasang surut dengan data Dinas Hido-Oseanografi pada bulan September 2008 AmplitudoH cm Fase ø Derajat Stasiun Observasi Model ΔH Observasi Model Δø O 1 Pulau Pari 12.21 15.2 -2.99 368.89 339.66 29.23 Jakarta 13.75 15 -1.25 385.32 340.1 45.22 Cirebon 5 9.1 -4.1 57.4 20.34 37.06 K 1 Pulau Pari 21.29 23.3 -2.01 378.82 352.19 26.63 Jakarta 25.17 22.5 2.67 394.73 351.24 43.49 Cirebon 14 7.4 6.6 302.71 290.16 12.55 M 2 Pulau Pari 1.76 8 -6.24 91.89 129.57 -37.68 Jakarta 5.41 8.7 -3.29 140.85 121.14 19.71 Cirebon 16 11.4 4.6 101.11 74.78 26.33 S 2 Pulau Pari 3.04 5.6 -2.56 89.44 81.21 8.23 Jakarta 5.04 5.1 -0.06 102.12 82.94 19.18 Cirebon 10 11.1 -1.1 416.98 274.74 142.24 dan Ikeda 2008 yang mengkaji dan membandingkan 11 stasiun pasang surut di beberapa wilayah di Indonesia, hasil penelitian tersebut menunjukkan selisih antara hasil model dan hasil observasi lapang pada umumnya kurang dari 10 cm. Selisih fase antara hasil model hidrodinamika 2 dimensi dengan hasil observasi lapang pada komponen pasang surut tunggal memiliki rata-rata 32.36 o 2 jam 8 menit sedangkan untuk komponen pasang surut ganda memiliki rata-rata 42.23 o 1 jam 27 menit. Hasil model hidrodinamika 2 dimensi mendekati data hasil observasi lapang pada elevasi permukaan laut yang digunakan untuk model sebaran minyak. Selisih secara umum fase pada model hidrodinamika 2 dimensi kurang dari 2 jam dengan selisih rata-rata adalah 1 jam 47 menit yang artinya terdapat waktu tunda antara pasang surut hasil observasi lapang dengan pasang surut hasil model selama waktu tersebut.

4.2 Hasil Pemodelan Hidrodinamika