Model Sebaran Tumpahan Minyak di Alur Pelayaran Pelabuhan Tanjung Intan Cilacap, Jawa Tengah.

(1)

PELAY

PRO

YARAN PE

OGRAM ST FAKULTA

IN

ELABUH

JAW

R C

TUDI ILMU AS PERIKA

NSTITUT P

AN TANJ

WA TENG

Oleh: Rizka Safitri

C64104026

U DAN TEK ANAN DAN

PERTANIA 2009

JUNG INT

GAH

i

KNOLOGI N ILMU KEL

AN BOGOR

TAN CILA

KELAUTA LAUTAN R

ACAP,


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul:

MODEL SEBARAN TUMPAHAN MINYAK DI ALUR

PELAYARAN PELABUHAN TANJUNG INTAN CILACAP,

JAWA TENGAH

adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir Skripsi ini.

Bogor, Agustus 2009

RIZKA SAFITRI C64104026


(3)

RIZKA SAFITRI. Model Sebaran Tumpahan Minyak di Alur Pelayaran Pelabuhan Tanjung Intan Cilacap, Jawa Tengah. Dibimbing oleh I WAYAN NURJAYA dan ANDRI PURWADANI.

Ramainya alur pelayaran Cilacap setelah didirikannya kilang minyak tahun 1983 menyebabkan risiko pencemaran minyak akibat aktivitas pelayaran semakin meningkat. Berdasarkan kondisi tersebut maka perlu dilakukan tindakan penanggulangan jika terjadi tumpahan minyak dengan membuat studi yang dituangkan dalam sebuah model. Penelitian dengan topik pemodelan sebaran tumpahan minyak ini bertujuan untuk memodelkan pola sebaran minyak pada beberapa daerah titik rawan kecelakaan maupun rawan kebocoran di alur pelayaran Cilacap.pada tahun 2007

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium P-TISDA, BPPT Jakarta pada bulan April 2008 – Februari 2009. Skenario pemodelan dijalankan pada bulan Februari 2007 (musim barat) dan bulan Agustus 2007 (musim timur). Pemodelan dibuat dengan asumsi terjadi kebocoran yang berasal dari kapal tanker maupun

dari limbah pelabuhan dengan menggunakan DHI Software Mike 21. Data

masukan pemodelan hidrodinamika berupa data arah dan kecepatan angin serta data pasang surut perairan Cilacap tahun 2007. Minyak yang diasumsikan tumpah antara lain diesel, avtur, minyak mentah, dan aspal.

Kondisi pemodelan yang diamati yaitu hidrodinamika perairan, proses pelapukan masing-masing jenis minyak.dan sebaran total lapisan minyak pada saat perairan berada dalam posisi pasang tertinggi, surut terendah, menjelang pasang dan menjelang surut pada saat muka laut berada dalam posisi MSL.

Data angin masukan model dan data hasil pengukuran lapang memiliki pola bertiup yang cenderung sama. Meskipun demikian, kecepatan angin yang digunakan sebagai masukan pemodelan cenderung lebih besar dari hasil pengukuran lapang sehingga memperbesar pengaruh angin dalam pemodelan. Data pasang surut masukan model dan data insitu memiliki fase yang sama sehingga pola sebaran lapisan minyak yang keluar masuk domain pemodelan sesuai dengan kondisi pasang surut di perairan Cilacap yang sebenarnya.

Hasil pemodelan menunjukkan pola sebaran lapisan minyak di perairan Cilacap sangat dipengaruhi oleh resultan antara gaya yang diberikan oleh arus pasang surut dan angin permukaan. Perairan di sekitar pesisir Pulau

Nusakambangan menjadi daerah yang paling rawan terkena dampak pencemaran pada musim barat karena pergerakan arus dan arah angin pada musim tersebut mengarah ke bagian tenggara dan timur domain. Tingkat kerawanan pencemaran

minyak pada perairan Cilacap bersifat sementara serta high recovery dikarenakan

sebagian besar lapisan minyak cenderung menyebar meninggalkan domain

menuju Samudera Hindia. Pada musim timur, daerah pantai timur Cilacap serta di sepanjang aliran kanal utama dan Kali Donan memiliki risiko tertinggi terhadap pencemaran minyak karena arah arus dan angin permukaan yang bertiup dominan mengarah ke bagian barat dan barat laut domain. Tingkat kerawanan pencemaran

minyak di Cilacap pada musim timur lebih tinggi dan lebih persistent


(4)

pada musim timur, sedangkan lapisan diesel mengalami proses evaporasi tertinggi pada musim barat. Seluruh jenis minyak mengalami proses disolusi tertinggi pada musim barat, kecuali pada minyak mentah. Proses emulsifikasi lapisan avtur dan minyak mentah memiliki nilai yang lebih tinggi pada musim timur. Pada musim yang sama, aspal lebih cepat keluar dari dalam domain karena terdorong oleh arus dan angin permukaan sehingga proses emulsifikasi pada musim tersebut lebih rendah dibandingkan dengan musim barat. Proses emulsifikasi pada diesel terjadi pada seluruh lapisan minyak yang mengalami akumulasi.

Seluruh jenis minyak mengalami proses dispersi vertikal tertinggi pada

musim barat dibandingkan pada musim timur. Nilai exceedance frequency lapisan

minyak (kecuali aspal) pada musim timur lebih tinggi jika dibandingkan dengan musim barat dikarenakan minyak yang tumpah pada musim tersebut banyak terakumulasi di dalam domain perairan.

Nilai time exposition lapisan minyak lebih pendek pada musim timur jika

dibandingkan dengan musim barat dikarenakan pada musim tersebut lapisan minyak lebih cepat hilang dari domain perairan akibat terbawa oleh arus dan

terdorong oleh angin permukaan yang cukup besar. Nilai time exposition paling

besar terjadi pada lapisan diesel dikarenakan diesel diasumsikan memasuki perairan secara konstan sehingga tetap berada dalam domain.

Kesimpulan yang di dapat dari penelitian ini yaitu kondisi hidrodinamika dan tumpahan minyak yang dimodelkan dalam studi ini dapat diterima dengan baik karena data masukan pemodelan dan data hasil pengukuran insitu memiliki kemiripan tinggi. Pada musim timur, lapisan minyak cenderung menyebar ke arah barat domain perairan, sementara pada musim barat lapisan tersebut menyebar ke arah sebaliknya.

Proses evaporasi pada lapisan minyak yang lebih tebal semakin meningkat seiring dengan peningkatan luas permukaan akibat dari turbulensi, sedangkan proses evaporasi pada lapisan minyak yang lebih tipis lebih banyak mendapat pengaruh dari suhu lingkungan sekitar. Proses disolusi pada musim barat lebih tinggi dibandingkan dengan musim timur diduga karena pada musim timur fraksi

minyak dengan berat molekul rendah (aromatic) cenderung lebih dahulu

terevaporasi daripada terdisolusi.

Proses emulsifikasi seluruh jenis minyak memiliki nilai tertinggi pada musim timur dibandingkan dengan musim barat diduga karena pada musim timur lapisan minyak tersebut lebih banyak mengalami turbulensi. Proses dispersi vertikal pada musim barat justru lebih tinggi dibandingkan pada musim timur diduga karena pada musim timur lapisan minyak telah mengalami peningkatan viskositas yang cukup besar akibat proses emulsifikasi.

Laju perubahan konsentrasi fraksi minyakbernilai tinggi di sekitar sumber

tumpahan dan di bagian pusat lapisan karena lapisan minyak memiliki ketebalan yang lebih besar pada bagian lapisan tersebut.


(5)

PELAYARAN PELABUHAN TANJUNG INTAN CILACAP,

JAWA TENGAH

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Institut Pertanian Bogor

Oleh: Rizka Safitri

C64104026

PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009


(6)

© Hak cipta milik Rizka Safitri, tahun 2009

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam


(7)

PELAYARAN PELABUHAN TANJUNG INTAN CILACAP, JAWA TENGAH

Nama : Rizka Safitri NRP : C64104026

Disetujui,

Pembimbing I

Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M.Sc NIP. 19640801 198903 1 001

Pembimbing II

Ir. Andri Purwandani NIP. 680 003 898

Mengetahui,

Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc NIP. 19610410 198601 1 002


(8)

viii

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas seluruh rahmat dan karunia yang terlimpah bagi hambanya hingga saat ini. Shalawat dan salam tak lupa penulis haturkan pula bagi Rasul tercinta Nabi Muhammad SAW yang telah menjadi panutan dan tauladan bagi umatnya.

Skripsi yang berjudul Model Sebaran Tumpahan Minyak di Alur

Pelayaran Pelabuhan Tanjung Intan Cilacap, Jawa Tengah telah diselesaikan oleh penulis sebagai salah satu syarat kelulusan dalam menyelesaikan program studi S1 di Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Dalam pembuatan skripsi ini, penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya atas waktu dan bimbingan dari Dr. Ir. I. Wayan Nurjaya, M.Sc selaku pembimbing utama dan kepada Ir. Andri Purwandani dari P3TISDA-BPPT selaku pembimbing anggota. Ucapan terima kasih penulis sampaikan pula kepada Prof. Dr. Ir. Harpasis S. Sanusi, M.Sc selaku dosen penguji dan kepada Dr. Ir. Henry M. Manik, MT selaku ketua komisi pendidikan di Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan.

Besar harapan penulis, semoga hasil penelitian yang telah dilakukan dapat memberi manfaat bagi mahasiswa di Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan pada khususnya, serta masyarakat luas pada umumnya.

Bogor, Agustus 2009


(9)

ix

UCAPAN TERIMA KASIH

Atas terselesaikannya skripsi ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Allah S.W.T atas rahmat dan Kasih-Nya, sehingga penulis dapat

menghadapi segala permasalahan yang dihadapi.

2. Ibu, Adik dan keluarga di Solo atas kasih sayang, dukungan, dan doanya.

3. Dosen pembimbing skripsi, Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M.Sc. atas perhatian,

bantuan dan bimbingan sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

4. Dosen pembimbing skripsi, Ir. Andri Purwandani beserta keluarga atas

bantuan, bimbingan, saran, dan kritik selama proses penelitian.

5. Dosen Oseanografi Fisika Dr. Ir. Mulia Purba, M.Sc dan Tri Hartanto, S.Pi

atas izinnya untuk menggunakan fasilitas di laboratorium Oseanografi Fisika.

6. Anugerah Trihatmojo atas semua waktu, tenaga, semangat, doa, hiburan,

teknologi, pemikiran, pengetahuan, harapan, kasih sayang dan kepercayaan kepada penulis.

7. Seluruh teman-teman di Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan Institut

Pertanian Bogor angkatan 2004 atas dukungan dan bantuan kepada penulis.


(10)

x

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv 

DAFTAR LAMPIRAN ... xviii 

1.  PENDAHULUAN ... 1 

1.1.  Latar Belakang ... 1 

1.2.  Tujuan ... 2 

2.  TINJAUAN PUSTAKA ... 3 

2.1.  Kondisi Umum Alur Pelayaran Cilacap ... 3 

2.2.  Arus ... 3 

2.3.  Angin ... 5 

2.4.  Pasang Surut ... 6 

2.5.  Tumpahan Minyak ... 7 

2.5.1.  Karakteristik Minyak ... 7 

2.5.2.  Sumber Pencemaran Minyak ... 9 

2.5.3.  Perilaku Minyak di Laut ... 11 

2.6.  Pemodelan Tumpahan Minyak ... 17 

3.  METODOLOGI ... 18 

3.1.  Waktu dan Lokasi ... 18 

3.2.  Sumber Data ... 19 

3.2.1.  Data Masukan Model ... 19 

3.2.2.  Data Verifikasi ... 20 

3.3.  Peralatan yang Digunakan ... 20 

3.4.  Desain Skenario Model ... 20 

3.4.1.  Lokasi Pemodelan ... 22 

3.4.2.  Syarat Batas ... 23 

3.4.3.  Waktu Pemodelan ... 24 


(11)

xi

3.5.  Parameter Pemodelan ... 27 

3.5.1.  Parameter Hidrodinamika ... 27 

3.5.2.  Parameter Spill Analysis ... 35 

3.6.  Persamaan Utama ... 40 

3.7.  Parameter Oil Spill ... 41 

3.7.1.  Spreading ... 41 

3.7.2.  Evaporation ... 42 

3.7.3.  Vertical Dispersion ... 44 

3.7.4.  Dissolution ... 45 

3.7.5.  Emulsification ... 46 

3.7.6.  Heat transport ... 47 

3.7.7.  Sifat Fisik dan Kimia Minyak ... 52 

4.  HASIL DAN PEMBAHASAN ... 55 

4.1.  Verifikasi Hasil Pemodelan... 55

4.1.1. Verifikasi Angin ... 55

4.1.1.1.  Musim Barat ... 55 

4.1.1.2.  Musim Timur ... 58

4.1.2. Verifikasi Pasang Surut ... 61

4.1.2.1. Musim Barat ... 61

4.1.2.2. Musim Timur ... 62

4.2.  Hasil Pemodelan Hidrodinamika ... 64

4.2.1. Musim Barat ... 64

4.2.1.1. Menjelang Pasang (Muka Laut pada Kondisi MSL) 64 4.2.1.2. Pasang ... 66

4.2.1.3. Menjelang Surut (Muka Laut pada Kondisi MSL) 67

4.2.1.4. Surut ... 68

4.2.2. Musim Timur ... 69

4.2.2.1. Menjelang Surut (Muka Laut pada Kondisi MSL) 69 4.2.2.2. Surut ... 71

4.2.2.3. Menjelang Pasang (Muka Laut pada Kondisi MSL) 72 4.2.2.4. Pasang ... 73

4.3.  Hasil Pemodelan Pola Sebaran Total Minyak ... 75

4.3.1. Musim Barat ... 76


(12)

xii

4.3.1.2. Menjelang Pasang (Muka Laut pada Kondisi MSL) 77

4.3.1.3. Pasang ... 78

4.3.1.4. Menjelang Surut (Muka Laut pada Kondisi MSL) 80 4.3.1.5. Surut ... 81

4.3.2. Musim Timur ... 83

4.3.2.1. Kondisi Awal ... 83

4.3.2.2. Menjelang Surut (Muka Laut pada Kondisi MSL) 84 4.3.2.3. Surut ... 86

4.3.2.4. Menjelang Pasang (Muka Laut pada Kondisi MSL) 87 4.3.2.5. Pasang ... 88

4.4.  Pembahasan Pola Sebaran Tumpahan Minyak ... 90 

4.5.  Hasil Pemodelan Proses Pelapukan Tumpahan Minyak di Laut ... 93

4.5.1. Musim Barat ... 93

4.5.1.1. Jam ke-1 ... 93

4.5.1.2. Jam ke-12 ... 95

4.5.1.3. Jam ke-24 ... 97

4.5.1.4. Jam ke-96 ... 98

4.5.2. Musim Timur ... 100

4.5.2.1. Jam ke-1 ... 100

4.5.2.2. Jam ke-12 ... 102

4.5.2.3. Jam ke-24 ... 104

4.6.  Pembahasan Proses Pelapukan Tumpahan Minyak di Laut ... 106

5.  KESIMPULAN DAN SARAN ... 117

6. DAFTAR PUSTAKA ... 119

7. LAMPIRAN ... 121


(13)

xiii

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Fraksi-Fraksi Minyak Bumi Berdasarkan Titik Didih ... 8  2. Informasi Lokasi, Jumlah Tumpahan dan Waktu Pengeluaran Skenario

Model Tumpahan Minyak di Perairan Cilacap ... 26  3. Informasi Spasial, Jumlah dan Waktu Tumpahan Masing-Masing Jenis

Minyak yang di Skenariokan Tumpah di Perairan Cilacap ... 35  4. Informasi Nilai Konstanta Transfer Bahang Minyak ... 37  5. Informasi Nilai Konstanta Emulsifikasi Masing-Masing Minyak Dalam

Skenario Model Tumpahan Minyak ... 38  6. Volume Fraksi Masing-Masing Minyak yang Diasumsikan Tumpah di

Perairan Cilacap ... 39  7. Fraksi Minyak Berdasarkan Struktur Kimia ... 53  8. Perbandingan Pola Sebaran Total Lapisan Diesel, Avtur, Minyak

Mentah, dan Aspal pada Berbagai Kondisi Muka Laut saat Musim Barat dan Musim Timur di Perairan Cilacap Tahun 2007 ... 91  9. Perbandingan Proses Evaporasi dan Disolusi Seluruh Jenis Minyak yang

Dimodelkan Tumpah di Perairan Cilacap pada Jam Ke-12 pada Musim Barat dan Timur Tahun 2007 ... 109  10. Perbandingan Proses Emulsifikasi dan Dispersi Vertikal Seluruh Jenis

Minyak yang Dimodelkan Tumpah di Perairan Cilacap pada Jam Ke-12 pada Musim Barat dan Timur Tahun 2007 ... 112 

11. Perbandingan Exceedance Frequency dan Time Exposure Seluruh Jenis

Minyak yang Dimodelkan Tumpah di Perairan Cilacap pada Jam Ke-12 pada Musim Barat dan Timur Tahun 2007 ... 116 


(14)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Proses Pelapukan Lapisan Minyak yang Tumpah di Permukaan Laut ... 11 

2. Tingkat Evaporasi Berbagai Jenis Minyak Pada Suhu 15oC ... 14 

3. Proses Emulsifikasi pada Lapisan Minyak yang Membentuk "Chocolate

Mousse" ... 15  4. Peta Lokasi Penelitian Model Sebaran Tumpahan Minyak di Perairan

Cilacap, Jawa Tengah (Sumber: Google Earth, 2008) ... 18  5. Diagram Alir Pemodelan Sebaran Tumpahan Minyak di Perairan

Cilacap dengan Menggunakan DHI Software Mike 21 ... 22  6. Domain Dasar Pemodelan Tumpahan Minyak di Perairan Cilacap

dengan Menggunakan Program Mike21 ... 23  7. Lokasi Skenario Sumber Tumpahan Minyak di Domain Perairan

Cilacap ... 25  8. Batimetri Perairan Cilacap Hasil Survey Sounding Dasar Laut

(Sumber: JANHIDROS, 2007) ... 28  9. Syarat Batas Terbuka pada Domain Model Hidrodinamika di Perairan

Cilacap ... 29  10. Tinggi Muka Air Laut pada Seluruh Batas Terbuka Domain Perairan

Cilacap pada Musim Barat Tahun 2007 ... 30  11. Tinggi Muka Air Laut pada Seluruh Batas Terbuka Domain Perairan

Cilacap pada Musim Timur Tahun 2007 ... 30  12. Lokasi Pengamatan Data Pasang Surut Hasil Pengukuran Lapang

dengan Data Masukan Model di Cilacap Tahun 2007 ... 31 

13. Pola Nilai Tahanan Dasar (Manning Number) dalam Domain Model

Perairan Cilacap ... 33 

14. Lokasi Pengamatan Data Angin Hasil Insitu dan Data Angin Masukan

Model di Cilacap Tahun 2007 ... 34 


(15)

xv

16. Arah [°] dan Kecepatan Angin [m/s] Masukan Model pada Musim Barat 2007 di Perairan Cilacap ... 55  17. Arah [°] dan Kecepatan Angin [m/s] Insitu pada Musim Barat 2007 di

Perairan Cilacap ... 56 

18. Windrose Arah dan Kecepatan Angin Masukan Model dan Insitu pada

Musim Barat 2007 di Perairan Cilacap ... 57  19. Arah dan Kecepatan Angin Masukan Model pada Musim Timur 2007 di

Perairan Cilacap ... 58  20. Arah dan Kecepatan Angin Insitu pada Musim Timur 2007 di Perairan

Cilacap ... 59 

21. Windrose Arah dan Kecepatan Angin Masukan Model dan Insitu pada

Musim Timur 2007 di Perairan Cilacap ... 59 

22. Pola Scattering Data Angin Masukan Model dan Insitu di Perairan

Cilacap pada Musim Timur 2007 ... 61  23. Grafik Tinggi Muka Air Laut Hasil Prediksi Model pada Musim Barat

2007 di Perairan Cilacap ... 62  24. Grafik Tinggi Muka Air Laut Hasil Prediksi Model pada Musim Timur

2007 di Perairan Cilacap ... 62  25. Grafik Tinggi Muka Air Laut Hasil Pengukuran Insitu pada Musim

Timur 2007 di Perairan Cilacap ... 63  26. Perbandingan Fluktuasi Tinggi Muka Air Laut Hasil Pemodelan dan

Tinggi Muka Air Laut Hasil Pengukuran Insitu di Perairan Cilacap pada Bulan Agustus 2007 ... 63  27. Kondisi Hidrodinamika Perairan Cilacap Menjelang Pasang (Muka Laut

Berada pada Kondisi MSL) pada Bulan Februari 2007 ... 65  28. Kondisi Hidrodinamika Perairan Cilacap saat Pasang pada Bulan

Februari 2007 ... 66  29. Kondisi Hidrodinamika Perairan Cilacap Menjelang Surut (Muka Laut

Berada pada Kondisi MSL) pada Bulan Februari 2007 ... 68  30. Kondisi Hidrodinamika Perairan Cilacap saat Surut pada Bulan Februari

2007 ... 69  31. Kondisi Hidrodinamika Perairan Cilacap Menjelang Surut (Muka Laut


(16)

xvi

32. Kondisi Hidrodinamika Perairan Cilacap saat Surut pada Bulan Agustus 2007 ... 71  33. Kondisi Hidrodinamika Perairan Cilacap Menjelang Pasang (Muka Laut

Berada pada Kondisi MSL) pada Bulan Agustus 2007 ... 72  34. Kondisi Hidrodinamika Perairan Cilacap saat Pasang pada Bulan

Agustus 2007 ... 74  35. Pola Sebaran Total Lapisan Avtur saat Kondisi Awal di Perairan

Cilacap pada Bulan Februari 2007 ... 76  36. Pola Sebaran Total Lapisan Avtur Menjelang Pasang (Muka Laut pada

Kondisi MSL) di Perairan Cilacap pada Bulan Februari 2007 ... 78  37. Pola Sebaran Total Lapisan Avtur saat Pasang di Perairan Cilacap pada

Bulan Februari 2007 ... 79  38. Pola Sebaran Total Lapisan Avtur Menjelang Surut (Muka Laut pada

Kondisi MSL) di Perairan Cilacap pada Bulan Februari 2007 ... 81  39. Pola Sebaran Total Lapisan Avtur saat Surut di Perairan Cilacap pada

Bulan Februari 2007 ... 82  40. Pola Sebaran Total Lapisan Avtur saat Kondisi Awal di Perairan Cilacap

pada Bulan Agustus 2007 ... 84  41. Pola Sebaran Total Lapisan Avtur Menjelang Surut (Muka Laut pada

Kondisi MSL) di Perairan Cilacap pada Bulan Agustus 2007 ... 85  42. Pola Sebaran Total Lapisan Avtur saat Surut di Perairan Cilacap pada

Bulan Agustus 2007 ... 87  43. Pola Sebaran Total Lapisan Avtur Menjelang Pasang (Muka Laut pada

Kondisi MSL) di Perairan Cilacap pada Bulan Agustus 2007 ... 88  44. Pola Sebaran Total Lapisan avtur saat Pasang di Perairan Cilacap pada

Bulan Agustus 2007 ... 89  45. Sebaran serta Proses Pelapukan Lapisan Avtur Jam ke-1 di Perairan

Cilacap pada Bulan Februari 2007 ... 94  46. Sebaran serta Proses Pelapukan Lapisan Avtur Jam ke-12 di Perairan

Cilacap pada Bulan Februari 2007 ... 96  47. Sebaran serta Proses Pelapukan Lapisan Avtur Jam ke-24 di Perairan


(17)

xvii

48. Sebaran serta Proses Pelapukan Lapisan Avtur Jam ke-96 di Perairan

Cilacap pada Bulan Februari 2007 ... 99  49. Sebaran serta Proses Pelapukan Lapisan Avtur Jam ke-1 di Perairan

Cilacap pada Bulan Agustus 2007 ... 102  50. Sebaran serta Proses Pelapukan Lapisan Avtur Jam ke-12 di Perairan

Cilacap pada Bulan Agustus 2007 ... 103  51. Sebaran serta Proses Pelapukan Lapisan Avtur Jam ke-24 di Perairan


(18)

xviii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Contoh Laporan Hasil Pemodelan Hidrodinamika Pada Musim Barat

dengan Menggunakan DHI Software Mike 21Hydrodynamic Modul ... 122

2. Contoh Laporan Hasil Pemodelan Tumpahan Minyak Menggunakan DHI

Software Mike 21 Spill Analysis Modul ... 129


(19)

1

1.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Cilacap merupakan satu-satunya daerah administratif di Propinsi Jawa Tengah yang memiliki pelabuhan laut di pantai selatan Pulau Jawa. Sebagai daerah yang memiliki fasilitas pelabuhan ekspor dan impor, perairan Cilacap juga berfungsi sebagai jalur pelayaran/lalu lintas berbagai kapal pengangkut komoditi perdagangan. Ramainya alur pelayaran pelabuhan Cilacap menjadikan perairan tersebut sangat berpotensi mengalami pencemaran, khususnya pencemaran oleh minyak.

Sejak peresmian Perluasan Kilang Minyak Cilacap tahun 1983, kegiatan di Pelabuhan Cilacap terus meningkat, terutama lalu lintas kapal-kapal tanker. Berbagai jenis minyak baik yang mentah maupun yang telah diolah diangkut dengan menggunakan kapal tanker. Seiring dengan ramainya lalu lintas kapal tersebut, berbagai macam kasus pencemaran akibat tumpahan minyak pernah terjadi di sekitar alur pelayaran. Hal tersebut membuktikan bahwa di beberapa tempat di sepanjang alur pelayaran ini terdapat area yang rawan terjadi

kecelakaan. Kecelakaan yang dialami oleh kapal, khususnya kapal tanker, dapat

menyebabkan terjadinya tumpahan minyak (oil spill) yang akan membawa

dampak negatif terhadap lingkungan di sekitarnya. Maka dari itu, perlu dilakukan suatu tindakan untuk mencegah berulangnya kembali kasus serupa. Saat ini sudah menjadi suatu keharusan bagi perusahaan yang dalam kegiatan operasionalnya

berpotensi mencemari lingkungan untuk membuat suatu kajian resiko (Risk


(20)

meneliti daerah-daerah yang rawan kecelakaan serta mempelajari arah penyebaran minyak jika suatu saat terjadi kecelakaan kembali.

Penelitian ini dibuat untuk memodelkan penyebaran tumpahan minyak dengan asumsi terjadi kecelakaan kapal tanker yang menyebabkan kebocoran minyak di beberapa tempat di alur pelayaran yang dianggap rawan kecelakaan. Selain itu dimodelkan pula kebocoran minyak yang berasal dari sumber-sumber lain di sekitar alur pelayaran Cilacap yang berpotensi mencemari lingkungan. Sifat dari sebagian jenis minyak cepat sekali menyebar ketika memasuki lautan. Untuk itu, jika tidak dilakukan penanganan yang tepat dikhawatirkan penyebaran lapisan minyak akan lebih meluas dan dampak yang ditimbulkan akan semakin besar. Diharapkan dari model ini, dihasilkan pemodelan pola sebaran tumpahan minyak di laut yang dapat mewakili kondisi sebenarnya untuk membantu proses penanganan pencemaran minyak secara cepat dan tepat.

1.2. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk membuat skenario model pola sebaran minyak pada beberapa daerah rawan kecelakaan maupun rawan kebocoran di alur pelayaran Cilacap. Skenario model dibuat dengan asumsi terjadi kebocoran yang berasal dari kapal tanker maupun dari kapal-kapal lainnya yang melewati alur

pelayaran tersebut dengan menggunakan DHI Software Mike 21 modul

Hydrodynamic dan modul Spill Analysis. Skenario model dimodelkan pada bulan

Februari 2007 sebagai representatif pada musim barat dan pada bulan Agustus 2007 sebagai representatif pada musim timur.


(21)

3

2.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kondisi Umum Alur Pelayaran Cilacap

Pelabuhan Tanjung Intan Cilacap merupakan satu-satunya pelabuhan di pantai selatan Pulau Jawa yang merupakan pintu gerbang perekonomian bagi daerah Jawa Tengah bagian selatan untuk perdagangan ekspor dan impor maupun pasar antar Pulau. Selain memiliki dermaga umum, terdapat beberapa perusahaan besar di Cilacap yang memiliki pelabuhan khusus tersendiri di luar pelabuhan tersebut, seperti Pelabuhan Minyak Pertamina UP IV dan pelabuhan semen milik Holcim (Wikipedia, 2007). Alur pelayaran di sekitar pelabuhan mempunyai kedalaman rata-rata -11 m s/d -12 m LWS.

2.2. Arus

Arus laut yaitu proses pergerakan massa air laut menuju kesetimbangan yang menyebabkan perpindahan horizontal dan vertikal massa air laut secara terus menerus. Berdasarkan asal penyebabnya, terdapat dua gaya yang berhubungan dengan arus yaitu gaya eksternal dan gaya internal. Gaya eksternal terdiri dari angin, perbedaan tekanan udara, gaya gravitasi, gaya tektonik serta gaya tarik benda-benda angkasa yang dipengaruhi oleh tekanan dasar laut. Gaya internal arus antara lain perbedaan densitas air laut, gradien tekanan mendatar dan gesekan lapisan air (Gross, 1972).

Kecepatan arus permukaan sangat bergantung dari kecepatan dan lamanya angin bertiup. Kecepatan arus permukaan besarnya kurang dari 2% dari


(22)

dengan arah pergerakan angin dikarenakan oleh adanya gaya Coriolis yang menyebabkan timbulnya perubahan arah arus sebesar ± 45° dari arah angin.

Dinamika pasut akan menimbulkan perbedaan tekanan hidrostatik pada beberapa tempat sehingga dapat terjadi arus yang dikenal sebagai arus pasang

surut (Gross, 1972). Arus pasang surut dengan tipe rotary dominan terdapat di

laut terbuka dan di perairan dekat pantai, sedangkan arus tipe bolak-balik (reversing current) umum terjadi di perairan yang berbentuk terusan, selat dan alur pelayaran yang relatif sempit.

Penyebaran lapisan minyak yang berada di permukaan laut sangat dipengaruhi oleh arus permukaan. Jika lapisan minyak dekat dengan daratan dimana kecepatan angin kurang dari 10 km/jam, maka lapisan tersebut 100% menyebar mengikuti arus permukaan. Pengaruh angin pada lapisan minyak dalam kondisi tersebut tidak lebih dari 3% (CRC, 2000).

Melalui hasil pengukuran arus di alur pelayaran Cilacap 1992 oleh Dishidros TNI-AL pada tiga stasiun diperoleh hasil bahwa di perairan tersebut arus pasut lebih dominan dan arus nonpasut relatif lebih rendah (Dishidros,1992

in Firdaus, 1997). Pada saat pasang, massa air laut akan mengalir dari Samudera

Hindia masuk melalui perairan antara Pulau Jawa dan Nusakambangan melalui pintu terusan timur (pantai Pulau Jawa) dan pintu terusan barat (Nusakambangan). Tetapi massa air yang masuk melalui pintu timur lebih dominan daripada yang masuk dari pintu barat. Pada saat surut, massa air mengalir kembali menuju Samudera Hindia melalui jalan yang sama. Periode aliran massa air keluar lebih panjang dibandingkan dengan periode aliran massa air yang masuk. Kecepatan arus permukaan di perairan Cilacap berkisar antara 3.5 knot sampai 4.0 knot


(23)

(Pertamina UP IV, 1992 in Harimurthy, 2001). Arus di sekitar alur pelayaran yang berasal dari hulu perairan Kali Donan sangat kecil, karena pada dasarnya perairan tersebut bukan perairan sungai (Ilham, 2002).

2.3. Angin

Angin didefinisikan sebagai gerakan udara mendatar (horizontal) yang disebabkan oleh perbedaan tekanan udara antara dua tempat. Angin yang

berhembus di permukaan perairan akan menimbulkan wind wave, yaitu

gelombang yang ditimbulkan oleh angin. Peristiwa ini merupakan pemindahan tenaga angin menjadi tenaga gelombang di permukaan air dan gelombang itu sendiri meneruskan tenaganya kepada peristiwa lainnya, diantaranya molekul air. Selain menimbulkan gelombang di permukaan air, angin juga dapat menyebabkan terjadinya arus.

Penyebaran lapisan minyak yang berada di permukaan laut dipengaruhi oleh angin permukaan. Jika kecepatan angin bertiup lebih besar dari 20 km/jam yang tentu saja terjadi pada laut terbuka, maka penyebaran lapisan minyak ditentukan oleh kondisi angin setempat. Hal tersebut tidak berlaku jika kecepatan angin kurang dari 10 km/jam dimana angin tidak memainkan peranan penting dalam proses penyebaran minyak (CRC, 2000).

Pola angin yang sangat berperan di Indonesia adalah angin muson. Angin muson bertiup secara mantap ke arah tertentu pada satu masa sedangkan pada masa lainnya angin bertiup secara mantap pula dalan arah yang berlawanan. Bulan Desember, Januari dan Februari adalah musim dingin di belahan bumi utara dan musim panas di belahan bumi selatan. Pada saat itu terbentuklah pusat


(24)

Australia. Keadaan ini menyebabkan angin berhembus dari Asia menuju Australia, yang di Indonesia umumnya dikenal sebagai angin muson barat. Sebaliknya, pada bulan Juli –Agustus terjadilah pusat tekanan tinggi di atas daratan Australia dan pusat tekanan udara rendah di atas daratan Asia sehingga mengakibatkan berhembusnya angin muson timur di Indonesia. Dua kali dalam setahun angin muson berganti arah.

Kecepatan angin rata-rata bulanan di Cilacap pada umumnya bervariasi antara dua hingga enam knot [mil/jam]. Arah angin yang paling dominan atau yang paling sering adalah ke arah tenggara (Firdaus, 1997).

2.4. Pasang Surut

Pasang-surut atau pasut adalah proses naik turunnya paras laut (sea level)

secara berkala yang ditimbulkan oleh adanya kombinasi gaya sentrifugal dan gaya tarik dari benda-benda angkasa, terutama matahari dan bulan, terhadap massa air di bumi (Pariwono, 1989).

Gerakan pasut menyebabkan permukaan air laut senantiasa berubah setiap

saat. Periode selama permukaan air laut naik disebut air pasang (flood tide),

sedangkan kedudukan saat permukaan air laut mencapai puncaknya disebut air

tinggi (high water). Saat permukaan air laut menurun akibat gaya pasut disebut

air surut (ebb tide) dan kedudukan permukaan air laut rendah disebut air rendah

(low water). (Gross, 1972).

Pasang surut di perairan Cilacap adalah penjalaran langsung pasang surut di Samudera Hindia yang bertipe campuran, dimana komponen setengah

hariannya masih dominan (semi diurnal) (Pariwono, 1989). Dengan sifat tersebut, maka terjadi dua kali pasang dan dua kali surut dalam 24 jam yang tidak teratur


(25)

dengan beda pasang surut (tidal range) antara 1.5 sampai 2.0 meter (Pertamina

UP IV, 1992 in Harimurthy, 2001).

2.5. Tumpahan Minyak 2.5.1. Karakteristik Minyak

Minyak mentah (crude oil) adalah campuran kompleks hidrokarbon

dengan jumlah atom karbon antara 4-26 atom dalam satu molekul. Susunan atom

karbon dapat membentuk rantai lurus dan rantai cabang (alifatik), rantai siklik

(alisiklik), dan rantai aromatik (Clark, 1986). Komponen hidrokarbon aromatik jumlahnya relatif kecil jika dibandingkan dengan komponen hidrokarbon alifatik dan alisiklik. Namun demikian, komponen aromatik justru lebih beracun, mudah berubah menjadi gas, dan menguap. Secara umum toksisitas minyak mentah meningkat dengan memanjangnya rantai karbon (Mukhtasor, 2007).

Komposisi senyawa hidrokarbon dari minyak mentah berbeda-beda antar sumur minyak yang satu dengan yang lain, tergantung pada sumber penghasil minyak tersebut. Agar dapat digunakan, minyak mentah terlebih dahulu harus

melewati proses penyulingan. Penyulingan (refining) adalah proses destilasi

minyak mentah untuk memutuskan ikatan rantai karbon yang berbeda titik didihnya menjadi beberapa fraksi (Clark, 1986). Hasil pengelompokan fraksi minyak mentah berdasarkan titik didihnya disajikan dalam Tabel 1.

Seluruh komponen dari minyak mentah dapat diuraikan oleh bakteri dengan tingkat kecepatan yang bervariasi. Minyak dengan komposisi rantai karbon yang sederhana, lurus, maupun bercabang dapat terurai dengan cepat. Minyak dengan komposisi molekuler yang rumit, berupa ter, atau minyak yang membentuk gumpalan membutuhkan waktu yang sangat lama untuk terurai


(26)

disebabkan luas permukaan minyak dalam bentuk tersebut lebih kecil jika dihubungkan dengan ukuran volumenya (Clark, 1986).

Tabel 1. Fraksi-Fraksi Minyak Bumi Berdasarkan Titik Didih

Fraksi Titik Didih Ukuran Volume

[°C] Molekuler [%]

Refinery gases < 25 C3- C4 2

Gasolin 40 – 150 C4 - C10 25

Naptha 150 – 200 C10- C12 6

Kerosin 200 – 250 C12 - C18 10

Minyak gas 250 – 300 C18 - C20 15

Minyak pelumas 300 – 400 C20 - C25 17

Minyak sisa > 400 > C25 25

Sumber : Bishop (1983) dalam Mukhtasor (2007)

Diesel merupakan pencampuran kompleks dari minyak hasil penyulingan.

Diesel mudah menyala dengan titik didih antara 150 – 380 0C. Diesel biasa

digunakan sebagai bahan bakar kendaraan bermotor. Bahan bakar mesin diesel sebagian besar terdiri dari senyawa hidrokarbon dan senyawa nonhidrokarbon. Senyawa hidrokarbon yang dapat ditemukan dalam bahan bakar diesel antara lain parafinik, naftenik, olefin dan aromatik. Sedangkan untuk senyawa

nonhidrokarbon terdiri dari senyawa yang mengandung unsur non logam, yaitu S, N, O dan unsur logam seperti vanadium, nikel dan besi.

Avtur adalah campuran minyak tanah dengan hidrokarbon cair. Avtur digunakan sebagai bahan bakar untuk pesawat terbang jet yang terdiri atas hidrokarbon sedang dengan karakteristik distilasi dan titik nyala seperti minyak tanah dan kandungan aromatik maksimum 25% terhadap volume. Kekentalan avtur di bawah 8 cST pada temperatur -20 derajat C dan titik beku di bawah -47


(27)

derajat C. Beberapa jenis komposisi avtur antara lain Paraffin, Olefin, Naptha, dan Aromatic (Pertamina, 2006).

2.5.2. Sumber Pencemaran Minyak

Minyak masuk ke lingkungan perairan laut dengan beberapa cara, yaitu:

a. Eksplorasi Lepas Pantai

Sumber pencemaran minyak yang berasal dari eksplorasi lepas pantai cenderung kecil jika dibandingkan dengan jumlah total minyak yang masuk ke lingkungan laut. Namun, jika terjadi kecelakaan tertentu seperti semburan sumur

minyak (well blow-out), kerusakan struktur platform, maupun kerusakan perlatan,

maka sejumlah besar minyak dipastikan akan mencemari laut (Mukhtasor, 2007).

b. Transportasi Laut

Polutan yang berasal dari transportasi laut dapat berasal dari pengoperasian kapal dan tanker maupun kecelakaan kapal dan tanker. Dari beberapa sumber tersebut, input polutan terbesar berasal dari pengoperasian kapal

tanker dalam proses deballasting (sistem kestabilan kapal menggunakan

mekanisme bongkar-muat air). Air ballast adalah air laut yang diisikan ke dalam tanki sebuah tanker yang kosong dimana tanki tersebut sebelumnya merupakan wadah minyak mentah. Untuk mengisi kembali tanki tersebut dengan minyak, maka air ballast yang terdapat di dalamnya harus dibuang ke laut dengan membawa sisa-sisa minyak yang terdapat di dinding tanki (Clark, 1986).

Jika dibandingkan dengan proses deballasting, polutan dari kecelakaan

tanker hanya berkontribusi sangat kecil dari keseluruhan minyak yang masuk ke laut. Namun kecelakaan tanker tetap menjadi masalah yang besar karena menghasilkan buangan minyak yang volumenya relatif besar pada suatu lokasi.


(28)

Semakin besar ukuran tanker, maka diperkirakan input polutan minyak ke laut juga semakin besar. Konsentrasi polutan dalam jumlah besar tentunya dapat menyebabkan kerusakan lingkungan pada area tersebut (Mukhtasor, 2007).

Sumber lapisan minyak lainnya yang berasal dari transportasi laut antara

lain docking atau perawatan kapal. Dalam proses tersebut, semua sisa bahan

bakar yang ada dalam tangki harus dikosongkan untuk mencegah terjadinya ledakan dan kebakaran. Selain itu proses bongkar muat tanker yang dilakukan di tengah laut juga banyak menimbulkan resiko tumpahan minyak akibat seperti pipa yang pecah, bocor maupun kecelakaan karena kesalahan manusia. Proses

scrapping kapal (pemotongan badan kapal untuk menjadi besi tua) dapat pula

menyebabkan banyak kandungan metal dan lainnya termasuk kandungan minyak terbuang ke laut.

c. Sumber dari Darat

Input polutan yang berasal dari darat bersumber dari berbagai aktivitas manusia, seperti pemakaian minyak untuk keperluan industri, limbah rumah

tangga, kegiatan perbengkelan, kilang minyak, run off dari daerah perkotaan,

maupun hasil pembakaran hidrokarbon di atmosfer yang terbawa oleh hujan. Limbah minyak tersebut terbawa oleh sistem saluran air yang menuju ke sungai dan bermuara ke laut. Apabila diakumulasi, jumlah limpasan minyak yang berasal dari darat menjadi sumber utama polutan minyak yang masuk ke kawasan pesisir dan laut (Clark, 1986).

d. Sumber Alami

Laut merupakan tempat dimana minyak bumi secara alami akan


(29)

Sumber polutan dalam kasus ini merupakan suatu fenomena alami, meskipun total masukan polutan yang berasal dari rembesan tersebut kemungkinan jumlahnya dua kali lebih besar dari pada masukan polutan dari kecelakaan tanker (Clark, 1986).

2.5.3. Perilaku Minyak di Laut

Minyak yang masuk ke dalam lingkungan laut akan mengalami berbagai proses, baik secara fisika maupun secara kimia (Gambar 1). Proses-proses

tersebut antara lain membentuk lapisan (slick formation), menyebar (dissolution),

menguap (evaporation), emulsifikasi (emulsification), minyak dalam air (oil in

water emulsions), fotooksidasi (photooxidation), biodegradasi mikroba (microbial biodegradation), sedimentasi (sedimentation), dicerna oleh plankton (plankton ingestion), dan bentukan gumpalan ter (tur lump formation). Semua proses

tersebut secara kolektif disebut dengan weathering of oil (Mukhtasor, 2007).

Gambar 1. Proses Pelapukan Lapisan Minyak yang Tumpah di Permukaan Laut


(30)

Penyebaran, penguapan, dispersi, emulsifikasi, dan pelarutan adalah proses-proses penting selama tahap awal tumpahan. Sementara oksidasi,

sedimentasi, dan biodegradasi adalah proses weathering jangka panjang yang

akan membantu proses penguraian minyak. Menurut Krough (1980) dalam

Firdaus (1997), berdasarkan kekekalannya (persistent) tumpahan minyak dapat

dibedakan menjadi dua bagian, yaitu tumpahan minyak yang tidak kekal (

non-persistent) dan tumpahan minyak yang kekal (persistent). Tumpahan minyak

non-persistent akan berangsur-angsur menghilang dari permukaan laut akibat

adanya proses fisika-kimia, sedangkan tumpahan minyak yang kekal (persistent)

akan menyebar secara perlahan sehingga mencemari lingkungan laut.

a. Penyebaran (Spreading)

Minyak yang keluar di permukaan air akan dengan segera bertambah luas

permukaannya. Mekanisme spreading dipengaruhi oleh karakteristik minyak itu

sendiri antara lain perbedaan densitas minyak dan air laut, dan tegangan permukaan. Semakin rendah nilai viskositas minyak, maka minyak akan menyebar semakin cepat. Kecepatan dari penyebaran minyak serta ketebalan lapisannya tergantung dari suhu perairan dan jenis minyak yang tumpah (Clark, 1986). Proses penyebaran tumpahan minyak juga dipengaruhi oleh arus air, pola

pasang surut, kecepatan angin, dan kekasaran muka laut ( Fay, 1971 in

Mukhtasor, 2007 ). Angin dan arus pasang surut memindahkan unsur-unsur dari lapisan minyak secara relatif satu sama lain dan mempercepat proses penyebaran. Ketika lapisan membentuk gumpalan dengan luas permukaan yang stabil, hanya dispersi horizontal yang memindahkan unsur-unsur minyak menjauh dari pusat


(31)

massa. Untuk perairan yang tertutup dan estuari, pergerakan lapisan minyak lebih banyak mendapat pengaruh dari arus dan pasang surut setempat (DHI, 2006b).

Dalam mekanisme spreading, minyak dapat menyebar secara horizontal

meskipun tanpa angin. Proses penyebaran minyak disebabkan oleh gaya gravitasi dan tegangan permukaan antara minyak dan air. Gaya-gaya tersebut berlawanan dengan gaya yang diberikan oleh pengaruh viskositas minyak.

b. Penguapan (Evaporation)

Proses penyebaran minyak akan menyebabkan lapisan menjadi lebih tipis dan proses penguapan meningkat. Proses penguapan pada tumpahan minyak dipengaruhi oleh komposisi minyak, suhu udara dan air laut, area tumpahan, kecepatan angin, radiasi matahari, dan ketebalan lapisan minyak (DHI, 2006b). Secara umum, komponen dalam minyak dengan berat molekul rendah atau minyak yang memiliki titik didih di bawah 200°C cenderung mengalami penguapan dalam waktu 24 jam. Kekasaran muka laut, kecepatan angin, dan temperatur yang tinggi akan meningkatkan penguapan ( ITOPF, 2007). Selain itu luas permukaan minyak juga sangat berperan dalam proses ini. Sifat minyak dapat berubah secara signifikan seiring terjadinya proses penguapan. Hilangnya

sebagian material yang bersifat mudah menguapmengakibatkan berat jenis

minyak menjadi lebih berat. Berikut ditampilkan tingkat evaporasi berbagai jenis minyak (Gambar 2)


(32)

G c m m b k D d k d

Gambar 2. T

c. Disp

Disp minyak men membentuk m) relatif l bentuk tersu kembali naik Dispersi ver dispersi min kekasaran m dispersi lebi Tingkat Eva (Sumber: CR persi vertikal persi merupak njadi butiran emulsi miny ebih stabil b uspensi. But k dan bergab rtikal bergan nyak akan sem muka laut bes

h dominan d

aporasi Berba RC, 2000)

l

kan proses m dan memasu yak-dalam-a bercampur de

iran yang be bung ke lapis tung pada si makin tingg sar (ITOPF, disebabkan o

agai Jenis M

mekanik. Tu ukannya ke air. Butiran y

engan air lau erukuran bes san minyak ifat minyak d

i jika viskos 2007). Dala oleh pecah g

Minyak Pada

urbulensi air dalam kolom yang beruku ut di kolom p sar (>100 m di permukaa dan jumlah e sitas minyak am cuaca ya

elombang. S

Suhu 15oC

r memecahka m perairan, uran sangat k

perairan men m) cenderung an laut (ITOP energi laut.

rendah dan ang buruk, m Sebaliknya p an lapisan kecil (<20 njadi g akan PF, 2007). Kecepatan nilai mekanisme pada cuaca


(33)

yang tenang, mekanisme dispersi yang paling signifikan terjadi karena stretching

compression dari lapisan, yang menyebabkan terbentuknya droplet (DHI, 2006b).

d. Emulsifikasi

Salah satu proses penting yang menyebabkan bertahan lamanya minyak di permukaan laut yaitu dengan membentuk emulsi air-dalam-minyak, yang

mengubah minyak menjadi campuran yang sangat kental. Emulsi terbentuk jika

terdapat dua cairan (liquid) yang bercampur, dimana salah satu dari cairan

tersebut tersuspensi dalam cairan lainnya (Clark, 1986). Emulsi tersebut dapat menyerap hingga 80% air. Kestabilan dari bentuk ini sangat tergantung pada jenis minyak dan kondisi lingkungan. Kestabilan dari emulsi sangat berhubungan

dengan jumlah kehadiran surfactant (resin dan aspal) dalam minyak, sedangkan

tingkat pengambilan air sangat berhubungan dengan kondisi laut setempat seperti gelombang dan turbulensi air (DHI, 2006b). Dalam beberapa kondisi, emulsi akan membentuk lapisan tebal di permukaan laut dan berwujud kental yang

disebut sebagai ”chocolate mousse” (Clark, 1986). Emulsi dapat terpisah kembali

menjadi minyak dan air jika dipanaskan oleh sinar matahari pada kondisi

permukaan laut yang tenang atau saat terdampar di pantai (ITOPF, 2007). Wujud dari emulsi minyak ditampilkan dalam Gambar 3.

Gambar 3. Proses Emulsifikasi pada Lapisan Minyak yang Membentuk


(34)

Proses emulsifikasi akan mempengaruhi volume lapisan minyak serta meningkatkan viskositas minyak. Jika emulsifikasi minyak terdampar di pantai maka akan mengganggu kehidupan ekosistem di daerah tersebut.

e. Disolusi

Komponen dari minyak yang dapat larut dalam air akan terlarut dalam kolom perairan. Proses pelarutan tersebut akan cepat terjadi pada minyak yang telah lebih dulu terdispersi dalam air. Minyak umumnya hanya sedikit

mengandung komponen yang dapat larut dalam air. Salah satu komponen yang paling cepat terlarut dalam air adalah hidrokarbon aromatik dengan berat jenis rendah dan komponen polar resin. Komponen-komponen yang dapat terdisolusi tersebut umumnya beracun. Meskipun demikian, senyawa aromatik biasanya akan lebih dulu menguap dibandingkan terlarut dikarenakan proses penguapan terjadi 10-100 kali lebih cepat dibandingkan proses melarut (ITOPF, 2007). Batas kadar minyak yang diizinkan berada di kolom perairan yaitu 0.01 ppm.

f. Sedimentasi

Sedimentasi merupakan proses dimana minyak terdeposisi ke dasar laut. Sedimentasi terjadi ketika butir minyak mencapai densitas tinggi dibandingkan dengan densitas air setelah berinteraksi dengan mineral tersuspensi di dalam kolom perairan. Minyak juga bereaksi terhadap oksigen dan menghasilkan bentuk persistent yang disebut ter (tars) akibat adanya proses oksidasi minyak dengan

viskositas tinggi. Proses ini terjadi dengan sangat lambat pada lapisan minyak

yang terekspos sinar matahari. Beberapa hasil dari oksidasi minyak ini memiliki densitas yang besar dan dapat tenggelam di air payau atau di perairan dangkal (ITOPF, 2007).


(35)

g. Biodegradasi

Dalam kolom perairan, terdapat beberapa jenis mikroorganisme yang bisa menguraikan sebagian atau seluruh komponen minyak. Hasil penguraian tersebut dapat berupa komponen yang dapat terlarut dalam air atau terkadang berupa karbondioksida dan air. Unsur utama yang berpengaruh terhadap efisiensi proses biodegradasi yaitu nutrien (nitrogen dan fosfor), temperatur, dan oksigen terlarut. Minyak yang berbentuk butiran atau partikel lebih mudah mengalami proses biodegradasi karena menyediakan luas permukaan yang lebih besar dibandingkan minyak yang berbentuk lapisan tebal atau gumpalan (ITOPF, 2007). Tingkat biodegradasi tinggi pada rantai jenuh (12-20 atom karbon) dan lambat pada rantai aromatik dan aspal.

2.6. Pemodelan Tumpahan Minyak

Rau dan Woten (1980) dalam Firdaus (1997) menyatakan bahwa model merupakan penampakan dari sistem yang sebenarnya. Perilaku dan konsentrasi polutan di laut dapat diperkirakan atau diestimasi menggunakan pemodelan dengan bantuan komputer. Karena umumnya perilaku maupun konsentrasi polutan di alam memiliki proses yang kompleks, maka pemodelan dapat

dimanfaatkan untuk menyederhanakan proses tersebut. Pemodelan hidrodinamika dapat menjadi salah satu cara untuk mengetahui proses penyebaran polutan. Pemodelan yang akurat membutuhkan representasi yang baik mengenai parameter, proses, dan kondisi batas pemodelan. Secara umum, pemodelan perilaku dan penyebaran polutan terdiri dari dua komponen pokok, yaitu model hidrodinamika serta model perilaku dan penyebaran dari polutan itu sendiri (Mukhtasor, 2007).


(36)

18

3.

METODOLOGI

3.1. Waktu dan Lokasi

Penelitian berupa pemodelan sebaran tumpahan minyak di Perairan Cilacap, Jawa Tengah dilakukan pada bulan April 2008 – Februari 2009

menggunakan DHI software Mike 21 dengan modul Hydrodynamic dan Spill

Analysis (Gambar 4). Pemodelan dilaksanakan dengan menggunakan perangkat

komputer Laboratorium Pusat Teknologi & Inventarisasi Sumberdaya Alam (P-TISDA) bertempat di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Jakarta.

Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian Model Sebaran Tumpahan Minyak di Perairan


(37)

3.2. Sumber Data

Sumber data yang diperlukan dalam penelitian ini meliputi dua hal, yaitu data untuk masukan model serta data untuk kepentingan verifikasi.

3.2.1. Data Masukan Model

Untuk membangun skenario model, diperlukan beberapa data masukan yang didapat dari berbagai sumber, antara lain:

a. Data kedalaman (batimetri) perairan Cilacap, yaitu:

1) peta batimetri hasil pemetaan Jawatan Hidro-Oseanografi (JANHIDROS)

TNI-AL tahun 2007 Nomor 108 dengan skala 1 : 15.000;

2) peta batimetri hasil pemetaan PT. PERTAMINA (PERSERO) Unit

Pengolahan IV Cilacap tahun 2006 Nomor Gambar CS 05/X/06 dan CS 07/IX/06 dengan skala 1 : 2000;

3) peta batimetri hasil survey sounding Kolam Pelabuhan Tanjung Intan -

Cilacap PT. (PERSERO) Pelabuhan Indonesia III Surabaya tahun 2006 Nomor Gambar DL 427/2006 dengan skala 1 : 250;

b. Data arah dan kecepatan angin di Cilacap bulan Februari dan Agustus tahun

2007 dengan interval data per enam jam dan bersumber dari QuickScat &

Seawind (IFREMER);

c. Data pasang surut perairan Cilacap bulan Februari dan Agustus tahun 2007

dengan interval data per 15 menit bersumber dari Topex Poesidon & Jason;

d. Data lalu lintas perkapalan dan rute/alur pelayaran tahun 2007 diperoleh dari

PT. (PERSERO) Pelabuhan Indonesia III cabang Tanjung Intan Cilacap, Jawa Tengah;


(38)

e. Data oil properties dari Lembaga Minyak & Gas (LEMIGAS) Jakarta dan dari berbagai sumber (Lampiran 3).

3.2.2. Data Verifikasi

Data yang diperlukan untuk verifikasi masukan skenario model antara lain:

a. Data arah dan kecepatan angin di Cilacap bulan Februari dan Agustus tahun

2007 hasil pengukuran Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Cilacap yang direkam setiap jam selama 28 hari;

b. Data pasang surut perairan Cilacap bulan Februari dan Agustus tahun 2007

hasil pengukuran Badan Koordinasi Survey dan Pertanahan Nasional (BAKOSURTANAL) Cibinong dengan interval pengukuran data per 15 menit.

3.3. Peralatan yang Digunakan

Sistem perangkat keras yang dipakai dalam pemodelan maupun

pengolahan data masukan (input) yaitu menggunakan sistem perangkat komputer di BPPT. Pembuatan skenario pemodelan sebaran tumpahan minyak diproses

dengan menggunakan berbagai modul, antara lain Mike Zero Bathymetries, Mike

Zero Time Series, Mike Zero Profile Series, Mike Zero Data Extraction, Mike

Zero Toolbox, dan Mike 21 Flow Model. Untuk skenario analisis tumpahan

minyak, digunakan modul Hydrodynamic Modul dan Spill Analysis Modul.

3.4. Desain Skenario Model

Model diawali dengan pengolahan data masukkan untuk menyimulasikan modul hidrodinamika pada program Mike 21. Data masukkan yang diolah antara lain pembuatan domain model dengan menggunakan data kedalaman perairan,


(39)

pengolahan data arah maupun kecepatan angin dari IFREMERyang dihitung tiap-tiap grid dan berubah terhadap ruang dan waktu, serta data prediksi pasang surut yang dihasilkan dari satelit Topex Poseidon dan Jason. Data tersebut kemudian diverifikasi dengan menggunakan data hasil pengukuran lapang. Proses

selanjutnya adalah membuat skenario pemodelan hidrodinamika dengan

memasukkan data input angin dan pasang surut yang telah diverifikasi serta

melengkapi data-data parameter pendukung dalam modul hidrodinamika tersebut. Modul hidrodinamika yang telah lengkap kemudian dimodelkan dan

menghasilkan keluaran berupa dua buah model hidrodinamika.

Bagian hidrodinamika pertama digunakan untuk melihat kondisi

hidrodinamika di perairan Cilacap atara lainberupa arah dan kecepatan arus (U

dan V) serta perubahan tinggi muka air laut (surface elevation) terhadap Mean

Sea Level (MSL). Bagian hidrodinamika kedua memiliki keluaran berupa debit

perairan/fluks dalam arah u dan v serta perubahan kedalaman perairan terhadap

waktu (water level). Keluaran hidrodinamika bagian kedua tersebut

bersama-sama dengan data karakteristik minyak digunakan kembali sebagai masukkan

untuk menjalankan modul Spill Analysis berikutnya. Keluaran yang dihasilkan

dari pemodelan modul Spill Analysis tersebut selanjutnya menjadi hasil akhir dari

seluruh proses pemodelan. Diagram alir dari seluruh proses pemodelan disajikan pada Gambar 5.

Kondisi pemodelan yang dilakukan berupa pemodelan pola sebaran tumpahan minyak dengan pengaruh angin (timur dan barat) dan pasang surut setempat. Sedangkan kondisi pemodelan yang diamati yaitu pada saat muka air


(40)

laut berada pada posisi tertinggi (flood tide), posisi terendah (ebb tide), menjelang

pasang dan menjelang surut pada kondisi pertengahan (Mean Sea Level).

Gambar 5. Diagram Alir Pemodelan Sebaran Tumpahan Minyak di Perairan

Cilacap dengan Menggunakan DHI Software Mike 21

3.4.1. Lokasi Pemodelan

Dalam memutuskan area yang tercakup dalam model, harus pula dipertimbangkan lingkup area, posisi dan tipe dari batas model hidrodinamika yang akan digunakan. Model sebaran tumpahan minyak dibangun dengan skenario di lokasi yang memungkinkan terdapat sumber buangan atau tumpahan minyak masuk ke dalam perairan Cilacap. Desain domain pemodelan berbentuk empat persegi panjang dengan posisi geografis terletak pada 7°46’23” LS - 7°41’20” LS dan 108°59’01” BT - 109°03’51” BT ditunjukkan pada Gambar 6.


(41)

Daerah perairan yang dimodelkan meliputi aliran Kali Donan, Muara Sungai Serayu, alur pelayaran Pelabuhan Tanjung Intan, dan Teluk Penyu. Dalam domain ini digunakan proyeksi WGS 1984 UTM Zone 49S. Domain dibagi ke

dalam grid 8850 x 9350 sel dengan lebar ∆x = ∆y = 10 meter.

Gambar 6. Domain Dasar Pemodelan Tumpahan Minyak di Perairan Cilacap

dengan Menggunakan Program Mike21

3.4.2. Syarat Batas

Syarat batas area pemodelan ditentukan oleh variasi tinggi muka laut yang terdiri dari dua bagian yaitu, syarat batas tertutup dan syarat batas terbuka.

3.4.2.1. Syarat Batas Tertutup

Syarat batas tertutup pada area model yaitu berupa garis pantai dimana massa air tidak memungkinkan untuk melewatinya. Berikut ini merupakan lokasi dari syarat batas tertutup pada area model :


(42)

a) Bagian utara : garis pantai pesisir Cilacap dan Daerah Aliran Sungai (DAS) Donan.

b) Bagian selatan : garis pantai pesisir Pulau Nusakambangan.

c) Bagian barat : Daerah Aliran Sungai (DAS) Donan.

3.4.2.2. Syarat Batas Terbuka

Syarat batas terbuka adalah batas daerah pada model yang berbatasan dengan laut terbuka. Pada area model ini, syarat batas terbuka yaitu antara lain:

a) Bagian selatan : garis lurus yang ditarik sejajar dengan Pulau

Nusakambangan

b) Bagian barat : garis lurus yang memotong aliran Sungai Serayu

c) Bagian utara : garis lurus yang memotong aliran Kali Donan

d) Bagian timur : garis lurus yang memotong perairan Teluk Penyu

3.4.3. Waktu Pemodelan

Waktu pemodelan hidrodinamika terdiri dari dua musim, yaitu musim barat dan musim timur. Pemodelan hidrodinamika pada musim barat dimodelkan pada bulan Februari 2007, sedangkan pemodelan pada musim timur dimodelkan pada bulan Agustus 2007. Waktu pemodelan untuk musim barat yaitu tanggal 1 Februari 2007 hingga 28 Februari 2007. Sedangkan waktu pemodelan untuk musim timur yaitu tanggal 1 Agustus 2007 hingga 28 Agustus 2007.

3.4.4. Skenario Tumpahan Minyak

Dalam pemodelan ini terdapat beberapa skenario sumber tumpahan minyak yang berpotensi mencemari perairan Cilacap. Minyak yang akan dimodelkan tumpah dan mencemari perairan Cilacap antara lain avtur, solar


(43)

(diesel), minyak mentah (crude oil) dan aspal. Sumber tumpahan minyak

diskenariokan mengeluarkan minyak dalam jenis, jumlah flux, dan waktu tertentu. Skenario yang disajikan dalam Tabel 2 telah disesuaikan dengan kondisi

tumpahan yang memungkinkan terjadi berdasarkan dari data perkapalan setempat. Lokasi terjadinya tumpahan masing-masing minyak ditampilkan pada Gambar 7 di bawah ini.

Gambar 7. Lokasi Skenario Sumber Tumpahan Minyak di Domain Perairan


(44)

Tabel 2. Informasi Lokasi, Jumlah Tumpahan dan Waktu Pengeluaran Skenario Model Tumpahan Minyak di Perairan Cilacap

Sumber Bujur (BT) Lintang

(LS) Lokasi Potensi

Jenis Minyak

Jumlah Tumpahan

[m3]

Discharge [m3/s]

Waktu [menit]

1 108°59'24" 07°46'17" Teluk Penyu Tanker karam Avtur 1800 1.5 25

2 108°59'10" 07°46'15" Jetty Area 70 Tabrakan tanker Avtur 1800 3 10

3 108°59'16" 07°46'19" Jetty CIB Kebocoran loading Avtur 300 0.5 10

4 108°59'24" 07°46'17" Teluk Penyu Tanker karam Crude Oil 1800 1.5 25

5 108°59'10" 07°46'15" Jetty Area 70 Tabrakan tanker Crude Oil 1800 3 10

6 108°59'16" 07°46'19" Jetty CIB Kebocoran loading Crude Oil 300 0.5 10

7 108°59'05" 07°46'09" Dermaga umum Tabrakan tongkang Diesel 900 1.5 10

8 108°59'12" 07°46'15" Jetty Area 70 Limbah dermaga Diesel 688.84 0.0003 konstan

9 108°59'06" 07°46'07" Dermaga umum Limbah dermaga Diesel 65.3184 0.000027 konstan

10 108°59'16" 07°46'07" PPSC Limbah kapal nelayan Diesel 18.6624 0.000008 konstan

11 108°59'05" 07°45'59" Jetty Area 60 Tabrakan tanker Asphalt 600 0.5 20

2


(45)

3.5. Parameter Pemodelan 3.5.1. Parameter Hidrodinamika

Parameter hidrodinamika diawali dengan membuat batimetri pada program Mike 21 sebagai domain model. Perairan Cilacap memiliki nilai batimetri yang bervariasi dengan kisaran kedalaman laut berada di antara nol hingga 25 meter di bawah permukaan laut. Posisi batas selatan dan timur domain berbatasan

langsung dengan Samudera Hindia. Kontur batimetri menunjukkan nilai tertinggi pada perairan di sekitar kedua batas tersebut yang ditunjukkan dengan warna ungu. Warna tersebut menunjukkan kisaran kedalaman antara 24 – 25 meter di bawah permukaan laut. Nilai kedalaman semakin mengalami penurunan saat perairan mendekati garis pantai. Perairan pada batas barat maupun utara domain masing-masing berbatasan langsung dengan aliran Sungai Serayu dan Kali Donan. Kedalaman perairan di kedua batas domain tersebut memiliki nilai yang rendah yang ditunjukkan dengan warna kontur hijau dan jingga. Kontur batimetri di perairan Cilacap disajikan pada Gambar 8.

Kontur kedalaman laut di perairan Teluk Penyu terlihat semakin merapat saat mendekati garis pantai. Perairan Kali Donan memiliki kontur kedalaman yang rapat dengan kisaran kedalaman bernilai antara 0.88 – 10.56 meter di bawah permukaan laut. Kedalaman perairan di bagian tengah aliran Kali Donan serta di sekitar kolam dermaga/pelabuhan dibuat lebih besar hingga mencapai -11.44 meter. Alur pelayaran Tanjung Intan di sepanjang kanal utama memiliki

morfologi dasar laut yang lebih curam dengan kontur kedalaman yang lebih rapat. Kedalaman laut di sepanjang alur pelayaran tersebut berkisar antara 1.76 – 20.73 m di bawah permukaan laut dan terletak memanjang hingga ke perairan Teluk


(46)

Penyu. Morfologi dasar laut pada alur pelayaran Tanjung intan merupakan morfologi buatan yang dibuat dan dipertahankan untuk kepentingan pelayaran.

Terdapat beberapa daerah perairan dangkal di sekitar pantai Cilacap dan Pulau Nusakambangan, yaitu di sepanjang aliran Kali Donan dan di muara Sungai Kaliyasa. Daerah perairan dangkal terdapat pula di sekitar muara Sungai Serayu yang berada di batas barat domain, di mulut alur pelayaran Tanjung Intan dan di sekitar pesisir Pulau Nusakambangan.

Gambar 8. Batimetri Perairan Cilacap Hasil Survey Sounding Dasar Laut

(Sumber: JANHIDROS, 2007)

Waktu pemodelan hidrodinamika dibagi ke dalam dua musim, yaitu musim timur dan musim barat. Skenario hidrodinamika musim barat dimodelkan pada tanggal 1 Februari 2007 pukul 12:00 AM hingga 28 Februari 2007 pukul 12:00 AM. Skenario hidrodinamika musim timur dimodelkan pada tanggal 1


(47)

Agustus 2007 pukul 12:00 AM hingga 28 Agustus 2007 pukul 12:00 AM. Langkah waktu masing-masing pemodelan ditentukan sebesar 10 detik

disesuaikan dengan syarat kestabilan domain (Courant Number). Courant

Number menunjukkan banyaknya grid yang memproses hasil selama pemodelan

berjalan dalam satu satuan waktu.

Domain area pada skenario pemodelan menggunakan variasi pasang surut air laut pada keempat batas terbuka yaitu, batas utara, batas selatan, batas timur, dan batas barat (Gambar 9).

Gambar 9. SyaratBatas Terbuka pada Domain Model Hidrodinamika di Perairan

Cilacap

Masing-masing variasi pasang surut pada keempat batas terbuka domain perairan Cilacap yang dimodelkan untuk musim barat disajikan dalam Gambar 10, sedangkan pada musim timur ditampilkan pada Gambar 11


(48)

Gambar 10.Tinggi Muka Air Laut pada Seluruh Batas Terbuka Domain Perairan Cilacap pada Musim Barat Tahun 2007

Gambar 11. Tinggi Muka Air Laut pada Seluruh Batas Terbuka Domain Perairan Cilacap pada Musim Timur Tahun 2007

Data pasang surut hasil pemodelan bersumber dari data prediksi pasang surut yang didapat dari Jason dan Topex Poseidon. Data tersebut diverifikasi dengan data pasang surut hasil pengukuran insitu yang bersumber dari

Bakosurtanal. Masing-masing data pasang surut diukur setiap 15 menit selama 27 hari. Data pasang surut yang diambil pada tanggal 1 - 28 Februari 2007 mewakili kondisi pasang surut pada musim barat, sedangkan data pasang surut yang diambil


(49)

pada tanggal 1 - 28 Agustus 2007 mewakili kondisi pasang surut pada musim timur. Pengamatan kedua data pasang surut tersebut dilakukan pada posisi 07° 34’ LS - 108° 59’ BT (Gambar 12).

Gambar 12.Lokasi Pengamatan Data Pasang Surut Hasil Pengukuran Lapang

dengan Data Masukan Model di Cilacap Tahun 2007

Domain model perairan Cilacap sangat dipengaruhi oleh kondisi pasang

surut setempat sehingga perlu ditentukan nilai Drying depth dan Flooding depth.

Nilai Drying depth ditentukan dengan memasukan nilai kedalaman minimum

yaitu 0.2 dan nilai kedalaman maksimum untuk Flooding depth sebesar 0.3. Nilai

masukan parameter tersebut menandakan bahwa perhitungan pemodelan pada masing-masing grid tidak akan dihitung pada kedalaman di atas 0.3 m maupun


(50)

Initial surface merupakan nilai awal tinggi muka laut domain saat

memulai pemodelan dalam satuan meter. Parameter Initial surface ditentukan

dengan memasukkan nilai awal tinggi muka laut yang didapat dari rata-rata tinggi

muka laut pada seluruh syarat batas terbuka. Nilai Initial surface pada musim

barat ditentukan sebesar 0.12 m dan pada musim timur sebesar 0.4 m.

Parameter Source & Sink digunakan untuk menentukan adanya titik

sumber masukan dan keluaran air dalam domain. Pada skenario pemodelan

hidrodinamika ini, nilai Source & Sink tidak ditentukan karena pada domain tidak

diskenariokan terdapat sumber masukan maupun keluaran air.

Parameter Eddy Viscosity berhubungan dengan gaya gesek antara

molekul-molekul fluida yang bergerak dengan kecepatan berbeda dan menghasilkan gerak turbulen (Alonso dan Finn, 1992). Dalam pemodelan hidrodinamika ini

parameter tersebut ditentukan dengan menggunakan formula Smagorinsky. Tipe

formula Smagorinsky dihitung berdasarkan kecepatan mengalir fluidadengan nilai

konstan sebesar 0.5.

Nilai tahanan dasar (bed resistance) pada domain model diberikan dalam

parameter Resistance. Nilai tahanan dasar berhubungan dengan kekasaran dasar

laut dan gaya gesek antara dasar laut dengan air (DHI, 2007). Konstanta tahanan

dasar dalam pemodelan ini menggunakan nilai Manning Number [m1/3/s] dimana

pada laut terbuka bernilai 32, sedangkan pada laut dangkal menggunakan nilai tahanan dasar 27 (Gambar 13).


(51)

Gambar 13. Pola Nilai Tahanan Dasar (Manning Number) dalam Domain Model Perairan Cilacap

Data angin yang digunakan untuk masukan model didapat dari IFREMER. Data angin tersebut merupakan data hasil pengamatan satelit yang diukur setiap enam jam. Data angin masukan model kemudian diverifikasi dengan

menggunakan data hasil pengukuran insitu yang dilakukan oleh Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Cilacap. Data angin insitu merupakan data yang direkam setiap jam selama 28 hari. Pada musim barat, data angin diambil dari tanggal 01 - 28 Februari 2007. Sedangkan pada musim timur, data angin diambil dari tanggal 01 - 28 Agustus 2007. Pengamatan kedua data angin tersebut dilakukan pada posisi 07° 44’ LS - 109° 01’ BT (Gambar 14).


(52)

Gambar 14. Lokasi Pengamatan Data Angin Hasil Insitu dan Data Angin Masukan Model di Cilacap Tahun 2007

Nilai tekanan yang diberikan oleh angin terhadap permukaan laut

diskenariokan bervariasi terhadap ruang dan waktu. Nilai friksi anginpada

pemodelan ini diskenariokan bervariasi terhadap kecepatan angin dimana pada saat kecepatan angin bernilai nol, maka besar friksinya 0.0016. Nilai tersebut bervariasi linier dimana pada saat kecepatan angin 16 m/s maka nilai friksinya sebesar 0.0026.

Hasil keluaran dari pemodelan hidrodinamika tersebut kemudian dibagi

menjadi dua bagian. Bagian hidrodinamika pertama memiliki output berupa

surface elevation, U-velocity, dan V-velocity. Sedangkan bagian hidrodinamika

kedua memiliki output berupa water level, P flux, Q flux. Contoh hasil laporan


(53)

3.5.2. Parameter Spill Analysis

Pemodelan pada modul Spill Analysis dibagi menjadi dua bagian, yaitu

Basic parameter dan Oil Spill parameter.

a. Basic Parameter

Pemodelan basic parameter diawali dengan menentukan Starting

Condition berupa Oil Spill Analysis. Masing-masing minyak yang diasumsikan

tumpah memiliki waktu terjadinya tumpahan yang berbeda-beda. Lapisan diesel dan aspal dimodelkan selama 10 hari, lapisan avtur dimodelkan selama 14 hari dan lapisan minyak mentah dimodelkan selama 21 hari baik pada musim barat

maupun pada musim timur. Parameter Hydrodynamic Data diisi dengan

menggunakan hasil keluaran modul hidrodinamika bagian kedua. Pada output

tersebut, arus diberikan dengan variasi terhadap ruang dan waktu. Informasi mengenai lokasi tumpahan (dalam grid), jumlah tumpahan, serta waktu keluaran

tumpahan minyak dalam parameter Source disajikan pada Tabel 3berikut ini.

Tabel 3. Informasi Spasial, Jumlah dan Waktu Tumpahan Masing-Masing Jenis

Minyak yang di Skenariokan Tumpah di Perairan Cilacap

Grid Discharge [m3/detik]

Time Release [Time step] X Y

Diesel

323 247 0.0003 Konstan

93 450 1.5 60

131 499 0.000027 Konstan 447 518 0.000008 Konstan

Avtur

697 201 1.5 150

449 139 0.5 60

269 266 3 60

Crude

697 201 1.5 150

449 139 0.5 60

269 266 3 60


(54)

Koefisien dispersi dalam parameter Dispersion diskenariokan memiliki

nilai yang besarnya proporsional terhadap arus. Nilai Longitudinaldirection

memiliki faktor proporsional sebesar satu, begitu juga dengan nilai Transversal

direction. Sementara itu, nilai Verticaldirection memiliki faktor proporsional

terhadap arus sebesar 0.01. Vertical direction bernilai kecil karena proses dispersi

pada lapisan minyak diasumsikan lebih banyak dipengaruhi oleh gerak arus horizontal dibandingkan gerak arus vertikal.

Profil arus secara horizontal dipengaruhi oleh gesekan terhadap

permukaan dasar laut yang ditentukan dalam parameter Eddy & Logarithmic

Velocity Profile. Tipe Velocity profile yang digunakan dalam pemodelan ini yaitu logarithmic velocity profile, sementara nilai Bottom roughness ditentukan sebesar

0.1 m. Parabolic eddy profile disertakan karena berpengaruh dalam penyesuaian

proses dispersi vertikal berdasarkan pendekatan gradien.

Informasi mengenai suhu dan salinitas air laut di perairan Cilacap pada

musim barat dan musim timur ditentukan dalam parameter Water Properties.

Suhu dan salinitas air laut tersebut diskenariokan bernilai konstan sepanjang pemodelan. Pada musim barat, salinitas permukaan laut diasumsikan bernilai

33.5 dengan suhu permukaan 290C. Pada musim timur, salinitas permukaan laut

diasumsikan bernilai 34 dengan suhu permukaan 250C.

Kondisi angin yang diberikan dalam parameter Wind Condition sama

dengan data yang diberikan pada modul hidrodinamika. Kedua data tersebut memiliki nilai yang bervariasi terhadap ruang dan waktu.

Exceeding Concentration merupakan laju perubahan konsentrasi fraksi


(55)

Exceeding Concentration [%] diskenariokan bernilai 100 mm. Time Exposition merupakan parameter yang digunakan untuk merekam waktu perjalanan lapisan

minyak saat mencapai suatu area. Dalam pemodelan ini, time exposition

disertakan untuk melihat resident time lapisan minyak dalam domain model.

Parameter Line Discharge berfungsi untuk menghitung volume materi yang

melewati suatu transek. Dalam pemodelan ini, parameter tersebut tidak digunakan.

b. Oil Spill Parameter

Informasi perawanan dan suhu udara di Cilacap pada musim barat dan

musim timur disajikan ditentukan dalam parameter Air Properties. Sumber data

untuk masukan kedua parameter ini didapat dari BMKG Cilacap. Pada musim

barat, nilai Cloudiness diskenariokan konstan sebesar 0.58 dengan temperatur

udara 27.565°C. Sementara pada musim timur, nilai Cloudiness diskenariokan

sebesar 0.13 dengan temperatur udara 27.527°C

Parameter Heat transport digunakan untuk menghitung pertukaran bahang

antara minyak dengan air laut dan minyak dengan udara. Nilai konstanta yang digunakan pada perhitungan proses evaporasi dan transfer bahang dalam

pemodelan (Tabel 4) menggunakan konstanta yang telah tersedia dalam program Mike 21 (default).

Tabel 4. Informasi Nilai Konstanta Transfer Bahang Minyak

Heat Balance Evaporation

Albedo 0.14 Evaporation 0.029

Emissivity of Oil 0.82

Emissivity of Water 0.95


(56)

Proses emulsifikasi pada lapisan minyak ditentukan oleh kehadiran surfactant yaitu kandungan aspal dan wax. Informasi nilai konstanta yang digunakan dalam proses emulsifikasi masing-masing minyak disajikan dalam

Tabel 5. Nilai K1 dan K2 berasal dari nilai default yang telah tersedia dalam

program Mike 21.

Tabel 5. Informasi Nilai Konstanta Emulsifikasi Masing-Masing Minyak Dalam

Skenario Model Tumpahan Minyak

Max Water Content

Asphaltens Content

[wt%]

Wax Content

[wt%]

K1 due to water uptake

[kg/m3]

K2 due to water release

[kg/s2]

Diesel 0.85 1 2 5 x 10-7 1.2 x 10-5

Avtur 0.85 1 2 5 x 10-7 1.2 x 10-5

Crude 0.85 0.05 7.04 5 x 10-7 1.2 x 10-5

Asphalt 0.85 50 10 5 x 10-7 1.2 x 10-5

Parameter Dissolution & Entrainment disertakan untuk menghitung

volume lapisan minyak yang meninggalkan lapisan tersebut karena proses

disolusi. Untuk itu, perlu ditentukan nilai Mass transfer coefficient yaitu sebesar

2.36 x 10-6 ks dan nilai Oil in water interfacial tension sebesar47.2 dyne/cm.

Kedua nilai tersebut merupakan nilai default dan telah tersedia dalam program

Mike 21.

Proses pelapukan pada lapisan minyak ditentukan oleh komponen kimia dari masing-masing minyak. Nilai volume fraksi masing-masing minyak yang

diasumsikan tumpah di perairan Cilacap dan digunakan dalam input parameter Oil

Properties disajikan dalam Tabel 6 sedangkan laporan hasil pemodelan pada


(57)

Tabel 6. Volume Fraksi Masing-Masing Minyak yang Diasumsikan Tumpah di Perairan Cilacap

Diesel Avtur Crude Oil Asphalt Oil Properties [% v/v] [% v/v] [% v/v] [% v/v]

C6-C12 (Paraffin) 14.7 - 5.1 -

C13-C25 (Paraffin) - 32.7 3.78 5

C6-C12 (Cycloparaffin) 34.2 - - -

C13-C23 (Cycloparaffin) - 43.2 16.2 5

C6-C11 (Aromatic) 9.1 - 1.8 -

C12-C18 (Aromatic) - 24.1 - 10

C9-C25 (Naphtean) 42.4 - 4.1 -

Residual - - 69.02 80

Temperatur

Reference Temperature 20 20 40 23.5

Viscositas at Reference Temperature [cs]

6.94 8 4.05 800

Oil Temperature

Constant [deg C] 25 25 25 25

Selanjutnya, hasil pemodelan modul Spill Analysis dengan menggunakan

DHI Software Mike 21 yaitu antara lain:

a) Instantaneous oil slick thickness [mm]: Ketebalan total lapisan minyak setelah mengalami proses pelapukan.

b) Instantaneous emulsification rate [mm]: Ketebalan lapisan minyak yang

mengalami proses emulsifikasi.

c) Instant oil evaporation [mm]: Ketebalan lapisan minyak yang mengalami

proses evaporasi.

d) Instant oil dissolution [mm]: Ketebalan lapisan minyak yang mengalami

proses disolusi.

e) Instant vertical dispersion [mm]: Ketebalan lapisan minyak yang mengalami

proses dispersi vertikal.


(58)

g) Time exposition [second]: Waktu yang dibutuhkan oleh lapisan minyak untuk berada dalam suatu grid.

3.6. Persamaan Utama

Model hirodinamika dalam MIKE 21 HD merupakan sistem model numerik umum untuk pemodelan permukaan air dan arus. MIKE 21 HD

memodelkan arus dua dimensi dalam satu lapis fluida yang diasumsikan homogen secara vertikal. Persamaan berikut merupakan konservasi dari massa dan

momentum yang terintegrasi secara vertikal, serta menggambarkan variasi arus dan tinggi muka air:

t

d

y

q

x

p

t

=

+

+

ζ

(1) ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ ∂ ∂ + ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ ∂ ∂ + ∂ ∂ h pq y h p x t p 2

(

xx

)

(

h xy

)

q

y h x w h C q p gp x

gh −Ω

⎦ ⎤ ⎢ ⎣ ⎡ ∂ ∂ + ∂ ∂ + + ∂ ∂

+ τ τ

ρ ζ 1 . 2 2 2 2

( )

p o x

h

fVV a

w

x =

∂ + − ρ (2) ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ ∂ ∂ + ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ ∂ ∂ + ∂ ∂ h pq x h q y t q 2

(

)

(

h

)

p

x h y h C q p gp y

gh yy xy

w Ω + ⎥ ⎦ ⎤ ⎢ ⎣ ⎡ ∂ ∂ + ∂ ∂ + + ∂ ∂

+ τ τ

ρ ζ 1 . 2 2 2 2

( )

p

o

xy

h

fVV

a

w

y

=

+

ρ

(3)

Keterangan:

h(x,y,t) = kedalaman perairan [= ζ –d, m]

d(x,y,t) = kedalaman perairan bervariasi terhadap waktu [m]


(59)

p,q(x,y,t) = densitas flux dalam arah x- dan y- [m3/s/m] =

(uh,vh); (u,v) = kecepatan rata2 kedalaman dalam arah x- dan y-

C(x,y) = Chezy resistance [m½/s]

G = percepatan gravitasi [m/s2]

f(V) = faktor gesekan angin

V, Vx, Vy(x,y,t) = kecepatan angin dan komponen dalam arah x- dan y- [m/s]

Ω(x,y) = parameter Coriolis, tergantung latitude [s-1]

Pa(x,y,t) = tekanan atmosfir [kg/m/s2]

ρw = densitas air [kg/m3]

x, y = jarak koordinat [m]

t = waktu [s]

xx, xy, yy = komponen shear stress

3.7. Parameter Oil Spill 3.7.1. Spreading

Fay (1969) dalam DHI (2006b) telah membangun teori tiga fase spreading

dari lapisan minyak, yaitu :

1. Fase primer, hanya gravitasi (spreading) dan inersia (perlambatan);

2. Fase intermediate, gravitasi dan viskositas (perlambatan);

3. Fase final, tegangan permukaan (spreading) equilibrium dengan

viskositas.

Mackay et al. (1980) dalam DHI (2006b) kemudian membangun

modifikasi formula viskositas-gravitasi dari teori Fay untuk perluasan area lapisan minyak berdasarkan asumsi berikut ini:


(1)

Data_Type : 0

Source_Coordinates : 447 518

Section: SOURCE_DEPTH --- Data_Type : 0

Source_Depth_Below_Datum : 0

Section: SOURCE_FLUX --- Data_Type : 0

Mass_Flux : 0.000007

Section: SOURCE_NO_5 --- Area_No : 1

Section: SOURCE_COORDINATES --- Data_Type : 0

Source_Coordinates : 731 660

Section: SOURCE_DEPTH --- Data_Type : 0

Source_Depth_Below_Datum : 0

Section: SOURCE_FLUX --- Data_Type : 1

Section: DATA_FILE --- File_Name : G:\Rizka Cilacap\SC01\flux\flux12b.dfs0 Item_Numbers : 1

Working on:

G:\Rizka Cilacap\SC01\flux\flux12b.dfs0

--- Data File Summary --- Data origin: MIKE Zero

Title : Flux Barat Delete : -1.000E-30

Axis Sets Interval Axis origin Unit time232561 10 2007-02-01 02:00:00

Item name Item type Minimum Maximum Missing Unit Flux Volume Flux 0 0.079999 0 m^3/s

--- Section: DISPERSION --- Type_of_Dispersion : 1

Section: LONGITUDINAL_DISPERSION --- Section: AREA_1 ---

Longitudinal_Proportionality_Factor : 1 Max_Longitudinal_Dispersion_Coefficient : 1 Min_Longitudinal_Dispersion_Coefficient : 0

Section: TRANSVERSAL_DISPERSION --- Section: AREA_1 ---

Transversal_Proportionality_Factor : 1 Max_Transversal_Dispersion_Coefficient : 1 Min_Transversal_Dispersion_Coefficient : 0

Section: VERTICAL_DISPERSION --- Section: AREA_1 ---

Vertical_Proportionality_Factor : 0.009999 Max_Vertical_Dispersion_Coefficient : 0.009999 Min_Vertical_Dispersion_Coefficient : 0

Section: WIND_CONDITIONS --- Type_of_Wind : 3

Section: WIND_CONDITIONS --- Section: DATA_FILE ---


(2)

File_Name : G:\Rizka Cilacap\SC01\Angin\Angin-01-02-07-Barat-FN.dfs2 Working on:

G:\Rizka Cilacap\SC01\Angin\Angin-01-02-07-Barat-FN.dfs2 --- Data File Summary --- Data origin: Grid editor

Title : File Title Delete : -1.000E-30

Axis Sets Interval Axis origin Unit time 112 21600 2007-02-01 00:00:00 1 885 10 0 meter

2 935 10 0 meter

Item name Item type Minimum Maximum Missing Unit SL. Pressure Air Pressure 1009.90002 1012.59997 0 hectoPascal U-Wind Wind speed -2.6106 5.9242 0 m/s

V-Wind Wind speed -3.4601 2.771 0 m/s ---

Section: WIND_CONDITIONS --- Type_of_Wind_Friction : 1

Lower_Limit_Speed : 0 Lower_Limit_Friction : 0.015 Upper_Limit_Speed : 24 Upper_Limit_Friction : 0.02 Depth_of_Wind_Influence : 1 Deflection_Angle : 15

Depth_of_Longshore_Current_Zone : 5

Section: VELOCITY_AND_EDDY_PROFILE --- Include_Logarithmic_Velocity_Profile : 0

Include_Parabolic_Eddy_Profile : 1

Section: EXCEEDING_CONCENTRATION --- Include_Exceeding_Concentration : 1

Exceeding_Concentration_Limit : 100

Section: TIME_EXPOSITION --- Include_Time_Exposition : 1

Section: WATER_PROPERTIES --- Section: WATER_TEMPERATURE --- Data_Type : 0

Section: AREA_1 --- Constant_Water_Temperature : 29

Section: WATER_SALINITY --- Data_Type : 0

Section: AREA_1 --- Constant_Water_Salinity : 33.5

Section: OIL_SPILL_PARAMETERS --- Section: AIR_PROPERTIES --- Section: TEMPERATURE --- Data_Type : 0

Constant_Air_Temperature : 27.565

Section: CLOUDINESS --- Data_Type : 0

Constant_Cloudiness : 0.58

Section: HEAT_BALANCE --- Include_Evaporation : 1


(3)

Albedo_Value : 0.14 Emissivity_of_Oil : 0.82 Emissivity_of_Water : 0.95 Emissivity_of_Air : 0.82 Evaporation_Constant : 0.029

Section: EMULSIFICATION --- Include_Emulsification : 1

Maximum_Water_Content : 0.85 Asphaltenes_Content : 1

Wax_Content : 2

K1_Due_to_Water_Uptake : 5.E-07 K2_Due_to_Water_Release : 0.000012

Section: DISSOLUTION --- Include_Dissolution : 1

Mass_Transfer_Coefficient : 0.000002 Include_Entrainment : 1

Oil_Water_Tension : 29.9

Section: OIL_PROPERTIES --- Section: SOURCE_NO_1 --- C6_C12_Paraffin : 14.7

C13_C25 : 0

C6_C12_Cycloparaffin : 34.2 C13_C23 : 0

C6_C11_Aromatic : 9.1 C12_C18_Aromatic : 0 C9_C25_Naphtheon : 42.4 Residual : 0

Reference_Temperature : 20

Oil_Viscosity_at_Reference_Temperature : 6.94 Temp_Type : 0

Constant_Oil_Temperature : 25

Section: OIL_PROPERTIES --- Section: SOURCE_NO_2 --- C6_C12_Paraffin : 14.7

C13_C25 : 0

C6_C12_Cycloparaffin : 34.2 C13_C23 : 0

C6_C11_Aromatic : 9.1 C12_C18_Aromatic : 0 C9_C25_Naphtheon : 42.4 Residual : 0

Reference_Temperature : 20

Oil_Viscosity_at_Reference_Temperature : 6.94 Temp_Type : 0

Constant_Oil_Temperature : 25

Section: OIL_PROPERTIES --- Section: SOURCE_NO_3 --- C6_C12_Paraffin : 14.7

C13_C25 : 0

C6_C12_Cycloparaffin : 34.2 C13_C23 : 0

C6_C11_Aromatic : 9.1 C12_C18_Aromatic : 0


(4)

C9_C25_Naphtheon : 42.4 Residual : 0

Reference_Temperature : 20

Oil_Viscosity_at_Reference_Temperature : 6.94 Temp_Type : 0

Constant_Oil_Temperature : 25

Section: OIL_PROPERTIES --- Section: SOURCE_NO_4 --- C6_C12_Paraffin : 14.7

C13_C25 : 0

C6_C12_Cycloparaffin : 34.2 C13_C23 : 0

C6_C11_Aromatic : 9.1 C12_C18_Aromatic : 0 C9_C25_Naphtheon : 42.4 Residual : 0

Reference_Temperature : 20

Oil_Viscosity_at_Reference_Temperature : 6.94 Temp_Type : 0

Constant_Oil_Temperature : 25

Section: OIL_PROPERTIES --- Section: SOURCE_NO_5 --- C6_C12_Paraffin : 14.7

C13_C25 : 0

C6_C12_Cycloparaffin : 34.2 C13_C23 : 0

C6_C11_Aromatic : 9.1 C12_C18_Aromatic : 0 C9_C25_Naphtheon : 42.4 Residual : 0

Reference_Temperature : 20

Oil_Viscosity_at_Reference_Temperature : 6.94 Temp_Type : 0

Constant_Oil_Temperature : 25

Section: OUTPUT_SPECIFICATION --- Number_Of_Output_Areas : 1

Section: OUTPUT_AREA_1 --- File_Name : G:\Rizka Cilacap\SC01\oil\diesel barat_I.dfs2 Title : Diesel Barat I

Reference_Area : 1 XRange : 0 884 1 YRange : 40 800 1 TRange : 720 103680 60

Section: OUTPUT_INCLUDE --- Output_As : 0

Total_Concentration : True Oil_Fraction_No_1 : False Oil_Fraction_No_2 : False Oil_Fraction_No_3 : False Oil_Fraction_No_4 : False Oil_Fraction_No_5 : False Oil_Fraction_No_6 : False Oil_Fraction_No_7 : False


(5)

Oil_Fraction_No_8 : False Emulsification_Rate : True Oil_Evaporation : True Dissolution : True

Vertical_Dispersed_Oil : True Exceeding_Concentration : True Time_Exposition : True

U_Current_Velocity : True V_Current_Velocity : True

Section: BASIC_PARAMETERS --- Section: DISCHARGE_LINES --- Number_Of_Discharge_lines : 0

Working on:

G:\Rizka Cilacap\SC01\HD\HD-Barat-Oil.dfs2

--- Data File Summary --- Data origin: C:\Program Files\DHI\MIKE

Title : HD-Barat Delete : -1.000E-30

Axis Sets Interval Axis origin Unit time 2585 900 2007-02-01 02:00:00 1 885 10 0 meter 2 935 10 0 meter

Item name Item type Minimum Maximum Missing Unit H Water Depth m Water Level 0.925467 25.663668******** meter P Flux m^3/s/m Flow Flux -21.332455 14.248095******** m^3/s/m Q Flux m^3/s/m Flow Flux -12.573159 37.359356******** m^3/s/m ---

Timestep: 0 ( 50 ) Timestep: 1 ( 100 ) Timestep: 2 ( 150 ) Timestep: 3 ( 200 ) Timestep: 4 ( 250 ) Timestep: 5 ( 300 ) dst. hingga


(6)