Periode sebelum tahun 1970 Aturan yang digunakan dalam Pemanfaatan Sumber Daya Hutan
⑨⑩
❶❷❸ ❹❺❻❷ ❹❼ ❹
❽ ❶❷❾❿ ❼➀❿❿➁❿ ❼
➂ ➃➁❿ ❼ ➃ ❼
➁ ➃➄ ➅
❿➂ ❿ ❼ ❶❷❸➁❿ ❼ ❹
❿ ❼ ❻ ❹
❿➁ ➃❸ ❾❷ ➅
❿ ➅➃❹ ➅
❷ ❾➆❿➇❿ ❿❻ ❿➁➈
➉ ❷ ➊ ➃❿ ❹
❻ ❷ ❼ ➇ ❿ ❼
❶❷ ❶ ❿➁❿➂
❿❻❿➁❽
“
➅ ❿❻ ❿ ❼
➇ ⑩
❻❿ ❶❿➁ ❶
❿❻ ❹
❽ ➅
❿❻❿ ❼➇ ➋
➁ ❹ ❻ ❿➄
❻ ❿ ❶ ❿➁
❶ ❿❻
❹ ❽
➅ ❿❻❿ ❼➇
➌ ➁ ❹
❻❿➄ ❻ ❿ ❶
❿➁ ❾❿➄❿ ❼
”. Artinya berladang itu tidak perlu yang luas-luas, yang penting ladang tersebut dikelola dengan baik sesuai dengan kemampuan masyarakat untuk
merawat dan mengelola lahan tersebut atau disesuaikan dengan kemampuan dan banyaknya jumlah anggota keluarga masyarakat. Pengaturan ini diikuti oleh anggota
masyarakat dengan adanya musyawarah lembaga adat yang dilakukan yaitu dengan musyawarah yang dinamakan “rembuk bertaun”. Dalam rembuk bertaun dilakukan
pengaturan terhadap kerjasama untuk melakukan awal mulai melakukan pembukaan atau pembersihan lahan dan juga mulai melakukan penanaman. Pekerjaan ini
dilakukan secara bersama-sama oleh masyarakat secara bergiliran di lahan usaha pertaniannya, dan ini dinamakan kegiatan ‘baselang’. Baselang merupakan istilah
bagi masyarakat untuk melakukan kegiatan kerja bersama-sama, seperti lazimnya sebuah kegiatan gotong royong akan tetapi kegiatan ini tidak dilakukan untuk
kepentingan umum melainkan untuk saling membantu dalam menyelesaikan suatu pekerjaan. Baselang biasa dilakukan untuk kegiatan menugal menanam padi
ladang, membangun rumah, mencari dan membelah kayu saat akan dilakukan pesta di rumah warga. Dalam membantu bekerja ini tidak dikenal adanya upah, dan segala
macam hal yang berkaitan dengan uang, tuan rumah cukup hanya menyediakan makan dan minum bagi masyarakat yang ikut baselang.
Penerapan aturan main ini selalu dilakukan oleh masyarakat, apabila tidak mengikuti aturan yang telah disepakati maka anggota masyarakat yang tidak
melaksanakannya dijatuhkan sangsi adat dengan pengucilan terhadap keluarga tersebut. Pengucilan ini dilakukan dengan cara apabila ada keperluan keluarga
tersebut misalnya seperti hajatan atau penanaman padi maka masyarakat lain tidak akan membantunya seperti kegiatan baselang. Penerapan sangsi ini sangatlah ketat
diterapkan oleh lembaga adat sehingga masyarakat tidak ada yang berani untuk melanggarnya karena sudah pernah terjadi pada anggota masyarakat yang diberikan
hukuman terhadap pelanggarannya. Pemanfaatan sumber daya hutan tanpa merubah tata guna lahan adalah
melalui pengambilan kayu dan hasil hutan bukan kayu yang ada didalam hutan seperti madu dan getah jernang. Untuk pengambilan kayu, masyarakat terikat
➍➎
➏➐➑ ➒➓➑ ➓➔→ ➣➓➑
➓ ➏➓➔↔ ↕➐➣➐ ➙➓
➔ ➛➏➓ ➙ ➜ ➝➞➐➟
➠➐➑➐➜ ➓➑ ➒ ➏ ➛
➡ ➐ ➠➜➓➣➓➑
➒ ➔➐ ➠➢➓➔ ➤
➙➟→ ➡
→ ➡
➑
y
➓ ➢ ➓ ➏
➓
“
➥
u g
u k
➦➧ ➨ ➧
n g
➧
n ” yang dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai
kelompok kawasan larangan. Kawasan larangan yang dimaksud adalah suatu wilayah yang dipertahankan keberadaannya karena alasan-alasan tertentu, seperti 1
Tambak Merbau karena pada wilayah ini terdapat kuburan nenek moyang yaitu Keramat Muning Janggut 2 Dusun rajo, dimana merupakan wilayah tempat
keramat, 3 Rimbo bulian yang merupakan daerah penghasil kayu bulian sebagai bahan untuk membangun rumah.
Pengendalian terhadap pentaatan aturan main, misalnya melarang pengambilan kayu di wilayah-wilayah tersebut, dilakukan melalui aturan yang
dikenal dengan istilah “
➩
ek id
in g
p
➧
d i
”. Aturan lokal ini mewajibkan para pelanggar untuk membayar denda berupa padi sebanyak ± 100 kg ke desa untuk digunakan
pada saat acara adat masyarakat desa. Pengetahuan tentang jernang oleh masyarakat desa tidak diketahui secara
pasti kapan dimulainya. Namun, informasi yang diperoleh menyatakan bahwa manfaat jernang diperoleh pertama kali dari masyarakat suku anak dalam.
Kelompok masyarakat ini menggunakannya sebagai bahan obat. Adapun keterlibatan masyarakat diluar suku asli tersebut dimulai sejak masa penjajahan
Belanda, yaitu oleh anggota masyarakat yang pernah berniaga di Singapura. Individu-individu tersebut sekembalinya dari Singapura mulai mencari getah jernang
untuk dijual ke Singapura. Pada saat itu, tauke dari luar seperti Cina, India dan bahkan Belanda turut juga mencari resin jernang.
Berdasarkan kepemilikannya, secara d e
➫
ju re
sumber daya hutan di sekitar Desa Lamban Sigatal adalah milik negara st
➧
te p ro
p erty
tetapi secara d e
➫
f
➧
cto pengelolaannya dilakukan oleh masyarakat setempat. Masyarakat mengelola
kepemilikan atas sumber daya hutan tersebut melalui sebuah institusi adat. Institusi adat yang dipimpin oleh depati kepala marga dalam kesehariannya
memberlakukan aturan yang ditujukan mengatur hak dan kewajiban bagi setiap pihak yang berkepentingan st
➧
ke h
o ld
ers . Aturan tersebut yaitu : 1 “p
ek p ek
w
➧
n
➭
si
➧
p o
y
➧
n g
m en
d
➧
p ek
d io
m en
j
➧
d i tu
➧
n ”. Artinya siapapun orang yang menemukan
lebih dahulu terhadap sumber daya maka dialah yang menjadi pemiliknya. Tetapi apabila terjadi kecurangan terhadap penemu pertama yang sudah memberi tanda
➯➲
➳➵➸➵➺ ➻➼➽➾ ➼
➺ ➚➪ ➶ ➪ ➶
y
➼➽➹ ➾➵ ➘➪ ➼➻
➾ ➼➴➵ ➺
➼
y
➪ ➻➷➴➚ ➼
➾ ➼➬ ➻➼➽ ➼➳ ➼
➽ ➮
➷➴ ➽➼➽➹
y
➼➽➹ ➾ ➵ ➻➷➳
➪ ➺ ➼➽ ➻➷➻➼➬
➵ ➘ ➷
➸➪ ➳ ➾➵ ➳ ➼➽➱ ➼➼
➻ ➺
➼➽ ➳ ➼
➺ ➼ ➼
➾ ➼
“
➵ ✃❐ ➬➼
➺ ➼
➵
” kebiasaan yang berlaku dimasyarakat terhadap pemberian sangsi terhadap pihak yang mengambil
jernang yang sudah mempunyai tanda milik tersebut. Sangsi yang dimaksud berupa kewajiban untuk menyerahkan ¾ bagian kepada pemiliknya. Dalam hal ini, secara
bijak adat masih menghargai upaya “pencuri” untuk membawa jernang keluar hutan. 2 “k
❒
p
❒
k tim p
❒
n g
cin c
❒
n g
❮ ❒
g
❒
s ” yaitu pemberian sangsi kepada setiap pihak yang
dalam pengambilan buah jernang mengakibatkan jernang atau inang jernang rusak atau mati. Denda berupa 2 ambung buah jernang 1 ambung = ± 10 liter setiap
musim jernang selama 2 musim diberlakukan pada setiap pihak yang merusak jernang. Denda 4 ambung setiap musim jernang selama 2 musim diberlakukan pada
setiap pihak yang menebang atau sampai mematikan pohon rambatan jernang. Aturan adat ini menunjukan betapa pentingnya keberadaan pohon rambatan
dibandingkan jernang itu sendiri. Munculnya aturan ini merupakan bentuk hukuman yang diberikan kepada pelanggar yang dahulu pernah dilakukan oleh masyarakat.
Penerapan sangsi terhadap pelanggaran aturan dilakukan dengan rapat adat yang dipimpin oleh ketua lembaga adat bersama aparatur pemerintahan desa.
Pengaturan operasional dalam pecarian jernang dilakukan dalam kelompok pencarai jernang. Pembagian kerja dalam kelompok diatur dengan kesepakatan
kelompok. Setelah kelompok sampai di daerah pencarian Jernang, hal pertama yang dilakukan adalah membuat c
❒
m p
untuk tempat berkumpul. Kemudian menetapkan petugas masak dan pencari kayu bakar, ini dilakukan bergilir. Pembagian daerah
pencarian Jernang dilakukan dengan menetapkan arah pencarian dimulai misalnya dari wilayah timur, kemudian dihari berikutnya di wilayah barat seterusnya sampai
semua wilayah sudah di kelilingi. Kemudian akan berpindah ke lokasi lain dan membangun c
❒
m p
yang baru. Daerah jelajah untuk mencari jernang biasanya ditentukan antara 3-4 jam perjalanan pergi, sepanjang jalur yang ditempuh anggota
kelompok memencarkan diri mencari rimbunan jernang. Bagi anggota yang belum menguasai wilayah biasanya akan “magang” kepada pejernang yang sudah
berpengalaman.
❰Ï