PENGEMBANGAN INSTITUSI PENGELOLAAN HUTAN TANAMAN RAKYAT POLA AGROFORESTRI

(1)

(Studi Kasus Lamban Sigatal, Kabupaten Sarolangun - Jambi)

A R D I

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Pengembangan Institusi Pengelolaan Hutan Tanaman Rakyat Pola Agroforestri (Studi Kasus Lamban Sigatal, Kabupaten Sarolangun Jambi) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Juni 2011

A r d i


(3)

Agroforestry System (Case Study of Lamban Sigatal, Sarolangun Jambi). Under direction of Hariadi Kartodihardjo, Dudung Darusman and Bramasto Nugroho This research was due to the current policy of People’s Plantation Forest (HTR) that imposed by the Government to meet the public demand for forest management. The main purpose of this research is to formulate the institutional development for HTR management on agroforestry system that can improve the welfare of society mainly the community manager of jernang plant. Data collection methods used in this study include techniques of observation, structured interviews, in-depth interviews and documentation study. The sampling technique applied in this study consisted of a deliberate sampling (purposive sampling), and snowball sampling. The methods of analysis using the framework of institutional analysis development (IAD) to describe the characteristics of biophysical conditions, characteristics of community, rules in used, understanding of arena action and patterns of interaction. It is include the public analysis, policy analysis, analysis of the Jernang trading system and marketing margins, financial feasibility analysis of Jernang Rubber Agroforestry, decent living needs analysis, analysis policy issues, and synthesis is done using the analysis of strategic planning and focus group discussions (FGD). The results show that Lamban Sigatal forest is resources that have the potential of resource units in the form of "Jernang" as a shared resource (common pool resources), which is used by the group penjernang with operational rules and the rules of the collective group of customary institutions. The government has put the back-up region of HTR, on the other side of the community has initiated the proposed Jernang governance in the region with the HTR-provisioning Jernang Rubber Agroforestry system and group management. Potential development of HTR with Jernang Rubber agroforestry system (AK-J) that can provide an average income per hectare per year is Rp. 31,237,635. Where to meet the needs of life Rp. 32 million per year is needed concessions area of AK-J about 103 ha. Access to backup land in Lamban Sigatal that community is expected in the form of IUPHHK-HTR can not be realized because the public has not been able to meet the requirements as mandated by law as a result of policies that do not attention to the characteristics of local resources, community capacity and resource efficiency trading system. Contribution of research results to State resources management theory is as follows: the management of shared resources which manages the state owned by a perfect society need access to land in the form of licensing and pay attention to the local character of resources, community capacity and efficiency of trading systems.


(4)

Agroforestri (Studi Kasus Lamban Sigatal, Kabupaten Sarolangun Jambi).

Dibimbing oleh Hariadi Kartodihardjo, Dudung Darusman, dan Bramasto Nugroho. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya kebijakan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) yang diberlakukan pemerintah untuk dapat memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap pemanfaatan hutan. Tujuan utama penelitian ini adalah untuk merumuskan (mendesain) pengembangan institusi pengelolaan HTR pola agroforestri yang mampu memperbaiki kesejahteraan masyarakat khususnya masyarakat pengelola tanaman rotan jernang. Tujuan utama dicapai melalui tujuan antara sebagai berikut: (1) Mengetahui karakteristik sumber daya hutan, kelompok masyarakat pemanfaat sumber daya hutan dan aturan-aturan yang digunakan dalam pemanfaatan sumber daya hutan serta interaksi antar kelompok masyarakat dan dengan sumber daya. (2) Mengetahui respon pemerintah dan inisiasi masyarakat terkait kebijakan Hutan Tanaman Rakyat (3) Menemukan permasalahan dalam institusi pembangunan HTR dari sisi kepastian hak pemilikan masyarakat, kapasitas masyarakat dan efisiensi pasar.

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi teknik observasi, wawancara terstruktur, wawancara mendalam dan studi dokumentasi. Data yang digunakan terdiri atas data primer dan sekunder, dengan sumber data responden, informan kunci dan dokumen. Teknik pengambilan sampel yang diterapkan dalam penelitian terdiri atas teknik pengambilan sampel secara sengaja (purposive sampling), dan pengambilan sampel bola salju (snowball sampling). Sedangkan variabel yang ditelaah berdasarkan kerangka Institutional Analysis Development (IAD) (Ostrom 2007), maka variabel/fokus dan data/informasi yang digunakan dalam kajian berdasarkan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: (a) Karakteristik sumber daya hutan didalam areal pencadangan kawasan HTR, yang diketahui melalui pengumpulan data/informasi: (i) sistem sumber daya alam areal pencadangan kawasan HTR; dan (ii) unit sumber daya alam didalam areal pencadangan kawasan HTR yang memiliki potensi sebagai komoditas; (b)

Karakteristik komunitas masyarakat Desa Lamban Sigatal, yang diketahui melalui pengumpulan data/informasi: (i) keragaan ekonomi rumah tangga (total pendapatan rumah tangga dalam satu satuan waktu tertentu - Rp/bulan, total kebutuhan dan alokasi pemanfaatannya dalam satu satuan waktu tertentu - Rp/bulan); (ii) Hubungan sosial (keterlibatan di dalam organisasi masyarakat); (iii) tata niaga hasil hutan

(khususnya jernang), yang meliputi rantai tata niaga atau pemasaran hasil dan lembaga-lembaga tata niaga; (iv) Tata nilai dan eksistensi kearifan lokal (persepsi dan kelembagaan lokal berkenaan dengan pengelolaan hutan dan pemanfaatan hasil hutan khususnya tanaman rotan jernang bagi kehidupannya); (c) Dinamika pengelolaan sumberdaya hutan Lamban Sigatal, diketahui melalui data/informasi berkenaan dengan dinamika hak kepemilikan masyarakat pengolah jernang dalam institusi pengelolaan sumber daya hutan di wilayahnya dan sekitarnya; (d)Kebijakan HTR, diketahui melalui data/informasi berkenaan substansi kebijakan atau regulasi


(5)

pola silvikultur karet-jernang untuk pengembangan institusi pengelolaan HTR

diketahui melalui data/informasi berkenaan dengan respon masyarakat untuk membangun aksi kolektif yang mendorong kepastian hak kepemilikan dalam pengelolaan sumber daya hutan melalui kebijakan HTR.

Analisis data dalam rangka pengembangan institusi secara umum mengacu kepada analisis pengembangan institusi (IAD) dengan mendiskripsikan karakteristik kondisi biofisik, karakteristik komunitas, aturan yang digunakan, pemahaman arena aksi dan pola interaksi. Tahapan analisis dimaksud adalah sebagaimana diuraikan sebagai berikut: (1) Analisis karakteristik sumber daya hutan dilakukan untuk mendapatkan sistem sumber daya alam milik bersama dan potensinya (unit sumber daya) dilakukan dengan melakukan pengamatan lapangan (survey tingkat tinjau) secara deskriptif. (2) Analisis karakteristik komunitas masyarakat untuk mengetahui keberadaan lembaga-lembaga lokal berikut hubungan antar lembaga. Analisis deskriptif dilakukan dari hasil FGD bersama masyarakat berupa keberadaan (eksistensi) setiap lembaga yang ada berikut hubungan antar lembaga tersebut. (3) Analisis aturan-aturan yang digunakan masyarakat, (a) dengan melakukan Analisis dinamika hak kepemilikan pengelolaan sumber daya hutan dengan membagi sejarah institusi dalam tiga (3) periode, yakni periode sebelum tahun 1970 (sebelum adanya kebijakan HPH, HTI, Perkebunan) dan periode setelah tahun 1970 sampai tahun 2008 dan periode tahun 2008 hingga saat ini. Hal ini mengacu dan memodifikasi teknik analisis dinamika kehutanan di India yang digunakan oleh Kant (2005). (b) Analisis kebijakan HTR, dilakukan menggunakan teknik analisis isi (content analysis) (Bungin 2007). Analisis ini merupakan sebuah teknik mendapatkan deskripsi hubungan antara isi teks produk kebijakan (peraturan perundangan dan peraturan formal lainnya) dengan fokus kajian penelitian. (c) Analisis tata niaga Jernang dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran mengenai akses dan besarnya manfaat yang disediakan oleh instrumen ekonomi yang ada kepada masyarakat pengolah jernang dari institusi pengelolaan sumber daya hutan yang ada. Analisis dilakukan mengacu pada Hanafiah dan Saefuddin (2006). Margin pemasaran dihitung dengan melihat perbedaan (selisih) atau spread antara antara harga penjualan dengan harga pembelian. (4) Analisis kelayakan finansial dan kebutuhan hidup layak Analisis kelayakan Finansial Agroforestri Karet-Jernang menggunakan teknik analisis yang dikemukakan Soekartawi (1995), penerimaan usaha tani adalah perkalian antara produksi yang diperoleh dengan harga jual. Mengacu pada Sinukaban (2007) KHL adalah 250% KHM dan KHM = 320 x harga beras kg-1x jumlah anggota keluarga (5 orang) (Sajogjo, 1977). (5) Analisis Permasalahan Kebijakan dilakukan dengan analisis perencanaan strategis sebuah organisasi, yang telah dimodifikasi sesuai kebutuhan penelitian (Bryson 2004). Analisis ini merupakan serangkaian analisis yang dimulai dari identifikasi permasalahan dan stakeholder yang berkepentingan dengan penyelesain masalah. Hal ini diperoleh dari hasil analisis sebelumnya. Permasalahan adalah yang berkaitan dengan pengembangan institusi meliputi: kepastian hak kepemilikan, kapasitas masyarakat untuk mendapatkan kepastian hak


(6)

dibutuhkan dalam institusi pembangunan HTR. (6) Sintesis pengembangan institusi pengelolaan HTR pola agroforestri, Hasil identifikasi permasalahan selanjutnya digunakan sebagai topik diskusi, sedangkan hasil identifikasi stakeholder menjadi kriteria di dalam menentukan pesertaFocus Group Discussion(FGD).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Sumberdaya hutan Lamban Sigatal merupakan sumberdaya milik Negara yang memiliki potensi unit sumberdaya berupa “Rotan Jernang” sebagai sumberdaya bersama (common pool resources), yang dimanfaatkan oleh kelompok penjernang dengan aturan operasional kelompok dan aturan kolektif lembaga adat. (2) Pemerintah telah mewujudkan kawasan pencadangan HTR, di sisi lain masyarakat telah berinisiasi mengusulkan kawasan kelola Jernang di dalam kawasan pencadangan HTR dengan pola Agroforestri Karet-Jernang serta kelompok pengelola. (3)Adanya potensi pembangunan HTR dengan pola agroforestri Karet Jernang (AK-J) yang dapat memberikan pendapatan rata-rata per hektar per tahun sebesar Rp 31 237 635. Di mana untuk memenuhi Kebutuhan Hidup Layak sebesar Rp 32 000 000 pertahun dibutuhkan pengusahaan AK-J seluas 1.03 ha. (4) Akses terhadap lahan pencadangan HTR di Desa Lamban Sigatal yang diharapkan masyarakat dalam bentuk IUPHHK-HTR belum dapat terwujud karena masyarakat belum mampu memenuhi persyaratan sebagaimana diamanatkan peraturan perundangan sebagai akibat kebijakan yang tidak memperhatikan karateristik sumberdaya lokal, kapasitas masyarakat dan efisiensi tata niaga sumberdaya. (5) Kontribusi hasil penelitian terhadap teori pengelolaan sumberdaya milik Negara adalah sebagai berikut: pengelolaan sumberdaya bersama milik Negara yang pengelolaannya diserahkan kepada masyarakat diperlukan akses yang sempurna terhadap lahan dalam bentuk perizinan dan memperhatikan karakter sumberdaya lokal, kapasitas masyarakat dan efisiensi tata niaga.

Agar kinerja institusi pengelolaan sumberdaya hutan Lamban Sigatal mencapai hasil yang diharapkan, maka diperlukan pengembangan institusi yang meliputi hal-hal berikut: (1) Menyederhanakan peraturan prosedur untuk mendapatkan izin agar lebih mudah diakses masyarakat. (2)Asistensi teknis dan permodalan untuk pembangunan HTR yang lebih mudah diakses oleh masyarakat untuk mendapatkan IUPHHK-HTR maupun pembangunannya. (3) Menjadikan usulan kawasan kelola dan agroforestri karet jernang (AK-J) sebagai pola yang dapat dikembangkan dalam pembangunan HTR. (4) Penguatan kelompok lokal sebagai organisasi yang akan mengusulkan kawasan kelola dan usaha untuk mendapatkan IUPHHK-HTR melalui pembinaan dan pendampingan yang berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat oleh pemerintah daerah dan dibantu dengan lembaga swadaya masyarakat.(5) Membentuk kelompok pemasaran jernang dengan memfasilitasi keanggotaan tauke jernang dalam kelompok/koperasi dari penguatan dan pengembangan kelompok di masyarakat.


(7)

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(8)

(Studi Kasus Lamban Sigatal, Kabupaten Sarolangun - Jambi)

A R D I

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Progran Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(9)

(10)

Pada Ujian Tertutup (20 Mei 2011) : 1. Dr. Ir. Didik Suharjito, MS

(Ketua Departemen Manajemen Hutan – MNH IPB) 2. Dr. Ir. Iin Ichwandi, MS

(Staf pengajar Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB)

Pada Ujian Terbuka (27 Juni 2011) 1. Dr. Ir. Bejo Santosa, M.Si

(Direktur Perbenihan Tanaman Hutan Bina Pengelolaan DAS dan Perhutanan Sosial Kementerian Kehutanan Republik Indonesia)

2. Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS

(Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB, Ketua Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan (PSL) IPB)


(11)

Nama : A r d i

NRP : P062070201

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS Ketua

Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA Dr. Ir. Bramasto Nugroho, MS

Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi

Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc Agr


(12)

kekuatan, berkah, rahmat dan karunia-Nya sehingga disertasi yang berjudul “Pengembangan Institusi Pengelolaan Hutan Tanaman Rakyat Pola Agroforestri (Studi Kasus Lamban Sigatal, Kabupaten Sarolangun - Jambi)” ini dapat diselesaikan. Selesainya penulisan disertasi ini tidak terlepas dari bimbingan komisi pembimbing, yang telah memberikan pemahaman dan pengarahan kepada penulis tentang bagaimana seharusnya mengkaji permasalahan yang terkait dengan institusi pengelolaan sumber daya alam. Disamping itu, peran yang cukup besar juga diberikan oleh pihak pengelola program studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan, khususnya dalam mengarahkan dan membimbing penulis dalam proses studi.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS selaku ketua komisi pembimbing dan Bapak Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA serta Bapak Dr. Ir. Bramasto Nugroho, MS selaku anggota komisi pembimbing. Selain itu penulis juga mengucapkan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada seluruh pihak pengelola program studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan (PSL) Institut Pertanian Bogor. Ucapan terima kasih juga diucapkan kepada teman-teman angkatan 2007 PSL yang secara langsung maupun tidak langsung telah membantu terselesaikannya disertasi ini.

Disertasi ini masih belum sempurna. Oleh karenanya kritik dan saran membangun sangat penulis harapkan, guna perbaikan disertasi ini.

Bogor, Juni 2011


(13)

1970 sebagai anak sulung dari pasangan H. A. Halim Saleh dan Hj. Marianis. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Ilmu Tanah Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Jambi. Pada Tahun 2000 penulis diterima di Program Studi Manajemen Agribisnis Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada dan menamatkannya pada tahun 2002. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor diperoleh pada tahun 2007 dengan biaya dari Pemerintah Daerah Kabupaten Sarolangun. Penulis telah memiliki istri yaitu Dr. Sunarti, SP., M.P dan telah dikaruniai dua orang anak, Muhammad Raidan Azani (10 th) dan Muhammad Adli Rahmat Solihin (9 th).

Penulis saat ini bekerja sebagai pegawai negeri sipil pada Pemerintah Daerah Kabupaten Sarolangun mulai tahun 2007. Sebelumnya pada Pemerintah Daerah Kabupaten Tanjung Jabung (1997) dan Pemerintah Kota Jambi (2002). Selain itu penulis juga aktif pada kegiatan sosial kemasyarakatan, saat ini masih menjadi anggota pada Yayasan Gita Buana Jambi

Karya ilmiah berjudul “Analisis Kebijakan Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat” akan diterbitkan pada Jurnal Sosio Ekonomika pada Volume 16 No.2 bulan Desember 2011. Selanjutnya karya ilmiah berjudul “Prospek Usaha Agroforestri Karet dan Jernang di Kabupaten Sarolangun Jambi” akan diterbitkan pada Jurnal SOROT pada tahun ini di Volume 6 Nomor 1.


(14)

! " #

$ %" #! & !"

'

( )&) *"&* + ,

' )-)"" " .

/ "0 " "

1 %2)"

3456 789 :;

< % (

$ )&2=>& !2*&?!! ="@ &* +"@ " # A "" > (

$$ A !%@ & !"="B & !%@& !" ,

$( A !* *& $

$' "*) *="%"- "*) * $$

$/ "#&2" #"C "#)"=") 2+""*) * $(

$1 "* @ *""*) * $/

$D " * *"#& 2 "#""*) * $D

$, " * *%2-!" (/

$E #A0A * > (1

$. "&"A"< ""# (,

$ *+"% '.

F

'(

( &@ ="G!)" " '(

($ "H" #"" " ''

($ A =" #)&@) " ''

($$ !"!"")""0A &"

'1 ($( A !)*%-"" "=" I"0A &*" " 'D

($' < "*=") & 2 ',

(( A =" * * 'E

(( " * *%! *!)& 2 >) " 'E

(($ " * *%! *!%A& )"* *>! 'E

((( " * *)"J)">" # #)" !" *> ! 'E

(((" * * "&! !%@ & !" 'E

((($" * *%2-! ")""&"!> /.

((' " * * #< ""# /.

((/ " * *% >! " ""* ="%2))+"=)@ >! /


(15)

NOP QRSTNU NVW VWTXY ZX[\ YSY ]N^ NXS _`

aPb Ucdefegh eij ckelmcnmf eoLph cp e _`

aPq Uefeieh eir fep e feie _s

aP t ^efeog Lhur vw

aPa Qnih Lp Lj eg eih eik ei eg vb

OP [X UN]TXS\YWxX[XUXS v t

_Pb Qefelkc fL pk L lUu yzcfTe{e[uk eiTcp e]eyzeiULmekej v t

_Pq Qefelkc fL pk L lQcj nyrnlWep{efel ek\cyei oe ekZnk ei|cfieim vv _P t Xkufei{ei mh L mui el eih ejey\cyei o eek eiU u yzcfTe{e[ukei `w

_P tPb \cfLnh cp czcju yk eguibs`w `w

_P tPq \cfLnh ckeguibs` w }qww` `a

_P tP t \cfLnhckeguiqww~g Limmep eekLi L p ckcj eg

ehei{elczL delei

rci€ ehei mei

[^Z ` ~

_Pa QczL delei[ukei^ei eyeiZel{ek ~w

_PaPb \fLi pL rh eip epefei ~w

_PaPq Wclei Lpycrci€eh eim eief cejgukeik eieyeifel{ek ~q

_PaP t Wclei Lpych eiM c fLo L lep LrcyzcfL eiL‚ Li ~t

_PaPa |ci Lp^ei eyei ~v

_P_ Nik c felp LQcjnyrnlWep{e fel ekhci meiUu y zcfTe{e ~~

_P_Pb Nikcfelp LXik e fQcjnyrnlWep{e fel ekTcpe]eyzeiULmekej ~~

_P_Pq Nikcfelp LWep{efel ekh ci meiUu yzcfTe{e s q

_Pv Zcp rni\cycfLik egTecf egh eiyep{efel ekkcfg eh erQczL delei[uk ei ^ei eyei Zel{ekheiNi Lp Lep LXmfnon fcpk fLQefck|cfi ei m s`

_PvPb Zcp rni\cycfLik egTecf eg^cfgeh erQczLd elei[^Z s`

_PvPq Ni Lp L ep L\ci mupuj eiQeƒep eiQcjnj e|cfi eim s~

_PvP t Ni Lp L ep LXmfno nfcpkfLQefck}|cfi ei m bwb

_P` Ukel cg nj h cf bwa

_P ~ \cimcj nje eipu yzcfhe{egukei h L

Tcp e]eyzeiULmekejUeekNi L bw ~

_P ~Pb Qcrepk L ei[elQc rcyLjLlei^cfg eherUu yzcfTe{e[uk ei bw ~

_P ~Pq Qerep Lkepj cyzem ercj elp ei e bb_

_P ~P t WefmLi^ekei L em e|cfi eim bbv

_Ps \cfyepejeg eihejey\cyeio eek ei hei

\cimcjnj eei

Uu yzcfTe{e[ukeiTcp e]eyzeiULm ekej bb`

_Pbw TLp eLirci mcyzei m eiLi pk Lkup Lr cimcj njeeipuyzcfh e{egukei

Tcp e]eyzeiULmekej bbs

ON QYUNW\ V]XSTXSUXZXS bqt

TX„^X Z\ VU^XQX bq_


(16)

‡ˆ‰Š ˆ‹ŠˆŒŽ

‘’“ ” • –“— ˜ ™š“› œ“ ˜ œš— ˜ž’™– š œŸ  ‘’ ™–š œ˜š “ ¡žž“ œ“

¡—“› ¡  ¡—†— ¡˜ ’“ž ˜— ž“¡ž  ’–“›œ “ ¡ž ’–‘—“œž“›— ¢ž“›˜—

˜ž’™–šœŸ ‘’ ”£

¤ ¥— ¦§‘§›—™š“›œ“˜ ”¨

£   ©ª Ÿ “›¡– š— ¡™–š œ˜š “¦§ ˜—˜— –‘§’¦§  ’ ˜ Ÿš ¡ ”«

¬

¥— ¦–š–­—’ª ¦–’—‘— “œ–“›“¦–’—‘—  ®ª ¦–’—‘—  œ–“›“

 –¯—™“¦–’—‘—   ¤°

¨ ±ž’¦ž‘“¢  ¡§ š  š—¡—˜ž“¡ž  –˜ž  ˜– ˜“¦–“›¡ž š“˜ž’™– šœŸ’—‘—  ™– š˜’ 

² ³´µµ´¶·´ ´¸¹ º» ´¼ ¹ ³º» ½

¤¾

¾ ¿– §’–“œ˜— ¡ š“ ¦ž ¦ž  œ“ ¢š– ž–“˜— ¦ –’ž ¦ž “ ¡“’“  š– ¡

˜– ˜ž—œ–“›“ž’ž š¡“  ’ “ ¬¤

À Á“¢§š’ “ ž“ —œ“ž’ ‘ª—“ ¢§ š’“ ž“—Ÿ“›œ—¦– š›ž“  “œ‘’

¦–“–‘—¡—“ ¬À

Ã

ė“’—  —“˜ ¡— ¡ž˜—¦–“›–‘§‘“˜ž’™–šœŸªž ¡“œ– ˜Å’™“Æ—›¡ ‘ ¨° « ǐ¡š—  ˜ ¦–“–‘—¡—“ ¦–“›–’™“›“ —“˜ ¡—¡ž ˜— ¦–“›–‘§‘“ ªž ¡“ ¡“’ “

š Ÿ¡¦§‘› š§¢§ š–˜ ¡ š— ¨¬

”° ±§“œ— ˜—‘ª“œ“¡“ª¦œš– ‘™–š™ž —¡Ä–˜Å’™“Æ— ›¡ ‘ ¾”

”” ±§“œ— ˜—‘ª“œ“¡“ª¦œš– ‘œ¡š“Ä–˜Å’™“Æ—›¡ ‘ ¾¤

”¤ ±§“œ— ˜—‘ª“œ“¡“ª¦œš– ‘—š“˜ž“›—Ä– ˜Å’™“Æ— ›¡ ‘ ¾¤ ”£ ˜—‘ ¦“–““ –š“ “› ¦– š ¡ªž“ ¦œ ˜– ¡—¦ ‘§ ˜— ¦–“š—“ œ— ªž ¡“

Ė ˜Å’™“Æ—›¡ ‘²  ›½ ¾¨

”¬

Ȗ“›–‘§‘ “˜ž’™– šœŸªž ¡“œ–˜Å’™“Æ—›¡ ‘˜–™–‘ž’¡ªž“

”« À° À°

”¨ Ȗ“›–‘§‘ “˜ž’™– šœŸªž ¡“œ–˜Å’™“Æ—›¡ ‘ ”« À°©¤°°À À¬

”¾ Đ ¢¡š¦ – šž ˜ª“ È 

œ“¥Áœ—¯—‘Ÿª˜ – — ¡šÅ’™“Æ— ›¡‘ À¨

”À Á“˜¡— ¡ž ˜—¦–“›–‘§‘“¦ –š—§ œ–¡ªž“¤°°Ãª—“››˜¡—“—²˜– ¡–‘ªœ“Ÿ

 – ™—  “¦–“œ“›“¥ ¿½ À«

”Ã


(17)

ÌÍ ÎÏÐÑ ÏÒÑËÓ ÔÑ ÕÔÐÔÖ Ô××ÏÐ Ø ÔÙÔÒÖ ÏÚËÛ ÔÖÔÜÝÞ× ÔÜß Ô ÜÔÓ ÔÜàÔÖÕÔ× ÍÍ

áâ ãÏÚ Þ×ÞØÔÜØËÙÞ Òä Ô ÕÔÖåãÝæçÓÔÑÕÔÐ ÔÖ Ô×ÙËÑ ÏÖË×ÔÐØÞ× ÔÜ Ìâè

áÌ ãÔÐ ÔÖ× ÏÐÏÖé ÜéÓËÐ ÞÓ ÔØ×ÔÜêê ÔÒÏÜêéäÔØÛÏÐ ÜÔÜêÙÏÑ ÔæÔÓ Ú ÔÜëËêÔ×Ôä ÌÌì


(18)

òó ôõóö÷óøùóö

úûüûýûþ

ÿ ûþûýññûþþüññ ûþ

ý ûþ ýûûüûûþþüññûþ ÿ

ûþû ûþ ûþûüññþýûþûþñ þñ ñ

þûýûþ û þûþ

ûýûþüññûþ

û þ

þ û ûþûþú

ûûûûû ýûþñûû ü

û ü ûþûûþñûû þûþñûýûþñûû ü û ûþ û üûþþ

û ü ûþûûþñûû þûþûûýýñ ðñþñ ûýñ

û ûþýüûþþûþý ûûûû ûûýûþñûû ü

ÿ úþûþûþûüýûû üýûûüû üñûûýûþñûûü

ÿÿ ûþñûñ! ÿ

ÿ !ûþ ûþ

ÿ þû þûþ

ÿ þ þ ûþ

ûüûý

ý ûûþ

ÿ ûüûþû"ûûþü üû þûþû ûû"ûû þþ ûûþûþú

üýû ûûû ûûýûþñûû ü ÿ

ÿ ýñññûûûþûý ûþûûþ þûþ ÿ

ÿ ñþûý ñûý ûûþ#ûûûþûþ ûûýûþñûû üüûýûñû

ñ ÿ

ÿ $ûþñýý ñûþñ %ñ þú ûûûþ ýþ


(19)

-./0 .12.345 1.6

7898:8; < 78=, 9>8>8;?8@8:A;B8 9 8:C A;C8;DE A;?8@,8;F A@;8;D <GG H 78=, 9>8>8;?8@8:A;B8 9 8:C A;C8;D=8 9I @8;C8C8;,8D8F A@;8;D <J<

G

78=, 9>8>8;?8@8:A;B8 9 8:C A;C8;D=AF8@8KE A:8 ; L88C8;=I: MA @B8N8

<JO J 78=, 9>8>8;?8@8:A;B8 9 8:C A;C8;D@A=EP;EA:A@,;C8KB8A@8K

C A@K8B8EQAM,F8Q8;7R S

<OH

O T;8 9,=,=QA98N8 Q8;L,; 8;=,898D @P LP@ A= C@,Q8@ACF A@;8;D <OG

U V8C@,Q=T@A;8TQ=,WXC8QAKP 9BA@=YE A;D8@IKB8;QAE AC,;D8; = C8QAKP 9BA@=E8B8Z;= C,CI =,[ A;DA9P 988;7R S

<OJ

\

78=, 9>8>8;?8@8:A;B8 9 8:C A;C8;D M,8N8

EA;DI @I=8;Z][77^ _ 7R S :A98 9I,E @PNAQ`ab cRX[

<U<

d 78=, 9>8>8;?8@8:A;B8 9 8:C A;C8;DM,8N8EA;?8@,8;e A@;8;DB8;K8@D8 F A@;8;DE8B8:8=,;D_:8=,;D9A: M8D8E A:8=8@8;

<UH

f gPCI9A;=,hijklmn ikopq ljkl l qirs`ct uB8 98:@8;DQ8

E A;D A: M8;D8;,;= C,CI =,EA;D A9P 988;7R SEP 98TD @P LP@A= C@,^8@AC e A@;8;D


(20)

1.1 Latar Belakang

vwx ywz {z ||x }~|x ~x~ € |‚| ƒ wx„ w…|} w†| €|x |x ƒwƒ| €ƒ~ †€| x ƒ|„y|†| €| „ w„ ~|‡ |ƒ|x | €{x„ ‡ ~„ ‡ ˆx|xy ‰ˆx |x y Š|„ |† ‹ ŒŽ y|xy w† ~|xy ‚||‚|„ |z  |y| () ‡ | €z|}~ €~‚ }|x|y wxy|x‚wƒ ‘|xy~x|x w€{x {ƒ ‡ y|xy ‘w†’{€~„ ‚ || ‚wx‡ x y€| |x ‚ w†~ƒ‘~}|x  w|‚‡ ‚ w†z~ ‡‚w†} |‡€| x …~ y| ‚ wƒ ‘|xy~x|x |„‚ w€ z|‡xx|y  w†~ |ƒ | „ {„ ‡|z ‘~ |y|  |x z‡ x y€~xy|x“ vw†„ {|z |x „ {„ ‡|z ‘~||”y z ‡x y€~xy|x |x w€{x {ƒ‡ y|xy w†€|‡   wxy|x ‚ wxywz {z || x }~|x |x|†| z|‡x ‘w†„ ~ƒ ‘ w† |†‡  ‡| €  ‡z‡‘| €|x x|y ƒ|„y|†| €| z {€|z |z|ƒ ‚ wx ywz {z ||x |x ‚wƒ |x ’|| |x „ ~ƒ ‘ w† |y| }~ | x“ •z w} €|† wx | ‡~ „ {z ~ „ ‡ y| xy ‡ |w|† €|x||z |}‚ wxywƒ‘|x y|x €w‘‡ …|€ |x„ w| † |‚|† ‡„ ‡ ‚| ‡ ’wxy|xƒ wz‡ ‘| €|x ‘w†‘| y|‡‚‡}| €”w†~ |ƒ|ƒ |„y| †| €| ‡ „ w€‡ |†}~ |x“Š wxy|xwƒ ‡ €‡ |x†|x |xy|x €w‘‡ …|€|x ‚ †| € ‡„ |z|ƒ ‚ wxywz{z||x  |x ‚ wƒ|x’|| |x „ ~ƒ ‘w† ||y } ~| x | €|x  w†‡xwy†|„ ‡  wxy|x € w‚ wx‡ x y|x w€{x {ƒ‡” „{„ ‡ |z ‘~|y|  |x ‚ wzw„ |†‡ |x z‡ x y€~xy|xƒ|„| †| €|y „ w wƒ ‚|“

–|† {z|x y~x | |z |} „ |z|} „ |~ —| ‘~‚| wx ‡ v† {‚‡x„ ‡ ˜|ƒ‘‡ y|xy ƒwƒ‡ z‡€‡ €|w|„ |x }~|x | |†|x † wx |}  wxy|x ‚ {wx„ ‡ „ ~ƒ‘w†  ||y €w}~ |x | x y|xy ‡ x yy‡“ ™~|x ‡x‡ ƒ wƒ‡ z‡ €‡ biodiversity ‘w†| y|ƒ y| xy |‚| ‡ ƒ|x ’||€| x ~x ~ € €w‘~~}|x ƒ|x~„ ‡|“ ™|„ ‡ z  |†‡ }~|x | |z |} |x |ƒ|x €|~y |x |x |ƒ|x ‘~ €|x €|y~“–|z|}„ | ~} |„ ‡z}~  |x‘~ €|x€|y~ y|xy|‚ |‡ ƒ|x ’||€|x| |z |}|x|ƒ |x † {|x“ š|x |ƒ|x † {|x ‚ || ~ƒ ~ƒx|y ‡ w€„ ‚z{‡ |„ ‡ ~x ~ € ‡|ƒ‘‡z ‘| | x yx|”y  w |‚‡||‚~z | y| xyƒwƒ|x ’||€|x‘~ |}x|y~x~ €‡{z|}ƒwx …|‡y w |}…w†x|xy“

š|x|ƒ|x † {|x y| xy ƒwx y}|„‡ z €|x … w†x |xy  wz|} z |ƒ | ‡ ƒ|x ’|| €|x {z w} ƒ|„y|†| €|„ w…|€|}~z~ ƒ ‡„ |zx|y ‡€|w|„ |x}~|x‚† {~ €„ ‡›~ €‡›|}|† ‰š| …|~ vw|}“ —|w|„ |x ‘z{€ } ~|x ›~ €‡  ›|} |† ‰ š | …| ~ vw|} w† |‚| ‡ —|‘~‚| wx –|† {z|x y~x |x —|‘~ ‚|wx ›||xy}|†‡” €} ~ „ ~„ ‡ —|‘~‚|wx –|†{z|x y~x ƒ w†~‚| €|x„ |z |}„ | ~|w†|}„ wx† |‚† {~ €„ ‡‚ wxy}|„ ‡z…w†x |xy“

˜w†x |x y  |‚ | ƒwx…|‡ €{ƒ {‡  |„ ~x yy~z|x ~x ~ € ‡€wƒ ‘|x y€|x €|†wx |

‘w‘w†|‚ |’| € {†„ w‘|y|‡‘w†‡ €~œ‹)Nilai Ekonomi :„ |ƒ ‚|‡„ ||‡ x‡… w†x|x yƒ |„ ‡} ƒ w†~‚| €|x „ |z |} „ |~ €{ƒ {‡ ‡ }|„ ‡z }~ |x ‘~ €|x €|y~ (

™™›—) y

| x y x‡z |‡ …~|z xy| ~ €~‚ ‡ x yy‡ “ v†{„ ‚ w€ …w†x|xy |z|ƒ vw†ƒ wx}~ x {ƒ {† v“‹Œžwx}~‰ ŸŸ  ¡¡Œ  wx|xy – †| w y‡ v wx ywƒ‘|xy|x ™|„ ‡ z ™~ |x ›~ €|x —|y~ ¢|„ ‡{x|z


(21)

¤¥ ¦§¨©ª «¬­¤ ¬® ¬¯® ¬¯°¥ ± ¬­­y¬¨ ¬²w¬° § ±¯¥­ª ¬¬­³§ ±­¬­´±µª ¬­° ¬®¥ ­´«©± ¬­´¶·· ªµ ­ °§ ± ª ¬²© ­ ¤§ ­´¬­ °§­´§ ¯¨¬­´¬­ ° ¬¦ ¬ ± ¤¥ «©¬¦ ¬¥ µ ®§ ² ¸ ²¥ ­¬ ¤ ¬­ ¹¥­´¬° ©±¬º £) Nilai Ekologi : ª ¬­ ¬ ¯ ¬­ ³ §±­¬­´ ¤ ¬®¬¯ ° ± ¬« ª§ « ¨©¤¥ ¤ ¬¬­y ¬y ¯§ ¯¨ © ª© ²«¬­ ª ¬­¬¯¬­ °µ ²µ ­ ¦§¨ ¬´ ¬¥ ª§´ ¬«¬­ (³§±­¬­´ ª© ¯¨© ²¬­ ¯§ ­³ ¬®¬± ª ¬°¥ ª¥ ¤ ¬« ° ¬±¬¦¥ª)º »§ ­´§ª¬²© ¬­ ®µ «¬® ¯¬¦y¬±¬«¬ª ¼ ³§±­¬­ ´ ¦ ¬­´ ¬ª ½µ½µ« ¤¥«§ ¯¨ ¬­´«¬­ ¤¥ «¬w¬¦ ¬­ ²©ª ¬­¼ ¦§ ²¥ ­´´ ¬ ¤§ ­´ ¬­ ¯§¯¨©¤¥¤¬¬ «¬­y ³ §±­ ¬­´ ¦§½¬±¬ ®¬­´¦© ­´ ³© ´¬ ¨§ ±¬±ª ¥ ¯§ ­³ ¬´ ¬ «§®§¦ª¬ ±¥¬­ ²©ª¬ ­º ¾) Nilai Sosial : ª ¬­¬¯¬­ ³§ ±­¬­ ´ ¦©¤ ¬² ¤¥«§­¬® ¤ ¬­ ¤¥ ¯ ¬­¿¬¬ª «¬­ µ ®§² ¯ ¬¦¬ ± ¬«¬ªy À§ ¦ ¬ Á¬¯¨ ¬­ ¹¥ ´¬ª¬® ¦§³ ¬« ¤ ¬²© ®© º § ±­¬­´ ¤¥ ¯ ¬­¿¬¬ª «¬­ µ ®§ ² ¯ ¬¦y¬ ±¬«¬ª ¦§¨¬´¬¥ µ¨ ¬ª õ¨¬ª¬­ (medicinal plant product)¼ ¯¥¦¬® ­¬y © ­ª © « ¯§­ ´µ¨¬ª ¥ ®© «¬ ¬«¥¨ ¬ª ´ ¬ª ¬® ô ¬ª ¬®¼ ³©´ ¬ ¦§¨¬´¬¥ ±¬¯© ¬­ (philis)

y

¬ ­´¤¥ µ ®§ ¦ « ¬­¤¥ «§ ­¥­´¥¨© Ã¥¨ © y¬­´¨¬±©¯§ ®§w¬ª¥° ±µ ¦§ ¦°§ ±¦ ¬®¥ ­¬­º

Ĭ¯©­ ¤§ ¯¥«¥ ¬­¼ ¯§ ­© ±©ª Ŭy¬¦ ¬­ Æ¥ ª ¬ Ç©¬­¬ (£ ··È) ª ¬­¬¯ ¬­ ³§ ±­ ¬­ ´ ª§ ®¬² ¨§ ±«©±¬­ ´ °µ°© ® ¬¦ ¥­y¬ ¤¥ ¨ ¬­¤¥ ­´«¬­ ¦ §¨§ ®© ¯ ¬¤ ¬­y¬ °§ ­´© ¦ ¬² ¬¬­ ²©ª ¬­ µ ®§ ²°§ ±© ¦ ¬² ¬¬­°§¯¥ ®¥ ««µ ­¦§ ¦¥²¬«° §­´© ¦ ¬²¬ ¬­ ²©ª¬­ (É»É)¤¥¤ ¬§ ± ¬²ª § ±¦§¨© ª ¤ ¬­ ¯ ¬±¬«­y¬ ° § ­½©±¥¬­ «¬©y ( illegal loging) y¬­´ ¤¥®¬«© « ¬­ µ ®§ ² ¯ ¬¦y¬ ± ¬« ¬ª ®µ «¬® ¯ ¬©°© ­ °§ ­¤ ¬ª ¬­´º »¬¤¬²¬® ¯ ¬¦¬ ±¬«¬ªy y¬ ­´ ¯§ ­´§®µ ®¬ ¨©¬² ª ¬­¬¯¬­ ±µª¬­ © ­ª © « ¯§ ­³ ¬¤¥ ³ §±­¬­´

½© «©°

¨ ¬ ­y¬« ¼

¥ ­¥ ¯§ ±©° ¬«¬­ ¦© ¯¨§ ± ¯ ¬ª¬ °§­½¬² ¬±¥ ¬­

ª¬¯¨ ¬²¬­¤ ¬ ­¨ ¬´¥¦§¨ ¬´¥ ¬­µ ±¬­ ´³© ´¬¯§ ±©°¬«¬­¯ ¬ª¬

°§ ­½¬²¬±¥¬­

©ª ¬¯¬ º

À¥ ¦¥ ¦¥ ®¬¥­¼ ¯§­©±©ª ¤¬ª ¬ «§¦§³ ¬²ª§ ±¬ ¬­ ¤¬±¥ ÇÊ ÊÇÄ Ê¬¨©°¬ª§­ ¹¬±µ ® ¬­´© ­ (£ ··Ë)¼ «§²¥¤©°¬­ ¯¬¦Ì¬±¬«¬ª ¤¥ ¦§«¥ª¬± ²©ª¬­ ¨§®©¯ ¦§³¬²ª§±¬ ¤¥ ¯ ¬­ ¬ ¶ËÍ ¤ ¬±¥ ªµª¬® ¯ ¬¦¬ ±¬« ¬ªy y¬ ­´ ª ¥ ­´ ´¬® ¤¥ ¤§ ¦ ¬ ä§ ¦ ¬ ¤¥ « ¬w¬¦¬­ ²©ª ¬ ­ Ç© «¥ ª Ǭ²¬± – ά³ ¬© »§½¬ ² ¤¥ ´µ ®µ ­´«¬­ ¦§¨ ¬´ ¬¥ ¯ ¬¦y¬ ±¬« ¬ª ¤§ ­´ ¬­ ª¥­´«¬ª «§¦§³ ¬²ª §± ¬¬­ ±§ ­¤ ¬² («§ ®¬ ¦ »±¬ ¹§³¬²ª § ±¬ £ÈÍ ¤ ¬­ «§ ®¬¦ ¹§³ ¬²ª §±¬ Ï £ÐÍ)º Î¥ ­´«¬ª «§° ¬±¬²¬­ «§ ¯ ¥ ¦ «¥­¬­ (poverty severity) ¤¥ w¥®¬y¬² ¥ ­¥ ®§¨¥² ª ¥ ­´´¥ ¤¥¨ ¬­¤¥­´«¬­ ¤ § ­´¬­ «µ­¤¥ ¦¥ © ¯© ¯ ʬ¨©° ¬ª § ­ ¹¬±µ ®¬­´© ­º À¬ª¬ Ç»¹ (£ ··Ë)¼ ¯§ ­© ­³ © ««¬­ ¨ ¬²w¬ ʬ¨©° ¬ª §­ ¹ ¬±µ ®¬­´© ­ ¯§ ¯¥ ®¥ «¥ ¯¬¦y¬ ±¬« ¬ª ° ± ¬ ¦§³ ¬²ª §±¬ ¦§¨ ¬­¬«y È Ñ·£« §° ¬® ¬«§ ®© ¬±´¬¤¬±¥¶·ËÈ·«§ ®© ¬ ±´ ¬¬ª ¬©¦ §¨ ¬­¬«y Ѷ ºÐ ¶Í º

Ò§¯°§ ±² ¬ª ¥ «¬­ «§© ­´´© ® ¬­ ª¬­ ¬¯ ¬­ ±µª¬­ ³§ ±­¬­´ ¤ ¬­ «µ ­¤¥¦¥ «§¦§³ ¬²ª §± ¬¬­ ¯¬¦¬ ±¬« ¬ªy y¬­ ´ ¯¬¦¥² ±§ ­¤¬²¼°§¯§±¥ ­ª ¬² ʬ¨©°¬ª§ ­ ¹¬±µ ®¬­´© ­ ¯§ ®¬«© «¬­ ©° ¬¬y ¯§ ®¬®© ¥ «§´¥ ¬ª ¬­ y¬ ­´ ¤¥ ® ¬«¦ ¬­¬«¬­ µ ®§ ² ¯¬¦¬ ±¬« ¬ªy ¤§ ­´ ¬­ ¤¥¤ ¬¯°¥ ­´¥ µ ®§ ² Ŭy¬¦ ¬ ­ Æ¥ ª ¬ Ç©¬­¬ ¦ ¬®¬² ¦ ¬ª © Á§¯¨ ¬´¬ ¹w¬¤ ¬y¬ Ò ¬¦y¬ ± ¬«¬ª


(22)

(ÔÕÖ) ×ØÙ Ú× ÛÜ Ý ÚÞ ßÜ Þ à ×ÚÙáÙÚâ ãàâ ÚâÚÞ Úâ ã àäÛÚâ Ú åÚâ ÚÞÚâ æà äâ Ú â ç áâ åáÙ ßáÛÜ ÛÚyÚ èéàâÚâ ÚÞÚâ ÛÜ×ÚÙ êÚâÚÙ Úâ ãÚÛÚ åÚâççÚ × ëìíØvàÞ ßàä ëîîï yÚâçêà ðÚ äÚ êÜÞßØ ×Ü ÙÛÜ×ÚÙáÙÚâØ×àñòáã ÚåÜóÙàÞ áÛÜ ÚâÛÜ ãàäÙ á Úå×ÚçÜÛ Ú ×ÚÞ wØ äÙ êñØãåÚâççÚ× ëì ôçá ê åáê ëîîìè õØ äÙ êñØã ÛÜ ×ÚÙáÙ Úâ Ûàâ çÚâ åØãÜ Ù åàâ åÚâç áãÚÚyÞ àâæÚÛÜ ÙÚâ Ûà êÚ ÔÚÞßÚâ ÕÜçÚå Ú × êà ßÚçÚÜ êàâ åäÚ ãàâçàÞßÚâ çÚâ æà äâÚâç ÛÜ öÚßáãÚ åàâ ÕÚ äØ ×Úâ çáâè ÷Ú êÜ × ÛÚ äÜ wØ äÙ êñØã ÜâÜó òáãÚ åÜ Þ àÞ ßà äÜÙÚâ äàÙØÞ àâÛ ÚêÜ áâ åáÙ Þàâ çàÞßÚâçÙ Úâ åÚâÚÞÚâ äØ åÚâ ãàâçñÚ êÜ × æà äâÚ âç Ü âÜ êà ßÚçÚÜ ÙØÞØÛÜåÜ yÚâç ÛÚãÚ åÞ àâ æÚÛÜáâççá×ÚâÛÚàäÚñè

øÜâÚÞÜ ÙÚ ÙàßÜæÚÙÚâ ã àÞà äÜâ åÚñ ó ÛÚ× ÚÞ ñÚ × ÜâÜ ãàÞ à äÜ â åÚñ ÛÚ à äÚñ öÚ ßáãÚ åàâ ÕÚ äØ ×Úâçáâ å àäñÚÛÚã ãàâçàâ åÚê Úâ Ùà ÞÜêÙÜâÚâ ÞÚ êÚ äÚÙÚåy ãà åÚâÜ ÛÜ ÙÚwÚ êÚâ ñá å Úâ åà äêà ßá å êÚ ×Úñ êÚ åáâÚy ÛàâçÚâ Þ àÞ ØñØâÙÚâ ÜzÜ â ã àâ ðÚÛÚâçÚâ ÙÚwÚ êÚâÛÜòáÙÜåòÚñÚ äùÚ æÚáéà ðÚñ wÜ ×ÚyÚñÕ ÚäØ ×Úâ çáâáâ åáÙÛÜ ßÚâçáâÞàâ æÚÛÜ ÙÚwÚ êÚâ ÷á åÚâ ùÚâÚÞ Úâ úÚÙyÚ åè òàäÛ Ú êÚäÙÚâ Õá äÚå öàãá åá êÚâ Öàâ åàäÜ

öàñá åÚâ Úâ âØÞØ ä ÓìïûöéùÕ üýýûë îîì åÚâççÚ× þ íØvàÞ ßàä ëîîì åà ×Úñ

ÛÜ ðÚÛÚâçÙÚâ ê à ×áÚê ÿì ì î ñàÙ åÚ ä ÙÚwÚ êÚâ ñá åÚâ áâ åáÙ ÷á åÚâ ùÚâÚÞ Úâ úÚÙyÚ å è éàâyàäÚñÚâ Ù àãáåá êÚâ ÛÜ ×ÚÙ êÚâÚÙÚâ ãÚÛÚ åÚâççÚ × ëþ ÖÚ äà å ë îî Ø ×àñ Öàâ åà äÜ öàñá åÚâ Úâ

Û Úâ ÙàÞ áÛÜÚ â

éàÞ àäÜ â åÚñ öÚ ßáã Ú åàâ åà ×Úñ

Þàâçà ×áÚäÙÚâ ýzÜâ

êÚñÚ éàÞÚâÚÚåÚâ

÷Ú êÜ × ÷á åÚ â öÚy

á ü ÷á åÚâ

ùÚâ ÚÞÚ â úÚÙy Ú å (

ýé÷÷ö ü÷ù ú)

áâ åáÙ ßà ßà äÚã Úã äÜ ßÚÛÜÞÚ êyÚ äÚÙÚ åÛÜ wÜ×Úy

Úñ øà êÚ

ùÚ ÞÚâòÚâÛáâçöà ðÚÞ ÚåÚ âéÚáñè

ýzÜ â yÚ âç ÚÙÚâ ÛÜßà äÜ ÙÚ â áâ åáÙ ãàÞ ÚâÚÚ åÚâ ÙÚwÚ êÚâ ñá åÚâ Þà äáãÚÙ Úâ ãàÞ ßà äÜÚâ ñÚÙ ãàÞÜ×Ü ÙÚâ ßÚ çÜ ÞÚ êÚäÚÙÚ åèy éàÞßàäÜ Úâ ÜzÜâ ÜâÜ âÚâ åÜ âyÚ ÛÜñÚäÚãÙÚâ ÚÙ Úâ ÛÚãÚå Þ àÞßà äÜ ÙÚâ Ù àãÚ êåÜÚâ ßÚçÜ Þ ÚêÚ äÚÙÚ åy Û Ú×ÚÞ Þàâ çà×Ø ×Ú êáÞ ßà ä ÛÚyÚñá åÚâ yÚâçÛÜåà åÚãÙÚâè øàâçÚâ ÛàÞÜÙÜ Úâóãàâçà ×Ø ×ÚÚ â êáÞßà ä ÛÚÚy ÛÚãÚ å Þ àâçÚ äÚñ ãÚÛÚ Ùà ßá åáñÚâ Þ ÚêÚäÚÙ Ú åóy êàãà äåÜ ßáÛÜ ÛÚÚy æà äâ Úâç yÚâç ÛÜÙ ØÞ ßÜ âÚêÜ ÙÚâ ÛàâçÚâ åÚâÚÞÚâ ÙÚäà å êà ßÚçÚÜ å Úâ ÚÞ Úâ äÚÞßÚ åÚâ âÚèy ùÚâÚÞ Úâ ÙÚ äà å Þ àäáã ÚÙÚâ åÚâÚ ÞÚâ yÚâç êáÛÚñ Þ à â æÚÛÜ åÚâ ÚÞ Úâ yÚ âç áÞáÞ ÛÜ ßáÛÜÛÚyÚÙ Úâ Ø ×àñ ÞÚ êÚäÚÙÚåè öØ Þ ßÜ âÚêÜ ßáÛÜÛ ÚyÚ åÚâÚÞÚâ æàäâ Úâç Û Úâ ÙÚ äà å Ú åÚá yÚâç ÛÜ ÙàâÚ× ÛàâçÚâ ãØ ×Ú Ú çäØØäàê å äÜó â Ú â åÜ âÚy Þ àâ æÚÛÜ Ú äÚñÚâ ßáÛÜÛÚyÚ

y

Ú âç ÚÙ Úâ ÛÜÙàÞßÚâçÙÚâ

Ø ×àñ

ÞÚ êyÚ äÚÙÚ å ãàâçØ ×Ú ñ

æàäâÚâçè

ôãÚ ßÜ ×Ú

ãàâ çà ×Ø ×ÚÚâ æà äâ Úâç ÛÜ ÔÚÞ ßÚâ ÕÜçÚåÚ × ÛÜÙÚÜåÙÚâ Ûàâ çÚâ ÙàßÜæÚÙÚâ ãàâðÚ ÛÚâ çÚâ ÙÚwÚ êÚâñá åÚâÞàâ æÚÛÜ ÷ùú óÞÚÙÚ Û Ú äÜÚêã àÙÜâê åÜ åá êÜ Þ àâÜ Þ ßá ×ÙÚâãàäåÚâyÚ Úâó


(23)

y y

y ?

Untuk dapat menjawab pertanyaan di atas maka diperlukan pemahaman terhadap institusi berkenaan dengan pengaturan hak kepemilikan dan juga bagaimana kelembagaan pengelolaan jernang dilihat dari pasar produksi jernang yang berkelanjutan dan distribusi aliran pendapatan. Oleh karenanya, diperlukan suatu kajian yang mendalam dan menyeluruh dengan memperhatikan aspek aturan yang digunakan, tata niaga jernang serta keluaran-keluaran (outcomes) yang ada, juga melihat kapasitas dan inisiasi lembaga masyarakat (stakeholder) terkait dengan kebijakan yang ditetapkan, dan aksi bersama dalam masyarakat untuk memenuhi kepentingan meningkatkan kesejahteraannya.

Mengingat program HTR relatif baru, maka data dan informasi hasil penelitian HTR masih sangat terbatas khususnya dalam aspek kajian institusi atau kelembagaan. Beberapa hasil kajian yang terkait dengan kebijakan HTR adalah aspek dan prinsip-prinsip dasar kebijakan HTR (Emila & Suwito 2007), paradigma kebijakan HTR (Noordwijket al. 2007), kajian penetapan harga dasar kayu rakyat untuk mendukung program HTR (Irawatiet al. 2008), efektifitas dan strategi Kebijakan HTR (Nugroho 2009), strategi pengelolaan HTR di Kabupaten Sarolangun Provinsi Jambi (Masyithah 2009), dan proses perumusan kebijakan dan rancang bangun model konseptual kebijakan HTR (Herawati 2011) . Oleh karena itu penelitian ini akan memberikan kontribusi bagi ketersediaan data dan informasi terkait kebijakan Hutan Tanaman Rakyat dan pola pengelolaan yang berbasiskan sumberdaya lokal.

1.2 Kerangka Pemikiran

Sumber daya menurut Fauzi (2004) dalam pengertian umum didefinisikan sebagai sesuatu yang dipandang memiliki nilai ekonomi, sedangkan sumber daya alam diartikan sebagai segala sumber daya hayati dan non-hayati yang dimanfaatkan umat manusia sebagai sumber pangan, bahan baku, dan energi. Menurut Kartodihardjo, et al (2004), sumber daya alam dapat digolongkan ke dalam bentukstockatau modal alam (natural capital) seperti daerah aliran sungai (DAS), danau, kawasan lindung, pesisir dan lain-lain yang keberadaannya tidak dibatasi oleh wilayah administrasi dan sumber daya sebagai faktor produksi atau


(24)

sebagai barang/komoditas seperti kayu, rotan, air, mineral, ikan dan lain-lain yang diproduksi oleh berbagai sektor/dinas sebagai sumber-sumber ekonomi.

Sumber daya hutan merupakan sumber daya alam yang terdapat pada kawasan hutan. Kawasan hutan menurut Undang-Undang nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan didefinisikan sebagai wilayah tertentu yang ditunjuk dan/atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Pada pasal 4 disebutkan bahwa semua hutan termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Sumber daya hutan memberikan manfaat langsung dan tidak langsung bagi masyarakat di hutan maupun sekitarnya. Menurut Sarjono (2004) manfaat hutan pada fungsi hutan produksi bagi masyarakat secara langsung yaitu memberikan hasil hutan kayu dan turunannya, hasil hutan bukan kayu (seperti buah-buahan, biji-bijian, sayur mayur, getah-getahan, rotan, bambu, gaharu, sarang burung, madu), dan areal untuk bercocok tanam atau ladang. Secara tidak langsung memberikan manfaat penghasilan (semi komersil dan komersil), pelestarian kegiatan budaya lokal yang berbasiskan produk hutan, pelestarian dan industri rumah tangga masyarakat.

Berdasarkan pendapat di atas maka dalam pemanfaatan sumber daya hutan diperlukan adanya pengaturan atau institusi. Menurut Kartodihardjo dan Jhamtani (2006) institusi adalah pola hubungan antar anggota masyarakat, organisasi dan/atau antar aktor pembangunan, bisnis dan politik yang saling mengikat yang

diwadahi dalam sebuah organisasi atau jaringan. Selanjutnya menurut

Kartodihardjo et al. (2004), unsur-unsur institusi terdiri atas atau dicirikan oleh batas yurisdiksi atau batas wilayah kewenangan (jurisdictional boundary), hak pemilikan (property rights) dan aturan representasi/keterwakilan (rule of representation). Pemahaman terhadap kemapanan institusi dapat dinilai dari kinerjanya. Menurut Pratiwi (2008) kinerja institusi diukur melalui pencapaian tujuan kolektif (diantaranya pemenuhan kebutuhan anggotanya) dan berjalan atau tidaknya fungsi dan tugas institusi melalui wadah pelaksananya yaitu organisasi formal dan informal.

Untuk dapat memperbaiki kondisi kesejahteraan masyarakat saat ini maka pemerintah mengeluarkan kebijakan melalui Departemen Kehutanan dalam


(25)

kerangka mewujudkan kelestarian hutan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat yang dilakukan dengan pendekatan konsep perhutanan sosial melalui program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) yang salah satunya dengan konsep Hutan Tanaman Rakyat (HTR). Program ini merupakan suatu sistem pengelolaan sumber daya hutan pada kawasan hutan negara, dengan melibatkan masyarakat setempat sebagai pelaku atau mitra utama dalam rangka peningkatan kesejahteraan dan mewujudkan hutan lestari (Direktorat Bina Perhutanan Sosial, 2007). Penerapan HTR dilandasi dengan konsep prinsip-prinsip pemberdayaan masyarakat yaitu : 1) Prinsip pertama adalah masyarakat mengorganisasikan dirinya berdasarkan kebutuhannya (people organized themselves based on their necessity), 2) Prinsip kedua adalah kegiatan pemberdayaan masyarakat harus bersifat padat karya (labor-intensive), 3) Prinsip ketiga adalah Pemerintah memberikan pengakuan/rekognisi dengan memberikan aspek legal sehingga kegiatan masyarakat yang tadinya informal di sektor kehutanan dapat masuk ke sektor formal ekonomi kehutanan/ekonomi lokal, nasional dan global sehingga bebas dari pemerasan oknum birokrasi dan premanisme pasar (Emilaet al. 2007).

Kelembagaan atau institusi sesungguhnya memberi batasan jelas terhadap hak pemilikan (property rights) dan aturan pemilikan (property rules) bagi setiap aktor yang terlibat dan berkepentingan (stakeholder) dengan implikasi penerapan kebijakan publik yang dimaksud (Hanna dan Munasinghe 1995). Hak kepemilikan adalah hak dan tanggung jawab setiap aktor yang terlibat (stakeholder), sedangkan aturan pemilikan (property rules) adalah aturan-aturan yang mengatur bagaimana setiap aktor tersebut dapat memperoleh dengan baik atas haknya dan sepenuhnya menjalankan kewajibannya dalam rangka pencapaian tujuan bersama yang telah disepakati (Bromley 1992).

Dalam tataran fenomena keseharian masyarakat, hak pemilikan dan aturan kepemilikan yang dimaksud dalam suatu kelembagaan tercermin pada pola perilaku masyarakat (Ostrom 2004). Pola perilaku masyarakat tidak lain merupakan pilihan-pilihan individu maupun kolektif (kelompok-kelompok masyarakat) yang diimplementasikan dalam bentuk aksi bersama (collective action) terhadap upaya-upaya yang sistematis dalam rangka mempertahankan


(26)

keberlanjutan hidupnya. Beberapa aksi bersama yang dilakukan dapat menyelesaikan situasi yang membutuhkan aksi bersama untuk dapat menyelesaikan persoalan (Heckathorn 1993 dalam Yustika 2008) seperti dalam

sistem untuk mengelola sumber daya bersama (common pool resources) (Ostrom

1990). Situasi ini memprasyaratkan adanya aksi bersama agar kegiatan pemanfaatan sumber daya dapat dilakukan secara efektif dan efisien. Bahkan lebih dari itu, aksi bersama menjadi krusial sebagai instrumen untuk mencegah konflik dan kemungkinan dieksploitasinya salah satu/beberapa pihak dalam kegiatan tersebut (Yustika 2008).

Melalui pengkajian terhadap aspek kelembagaan atau institusi dalam pengelolaan hutan dilihat dari pemberian hak-hak yang dapat dimiliki oleh masyarakat dan adanya aksi bersama (collective action) pada masyarakat dalam menghadapi kebijakan pencadangan HTR, diharapkan akan dapat dirumuskan institusi yang dapat dihandalkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dari pengembangan institusi yang telah berjalan. Secara umum uraian kerangka pemikiran penelitian ini disajikan pada Gambar 1 berikut :

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian.

Pemanfaatan Sumberdaya Hutan

Masyarakat

Feedback Sumberdaya

Kawasan Hutan

Institusi untuk Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Kinerja Institusi

Social Forestry Hutan Tanaman

Rakyat Institusi

Saat ini

1. Hak Kepemilikan 2. Aksi Bersama


(27)

1.3 Rumusan Permasalahan

Kondisi institusi saat ini pada masyarakat pemanfaat sumber daya hutan dapat dilihat dari karakteristik sumber daya, karakteristik kelompok, dan saling hubungan antara karakteristik sistem sumberdaya dan karakteristik kelompok serta tatanan institusi sebagai faktor kritis. Menurut hasil sintesis Agrawal (2001) yang mengacu pada hasil identifikasi Wade (1988), Ostrom (1990), Baland dan Platteau (1996), faktor kritis penentu kesuksesan tata kelola sumberdaya milik bersama (common pool resources) terkait dengan 1) karakteristik sistem sumberdaya (resource system characteristic); 2) karakteristik kelompok (group characteristic); 3) saling hubungan antara karakteristik sistem sumberdaya dan karakteristik kelompok (relationship between resource system characteristic and group characteristic), dan 4) tatanan institusi (institutional arrangement).

Kondisi institusi saat ini akan memperlihatkan permasalahan yang telah terjadi melalui kinerja institusi. Menurut Schmid (1987) kinerja institusi diukur oleh siapa mendapat apa? Biaya (cost) siapa yang dipertimbangkan? Pada sekelompok orang kinerja institusi ini dapat dilihat pada tingkat kehidupan, keamanan, kualitas lingkungan, dan kualitas kehidupan secara umum. Kinerja institusi juga dapat dilihat pada distribusi sumberdaya/kekayaan dan kesempatan, atau diukur dari kebebasan (bebas melakukan pilihan untuk bertransaksi), pertumbuhan (optimalisasi total dari nilai produksi) dan efisiensi (pilihan untuk mengoptimalkan pengeluaran dan pemasukan).

Berdasarkan pendapat Schmid diatas, institusi yang tidak baik akan

menimbulkan permasalahan yang terkait dengan 3 (tiga) faktor, yaitu

ketidakpastian hak pemilikan, rendahnya kapasitas lembaga dan tidak efisiennya mekanisme pasar yang berlaku. Schmid (2004) memaparkan kepastian hak pemilikan menjadi sumber insentif bagi pihak-pihak yang berkepentingan dan hal ini memicu kinerja mereka berdasarkan ukuran-ukuran dimensi ekonomi. Sedangkan rendahnya kapasitas lembaga menjadi akar penyebab ketidakmampuan sebuah entitas (seseorang, organisasi, atau sebuah sistem) untuk melakukan fungsinya sesuai yang direncanakan secara efektif, efisien, dan berkelanjutan untuk mencapai sasaran hasil yang telah direncanakan dalam mendukung misi organisasi mereka (The Society of Obstetricians and Gynaecologists of Canada


(28)

dalam Bateson et al. 2008). Adapun ketidakefisienan mekanisme pasar menunjukkan instrumen penggerak aktivitas (ekonomi) tidak banyak memberikan akses dan manfaat ekonomi kepada seluruh partisipan (Yustika 2008).

Kebijakan terkini terkait dengan pengelolaan sumber daya hutan produksi adalah kebijakan pengembangan Hutan Tanaman Rakyat (HTR). Kebijakan ini diwujudkan untuk memberikan akses hukum, akses ke lembaga keuangan, dan akses pasar yang lebih luas kepada masyarakat dalam pemanfaatan hutan produksi dalam kerangka mensejahterakan masyarakat dan mewujudkan pengelolaan hutan lestari. Merespon kebijakan pemerintah pusat ini, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan nomor 386/KPTS-II/2008 tanggal 7 November 2008, pemerintah Kabupaten Sarolangun telah mencadangkan 18 840 hektar kawasan hutan untuk pembangunan Hutan Tanaman Rakyat.

Dicadangkannya kawasan hutan produksi untuk kawasan HTR menjadikan adanya suatu institusi baru yang dilaksanakan oleh masyarakat sehingga institusi yang telah ada di masyarakat perlu dikembangkan. Dalam hal ini masyarakat pengelola rotan jernang sebagai masyarakat yang terdapat di sekitar kawasan tersebut akan menjadi kelompok masyarakat yang dapat menikmati manfaat pengelolaan sumber daya hutan dengan diberlakukannya kebijakan. Manfaat tersebut diperoleh karena pada dasarnya pemberlakuan kebijakan HTR adalah dalam rangka pengaturan hak kepemilikan melalui mekanisme kontrak yang

diharapkan melahirkan aksi bersama yang mengarah pada peningkatan

kesejahteraan.

Pentingnya pengembangan institusi pembangunan HTR semakin krusial karena indeks persentase penduduk miskin di Kabupaten Sarolangun sebesar 1.15 menunjukan tingkat kemiskinan di wilayah ini relatif masih tinggi dibandingkan dengan rata-rata tingkat kemiskinan masyarakat kabupaten/kota di Provinsi Jambi secara keseluruhan (IPPMD) sebesar 1.01. Terlebih lagi di kawasan hutan Bukit Bahar-Tajau Pecah yang menjadi kawasan pencadangan HTR. Dimana sebanyak 57% masyarakat yang tinggal di desa-desa di dalam kawasan tersebut masih tergolong memiliki tingkat kesejahteraan rendah (BPS Kabupaten Sarolangun 2007). Fakta ini memberi gambaran masih rendahnya kinerja institusi pengelolaan


(29)

sumber daya hutan di kawasan ini, oleh karenanya masih diperlukan perbaikan institusi.

Untuk dapat mengetahui perbaikan terhadap kinerja institusi pengelolaan sumber daya hutan di Lamban Sigatal digunakan analisis pengembangan institusi

(Institutional Analysis and Development) atau IAD. Kerangka kerja IAD cocok digunakan untuk menganalisis beragam jenis sumber daya bersama (common-pool resources). Sebagai contoh pada kajian rusaknya atau baiknya sebuah kawasan hutan, IAD membantu dalam memahami komunitas pemanfaat, sistem pengelolaan, beragam hak kepemilikan yang terlibat dan penggunaan aturan saat ini yang bertingkat-tingkat (multiple rules-in-use) dan tidak hanya sekedar kondisi biofisik hutan (Gibson, McKean dan Ostrom 2000; Moran dan Ostrom 2005).

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dirumuskan pertanyaan penelitian (research questions), sebagai berikut:

1. Bagaimana karakteristik sumber daya hutan, kelompok masyarakat pemanfaat sumber daya hutan dan aturan-aturan yang digunakan dalam pemanfaatan sumber daya hutan serta interaksi antar kelompok masyarakat dan dengan sumber daya?

2. Bagaimanakah respon pemerintah daerah dan inisiasi masyarakat terkait dengan kebijakan HTR?

3. Apakah permasalahan dalam kebijakan HTR yang menyebabkan kepastian hak pemilikan masyarakat belum terwujud, bagaimanakah dinamika pengelolaan sumber daya hutan Lamban Sigatal? Bagaimana kapasitas masyarakat? Dan bagaimana aliran manfaat dari sumber daya dilihat dari efisiensi pasar?

4. Bagaimanakah pengembangan institusi pengelolaan HTR yang mampu memperbaiki kesejahteraan masyarakat khususnya masyarakat pengelola tanaman rotan jernang?

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk merumuskan (mendesain)

pengembangan institusi pengelolaan HTR pola agroforestri yang mampu memperbaiki kesejahteraan masyarakat khususnya masyarakat pengelola tanaman rotan jernang. Tujuan utama tersebut dicapai melalui tujuan antara yaitu :


(30)

1. Mengetahui karakteristik sumber daya hutan, kelompok masyarakat pemanfaat sumber daya hutan dan aturan-aturan yang digunakan dalam pemanfaatan sumber daya hutan serta interaksi antar kelompok masyarakat dan dengan sumber daya.

2. Mengetahui respon pemerintah dan inisiasi masyarakat terkait kebijakan Hutan Tanaman Rakyat.

3. Menemukan permasalahan dalam institusi pembangunan HTR dari sisi kepastian hak pemilikan masyarakat, kapasitas masyarakat dan efisiensi pasar.

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat hasil penelitian ini adalah :

a) Sebagai informasi ilmiah bagistakeholderyang berkepentingan.

b) Memberikan informasi dan pengetahuan tentang pengembangan institusi untuk masyarakat petani rotan jernang dalam pelaksanaan kebijakan hutan tanaman rakyat bagistakeholderyang berkepentingan.

c) Bahan masukan dalam merumuskan institusi untuk masyarakat bagi

kebijakan pemerintah di daerah.

1.6 Kebaruan (Novelty)

Ada tiga kriteria suatu penelitian dapat disebut memiliki novelty (kebaruan) yaitu : fokus (focus), terdepan dibidangnya (advance) dan ilmiah

(scholar). Penelitian ini dibangun berdasarkan ketiga kriteria tersebut. Pertama, fokus penelitian ini ialah melihat secara langsung permasalahan kelembagaan atau

institusi pada masyarakat pengelola rotan jernang dan bagaimana

pengembangannya. Kedua, berdasarkan review hasil-hasil penelitian yang dipublikasikan, maupun penelusuran on-line pada website science direct serta di perpustakaan IPB, belum ditemukan adanya penelitian yang berkaitan dengan institusi pada pengelolaan tanaman rotan jernang pada pencadangan kawasan hutan tanaman rakyat (HTR). Ketiga, proses penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode ilmiah. Metode yang digunakan adalah metode kuantitatif dan kualitatif yaitu berkaitan dengan tujuan penelitian yang mengarahkan pada pemahaman fenomena sosial.


(31)

Gambar 2 Rumusan permasalahan pengembangan institusi pengelolaan HTR pola agroforestri. Policy Analysis

Konsep Perhutanan Sosial (Social Forestry) - Hutan Tanaman Rakyat

Institutional Analysis Karakteristik Individu dan Kelompok Masyarakat Pemanfaat Karakteristik

Sumber daya Alam

Aturan-aturan yang digunakan

1. Hak Kepemilikan 2. Aksi Bersama

1. Ketidakpastian Hak

2. Kapasitas Lembaga belum baik

3. Instrumen Ekonomi/Pasar belum baik

Institusi yang diharapkan Kinerja Institusi


(32)

2.1 Sumber daya Milik Bersama: Karakter dan Permasalahan Pengelolaannya

Jenis-jenis sumber daya alam dapat diklasifikasikan berdasarkan motivasi pengelolaannya, serta tingkat diperlukannya kegiatan manusia untuk menghasilkan dan mempertahankan fungsi sumber daya alam tersebut seperti terlihat pada tabel 1 berikut:

Tabel 1 Jenis barang dan jasa dari sumber daya alam berdasarkan tujuan dan tingkat aktivitas manusia untuk mengadakan atau melindungi fungsi sumber daya alam

SDA memerlukan aktivitas manusia

SDA hampir tidak

memerlukan aktivitas manusia Produksi untuk

diperdagangkan/ekspor1)

Pertanian,

kehutanan, berbagai bentuk kegiatan ekstraktif

Kawasan dilindungi Tipe I: Jasa lingkungan

Produksi untuk

dikonsumsi/tidak dapat diekspor

Kawasan untuk rekreasi

Kawasan dilindungi Tipe II: Keanekaragaman hayati, pengetahuan, kekayaan budaya

Sumber : Berge (2004) Keterangan :

1)

Jenis barang dan jasa dapat diperdagangkan/diekspor karena sifatnya yang dapat disimpan dan dipindahkan. Sedangkan jenis barang dan jasa yang tidak dapat diperdagangkan/diekspor karena sifatnya hanya bisa dikonsumsi di tempat dimana barang dan jasa tersebut dihasilkan. Oleh karena itu pengertian diperdagangkan/diekspor tidak senantiasa mewujudkan kegiatan perdagangan dan ekspor, melainkan lebih mempunyai arti memindahkan tempat pemanfaatan barang dan jasa tersebut dari tempat produksinya.

Karakteristik sumber daya yang dapat diperdagangkan/diekspor baik berupa hasil-hasil pertanian, kehutanan, berbagai bentuk kegiatan ekstraktif dari sumber daya alam, serta jasa lingkungan adalah sebagai berikut (Berge 2004):

1. Secara umum jenis sumber daya alam ini diproduksi dari sumber daya yang bersifatsubstractable,yaitu apabila dimanfaatkan oleh pihak tertentu, pihak lain tidak dapat memperolehnya;

2. Dalam suatu lingkungan masyarakat tertentu, hak untuk memanfaatkan jenis-jenis sumber daya (ikan, kayu, bahan tambang, dll) bersifat independen satu dengan lainnya. Hal ini bukannya tidak memungkinkan kelompok secara keseluruhan menguasai sumber daya ini secara bersama-sama. Demikian pula,


(33)

hak untuk memanfaatkan jasa ekosistem juga bersifat independen dari hak penguasaan oleh kelompok terhadap jasa ekosistem tersebut;

3. Masalah keadilan pemanfaatan sumber daya ini maupun masalah kelestarian fungsinya adalah masalah manajemen pengelolaan sumber daya tersebut.

Karakteristik sumber daya yang tidak dapat diperdagangkan/diekspor baik berupa jasa rekreasi serta jasa dari kawasan dilindungi Tipe II adalah sebagai berikut (Berge 2004):

1. Secara umum sumber daya alam ini diproduksi dari sumber daya yang bersifat

non-substractable, yaitu apabila dimanfaatkan oleh pihak tertentu, pihak lain tetap dapat memperolehnya;

2. Hak untuk memanfaatkan jenis sumber daya ini bersifat independen antara satu dengan yang lainnya. Namun, pemerintah dapat menguasainya –dalam bentuk mengeluarkan kebijakan- pengelolaan sumber daya tersebut. Apabila terdapat individu/private menguasai sumber daya ini, kebijakan pengelolaan sumber daya alam yang diterapkan kepadanya perlu memperhatikan kepentingan pihak lain;

3. Masalah manajemen pengelolaan sumber daya ini adalah bagaimana dalam penguasaan individu atas sumber daya alam juga dapat dijalankan kebijakan publik.

Nilai dan tujuan keberadaan sumber daya alam dapat diinterpretasikan berdasarkan tipologi barang dan jasa yang dapat dihasilkan (Ostrom 1977), yaitu sebagaiprivate goods, club goods, common pool goods danpublik goods (tabel 2), yang berguna bagi penetapan ketentuan-ketentuan untuk mengelolanya. Pengetahuan ini juga menentukan ketepatan pemilihan bentuk kelembagaan

(Kartodihardjo 2006). Misalnya kelembagaan untuk pengelolaan common pool

goods didasarkan pada berbagai prinsip yaitu penetapan batas-batas alokasi sumber daya, teknologi yang digunakan dan cara pemanfaatan, pemantauan, sangsi, penyelesaian konflik, maupun pengakuannya oleh peraturan dan perundangan yang lebih tinggi.


(34)

Tabel 2 Tipologi barang dan jasa

Jenis sumber daya Pengguna

Excludable Non-excludable

Substractable Private Goods Common Pool Goods

Non-substractable Club Goods Public Goods

Sumber: Ostrom dan Ostrom (2007) dalam Berge (2004)

Dalam setiap tipologi mengandung sifat yang melekat pada barang dan jasa tersebut. Sifat tersebut merupakan atribut yang sepatutnya disertakan kedalam sifat-sifat lain dari barang dan jasa yang sedang dibicarakan. Terdapat dua faktor yang menentukan atribut tersebut, yaitu:

1. Sifat rivalitas/persaingan (rivalry) atas barang dan jasa. Dalam hal ini apabila barang dan jasa dimanfaatkan seseorang akan mengurangi jumlah yang tersedia bagi orang lain, maka diklasifikasikan sebagai private goods (misalnya air kemasan, kayu, ikan, dll) dancommon pool goods (misalnya danau, sungai, dll). Sebaliknya apabila dimanfaatkan seseorang tetapi dalam jangka pendek tidak mengurangi jumlah yang tersedia bagi orang lain, maka diklasifikasikan sebagai

Club goods(misalnya air dalam PDAM, dll) dan public goods(misalnya udara, keamanan, dll).

2. Sifat pengguna (excludability) barang dan jasa. Apabila pengguna barang dan jasa dapat dipisahkan satu dari yang lain, maka private goods dan club goods

termasuk di dalamnya. Sedangkan apabila penggunanya tidak dapat dipisahkan satu dari yang lainnya, maka common pool goods dan public goods masuk di dalamnya. Dalam common pool goods, dapat terjadi fenomena open access

sebagaimana dalam public goods, apabila kelembagaan pengelolaan sumber daya alam yang diterapkan tidak dapat mengatasi para pencari kesempatan atau penunggang gratis (free rider).

Sumber daya milik bersama adalah sumber daya yang dapat dimiliki oleh masyarakat, baik sebagai pemanfaat maupun penghasil. Sumber daya alam milik bersama dapat berada di suatu lokasi yang tetap seperti hutan atau dapat pula bergerak dan berpindah-pindah seperti satwa liar. Beberapa mencakup luasan yang sangat luas seperti lautan sehingga tidak dapat dibagi dan diorganisasi oleh hak


(35)

kepemilikan pribadi yang terpisah-pisah. Lainnya, mencakup luasan yang kecil sehingga dapat diorganisasi oleh suatu kelompok dengan aturan sosial tertentu. Meskipun demikian, satu pertanyaan yang masih muncul hingga kini terkait dengan pengelolaan sumber daya milik bersama adalah bagaimana mengkoordinasi pihak-pihak yang berkepentingan dengan pemanfaatannya dalam rangka mendapatkan tingkat produksi atau konsumsi yang optimal bagi seluruh pihak (Oarkerson 1992).

Menurut Hardin (1968), sumber daya milik bersama yang aksesnya bebas dan tidak diatur akan berakhir dengan terjadinya tragedi bagi semua (tragedy of the commons). Hal ini terjadi, karena semua pemanfaat cenderung berlomba untuk mengeksploitasi sumber daya alam tersebut semaksimal mungkin dan akhirnya terjadi kerusakan yang mengakibatkan terjadinya tragedi tersebut.

Hardin mencontohkan pemanfaatan suatu padang penggembalaan ternak yang luasannya terbatas namun dapat dimanfaatkan secara terbuka oleh siapa saja. Tidak adanya pengaturan akan memicu setiap penggembala untuk memaksimumkan pemanfaatan padang penggembalaan tersebut bagi ternak yang dimilikinya. Selama pemanfaatan masih berada dibawah ambang batas daya dukung padang penggembalaan, maka tidak terdapat permasalahan pakan bagi semua ternak yang ada. Permasalahan perebutan sumber pakan muncul saat jumlah ternak yang digembalakan meningkat dan melampaui ambang batas daya dukung padang penggembalaan. Tanpa adanya penyelesaian masalah yang konkrit, perebutan padang penggembalaan sebagai sumber pakan berakhir pada tragedi untuk semua (tragedy of the common) berupa kematian ternak dalam jumlah besar akibat ketidakseimbangan antara pakan dan jumlah ternak yang ada.

Berdasarkan fenomena tersebut di atas, Hardin (1968) menambahkan pemanfaatan sumber daya milik bersama yang bebas akses atau tidak memiliki pengaturan dalam pemanfaatannya hanya dapat dibenarkan dalam kondisi populasi rendah. Saat terjadi peningkatan populasi, kebebasan dalam mengakses dan menggunakan sumber daya bersama tidak lagi dapat digunakan sebagai prinsip pemanfaatan sumber daya milik bersama tersebut.

Untuk menghindari sumber daya milik bersama bebas akses atau tanpa aturan pemanfaatannya, dibutuhkan pengaturan sosial yang bersifat memaksa, yang dapat menumbuhkan rasa tanggung jawab (Hardin 1968). Pengertian memaksa


(36)

(coercion) yang dimaksudkan adalah ‘mutual coercion’ yaitu pengaturan yang disepakati bersama oleh sebagian besar penduduk yang memanfaatkan sumber daya tersebut. Untuk itu, Hardin menawarkan pengalihan status sumber daya bersama menjadi ‘private property.’ Dalam hal ini, privatisasi akan menginternalisasi biaya yang timbul akibat perilaku pemanfaatan sumber daya tersebut, mengurangi ketidakpastian, dan dengan demikian meningkatkan tanggung jawab individual atas sumber daya yang digunakannya. Alternatif lainnya yang ditawarkan dengan cara tetap mempertahankan sumber daya bersama sebagai ‘public property’, tetapi diikuti dengan pengaturan alokasi hak untuk mengaksesnya. Pengaturan pengalokasian hak untuk mengakses tersebut dapat saja didasarkan pada sistem lelang, penghargaan atas prestasi, sistem undian, atau dengan menggunakan prinsip siapa yang datang terlebih dulu, maka merekalah yang memiliki hak akses.

Tesis Hardin mengenai “the tragedy of the commons” mendapat tanggapan kritis dari Ostrom (1990). Menurutnya, terdapat beberapa hal yang melemahkan tesis dan solusi yang disampaikan Hardin terkait dengan pengelolaan sumber daya milik bersama, meliputi: (i) Hardin kurang memperhitungkan kemampuan orang untuk bekerjasama dalam pelbagai situasi sumber daya bersama; (ii) Hardin terlalu berharap pada pemerintah untuk dapat berperan besar dan mengabaikan keberadaan dan peran kelompok atau komunitas lokal dalam menangani masalah-masalah kependudukan, kemasyarakatan dan lingkungan; (iii) Hardin mengabaikan bukti-bukti empirik tentang keberadaan dan peranan institusi/institusi sosial yang ditumbuh-kembangkan oleh komunitas atau kelompok masyarakat dalam rangka mengatur dan mengawasi penggunaan sumber daya bersama, termasuk hubungan-hubungan sosial yang terkait dengan penggunaan sumber daya tersebut; dan (iv) Privatisasi atau intervensi pemerintah dapat melemahkan, bahkan menghancurkan keberadaan dan peranan institusi atau institusi sosial komunitas pengguna sumber daya yang bersangkutan yang telah terbukti efektif dalam mengendalikan pemanfaatan sumber daya secara bijaksana dan berkelanjutan dalam periode waktu yang relatif lama.

Terlepas dari tesis Ostrom tersebut diatas, tesis Hardin (1968) masih relevan untuk dikaji. Pada akhirnya, pengkajian tesis dari kedua ahli tersebut relevan terkait dengan upaya memahami berbagai fenomena dan penyalahgunaan penggunaan


(37)

sumber daya alam. Terpenting adalah penerapan konsepsinya berpegang pada konteks sosial ekonomi, politik dan ekologis dari fenomena yang bersangkutan.

2.2 Teori Hak Kepemilikan dan Rezim Hak Kepemilikan

Hak kepemilikan merupakan ikatan atau kumpulan hak untuk mengawasi dan menggunakan sumber daya alam oleh seseorang atau sekelompok orang. Menurut Schmid (1987) hak kepemilikan adalah menggambarkan hubungan individu dengan lainnya terhadap sumber daya alam atau sesuatu yang lainnya. Sedangkan Bromley dan Cernea (1989) mendefinisikan hak kepemilikan sebagai hak untuk mendapatkan aliran laba yang hanya aman (secure) bila pihak-pihak yang lain respek dengan kondisi yang melindungi aliran laba tersebut.

Schlager dan Ostrom (1992) mengemukakan bahwa dalam pelaksanaannya, hak-hak dapat dijabarkan menjadi bentuk access dan withdrawal, management, exclusiondan alienation, yang kemudian dapat dibedakan hak-hak yang seharusnya dipunyai oleh empat kelompok masyarakat yang mempunyai strata hak pemilikan dari yang paling tinggi sampai yang paling rendah yaitu: owner, proprietor, claimant, danauthorized user.

Hak akses (access rights), hak pemanfaatan (withdrawal rights), Hak

pengelolaan (management rights), Hak eksklusi (exclusion rights) dan hak pengalihan (alienation rights) terkait dengan pemanfaatan sumber daya alam, dijelaskan oleh Schlager dan Ostrom (1992) sebagai berikut:

1) Hak akses, yaitu hak untuk memasuki suatu area sumber daya yang memiliki batas-batas yang jelas dan untuk menikmati manfaat non ekstraktif nya;

2) Hak pemanfaatan, yaitu hak untuk memanfaatkan suatu unit sumber daya atau produk dari suatu sistem sumber daya (misalnya menangkap ikan);

3) Hak pengelolaan, yaitu hak untuk mengatur pola pemanfaatan secara internal atau menentukan aturan operasional pemanfaatan sumber daya;

4) Hak eksklusi, yaitu hak untuk menentukan siapa yang boleh memiliki hak akses dan bagaimana hak akses tersebut dialihkan ke pihak lain (menentukan keikutsertaan-mengeluarkan pihak lain);

5) Hak pengalihan, yaitu hak untuk menjual dan menyewakan sebagian atau seluruh hak-hak kolektif tersebut di atas.


(38)

Lebih lanjut dikemukakan oleh Schlager dan Ostrom (1992) pengelompokan hak pemilikan tersebut menjadi lima kelas kelompok pengguna, sebagaimana disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Hak-hak yang terikat berdasarkan posisi kelompok masyarakat

Tipe Hak Pemilik (owner)

Pemilik Terikat (Proprietor)

Penyewa (Authorized

Claimant)

Pengguna (Autorized User)

Pengikut (Authorized

entrant) Akses dan

pemanfaatan

X X X X X

Pengelolaan X X X

Eksklusi X X

Pengalihan X

Sumber: Schlager dan Ostrom (1992)

Magrat (1989) dan Stevenson (1991) dalam Suhaeri (2005) menyatakan bahwa apabila hak kepemilikan terdefenisikan dengan jelas, maka tindakan pengurasan sumber daya alam menjadi tidak ekonomis sehingga mendorong ke arah pemanfaatan secara berkelanjutan. Schmid (1988) menyatakan bahwa kepastian hak menjadi sangat penting karena mempengaruhi kinerja ekonomi.

Menurut Stevenson (1991) dalam Suhaeri (2005) hak kepemilikan belum bermakna apabila belum dihubungkan dengan bentuk fisik (kongkrit) dari sumber daya alam. Hak kongkrit menurut Harsono (1999) adalah apabila hak penguasaan tanah sudah dihubungkan dengan obyek dan subyeknya (individu atau badan hukum) sebagai pemegang haknya. Unsur hak kongkrit adalah sebagai berikut : penciptaan hak, pembebanan dengan hak lainnya, peralihan hak, hapusnya hak, dan pembuktian hak.

Beberapa studi menunjukkan bahwa hak kepemilikan yang tidak jelas cenderung mengakibatkan terjadinya penebangan hutan sebagai cara strategis untuk mengklaim hak kepemilikan lahan (Anderson dan Hill 1999; Mendelson 1994; Angelsen 1999 dalam Yustika 2008). Hak kepemilikan yang tidak jelas (poorly defined property rights) dianggap sebagai penyebab utama terjadinya kegagalan pasar (Byron 1999). Ada hubungan yang kuat antara hak kepemilikan yang jelas dan kualitas lingkungan (Dasqupta et al 1995), misalnya para petani dengan hak atas tanah yang aman lebih besar kecenderungannya untuk mau melakukan investasi


(39)

dalam konservasi tanah, teknik-teknik pembudidayaan yang berkesinambungan, dan praktik perlindungan lingkungan lain (Feder 1987 dalam Yustika 2008).

Menurut Yustika (2008), kejelasan/kepastian atas hak kepemilikan adalah hal yang paling penting untuk dipertegas sehingga setiap pengelola/pemiliknya mempunyai insentif untuk memakai dan melindungi hak kepemilikannya. Hak milik privat, dianggap akan memberi insentif yang besar bagi pemiliknya untuk memanfaatkan agar diperoleh keuntungan yang besar. Sebaliknya, hak milik negara atau komunitas juga bisa mendonorkan kemampuan yang besar bagi pemiliknya melalui proses negosiasi dan partisipasi yang utuh. Model-model hak kepemilikan tersebut bisa diaplikasikan sesuai dengan kondisi yang ada, sehingga sesungguhnya tidak dapat disimpulkan mana yang lebih baik diantara bentuk hak-hak kepemilikan tersebut. Lebih relevan dari itu, jika setiap pemiliknya diketahui dengan jelas, apapun tipe dari hak kepemilikan tersebut, maka tidak hanya mewartakan para pemiliknya untuk memanfaatkan dan mengeksploitasi hak milik, tetapi juga meletarikan dan melindunginya sehingga tetap terjaga untuk kepentingan jangka panjang. Inilah yang menjadi kunci efisiensi ekonomi (khususnya untuk kasus sumberdaya alam), yakni adanya kepastian hak kepemilikan yang dijamin melalui produk dan penegakan hukum.

Dalam hubungannya dengan sumber daya, Hanna et al. (1996)

mengemukakan empat tipe rejim kepemilikan, yaitu: 1) pemilikan individual (private property); 2) pemilikan bersama (common property); pemilikan Negara (state property); dan 4) akses terbuka (open acces). Karakteristik masing-masing rejim tersebut berdasarkan pemegang pemilikan, hak pemilik dan tugas pemilik oleh Hanna et al (1996) diringkas sebagaimana tersaji pada Tabel 4.

Tabel 4 Tipe rezim hak pemilikan dengan pemilik, hak pemilik dan kewajiban pemilik

Tipe Rejim Pemilik Hak Pemilik Kewajiban Pemilik

Pemilikan individual Individual Penggunaan diterima secara sosial; mengendalikan akses

Menghindari penggunaan yang tidak dapat diterima secara sosial

Pemilikan bersama Kolektif Mengeluarkan yang bukan pemilik

Pemeliharaan; membatasi tingkat penggunaan

Pemilikan negara Warga Negara Menentukan aturan Memelihara tujuan sosial

Akses terbuka Tidak ada Tidak ada Tidak ada


(40)

2.3 Teori Aksi Bersama

Teori aksi bersama menurut Yustika (2008) pertama kali diformulasikan oleh Mancur Olson (1971), khususnya saat mengupas masalah kelompok-kelompok kepentingan (interest groups). Teori ini sangat berguna untuk mengatasi masalah penunggang bebas (free rider) dan mendesain jalan keluar bersama (cooperative solutions) bagi pengelolaan sumber daya bersama (common resources) atau penyediaan barang-barang publik (public goods). Menurut Olson, determinan penting bagi keberhasilan suatu aksi bersama adalah ukuran (size), homogenitas (homogeneity), dan tujuan kelompok (purpose of the group).

Terwujudnya pengaturan hak kepemilikan hanya dapat dicapai apabila telah terwujud aksi bersama dikarenakan memberi kesempatan bagi seseorang untuk mengatasi keterbatasannya atas sumber daya, kekuasaan dan hak suara. Aksi bersama diartikan sebagai suatu aksi yang dilakukan oleh sekelompok individu, baik secara langsung atau melalui suatu organisasi, untuk mencapai tujuan bersama. Kelompok tersebut dapat terbentuk sendiri secara sukarela, informal maupun formal dibangun oleh pihak luar (Marshall 1998 dalam Pratiwi 2008). Aksi bersama akan timbul bila lebih dari satu individu dibutuhkan untuk berkontribusi guna mencapai satu tujuan (Ostrom 2004). Dengan kata lain, aksi bersama diartikan sebagai suatu aksi yang dilakukan secara bersama oleh kelompok masyarakat untuk mencapai kepentingan dan tujuan kelompok dalam penguatan hak kepemilikan.

Berbagai studi menunjukkan peran aksi bersama dalam meningkatkan akses masyarakat terhadap pihak institusi yang lebih tinggi ketika mereka menuntut pelayanan pubik atau meminta perlindungan (Di Gregorio et al 2004; Mahmud 2001). Dalam sistem pemerintahan desentralisasi dengan sebagian kewenangan pusat beralih pada daerah, seperti halnya dalam perencanaan pembangunan menurut UU 25/2004, aksi bersama dibutuhkan dalam mengkoordinir kegiatan-kegiatan individu, menyusun aturan kelompok dan memobilisasi sumberdaya berupa uang, tenaga dan materi lainnya (Dick-Meinzen dan Knox 1999). Aksi bersama mendorong masyarakat memainkan peran sosial dan politiknya, misalnya melalui partisipasi mereka dalam proses kebijakan. Aksi bersama bagi masyarakat merupakan mekanisme agar ”suara” mereka bisa lebih didengar (Mahmud 2001). Dalam konteks pembangunan, aksi bersama tidak hanya memobilisasi energi


(41)

setempat dan memperbaiki pelayanan publik, tetapi juga mengurangi peluang terjadinya elite capture (Das Gupta et al 2000; 2003). Dalam hal ini elite capture

dipahami sebagai suatu sikap atau tindakan yang dilakukan orang atau sekelompok orang untuk mempengaruhi pembuatan kebijakan atau keputusan agar hasilnya memberikan keuntungan bagi mereka sendiri.

2.4 Institusi dan Kinerja Institusi

Baik Hardin (1968) maupun Ostrom (1990), keduanya menempatkan institusi sebagai titik pusat dari solusi kebijakan dilema pengelolaan sumber daya milik bersama. Dari pendapat berbagai ahli, dapat disimpulkan bahwa institusi adalah tataran dan pola hubungan koordinasi atau instruktif yang bersifat formal dan/atau informal antar pihak yang berkepentingan dan diwadahi dalam sebuah organisasi atau jaringan (Uphoff 1986; Douglas North dalam Gordillo de Anda 1997; Kartodihardjo dan Jhamtani 2006; Rachbini 2006; Pratiwi 2008).

Institusi berperan didalam mengatur perilaku individu dan kelompok dalam rangka pencapaian tujuan bersama yang terkait dengan pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat (Douglas North dalam Gordillo de Anda 1997; Koentjaraningrat 1997; Kartodihardjo dan Jhamtani 2006; Pratiwi 2008). Fungsinya adalah memberikan pedoman bagi perilaku dan menjaga keutuhan masyarakat atau kelompok sosial tertentu (Hayami dan Kikuchi 1981 dalam Suhaeri 2004). Berjalannya peran dan fungsi institusi dapat membentuk struktur masyarakat yang stabil yang mendukung interaksi ekonomi dan sosial dalam rangka mengurangi derajat ketidakpastian dan peningkatan taraf kehidupan mereka (Gordillo de Anda 1997).

Berbagai ahli menyatakan berbagai ukuran keberhasilan suatu institusi dalam mencapai tujuannya atau ukuran kinerja institusi tersebut. Schmid (1987) menyatakan bahwa kinerja institusi diukur oleh siapa mendapat apa? Biaya (cost) siapa yang dipertimbangkan? Pada sekelompok orang kinerja institusi ini dapat dilihat pada tingkat kehidupan, keamanan, kualitas lingkungan, dan kualitas kehidupan secara umum. Kinerja institusi juga dapat dilihat pada distribusi sumberdaya/kekayaan dan kesempatan atau diukur dari kebebasan (bebas melakukan pilihan untuk bertransaksi), pertumbuhan (optimalisasi total dari nilai


(1)

efg hij fklmf knopf k

qr s rt uvwxyz x{ | x{ }} x~ x{

€ ‚ƒ „ …€†…‡ˆ‰ € †‰ € ƒ…Š…‡ˆ‰†‰‰ € ƒ…‹ …„‰ € €y‰ Œ…„…Ž y‰ €† Œ‚ ‹‰ ‹ Ž Œ‰ ‡„‰Ž ƒ‰ € Š … Q-04 tadi, saya sangat sependapat untuk mengakomodir keberadaan tauke didesa sebagai motor penggerak ekonomi khususnya jernang dalam kelompok. Saya tahu bahwa di Desa Lamban Sigatal sudah berdiri kelompok untuk pengembangan budidaya jernang, jadi bila menginginkan kelompok ini kuat maka unsur tauke ini mestilah dimasukkan sebagai anggotanya.

6. Q-06 :

Masyarakat mengetahui jernang ini memang dari suku kubu. Karena punya nilai untuk dijual maka banyak pula masyarakat yang mencari jernang. Biasanya hasil jernang di jual kepada tauke didesaitu. Lalu tauke menjualnya kepada pedagang yang ada datang kedesa atau juga mereka langsung menjualnya kekabupaten. Kalau harga tergantung dari mutu jernang, kalau banyak campurannya maka dihargai murah. Kalau dari infonya harga jernang ini cukup mahal, tapi masyarakat pencari jernang biasanya mendapati harga setengahnya atau kurang dari setengah harga di pasaran.

7. Q-07:

Tataniaga jernang ini sudah dilakukan sejak lama. Berdasarkan informasi dari tokoh masyarakat dan pencari jernang, biasanya jernang di dapatkan dengan mencari kehutan.Modal kehutan ini di biayaioleh tauke di desa, sehingga hasil yang didapat oleh pencari jernang nantinya juga dijual kepada tauke itu. Selanjutnya tauke desa ini akan menjual kepada pedagang atau tauke dari kabupaten yang kemudian dijual lagi kepada pedagang besar yang ada di ibukota provinsi. Dilihat dari harga di setiap penjualan baik dari tauke desa atau tauke kabupaten maka yang didapat oleh pencari jernang ini kurang lebih setengah harga dari yang dijual oleh pedagang yang di kabupaten. Apabila rantai tataniaga ini bisa di persingkat atau dipotong dengan masyarakat bisa langsung menjual kepada pedagang besar maka kemungkinan besar keuntungan bisa didapatkan lebih kepada pencari jernang.


(2)

”•–—˜ ™•š›œ•š žŸ•š   ¡¢£ ¤¥¦§¨©

ª¨©«¨£«¨«¨©£¨¬¨­¡®©¨©¬ y¨ ©¬«¡®­¨¯£¯£¯ ¡¢¨° ¨¤±¨© ²£ ¬¨«¨§ y¨£« ¦ ¥¡­ ¡® ©¨©¬, «¨¦ ³¡¯ ¡¢¨´«¨¦ ³¡ ³¨±¦ ¥¨« ¡© ¯ ¨© «¨¦³¡ ¯£ ¥®µ¶£©¢£. ·¨« ¨©£¨¬¨ £©£ ±¡§ ¦¤ ¡¸£ ¢£ ¡© ³¨® ¡© ¨¤¨ ¢£¹¢¨©¬¨«¤¡©¬¦©« ¦ ©¬ ³¨©±¨¬£¥¡¯ ¨¬¨©¬, ¨¥¨±£§¨®¨©«¨£«¨«¨©£¨¬¨£©£¯ ¨¥¨«¯£¥¡®¢£ ©¬³¨«¯ ¡©¬¨© ¤¡¤¦ « ¦ ¢ ® ¨©«¨£ «¨¦ ³¡ ³¨±¦ ¥ ¨«¡© ¤¨³¨ ¥ ¡¤±¨¬£ ¨© ³¡¦ ©« ¦ ©¬¨© ±£ ¢¨ ¯£ ¯¨¥¨«³¨© µ§¡¹ ¥¡©º¨®£ ­ ¡® © ¨©¬ §¡±£¹±¡¢ ¨®.

  ¡ ±¡® ¨¯ ¨¨© «¨¦ ³¡ ¯ £ ¯ ¡¢¨ ¤¡®¦ ¥ ¨³¨© ¤µ¯¨§ y¨©¬ ¢¡¤¡¢« £©y¨ ¯£ ¨ ³µ¤µ¯£ ® ¦ ©« ¦³ ¥ ¡©¬¡¤±¨©¬ ¨© ³¡§¡¤±¨¬¨¨© ¤¨¢y¨® ¨³¨«.  ¡§µ¤¥µ³ y¨©¬ ¢¦¯ ¨¹ «¡® ±¡©«¦ ³ ¦©« ¦ ³ ¯ ¨¥¨« ¤¡ ¤¥¡®§ ¦ ¨ ¢ ³¡¨©¬¬µ« ¨¨©©y¨ ¯ ¡©¬¨© ¤¡©¬¨­¨³ «¨¦³¡ ¤¡©­ ¨¯£ ¨©¬¬µ« ¨ ¥¡®³¦¤¥¦§¨©.

». ¼¬®µ¸µ® ¡ ¢« ®£ ¨® ¡« -½ ¡® ©¨ ©¬ (¼ -½)

¾. Q-01 :

Kalau berbicara tentang agroforestri sebenarnya masyarakat petani di Sarolangun initelah lama melakukannya. Karena petani setelah menanam karet biasanya menanam juga tanaman lain seperti buah-buahan disekitar pondoknya. Sehingga bila diusulkan untuk menanam rotan jernang di antara tanaman karet yang diusahakan, saya pikir akan sangat membantu, apalagi masyarakat petani di desa Lamban Sigatal sudah ada yang menanamnya. Juga sepengetahuan saya dulu sudah dilakukan penanaman jernang untuk budidaya ini oleh Bapak Bupati. Jadi program ini bias menjadi alternative untuk pembangunan HTR.

2. Q-02:

Benar seperti apa yang dikatakan oleh Q-01, untuk budidaya jernang ini dulu sudah ada dilakukan penanaman oleh Bapak Bupati dengan fasilitas dari Yayasan Gita Buana. Sehingga bila program Agroforestri dengan menanam karet dan jernang, saya pikir akan sangat mudah untuk dapat diterima oleh masyarakat. Untuk itu mungkin perlu didukung dengan pendanaannya oleh pemerintah daerah sebagai modal awal bagi masyarakat untuk melaksanakan program ini.


(3)

ÂÃÄ ÅÆÇ ÃÈÉÊÃ ÈËÌÍÃ È

ÎÏ Ð ÏÑ ÒÓÔÕÖ× ÕØ Ù ÕØ ÚÚ ÕÛ ÕØ

Ü. Q-03 :

Agroforestri karet merupakan kebun campuran yang terdapat dalam kebun karet rakyat. Sebenarnya petani kita pada umumnya sudah melakukan ini walaupun mereka tidak tahu. Karena itu kalau usulan untuk agroforestri karet dengan jernang ini sangat baik menurut saya, karena selain dapat hasil dari karet juga dapat hasil dari jernang atau tanaman lainnya. Tetapi harus juga diperhatikan apakah pola ini tidak menyalahi dari peraturan yang sudah ada.

4. Q-04:

Karet merupakan tanaman yang sudah ditanam dari dulu oleh masyarakat, sedangkan jernang diambil kadangkala juga dari kebun karet rakyat ini karena kebun karet ini sudah menjadi hutan karet karena didalam kebun ini juga banyak dijumpai tanaman kayu hutan selain tanaman yang sengaja ditanam. Jadi, bila diusulkan untuk dikombinasikan tanaman karet dengan jernang yang disebut agroforestri maka akan sangat baik dan ini akan menjadi pilihan yang rasional bagi mereka, selain itu nantinya akan diperoleh tambahan penghasilan. Oleh karenanya masyarakat di desa Lamban Sigatal mengusulkan areal untuk kawasan kelola jernang. Untuk mendukung ini mereka juga telah membentuk kelompok yaitu kelompok Bangko Koneng Jaya, dan yang saya tahu sudah mengadakan pembibitan untuk pengembangan budidaya jernang ini.

5. Q-05 :

Penanaman campuran jenis tanaman dalam satu areal sudah lama dilakukan oleh petani, apalagi didalam kebun karet. Bila diperhatikan disetiap kebun petani banyak ditemukan jenis tanaman lain, ini menggambarkan bahwa pola agroforestri sudah dilakukan oleh mereka. Jadi, apabila pola agroforestri karet-jernang ini di usulkan untuk menjadi salah satu alternative untuk pengembangan HTR maka saya pikir tidak akan sulit untuk diterima oleh masyarakat. Selain itu dengan pola ini maka petani akan mendapatkan penghasilan yang lebih baik dari dua komoditas yang dipasarkan.


(4)

àáâãä åáæçèáæé êëáæ

ìí î íïðñòóôõó ö ÷óö øøóùóö

ú. Q-06 :

Kalau nanam tanaman bermacam-macam di satu areal tanam itu sudah biasa dilakukan oleh petani. Sebenarnya keinginan petani untuk mengembangkan jernang ini karena saat ini untuk mendapatkan jernang sudah jauh keluar desa, sedangkan kita tahu bahwa jernang harganya masih baik sehingga dapat membantu penghasilan keluarga. Tanaman rotan jernang perlu tanaman inang dalam hal ini tanaman berkayu sebagai tanaman untuk tempat

rambatannya. Nah, tanaman karet adalah tanaman yang berkayu juga, karet ini merupakan tanaman yang sudah dikembangkan dari dahulu. Sehingga kalau karet di campurkan penanamannya dengan jernang, ini merupakan usulan yang baik, dan inilah harapan dari petani sehingga mereka mengusulkan kawasan untuk kelola jernang. Petani juga sudah membuat kelompok untuk memperkuat ini, yaitu kelompok Bangko Koneng Jaya. Dengan bantuan kawan-kawan dari LSM Gita Buana maka sudah dilakukan pembuatan peta untuk areal kelola jernang tersebut. Harapan masyarakat mendapatkan izin untuk mendapatkan areal untuk mengembangkan jernang ini.

7. Q-07:

Pengusulan areal untuk kawasan kelola jernang dimaksudkan untuk memberikan kepastian kepada masyarakat terhadap wilayah pemanfaatan kawasan yang kemudian akan dikembangkan dengan penamanan tanaman rotan jernang. Keinginan ini dilator belakangi dari sulitnya untuk mendapatkan jernang di sekitar desa, sedangkan harga jernang bias

mendatangkan keuntungan bagi masyarakat. Dari beberapa kali pertemuan muncul gagasan untuk budidaya ini, kemudian terbentuklah kelompok yang dinamakan Bangko Koneng Jaya. Nama ini dipakai mengambil dari nama wilayah hutan di desa yaitu wilayah Bangko Koneng. Dilihat dari kebutuhan jernang untuk merambatkan

tumbuhnya maka usulan untuk pengembangan dengan karet menjadi pilihan. Ini juga melihat adanya tanaman jernang yang merambat di tanaman karet dan pertumbuhannya baik juga tidak mengganggu tanaman karet.


(5)

þÿ ÿÿ ÿ

, !"#y $ !# -!% % &!' ()% ' "' *% y% "% # # '%' * !+ &"y)# )+'"' "%y ,!" -&.% / # *. 0* % +' " 1' ')' % !%% .! )%%y zin untuk wilayah kelola jernang didalam HTR. Kesimpulan Agroforestry Karet-Jernang menjadi alternatif untuk

pola pembangunan HTR. 5. Menguatkan lembaga

lokal yang dapat berperan pada penguatan akses terhadap perijinan dan pembiayaan pengelolaan HTR pola AK-J.

1. Q-01 :

Kelembagaan lokal memang seharusnya perlu diperkuat. Saya pikir kelompok yang sudah ada di masyarakat perlu juga mengajak unsur lain seperti tauke menjadi unsur anggota. Sehingga dengan adanya tauke ini dapat dimungkinkan lembaga tersebut menjadi lebih kuat lagi. Dengan aksi yang bersama-sama untuk mengusulkan areal di pencadangan HTR, saya pikir ini dapat terlaksana. Untuk dapat membantu ini saya pikir pihak LSM dapat menjadi pendampingnya. 2. Q-02 :

Untuk mendapatkan perizinan maka memang diperlukan kelompok, walaupun usulannya sendiri-sendiri tapi harus juga membentuk kelompok. Oleh karenanya kelompok ini haruslah kuat dan dapat memenuhi semua persyaratan yang diwajibkan dari peraturan perundangan.

3. Q-03:

Saya pikir kelompok memang harus kuat, untuk pengusulan sesuai dengan persyaratan peraturan maka semuanya haruslah bisa dipenuhi.

4. Q-04 :

Kelembagaan lokal sebagai pihak yang pertama dalam pengusulan izin semestinya harus dapat memenuhi semua persyaratan. Bila saat ini belum bisa maka perlu penguatan yang dapat difasilitasi oleh kawan-kawan LSM. Juga mengakomodir kekuatan-kekuatan di tingkat lokal.

5. Q-05:

Saya sependapat dengan kawan-kawan terdahulu dalam hal ini. Kelompok harus kuat dengan pengertian dapat memenuhi persyaratan untuk mendapatkan izin di kawasan pencadangan HTR.


(6)

56789 :6;<=6;> ?@6;

AB C BDEFGHIJH K LHK MMHNHK

O. Q-06 :

Masyarakat sudah membentuk kelompok, tapi saat ini masih terkendala dengan modal kelompok untuk dapat menggerakkan organisasi. Untuk itu perlu penguatan dalam hal ini.

7. Q-07:

Penguatan kelembagaan lokal menurut saya hal yang mutlak, karena dengan kekuatan inilah nantinya mereka dapat berkembang

Kesimpulan Diperlukan upaya untuk memperkuat kelembagaan lokal dengan melibatkan lembaga lain seperti LSM. Pengusulan perizinan untuk HTR diperlukan lembaga lokal atau kelompok yang kuat.