Kepadatan Spora Karakteristik tipe spora
Gambar 13 a Glomus sp
Spora berbentuk bulat, berwarna kuning,
Ukuran 518.54 µm Gambar 13 b
Gigaspora sp Spora berbentuk bulat,
berwarna coklat Ukuran 759.25 µm
Gambar 13 c Acaulospora sp
Spora berbentuk bulat, berwarna coklat
Ukuran 407.43 µm
Tipe spora Karakteristik morfologi
Reaksi dengan Melzer
’s
Gambar 14 a Glomus sp 1
Spora berbentuk bulat, berwarna kuning muda,
permukaan spora halus, mempunyai hyphal
attachment berbentuk lurus
Tidak bereaksi dengan pewarna
Melzer
’s
Gambar 14 b Glomus sp 2
Spora berbentuk bulat, berwarna kuning tua,
permukaan spora halus , tidak mempunyai hyphal
attachment Tidak bereaksi
dengan pewarna Melzer
’s
Gambar 14 c Gigaspora sp 1
Spora berbentuk bulat, berwarna merah
kekuningan, permukaan spora halus
Bereaksi dengan larutan Melzer
’s, terjadi perubahan
warna yang lebih tajam
Gambar 14 d Gigaspora sp 2
Spora berbentuk bulat, berwarna kekuningan,
permukaan spora halus Bereaksi dengan
larutan Melzer ’s,
terjadi perubahan warna. Bagian dalam
spora berwarna kuning muda, dan
bagian luar kuning tua
Gambar 14 a-i. Jenis spora hasil isolasi atas dasar karakterisasi morfologi dan resp
onnya terhadap larutan Melzer’s
Gambar 14 e Gigaspora sp 3
Spora berbentuk bulat, berwarna kecoklatan,
permukaan spora halus Bereksi terhadap
larutan Melzer ’s,
terjadi perubahan warna yang lebih
gelap
Gambar 14 f Acaulospora sp 1
Spora berbentuk bulat, berwarna kecoklatan,
permukaan relatif kasar Bereaksi dengan
larutan Melzer ’s,
terjadi perubahan warna dari
kecoklatan menjadi coklat kemerahan
Gambar 14 g Acaulospora sp 2
Spora berbentuk bulat, berwarna kecoklatan,
permukaan relatif kasar Bereaksi dengan
larutan Melzer ’s,
terjadi perubahan warna. Bagian
dalam spora berwarna kuning
muda
Gambar 14 h Acaulospora sp 3
Spora berbentuk bulat, berwarna coklat muda,
permukaan relatif kasar Bereksi dengan
larutan Melzer ’s,
terjadi perubahan warna. Bagian
dalam spora berwarna
kemerahan
Gambar 14 i Acaulospora sp 4
Spora berbentuk bulat, berwarna coklat,
permukaan relatif kasar Bereksi dengan
larutan Melzer ’s,
terjadi perubahan warna. Bagian
dalam spora berwarna merah tua
Gambar 15. Kolonisasi akar oleh hifa FMA Kultur spora tunggal
Berdasarkan kultur spora tunggal didapatkan bahwa tidak semua tipe spora yang dikulturkan mampu tumbuh dan berkembang dengan baik. Dari sembilan
jenis FMA yaitu dua spesies Glomus, tiga spesies Gigaspora dan empat spesies Acaulospora, hanya empat spesies spora yang mampu tumbuh dan berkembang
dengan baik yaitu satu spesies spora glomus spesies 1, satu spesies Gigaspra spesies 1, satu spesies Acaulospora spesies 3.
Perbanyakan produksi kultur spora tunggal
Tiga spesies spora hasil kultur tunggal diperbanyak sebagai bahan percobaan II. Media yang digunakan zeolit dan sebagai tanaman inang adalah
Pueraria sp. Untuk memperoleh spora tunggal yang cukup banyak diperlukan waktu yang cukup lama, karena banyak spora yang tumbuh tidak sempurna yang
disebabkan oleh gangguan nematoda pada mediumnya. Perkembangan nematoda sangat dipengaruhi oleh jenis air siraman, kelembaban media dan cahaya.
Pembahasan
Kepadatan spora alami pada rizosfer penanaman cabai pada tiga lokasi ditemukan 2-5 spora per 50 g tanah. Hasil ini sangat rendah dibandingkan
dengan kepadatan spora pada lahan penanaman tanaman padi gogo yaitu 4-23 spora g tanah, lahan penanaman ubi kayu 3-31 sporag tanah Iriani 2003, pada
rizosfer kelapa sawit 1-10 sporag tanah Kartika 2006, pada hutan pantai 31-134 spora50 g tanah Delvian 2003, pada rizosfer kelapa sawit 3-104 spora50 g
tanah Widiastuti 2004. Rendahnya kepadatan spora pada rizosfer cabai ini diduga pada saat pengambilan contoh tanah FMA belum bersporulasi, namun
lebih banyak mengandung propagul lain seperti hifa. Kemungkinan lain karena kandungan hara di rizosfer penanaman cabai cukup tinggi. Mansur 2003
menyatakan bahwa jenis dan dosis pupuk akan berpengaruh pada produksi spora. Pupuk P dan N yang tinggi dapat menurunkan kolonisasi dan produksi
spora. Hasil penelitian Ervayenri 1998 menunjukkan bahwa jumlah spora dan propagul infektif FMA di tanah yang terganggu lebih sedikit daripada
yang belum terganggu alami. Demikian juga hasil penelitian Mc Gonigle et al., 1990 dan Zhao et al., 2001 yang mendapatkan bahwa pengolahan tanah justru
dapat mengurangi kolonisasi mikoriza serta tingkat pemupukan yang tinggi juga dapat berpengaruh negatif pada mikoriza.
Kepadatan spora hasil trapping menunjukkan hasil yang cukup tinggi yaitu rata-rata 160 per 50 g media dengan tanaman inang P javanica dan 188 per
50 g media dengan tanaman inang sorgum. Kenaikan kepadatan spora dari kepadatan spora alami cukup tinggisignifikan, hal ini disebabkan karena tanaman
inang sorgum dan Pueraria dan media zeolit yang digunakan sangat baik untuk perkembangan mikoriza. Mansur 2003 menyatakan bahwa jenis inang
yang dapat dipakai untuk perbanyakan inokulum FMA dan terbukti cocok compatible dengan jenis-jenis FMA adalah Pueraria, sorgum, Bahia grass,
jagung, tomat. Perbedaan kepadatan spora pada tanaman inang P javaniva dengan tanaman sorgum adalah kemungkinan adanya perbedaan eksudat yang
dikeluarkan oleh kedua tanaman inang. Eksudat yang dikeluarkan akar mempengaruhi perkecambahan spora dan pertumbuhan hifa FMA yaitu
pembengkakan dan percabangan hifa Giovannetti et al. 1993. Orcutt dan
Nielsen 2000 mengelompokan senyawa organik yang dikeluarkan akar berdasarkan pergerakannya di tanah dibagi tiga kelompok yaitu 1 larut air-dapat
berdifusi, 2 volatil-dapat berdifusi, dan 3 tidak dapat berdifusi. Kemampuan eksudat akar yang volatil menarik tabung perkecambahan lebih tinggi
dibandingkan dengan yang larut air. Hal ini disebabkan eksudat yang volatil dapat menarik tabung perkecambahan pada jarak lebih dari 10 mm, sedangkan
yang larut air aktivitas biologinya hilang pada jarak 1 mm. Selanjutnya ditunjukkan bahwa eksudat volatil yang bukan berasal dari inang menghambat
perkecambahan spora FMA. Hasil trapping menunjukkan bahwa sekurangnya dijumpai sembilan spesies
FMA yang termasuk dalam genus Glomus 2 spesies, genus Gigaspora 3 spesies dan genus Acaulospora 4 spesies. Pada pengamatan secara langsung
hanya dijumpai genus Glomus. Studi ini menunjukkan bahwa dengan trapping FMA potensial dapat ditetapkan. Tanaman inang dapat mempengaruhi populasi
FMA, walaupun FMA tidak spesifik, namun terdapat kesukaan FMA berasosiasi dengan spesies inang tertentu seperti hasil penelitian Bever et al., 2001
menunjukkan bahwa A morrowiae dan A tuburculata lebih berhasil diperbanyak menggunakan inang P phaseoloides dibanding dengan sorgum.
Media zeolit merupakan salah satu media yang baik untuk memproduksi FMA Mansur 2003. Hasil penelitian Basrudin 2005 menunjukkan media
zeolit memberikan rata-rata persentase infeksi Glomus etunicatum yang lebih tinggi, jika dibandingkan dengan media arang sekam. Setiadi 2004 menyatakan
bahwa untuk menghasilkan inokulum yang berkualitas diperlukan media padat yang mempunyai syarat diantaranya: relatif ringan, berpori, mempunyai KTK
tinggi dan tidak berpatogen serta tidak toksit dan mudah tersedia. Media tersebut diantaranya adalah pasir kali, pasir kuarsa, zeolit dan inolit, expanded clay dan
terragreen. Zeolit merupakan mineral aluminosilikat terhidrasi yang mengandung kation-kation alkali dan alkali tanah serta memiliki struktur tiga dimensi berupa
rongga-rongga Ming dan Mumpton 1989. Berdasarkan sifat-sifat tersebut, maka zeolit mampu menyerap dan menjerap unsur hara yang diberikan, yang kemudian
akan dilepas sesuai kebutuhan tanaman sehingga zeolit berfungsi sebagai penyedia pupuk lambat. Media dengan tekstur kasar dan unsur hara yang rendah,
serta mempunyai kapasitas tukar kation tinggi sangat baik sebagai medium tumbuh untuk produksi fungi mikoriza arbuskula.
Berdasarkan kriteria morfologi spora dari INVAM 2006, spora dari contoh tanah lapangan rizosfer tanaman cabai disimpulkan bahwa ada tiga isolat
yaitu Glomus, Gigaspora, Acaulospora. Keanekaragaman genus masih rendahsedikit dibanding hasil penelitian Widiastuti dan Kramadibrata 1992
pada rizosfer jagung dan alang-alang yang ditanam di Layungsari Cianjur yang menemukan empat genus yaitu Glomus, Gigaspora, Acaulospra dan
Entrophospora. Setiadi 2000, menemukan empat genus Glomus, Sclerocystis, Acaulospora dan Gigaspora pada bukit pasir di daerah pantai. Perbedaan genus
ini kemungkinan karena perbedaan lingkungan tumbuh hara tanaman, pemupukan, cahaya dan lain-lain dan juga tanaman inang maupun cara
pengelolaan. Powell dan Bagyaraj 1984 menyatakan bahwa kolonisasi dan sporulasi FMA berkaitan dengan varietas tanaman, spesies FMA dan kondisi
lingkungan misalnya cahaya matahari, suhu. Suhu optimum untuk perkecambahan spora Gigaspora gigantea adalah 30
o
C, sedangkan spora Glomus epigateum adalah 22
o
C. Lebih lanjut Smith dan Read 1997 menyatakan bahwa sporulasi dipengaruhi oleh pertumbuhan tanaman, aplikasi pemupukan dan intensitas
cahaya serta musim pada saat pengambilan contoh tanah. Rendahnya kepadatan spora, kemungkinan juga disebabkan karena tanaman cabai ditanam secara
monokultur. Oehl et al., 2003 menunjukkan bahwa pada rizosfer tanaman yang ditanam secara monokultur mempunyai keragaman spesies yang lebih rendah
yaitu kurang dari 50 dibandingkan dengan ekosistem alami. Tipe spora yang berhasil diperbanyakan dengan spora tunggal menggunakan
tabung reaksi dan petridis hanya 44 empat spesies. Hal ini kemungkinan disebabkan daya adaptasi dari setiap spesies tersebut, dimana tidak semua spesies
spora yang ditemukan mampu beradaptasi pada kondisi lingkungan yang baru. Setiadi 2002 menyimpulkan bahwa produksi spora pada kultur spora tunggal
ditentukan oleh jenis media, tanaman inang, dan ukuran wadah. Media zeolit, tanaman inang, dan wadah berukuran 250 ml merupakan kombinasi terbaik untuk
menghasilkan jumlah spora tertinggi. Menggunakan cawan petri berukuran garis tengah 9 cm dan media gel diperkaya glukosa, Glomus intraradices dapat
diproduksi sekitar 10.000 spora per bulan. Hasil penelitian Bertham 2006 menunjukkan bahwa pembentukan hifa FMA dipengaruhi oleh teknik kulturnya.
Kelompok Glomus lebih cepat membentuk hifa pada kultur cawan petri, akan tetapi hifanya lebih banyak terbentuk pada kultur tabung reaksi. Pembentukan
hifa Gigaspora sp 2 dan Acaulospora sp lebih tinggi pada kultur tabung cawan petri dibandingkan tabung reaksi. Sporulasi umumnya terjadi antara minggu ke 4-
8 setelah pengkulturan dan rerata sporulasi pada FMA lebih banyak pada tabung reaksi. Lambatnya sporulasi pada FMA yang diuji berkaian erat dengan
lambatnya zeolit melepaskan hara fosfat yang dibutuhkan untuk sporulasi FMA. Perkembangan spora setiap spesies FMA berkaitan dengan pH medium
Setiadi 2002. FMA yang diisolasi dari tanah masam cenderung lebih menyukai pH rendah. Perkecambahan spora Acaulospora laevis optimum pada pH 4.5 dan
kapasitas perkecambahan itu akan menurun 10 jika kondisi mediumnya netral atau alkalin Hepper 1984. Sebaliknya Glomus sp menginginkan pH netral
sampai alkalin untuk perkecambahan optimumnya Media zeolit yang digunakan untuk kultur tunggal memiliki pH 7.4. Kondisi tersebut terlalu alkalin untuk
perkembangan FMA asal tanah masam. Faktor lain yang perlu diperhatikan adalah air siraman, hasil penelitian menunjukkan apabila air yang digunakan tidak
murnisteril, maka banyak nematoda berkembang yang mengakibatkan banyak spora yang dimakan. Ada beberapa hal perlu diperhatikan dalam meningkatkan
mutu inokulum yaitu: spesies yang digunakan harus merupakan seleksi murni; inokulum yang diberikan harus dalam bentuk segar; medium dan bahan pembawa
harus steril; tanaman inang yang digunakan adalah tingkat ketergantungan terhadap mikoriza tinggi; memiliki sistem perakaran yang halus dan biomasa
besar; kultur harus terhindar dari kontaminasi dan disimpan pada suhu 5
o
C; jumlah propagul harus selalu ditetapkan sebab jumlahnya berubah-ubah sesuai
dengan inang dan kondisi lingkungan; dan harus sering dilakukan pemurnian Simanungkalit 2004.
. Nusantara et al., 2008 menyatakan produksi dan viabilitas spora
tergantung kepada berbagai faktor biotik dan abiotik. Faktor biotik yang berperan diantaranya adalah spesies fungi, spesies tanaman inang, dan spesies bakteri yang
bersimbiosis dengan fungi mikoriza. Faktor abiotik yang berperan diantaranya
komposisi media, kadar air, pH, kelembaban udara, intensitas cahaya dan metode produksi inokulum. Tanaman inang yang baik adalah: 1 harus dapat beradaptasi
pada keadaan iklim tempat asal FMA, 2 harus tumbuh baik pada media tumbuh, 3 tidak spesifik dengan FMA tertentu saja, 4 mudah diperoleh dan benihnya
mudah berkecambah, 5 tahan terhadap serangan hama dan penyakit.
Simpulan
1. Jenis FMA yang berhasil diisolasi dan diidentifikasi pada rizosfer cabai sebelum dilakukan trapping hanya satu genus yaitu Glomus sp dengan
kepadatan spora 1-350 g tanah. 2. Hasil trapping didapatkan sembilan spesies FMA yaitu Glomus 2 spesies,
Acaulospora 4 spesies, Gigaspora 3 spesies. 3. Jenis FMA yang berhasil diisolasi dan diperbanyak dengan kultur spora adalah
Glomus sp 1, Acaulospra sp 3, dan Gigaspora sp 1.
SELEKSI FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA EFEKTIF DALAM MENINGKATKAN PERTUMBUHAN CABAI
Selection of Effective Arbuscular Mychorrhizal Fungus to Increase Plant Growts Hot Pepper
Abstrak
Keefektifan setiap jenis FMA tergantung pada jenis FMA, jenis tanaman, dan jenis tanah serta interaksi ketiganya. Efektif bermakna kemampuan
menghasilkan efek atau pengaruh menguntungkan tertentu. Tujuan penelitian ini adalah untuk menyeleksimemilih FMA yang efektif meningkatkan pertumbuhan
cabai di tanah Ultisol. Seleksi dilakukan terhadap isolat-isolat hasil kultur spora tunggal dan FMA Mycofer dari laboratorium Bioteknologi Hutan dan
Lingkungan, Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi IPB, Bogor.
Penelitian dilaksanakan di rumah kaca Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Pertanian PPPPTK P,
Cianjur. Rancangan percobaan yang digunakan adalah percobaan faktorial dengan dua perlakuan dan disusun menggunakan Rancangan Acak Kelompok,
dengan tiga ulangan. Faktor pertama adalah jenis FMA yaitu: tanpa FMA, dengan inokulasi FMA indigenous dari rizosfer cabai, Glomus sp 1, Gigaspora sp 1,
Acaulospora sp 3, dan FMA Mycofer. Faktor kedua adalah kultivar cabai yaitu Laris dan Tegar.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa FMA indigenous tunggal Glomus sp 1, Gigaspora sp 1 dan Acaulospora sp 3 maupun Mycofer berperan positif dalam
pertumbuhan bibit cabai. Pada parameter jumlah cabang, panjang akar, bobot kering tajuk dan nisbah tajukakar FMA indigenous tunggal dan FMA Mycofer
tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, sedangkan pada parameter derajat kolonisasi dan bobot kering akar, FMA Mycofer menunjukkan hasil yang lebih
baik. Hal ini diduga disebabkan terjadi kolonisasi akar tanaman yang tinggi oleh inokulum campuran dengan keragaman spesies FMA yang lebih banyak.
Kata kunci: FMA indigenous, keefektifan, kolonisasi, Mycofer
Abtract
The effectiveness of each type of AMF depends on the type of AMF itself, the crop variety and the type of soil, and the interaction among those three things.
Effectiveness means the ability to produce a particular benefit effect or influence. The objective of this research was to select effective AMF for increasing the
growth of hot pepper on the Ultisol soil. Selection was done on to the isolates resulted from a single spore culture and AMF Mycofer from Laboratory of
Biotech Forest and Environment, Research Centre for Biological Resources and Biotechnology IPB, Bogor. The experiment was conducted in green house and
Seed Technology Laboratory, Centre for Development and Empowerment of Teachers and Education Personnel PPPPTK Pertanian Cianjur. Experiment was
arranged in Randomized Block Design with two factors and three replications. The first factor was the provision of AMF inoculation: without inoculation, AMF
inoculation Glomus sp1, Gigaspora sp 1, Acaulospora sp 3, and Mycofer. The second factor was hot peppers cultivars: Laris dan Tegar.
The result showed that indigenous single AMF or Mycofer provided positive impact on seedling growth, and the Mycofer the combination of Glomus
manihotis, Gigaspora margarita, Glomus etunicatum and Acaulospora tuberculata provided higher result on colonization level and root dry weight.
Keywords: AMF indigenous, colonization, effectiveness, Mycofer
Pendahuluan
Mikoriza adalah hubungan simbiotik antara akar tanaman dan fungi tanah tertentu. Simbiosis terjadi pada 83 dikotil dan 79 monokotil spesies tanaman
Swift 2004. Kompatibilitas antara jenis FMA dan tanaman inang adalah kemampuan kedua simbion menggunakan fungsi simbiosis secara maksimal.
Bagi FMA, fungsi tersebut dapat dilihat dari adanya pembentukan dan perkembangan struktur arbuskula dan vesikel di dalam sel-sel akar. Sementara
bagi tanaman inang, fungsi tersebut berupa peningkatan pertumbuhan dan hasil Smith dan Read 1997. Kehidupan dan asosiasi fungi mikoriza bergantung
kepada aliran pasif karbon C dari tanaman inang ke fungi. Sebaliknya, melalui hifanya fungi mikoriza aktif mengalirkan unsur hara khususnya P dan atau
nitrogen N dari dalam tanah untuk memenuhi kebutuhan tanaman. Selain itu, pada kondisi tertentu mikoriza memberikan perlindungan terhadap cekaman
abiotik lengas, suhu, dan bahan beracun dan biotik serangan penyakit serta pembenahan srtuktur tanah. Hal itu menjadikan tanaman lebih bugar dan sehat
sehingga produktivitas meningkat. Inokulasi FMA pada tanaman dapat menggunakan spora atau propagul
campuran. Spora adalah tipe inokulum yang memiliki beberapa kelebihan karena ketahanan yang tinggi terhadap pengaruh fisika dan kimia, dapat disterilisasi
untuk keperluan inokulasi aseptik, dan kemudahan standarisasi. Spora mempunyai dinding yang tebal dan resisten serta mengandung ribuan nuklei, lipid
dan karbohidrat sehingga dapat menyesuaikan diri Smith dan Read 1997. Namun spora juga memiliki beberapa kelemahan, yaitu diperlukan waktu yang
lebih lama untuk menginfeksi karena adanya dorminasi spora. Spora Gigaspora
berkecambah dalam 4-6 hari, sedangkan beberapa spesies yang tergolong Acaulospora memerlukan waktu tiga bulan untuk menjadi matang Smith dan
Read, 1997. Penetrasi FMA dalam akar dan pertumbuhannya di akar melibatkan
serangkaian perubahan morfologi dan fisiologi pada tanaman dan fungi. Menurut Marschner 1995, infeksi akar oleh mikoriza dimulai dari propagul atau dari akar
yang berdekatan dengan tanaman yang sama atau berbeda species tanaman. Propagul mampu menginfeksi akar tanaman inang karena adanya sinyal berupa
eksudat flavanoid dari akar Smith dan Read 1997. Ada tiga faktor yang mempengaruhi infeksi FMA yaitu kepekaan inang terhadap infeksi, faktor iklim
dan faktor tanah Setiadi 1990. Beberapa species tanaman asosiasi dengan mikoriza sangat dibutuhkan. Tingkat ketergantungan bervariasi dengan species
tanaman, morfologi akar, kondisi tanah dan kondisi iklim. Tanaman dengan akar tipis, percabangan yang sedikit, bulu-bulu akar sedikit, biasanya lebih tergantung
dengan mikoriza untuk tumbuh dan berkembang dengan normal Muchovej 2002.
Keefektivan setiap jenis FMA tergantung pada jenis FMA, jenis tanaman, dan jenis tanah serta interaksi ketiganya Brundrett 1996. Setiap jenis tanaman
memberikan tanggap yang berbeda terhadap FMA, demikian juga dengan jenis tanah, berkaitan erat dengan pH dan tingkat kesuburan tanah. Karakteristik fungi
yang menentukan keefektivannya adalah kemampuan untuk menginfeksi akar secara cepat agar mikoriza sudah terbentuk ketika umur tanaman masih relatif
muda. Efektif bermakna kemampuan menghasilkan efek atau pengaruh
menguntungkan tertentu Abbot et al. 1992. Efektivitas simbiosis FMA dapat dinilai berdasarkan kemampuan FMA dalam meningkatkan bobot kering tanaman
dan serapan hara khususnya P Cavagnaro et al. 2003, bertahan hidup pada kondisi lengas rendah Davies et al., 2002, kemampuan tanaman menangkal
patogen Barea et al. 1998 ataupun mengubah sifat-sifat tanah, khususnya agregat mantap air Rillig et al. 2002.
Tujuan penelitian ini adalah untuk memilih FMA yang efektif meningkatkan pertumbuhan cabai di tanah Ultisol. Selanjutnya jenis FMA yang
memiliki efektivitas yang tinggi akan digunakan untuk percobaan 3.
Bahan dan Metode Tempat dan Waktu Pelaksanaan
Penelitian dilaksanakan di rumah kaca Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Pertanian PPPPTK P
Cianjur, Waktu penelitian bulan Oktober - Desember 2008.
Rancangan Percobaan
Rancangan yang digunakan adalah percobaan faktorial dengan dua perlakuan dan disusun menggunakan Rancangan Acak Kelompok RAK tiga
ulangan. Faktor pertama adalah jenis FMA yaitu: tanpa FMA M0, dengan inokulasi FMA indigenous dari rizosfer cabai, Glomus sp-1 M1, Gigaspora sp-1
M2, Acaulospora sp-3 M3, dan FMA Mycofer terdiri atas campuran Glomus manihotis, Gigaspora margarita, Glomus etunicatum dan Acaulospora
tuberculata diperoleh dari laboratorium Bioteknologi Hutan dan Lingkungan, Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi IPB, Bogor M4. Faktor
kedua adalah kultivar cabai, yaitu cabai keriting Laris dari Panah Merah K1 dan cabai keriting Tegar dari Surabumi K2. Percobaan ini terdiri atas 2 x 5 x 3 =
30 satuan percobaan. Data yang diperoleh diuji dengan statistik dengan analisis ragam dan
dilanjutkan dengan uji BNT. Model rancangan yang digunakan adalah: Yijk = µ +
α
1
+ β
1
+ α β
ij
+ ε
ijkk
Yijk = nilai pengamatan untuk faktor A level ke-i, factor B level ke-j dan
pada ulangan ke-k µ
= nilai tengah umum
α
1
= pengaruh factor A pada level ke-i
β
1
= pengaruh factor B pada level ke-j
α β
ij
= interaksi AB pada level A ke-I, level B ke-j
ε
ijk
= galat percobaan untuk level ke-I A, level ke-j B, ulangan ke-k
i =
1,2 j
= 0,1,2,3,4
k =
1,2,3
Pelaksanaan Penyiapan Media Tanam
Tanah dari lapang dibersihkan dari kotoran, dikering-anginkan, digemburkan dan diayak dengan ukuran 2 mm. Tanah tersebut kemudian
disterilkan dengan metode basah yang mengacu pada Anas dan Tampubolon 2004. Tanah dimasukkan dalam plastik tahan panas, kemudian dikukus dalam
outoklaf pada suhu 120 C selama 2 jam. Strerilisasi dilakukan sebanyak dua kali dengan selang waktu 1 hari. Tanah dimasukkan dalam polybag ± 1 kg.
Pembibitan
Benih cabai disemai pada nampan plastik yang dilapisi dengan kertas merang. Setelah benih berkecambah, ditanam ke pot plastik ukuran tinggi 8 cm,
diameter bagian atas 6,5 cm. Media pembibitan adalah campuran tanah dan pupuk kascing organik dengan perbandingan 2:1 dan telah disterilkan dengan metode
basah. Inokulum FMA diberikan kedalam media pembibitan disekitar perakaran bibit dengan takaran 100 spora per bibit 10 gram inokulum.
Penanaman dan Pemeliharaan
Bibit yang berumur 4 minggu, dipindahkan dalam polybag ukuran tinggi 20 cm dan lebar 15 cm masing-masing polibag 1 bibit, kemudian dipelihara dalam
rumah kaca selama dua bulan. Pemeliharaan meliputi penyiraman, pemupukan dan pengendalian hama dan penyakit. Pemupukan hanya menggunakan pupuk
N dan K tanpa pupuk P. Dosis yang digunakan dosis optimal kebutuhan pupuk pada budidaya cabai Alviana 2005 dengan sedikit modifikasi untuk budidaya
dalam polybag yaitu 250 kg Nha, dan 200 kg K
2
0ha atau setara dengan 1.70 g ureapolibag; dan 1.26g Kclpolibag. Aplikasi pupuk dilakukan sebanyak dua
kali, diberikan melingkar tanaman. Pemupukan pertama diaplikasikan sehari sebelum bibit ditanam dengan ratio N 12
K12, sedangkan pemupukan kedua diaplikasikan tiga minggu setelah bibit ditanam dengan ratio N12 K12.
Penyiraman dilakukan setiap pagi sesuai kapasitas lapang. Untuk melindungi tanaman cabai dari serangan hama penyakit dilakukan penyemprotan pestisida
setiap satu minggu sekali dengan dosis 2 g1 air.
Pengamatan Pengamatan tanaman dilakukan untuk parameter derajat kolonisasi dan
pertumbuhan yaitu tinggi tanaman, jumlah cabang, panjang akar, berat kering akar, berat kering tajuk, dan nisbah tajukakar. Waktu pengamatan adalah umur
enam minggu setelah bibit ditanam yaitu: 1. Derajat kolonisasi FMA. Pengamatan kolonisasi akar dilakukan di bawah
mikroskop stereo terhadap preparat akar yang telah dipersiapkan menggunakan metode pewarnaan dengan Trypan blue Brundrett et al. 1996. Akar
terkolonisasi ditandai dengan adanya minimal salah satu dari struktur internal FMA, yaitu hifa internal, arbuskula atau vesikula. Kuantifikasi derajat
kolonisasi FMA menggunakan metode gridline Kormanik dan McGraw 1982 dan dihitung dengan rumus :
Yn Derajat kolonisasi FMA =
Xn Dimana:
Yn = akar yang terinfeksi pada kisi ke-n Xn = akar yang diamati pada sisi ke-n
N = banyaknya kisi-kisi 2. Pengamatan tinggi tanaman dilakukan dari pangkal batang sampai ujung batang.
3. Pengamatan jumlah cabang dilakukan dari cabang primerutama dan cabang sekunder.
4. Pengamatan terhadap panjang akar dilakukan dengan cara mencabut tanaman , kemudian akar diukur dari pangkal hingga ujung akar.
5. Pengamatan terhadap bobot kering akar dilakukan dengan cara mencabut tanaman dan akarnya dibersihkan dari tanah, kemudian dipotong pada bagian
pangkal akar. Bagian akar dikeringkan anginkan terlebih dahulu, kemudian dimasukan dalam oven pada suhu 70
C selama 2 hari
6. Pengamatan terhadap bobot kering tajuk dilakukan dengan cara memotong bagian pangkal akar tanaman. Bagian atas tanaman dikering - anginkan terlebih
dahulu, kemudian dimasukan dalam oven pada suhu 70
o
C selama 2 hari. 7. Nisbah tajuk akar. Dihitung berdasarkan perbandingan bobot kering tajuk dan
bobot kering akar.
Hasil
Hasil analisis ragam menunjukkan tidak ada interaksi antara kedua faktor perlakuan terhadap derajat kolonisasi, tinggi tanaman, jumlah cabang, panjang
akar dan berat kering tajuk, pengaruh bersifat tunggal. Interaksi kedua faktor perlakuan terjadi hanya pada parameter bobot kering tajuk dan nisbah tajukakar
Lampiran 5. Nilai kuadrat tengah derajat kolonisasi, tinggi tanaman, jumlah cabang dan panjang akar ditunjukkan pada Tabel 3.
Tabel 3. Nilai kuadrat tengah tinggi tanaman, jumlah cabang dan panjang akar Sumber
keragamaan Nilai kuadrat tengah pada variabel pengamatan
Derajat kolonisasi
Tinggi tanaman cm
Jumlah cabang
Panjang akar cm
Kultivar K 0.00 tn
86.56 0.13 tn
3.14 Jenis FMA M
7807.39 36.55 tn
22.78 15.53
Interaksi KxM 0.94 tn
18.49 tn 0.22 tn
0.31 tn Keterangan : = berpengaruh nyata; = berpengaruh sangat nyata; tn = tidak
nyata.
Derajat kolonisasi. Kemampuan menginfeksi akar oleh FMA dilihat dari derajat
kolonisasi akar tanaman inang, secara umum semua jenis FMA yang diuji berpengaruh sangat nyata yaitu mampu menginfeksi akar tanaman cabai,
sedangkan perlakuan kultivar dan interaksi FMA dan kultivar tidak berpengaruh nyata. Fungi mikoriza arbuskula Mycofer menunjukkan kemampuan
mengkolonisasi tertinggi yaitu 87.4 Tabel 4.
Tinggi tanaman. Hasil analisis statistik menunjukkan perlakuan kultivar
memberikan pengaruh yang nyata terhadap tinggi tanaman Tabel 3. Kedua kultivar cabai Laris dan Tegar responsif terhadap inokulasi FMA, sedangkan
interaksi FMA – kultivar dan perlakuan FMA tidak berpengaruh secara nyata.
Namun demikian secara fisik terlihat perbedaan tinggi tanaman yang diberi FMA dan tanpa FMA kontrol, perlakuan FMA dapat meningkatkan tinggi 29 Tabel
4.
Jumlah cabang . Perlakuan kultivar dan interaksi antara kultivar dengan FMA
tidak berpengaruh secara nyata, sedangkan perlakuan FMA berpengaruh secara nyata Tabel 3. Pemberian FMA meningkatan jumlah cabang hal ini terlihat
tanaman yang tanpa FMA jumlah cabangnya lebih sedikit dibanding tanaman yang diberi perlakuan FMA, peningkatan sebesar 23 sampai 41. Antara
perlakuan FMA Gigaspora M2, Acaulospora M3, dan Mycofer M4 tidak terdapat perbedaan, sedangkan dengan Glomus M1 ada perbedaan Tabel 4.
Panjang akar. Perlakuan kultivar dan FMA secara tunggal berpengaruh sangat
nyata terhadap panjang akar, sedangkan interaksi kedua perlakuan tidak berpengaruh nyata Tabel 3. Kultivar Tegar K2 memperlihatkan panjang akar
yang lebih baik, sedangkan pada perlakuan FMA menunjukkan Gigaspora sp-1 dan FMA Mycofer menghasilkan panjang akar yang terpanjang yaitu 15.1 cm
Tabel 4.
Bobot kering akar. Perlakuan FMA secara tunggal berpengaruh sangat nyata
terhadap berat kering akar, sedang perlakuan kultivar dan interaksi FMA dengan kultivar tidak berpengaruh nyata Tabel 5. Diantara FMA, Mycofer menunjukkan
hasil yang terbaik yaitu dapat meningkatkan bobot kering akar 229 dari tanpa FMA Tabel 6.
Tabel 4. Pengaruh kultivar dan inokulasi FMA terhadap derajat kolonisasi, tinggi tanaman, jumlah cabang dan panjang akar.
Perlakuan Derajat
kolonisasi Tinggi
Tanaman cm
Jumlah cabang
Panjang akar
cm Kultivar
Laris 64.0
23.8 a 14
14.0 a Tegar
64.0 29.4 b
14 14.7 b
FMA Tanpa FMA
22.2 11 a
11.5 a Glomus sp
75.5 b 28.0
14 b 14.5 bc
Gigaspora sp 79.9 c
26.7 15 c
15.1 c Acaulospora sp
77.2 bc 26.8
15 c 12.3 b
Mycofer 87.4 d
28.8 15 c
15.1 c Keterangan: angka yang diikuti huruf berbeda pada kolom dan perlakuan yang
sama menunjukkan perbedaan yang nyata menurut uji BNT pada taraf 5.
Tabel 5. Nilai kuadrat tengah pengaruh kultivar cabai dan jenis FMA pada bobot kering akar, bobot kering tajuk dan nisbah tajuk akar
Sumber keragaman Nilai kuadrat tengah pada variabel pengamatan
Bobot kering akar Bobot kering
tajuk Nisbah
tajukakar Kultivar cabai K
0.09 tn 4.52
0.82 tn Jenis FMA M
0.17 2.31
0.80 tn Interaksi KxM
0.02 tn 0.51
1.20 Keterangan : = berpengaruh nyata; = berpengaruh sangat nyata; tn = tidak
nyata Tabel 6. Pengaruh jenis FMA terhadap bobot kering akar
Perlakuan Bobot kering akar g
Persentase Peningkatan
Tanpa FMA 0.24 a
FMA Glomus sp 0.37 b
54 FMA Gigaspora sp
0.75 d 200
FMA Acaulospora sp 0.57 c
137 FMA Mycofer
0.79 e 229
Keterangan: Angka yang diikuti huruf berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata menurut uji BNT pada taraf 5.
Bobot kering tajuk.
Perbedaan kultivare cabai mempengaruhi kemampuan jenis FMA dalam meningkatkan pertumbuhan cabai pada media tanah Ultisol. Hal ini
ditunjukkan adanya pengaruh interaksi antara kultivar cabai dan jenis FMA terhadap bobot kering tajuk Tabel 5.
Inokulasi dengan semua FMA Glomus sp, Gigaspora sp, Acaulospora sp dan Mycofer mampu meningkatkan bobot kering tajuk secara sangat nyata
dibandingkan tanpa FMA. Pada kultivar Laris, bobot tajuk tertinggi adalah tanaman yang diinokulasi dengan Gigaspora sp yaitu mampu meningkatkan bobot
107.9 walaupun secara statistik tidak berbeda nyata dengan Glomus sp, Acaulospora sp dan Mycofer, sedangkan pada kultivar Tegar K2, bobot kering
tertinggi adalah tanaman yang diinokulasi Mycofer dan Gigaspora sp yaitu mampu meningkatkan bobot 357.4 Tabel 6.
Nisbah tajukakar . Nilai nisbah tajuk-akar ditentukan oleh pertumbuhan akar
dan tajuk tanaman, apabila akar tumbuh dengan baik umumnya akan diikuti dengan perubahan tajuk yang baik. Nisbah tajukakar menunjukkan keseimbangan
pertumbuhan kedua bagian tanaman tersebut. Interaksi perlakuan FMA dengan kultivar memberikan pengaruh nyata terhadap nisbah tajukakar. Interaksi kultivar
Laris K1 dan kultivar Tegar K2 dengan FMA Mycofer menghasilkan nisbah yang terkecil yaitu 2.38 dan 2.89 Tabel 7.
Tabel 7. Pengaruh interaksi kultivar-FMA terhadap bobot kering akar, bobot kering tajuk dan nisbah tajuk-akar.
Kultivar cabai
Jenis FMA Bobot kering
tajuk g Nisbah
tajukakar
Laris Tanpa FMA
0.76 a 3.59 bc
Glomus sp 1.12 ab
3.04 b Gigaspora sp
1.58 ab 2.61 ab
Acaulospora sp 1.55 ab
2.91 a Mycofer
1.47 ab 2.38 a
Tegar Tanpa FMA
0.61 a 3.81bc
Glomus sp 1.84 ab
4.03 c Gigaspora sp
2.79 b 3.11 abc
Acaulospora sp 2.33 ab
3.80 bc Mycofer
2.79 b 2.89 ab
Keterangan: angka yang diikuti huruf berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata menurut uji BNT pada taraf 5
K1M0 K1M1 K1M2 K1M3 K1M4
Gambar 17. Pengaruh inokulasi FMA pada pertumbuhan kultivar Laris Keterangan : K1 : Kultivar Laris
M0 : tanpa FMA M1 : FMA Glomus sp
M2 : FMA Gigaspora sp M3 : FMA Acaulosspora sp
M4 : FMA Mycofer
K2M0 K2M1 K2M2 K2M3 K2M4
Gambar 18. Pengaruh inokulasi FMA pada pertumbuhan kultivar Tegar Keterangan: K2 : Kultivar Tegar, M0 : tanpa FMA, M1 : FMA Glomus sp
M2 : FMA Gigaspora sp, M3 : FMA Acaulosspora sp, M4 :
FMA Mycofer
Pembahasan
Semua jenis FMA baik FMA indigenous Glomus sp, Gigaspora sp Acaulospora sp maupun Mycofer yang diuji dapat menginfeksi perakaran cabai,
dan jenis FMA Mycofer menunjukkan kemampuan menginfeksi tertinggi pada kedua kultivar cabai yaitu sebesar 87.4 dan terendah adalah Glomus sp sebesar
75.5. Hal ini menunjukkan kesesuaian antara kedua simbion tersebut, tetapi berbeda dengan hasil penelitian Purnomo, 2008 bahwa jenis spora yang tertinggi
menginfeksi cabai adalah Gigaspora margarita, Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi infeksi FMA antara lain perkecambahan spora, pertumbuhan hifa
dan kemampuan infeksi hifa ke dalam akar. Pada parameter jumlah cabang, panjang akar, berat kering tajuk, dan nisbah
tajukakar, inokulasi FMA indigenous tunggal dan FMA Mycofer tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Hal ini mmenunjukkan bahwa FMA
indigenous tunggal mempunyai potensi yang baik. Agar menjadi inokulum yang potensial, perlu dilakukan sreening pada beberapa tanaman inangdan waktu
inokulasi yang berbeda. Pada parameter kering bobot akar dan derajad kolonisasi
inokulasi FMA Mycofer menunjukkan perbedaan yang nyata dengan FMA indigenous tunggal, FMA Mycofer menunjukkan hasil yang lebih baik. Fungi
mikoriza Mycofer pada parameter derajad kolonisasi menunjukkan hasil tertinggi hal ini diduga disebabkan terjadi kolonisasi akar tanaman yang tinggi oleh
inokulum campuran dengan keragaman spesies FMA yang lebih banyak. Seperti di habitat aslinya di Cianjur bahwa tanah di sekitar rizosfer mengandung tiga
jenis mikoriza yaitu Glomus sp, Acaulospora sp dan Gigaspora sp. Disamping itu keefektifan dari tiap spesies FMA dalam inokulum campuran diduga turut
menentukan keefektifannya. Smith et al., 2003 mengemukakan bahwa pada interaksi yang optimum, maka simbiosis FMA dapat menyediakan jalur dominan
untuk penyediaan P tanaman. Selain itu, kondisi optimum bagi FMA yang diintroduksi dapat meningkatkan keefektifannya termasuk kemampuannya
bersaing dengan FMA alami. Hasil penelitian Rainiyati 2007 pada inokulasi gabungan 5 isolat Glomus sp-1, Glomus sp-2, Glomus sp-4, Glomus sp-7,
Glomus sp-9 pada bibit pisang asal kultur jaringan menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan isolat tunggal. Hal ini juga sejalan dengan hasil
penelitian Delvian 2003 bahwa inokulum campuran dua isolat Glomus sp-2 dan Acaulospora sp sp-1; Glomus sp-2 dan Gigaspora sp; Acaulospora sp-2 dan
Gigaspora sp dan inokulum tiga campuran isolat Glomus sp-2, Acaulospora sp- 1 dan Gigaspora sp cenderung lebih efektif dibandingkan isolat tunggal dalam
meningkatkan pertumbuhan tanaman lamtorogung Leucaena leucocephata. Selanjutnya hasil penelitian Kartika 2006 menunjukkan bahwa inokulum
campuran tiga isolat Glomus sp-3a, Acaulospora sp-3a dan Acaulospora sp-5a di media bekas kebun; Glomus sp-1c, Glomus sp-5c, Acaulospora sp-5c di media
tanah gambut bekas hutan lebih efektif dibanding isolat tunggal dalam meningkatkan bibit sawit. Aplikasi inokulum campuran menguntungkan yaitu
dapat meningkatkan hasil berbagai tanaman jagung, kedele, kacang tanah, tomat, padi dan tanaman lainnya dan ketersediaan hara bagi tanaman antara 20 hingga
100 Simarmata dan Herdiani 2004 dengan signifikan. Hal ini diduga disebabkan dalam isolat campuran, masing-masing isolat bekerja secara sinergi
dalam membantu pertumbuhan tanaman. Inokulasi lebih dari satu jenis mikoriza meningkatkan penyerapan P lebih tinggi dibandingkan dengan inokulasi tunggal
Jonh 2000; Jansa et al. 2004. Perbedaan keefektifan isolat FMA sangat dipengaruhi oleh oleh umur saat
pemberian FMA, semakin cepat inokulasi diberikan maka akan semakin cepat akar tanaman berinteraksi dengan FMA. Keefektifan isolat juga sangat
dipengaruhi oleh jenis FMA yang diberikan. Setiadi 2007 menyatakan bahwa tidak semua jenis FMA efektif dalam meningkatan pertumbuhan tanaman.
Penggunaan jenis FMA yang belum teruji, seringkali memberikan hasil yang kurang memuaskan. Penggunaan isolat-isolat yang teruji efektif mutlak
diperlukan. Untuk memperoleh isolat-isolat unggul, biasanya perlu dilakukan dengan cara screening. Beberapa kriteria yang dipakai dalam pemilihan isolat
unggul Dodd dan Thompson 1994, adalah selain efektif juga isolat dapat
beradaptasi dengan lingkungan setempat dimana progam inokulasi akan dilakukan, dapat berkompetisi dengan mikroba tanah, mudah diproduksi secara
masal dan dapat tinggal di lingkungan perakaran tanaman inang. Infektivitas merupakan ukuran seberapa cepat dan seberapa banyak
propagul FMA menginfeksi akar tanaman inang tertentu pada kondisi tertentu. Infektivitas merupakan indikator yang paling mudah dinilai dan dapat dilakukan
sedini mungkin. Berbagai teknik telah dikembangkan untuk mengevaluasi infektivitas inokulum FMA. Evaluasi infektivitas FMA pada umumnya
berdasarkan kepada proses infeksi FMA pada akar tanaman inang. Abbot et al., 1992, menyatakan bahwa efektivitas bermakna kemampuan menghasilkan efek
atau pengaruh menguntungkan tertentu. Efektivitas simbiosis FMA dapat dinilai berdasarkan kemampuan FMA dalam meningkatkan bobot kering tanaman dan
serapan hara khususnya P Cavagnaro et al. 2003, kemampuan tanaman bertahan hidup pada kondisi lengas rendah Davies et al. 2002, kemampuan tanaman
menangkal patogen Barea et al. 1998 ataupun mengubah sifat-sifat tanah, khususnya agregat mantap air Rillig et al. 2002, pada kondisi tertentu. Indikator
yang digunakan mulai dari indikator morfologi sampai molekuler. Simbiosis yang maksimal dicirikan dengan rendahnya senyawa C yang
diberikan ke fungi dan tingginya hara P yang diberikan fungi ke tanaman sehingga ini menyebabkan terjadinya peningkatan pertumbuhan. Phosphor merupakan
unsur penting penyusun subtrat berenergi tinggi ATP, ADP, AMP yang berperan
dalam proses metabolisme tanaman Taiz dan Zeiger 2002 sehingga serapan P tajuk yang tinggi akan meningkatkan metabolisme bibit sehingga diperoleh
pertumbuhan bobot kering bibit yang tinggi. Hasil penelitian menunjukkan nisbah tajukakar pada tanaman yang
bermikotiza lebih rendah daripada tanaman tanpa mikoriza. Dalam hal ini berarti tanaman yang bermikoriza memiliki perkembangan akar yang lebih baik sehingga
mampu menyerap air dan unsur-unsur hara, akibatnya tanaman bermikoriza memiliki pertumbuhan yang lebih baik seperti terlihat pada semua parameter
pertumbuhan. Selain itu dengan mengurangi pertumbuhan tajuk dan meningkatkan pertumbuhan akar merupakan suatu upaya tanaman untuk
memperbaiki keseimbangan dengan mempertahankan kemampuan menyerap air dan bersamaan itu juga akan mengurangi transpirasi.
Kultivar Tegar pada semua parameter tinggi tanaman, jumlah cabang, bobot kering tajuk, bobot kering akar menunjukkan respon yang lebih baik
dibanding Laris. Perbedaan tingkat kompatibilitas ini diduga berbedanya eksudat gula dan asam organik dari akar masing-masing kultivar. Sebagaimana
dikemukakan Gianinazzi-Pearson dan Gianinazzi 1983, perkembangan infeksi FMA di akar berhubungan dengan pembentukan eksudat gula dan asam organik
Orcutt dan Nielsen 2000 mengelompokan senyawa organik yang dikeluarkan akar berdasarkan pergerakannya di tanah dalam tiga kelompok yaitu 1 larut air-
dapat berdifusi, 2 volatil-dapat berdifusi, dan 3 tidak dapat berdifusi. Kemampuan eksudat akar yang volatil menarik tabung perkecambahan lebih
tinggi dibandingkan dengan yang larut air. Hal ini disebabkan eksudat yang volatil dapat menarik tabung perkecambahan pada jarak lebih dari 10 mm,
sedangkan yang larut air aktivitas biologinya hilang pada jarak 1 mm. Selanjutnya ditunjukkan bahwa eksudat volatil yang bukan berasal dari inang
menghambat perkecambahan spora FMA.
Simpulan 1.
Inokulasi FMA baik FMA indigenuos tunggal maupun Mycofer mampu
menginfeksi akar cabai dan berpengaruh nyata terhadap jumlah cabang,
panjang akar, bobot kering tajuk, bobot kering akar dan nisbah tajuk akar.