c 88.7 b c b 72.7 b c A FMA

86.7 atau terjadi peningkatan 35.5 dibanding kontroltanpa inokulasi FMA dan tanpa pemupukan P Tabel 26. Tabel 26. Pengaruh interaksi antara perlakuan inokulasi FMA dan pemupukan P terhadap spontanitas tumbuh benih hasil panen Pemupukaan P Spontanitas tumbuh Persentase peningkatan Tanpa inokulasi FMA Inokulasi FMA Mycofer Tanpa P 2 O 5 64.1 Aa 74.5 Ba 16.2 100 kgha P 2 O 5 73.1 Ab 84.9 Bb 16.1 125 kgha P 2 O 5 75.5 Ac 84.2 Bb 11.6 150 kgha P 2 O 5 79.0 Ad 86.9 Bc 9.9 Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf kapital baris dan huruf kecil kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji BNT 5. KK: 2.4 Kadar N, P dan K benih . Interaksi antara perlakuan kultivar, inokulasi FMA dan pemupukan P berpengaruh nyata terhadap kadar N, P dan K benih. Pada kultivar Laris inokulasi FMA pada semua level pemupukan mampu meningkatkan kadar N, P dan K benih, peningkatan kadar N dan P tertinggi 13.4 dan 83.3 yaitu pada pemupukan P 2 O 5 dosis 125 kgha, dan peningkatan kadar K tertinggi sebesar 12.3 yaitu pada kontrol tanpa pemupukan P. Pada kultivar Tegar inokulasi FMA pada semua level pemupukan tidak mampu meningkatkan kadar N bahkan cenderung menurunkan. Pengaruh inokulasi FMA terhadap kadar P pada pemupukan P 2 O 5 dosis 125 kgha dan 150 kgha tidak berbeda nyata dibanding tanpa FMA bahkan cenderung menurunkan. Sebaliknya terhadap kadar K, inokulasi FMA pada semua level pemupukan meningkatkan dibanding tanpa inokulasi, peningkatan tertinggi sebesar 6 yaitu pada pemupukan P 2 O 5 dosis 150 kgha Tabel 27. Tabel 27. Kadar N, P, K benih kultivar cabai Laris dan Tegar pada perlakuan kultivar, inokulasi FMA dan pemupukan P Kultivar K FMA M Pemupukan P P Kadar N Kadar P Kadar K Laris Tanpa FMA Tanpa P 2 O 5 2.69 a 0.78 a 0.83 b 100 kgha P 2 O 5 2.74 ab 0.83 b 0.81 a 125 kgha P 2 O 5 2.71 a 0.85 b 0.83 b 150 kgha P 2 O 5 2.61 a 0.93 c 0.81 a FMA Mycofer Tanpa P 2 O 5 2.71 a 1.24 d 0.91 g 100 kgha P 2 O 5 2.62 a 1.40 hi 0.82 a 125 kgha P 2 O 5 3.05 b 1.43 i 0.85 c 150 kgha P 2 O 5 2.61 a 1.43 i 0.88 f Tegar Tanpa FMA Tanpa P 2 O 5 2.61 a 1.27 d 0.86 e 100 kgha P 2 O 5 2.72 a 1.36 fg 0.84 c 125 kgha P 2 O 5 2.94 b 1.36 fg 0.84 c 150 kgha P 2 O 5 3.02 b 1.39 h 0.85 d FMA Mycofer Tanpa P 2 O 5 2.60 a 1.32 e 0.83 b 100 kgha P 2 O 5 2.66 a 1.37 g 0.86 e 125 kgha P 2 O 5 2.63 a 1.33 ef 0.86 e 150 kgha P 2 O 5 2.66 a 1.37 gh 0.88 f Keterangan: Angka-angka pada masing-masing kolombaris yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji BNT 5. KK kadar N: 3.1, KK kadar P: 0.87, KK kadar K; 1.8 Serapan N, P dan K . Serapan N, P, K merupakan hasil perkalian kadar N, P, K benih dengan produksi benih yang diperoleh. Interaksi antara perlakuan kultivar, FMA dan pemupukan P berpengaruh nyata terhadap serapan N, P dan K Tabel 28. Pada kultivar Laris maupun Tegar inokulasi FMA pada semua level pemupukan P mampu meningkatkan serapan N, P dan K. Pada kultivar Laris peningkatan serapan N dan P tertinggi masing-masing sebesar 57.7 dan 155.2 pada pemupukan P 2 O 5 dosis 125 kgha, sedangkan peningkatan serapan K tertinggi adalah sebesar 44.3 yaitu pada pemupukan P 2 O 5 dosis 150 kgha. Pada kultivar Tegar peningkatan penyerapan N tertinggi sebesar 61.5 yaitu pada pemupukan P 2 O 5 dosis 125 kgha, peningkatan penyerapan P tertinggi sebesar 69.3 yaitu pada pemupukan P 2 O 5 dosis 150 kgha, walaupun secara statistik tidak berbeda nyata dengan pemupukan P 2 O 5 dosis 125 kgha. Peningkatan penyerapan K tertinggi sebesar 60,6 yaitu pada pemupukan P 2 O 5 150 kgha, walaupun secara statistik tidak berbeda nyata dengan pemupukan P 2 O 5 dosis 100 kgha dan pemupukan P 2 O 5 dosis 125 kgha. Tabel 28. Serapan N, P, K benih kultivar cabai Laris dan Tegar pada perlakuan kultivar, inokulasi FMA dan pemupukan P Kultivar K FMA M Pemupukan P P Serapan N mgtanaman Serapan P mgtanaman Serapan K mgtanaman Laris Tanpa FMA Tanpa P 2 O 5 287.0 a 83.2 a 88.6 a 100 kg P 2 O 5 367.4 b 111.5 b 108.8 bc 125 kg P 2 O 5 377.3 bc 118.4 b 111.6 c 150 kg P 2 O 5 366.1 b 129.4 bc 113.2 bc FMA Mycofer Tanpa P 2 O 5 346.1 b 158.3 d 116.2 c 100 kg P 2 O 5 372.1 b 198.8 e 116.4 c 125 kg P 2 O 5 452.7 def 212.3 e 126.2 c 150 kg P 2 O 5 379.4 cd 207.6 e 127.8 c Tegar Tanpa FMA Tanpa P 2 O 5 290.6 a 141.6 cd 95.9 ab 100 kg P 2 O 5 395.5 bcd 198.0 e 122.3 c 125 kg P 2 O 5 429.4 cdef 198.8 e 122.8 c 150 kg P 2 O 5 425.8 cde 195.8 e 119.8 c FMA Mycofer Tanpa P 2 O 5 374.1 b 189.9 e 119.4 c 100 kg P 2 O 5 458.7 ef 235.9 f 148.1 d 125 kg P 2 O 5 469.3 f 237.0 f 153.2 d 150 kg P 2 O 5 465.5 f 239.7 f 154.0 d Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada masing-masing kolom tidak berbeda nyata berdasarkan uji BNT 5. KK serapan N: 5.85, KK serapan P: 6.3, KK serapan K: 5.3. Efisiensi serapan hara benih. Efisiensi serapan hara, yakni jumlah hara N, P, K yang diserap oleh benih dari sejumlah pupuk N, P, K yang diberikan, berupa nisbah antara jumlah hara N, P, K yang diserap benih dan jumlah hara yang diberikan dalam bentuk pupuk. Hasil analisis efisiensi serapan hara benih secara lengkap disajikan Tabel 29. Inokulasi FMA pada semua level pemupukan P mampu meningkatkan efisiensi serapan hara baik pada kultivar Laris maupun Tegar. Pada kultivar Tegar efisiensi N tertinggi sebesar 29.7 yaitu pada pemupukan P 2 O 5 dengan dosis 150 kgha, efisiensi P sebesar 37.4 yaitu pemupukan P 2 O 5 dengan dosis 100 kgha dan efisiensi K tertinggi sebesar 12.3 yaitu pemupukan P 2 O 5 dengan dosis 150 kgha. Pada kultivar Laris, efisiensi N tertinggi sebesar 28.8 yaitu pemupukan P 2 O 5 dosis 125 kgha, efisiensi P tertinggi sebesar 31.60 yaitu pada pemupukan P 2 O 5 dosis 100 kgha dan efisiensi K tertinggi sebesar 11.1 yaitu pada pemupukan P 2 O 5 dengan dosis 150 kgha. Tabel 29. Efisiensi serapan N, P dan K benih pada interaksi perlakuan kultivar, inokulasi FMA dan pemupukan P Kultivar K FMA M Pemupukan P Efisiensi N Efisiensi P Efisiensi K Laris TanpaFMA Tanpa P 2 O 5 18.3 a 6.9 100 kgha P 2 O 5 24.3 bc 17.3 b 8.8 125 kgha P 2 O 5 24.0 bc 15.0 ab 9.2 150 kgha P 2 O 5 23.3 bc 13.8 a 9.0 FMA Mycofer Tanpa P 2 O 5 22.0 b 9.2 100 kgha P 2 O 5 23.7 bc 31.6 f 9.2 125 kgha P 2 O 5 28.8 def 26.9 de 10.0 150 kgha P 2 O 5 24.2 c 22.1 c 10.1 Tegar Tanpa FMA Tanpa P 2 O 5 18.5 a 8.5 100 kgha P 2 O 5 25.2 c 31.4 f 9.9 125 kgha P 2 O 5 27.3 de 25.2 d 9.7 150 kgha P 2 O 5 27.1 d 20.8 c 9.5 FMA Mycofer Tanpa P 2 O 5 23.8 bc 9.5 100 kgha P 2 O 5 29.2 ef 37.4 g 11.7 125 kgha P 2 O 5 28.8 def 30.0 ef 12.1 150 kgha P 2 O 5 29.7 f 29.0 ef 12.3 Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada masing-masing kolom tidak berbeda nyata berdasarkan uji BNT 5. KK efisiensi N:5.8, KK efisiensi P: 6.3, KK efisiensi K: 5.3. Pembahasan Hasil penelitian menunjukkan inokulasi FMA, pemupukan P dan kultivar baik secara tunggal maupun interaksi mampu meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman serta mampu meningkatkan mutu benih. Peningkatan pertumbuhan dapat dilihat pada peubah tinggi tanaman dan diameter batang. Perlakuan FMA dapat meningkatkan tinggi tanaman 5.5, diameter batang 9.3 dibanding tanpa FMA, peningkatan tinggi tanaman ini tergolong rendah, dimana karakter tinggi banyak dipengaruhi oleh kultivar seperti hasil dari percobaan bahwa terjadi perbedaan tinggi antara kultivar cabai Laris K1 dan kultivar cabai Tegar K2 sebesar 17. Interaksi kultivar dengan FMA dan FMA dengan pemupukan P memberikan pengaruh nyata terhadap parameter produksi: jumlah buah per tanaman, bobot buah per tanaman dan bobot benih pertanaman serta jumlah benih. Inokulasi FMA mampu meningkatkan jumlah buah pada kultivar Laris sebesar 2.7, kultivar Tegar 16.6. Pada bobot buah, inokulasi FMA mampu meningkatkan 30.4 pada kultivar Laris dan 35.8 pada kultivar Tegar, sedangkan pada peubah produksi benih inokulasi FMA mampu meningkatkan 8.4 pada kultivar Laris dan 23 pada kultivar Tegar, pada peubah jumlah benih, inokulasi FMA mampu meningkatkan jumlah benih sebesar 4 pada Laris dan 18 pada Tegar. Pada semua parameter produksi, kultivar Tegar menunjukkan hasil yang lebih baik dibanding Laris, ini menunjukkan bahwa Tegar lebih responsif terhadap FMA atau adanya spesifitas FMA terhadap kultivar cabai. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Bertham 2006 yang menyatakan bahwa dari beberapa varietas kedele, varietas Pangrango yang memberikan respon yang konsisten terhadap FMA. Asosiasi tanaman dengan FMA sangat dipengaruhi oleh eksudat yang dihasilkan oleh akar. Keefektifan eksudat bergantung pada spesies dan kondisi lingkungan. Eksudat yang dikeluarkan akar mempengaruhi perkecambahan spora dan pertumbuhan hifa yaitu pembengkakan dan percabangan hifa Giovannetti et al. 2001. Pengaruh pemupukan P sangat dipengaruhi oleh inokulasi FMA, terlihat bahwa perlakuan pemupukan pada tanaman yang diinokulasi FMA menunjukkan hasil yang lebih baik dibanding tanpa inokulasi pada parameter jumlah buah, produksi buah dan produksi benih. Hasil yang tertinggi diperoleh pada interaksi perlakuan inokulasi FMA dengan pemupukan pada dosis 125 kgha P 2 O 5 , namun secara statistik antara dosis 100 kgha P 2 O 5 dan dosis 125 kgha P 2 O 5 serta dosis 150 kgha P 2 O 5 tidak berbeda nyata. Peningkatan hasil ini menunjukkan bahwa pemberian FMA dapat meningkatkan kemampuan dan efisiensi tanaman dalam menyerap hara P untuk menunjang pertumbuhan dan hasil tanaman. Hal ini didukung juga data pada Tabel 28 dan 29 bahwa tanaman yang bermikoriza, serapan dan efisiensi P lebih besar dari tanaman tanpa FMA pada kedua kultivar dan semua level pemupukan P. Peningkatan serapan P oleh tanaman bermikoriza dapat terjadi secara langsung melalui sistem jalinan hifa eksternal dan tidak langsung yang disebabkan oleh adanya perubahan fisiologis akar yang bermikoriza. Struktur hifa FMA di dalam akar tanaman dan tanah mampu meningkatkan luas areal untuk pertukaran hara dan air antara tanaman dan inang, sehingga mempunyai potensi yang besar untuk meningkatkan serapan dan translokasi hara terutama P ke tanaman. Hal ini sesuai dengan pendapat Smith dan Read 1977 bahwa panjang hifa eksternal dapat mencapai 7-10 mg tanah. Tanaman bermikoriza mampu mengambil P lebih efisien, bahkan mampu mentrasport P dengan jarak yang lebih jauh dari sistem perakaran terlebih pada kondisi deplesi P di rhizosfer Zhu et al., 2001; Dhlamini et al., 2005. Hal ini karena hifa eksternal FMA dapat memncapai 1-20 m per gram tanah Sylvia 2005. Simbiosis mutualistik FMA dan tanaman memberikan keuntungan bagi tanaman yaitu pertumbuhan dan hasil meningkat, memperbaiki kebugaran tanaman atau kemampuan bereproduksi, dan meningkatkan luas permukaan absorbsi hara oleh tanaman karena diameter hifa FMA lebih kecil daripada akar tanaman. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa inokulasi FMA selain meningkatkan serapan P juga meningkatkan serapan N dan K. Peningkatan N pada kultivar Laris sebesar 20.6 - 57.7, pada Tegar 28.7 - 61.5. Peningkatan serapan K, pada kultivar Laris sebesar 33.2 - 44.3, pada Tegar sebesar 24.5 - 60.6. Meningkatnya serapan P tentunya akan diikuti oleh peningkatan penyerapan unsur-unsur lain, karena P akan membentuk ATP yang sangat berguna untuk penyerapan hara mineral. Bago et al. 1996 menyatakan bahwa spora FMA mengandung enzim nitrate-reduktase, sehingga hifa eksternalnya mempunyai kapasitas penyerapan NO 3 - , NH4 + , K dan Mg yang bersifat mobil dalam tanah. Meningkatnya serapan hara N dan P juga dapat disebabkan karena FMA mampu memanfaatkan N dan P organik hasil dari mineralisasi N dan P organik dari dalam tanah atau kompos He et al. 2003. Kolonisasi akar merupakan indikator dari infektivitas FMA. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kolonisasi akar berkorelasi positif dengan peningkatan serapan hara P dan bobot kering biomasa artinya semakin tinggi infeksi, semakin tinggi kemampuan tanaman menyerap P dan menghasilkan bobot kering. Inggrid et al. 2002 dan Widiastuti 2003 menyatakan bahwa fosfatase akar meningkat dengan adanya kolonisasi akar oleh FMA. Aktifitas fosfatase akan meningkatkan transfer P dari fungi ke tanaman. Unsur P merupakan unsur penyusun ATP dan transfer energi dalam reaksi metabolik tanaman, dengan demikian, tingkat fotosintesa tanaman bermikoriza lebih tinggi daripada tanaman tidak bermikoriza Smith dan Pearson, 1988. Kegiatan metabolisme tanaman yang ditunjang oleh energi yang cukup dapat melakukan inisiasi pada organ reproduktif secara berkelanjutan, sebagai hasil akhir adalah biji yang besar dan bobot buah yang meningkat. Fungi mikoriza arbuskula juga berperan sebagai pengendali biologis, meningkatkan ketahanan terhadap cekaman air dan memproduksi hormon dan zat pengatur tumbuh yang berfungsi untuk meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman Hildebrat, et al. 2002. Asam- asam organik yang dihasilkan FMA juga meningkatkan ketersediaan P bagi tanaman Bianciotto et al., 1996. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Rahim 2002 bahwa inokulasi FMA bersamaan dengan pemupukan dapat memberikan hasil yang lebih baik. Santoso M 2009, menyatakan bahwa pemberian pupuk SP-36 yang dikombinasikan dengan pemberian FMA ternyata meningkatkan penyerapan P yang cukup nyata. Hasil berbagai kajian menunjukkan bahwa pemanfaatan CMA mampu meningkatkan produktivitas berbagai tanaman dengan signifikan Setiadi 2004. Inokulasi MVA pada Acacia mangium mampu menghemat penggunaan P 180 kghatahun Setiadi 2000. penelitian Begananda dan Rokhminarsi E 2004, menunjukkan bahwa pemberian FMA dapat mengurangi pemakaian pupuk NP mencapai 30 dari rekomendasi. Viabilitasvigor benih merupakan keadaan fisiologis yang ditentukan oleh faktor genetik dan lingkungan. Salah satu faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap vigor benih adalah kandungan hara khususnya P. Hasil penelitian menunjukkan bahwa inokulasi FMA dan pemupukan P secara tunggal berpengaruh terhadap mutu fisilogis benih daya berkecambah, indeks vigor dan kecepatan tumbuh relatif serta spontanitas tumbuh. Tidak adanya interaksi antara FMA dengan pemupukan P menunjukkan bahwa pengaruh FMA dan pemupukan terhadap mutu fisiologis benih adalah sama yaitu menyediakan unsur hara khususnya unsur hara P. Berpengaruhnya FMA dan pemupukan P terhadap mutu benih adalah berkaitan dengan ketersediaan P, K dan N yang meningkat dimana P akan mengoptimalkan proses fisiologis tanaman seperti fotosintesa dan respirasi, P juga berperan dalam metabolisme asam-amino, transfer energi, aktivator enzim, dan merupakan senyawa penting untuk pembentukan protein dan bahan organik tertentu. Kalium merupakan unsur monovalen esensial bagi tanaman. Peranan utama K dalam tanaman sebagai kofaktor berbagai enzim, pergerakan stomata dan menjaga elektronitas K juga berfungsi penting dalam pembentukan hidrat arang dan K mengotimalkan transportasi unsur hara dan asimilat dari daun keseluruh jaringan, hal ini mengakibatkan fotosintat bertambah dan meningkatkan hasil, demikian pula serapan N yang tinggi oleh tanaman menyebabkan pembentukan protein yang lebih banyak pada benih. Benih dengan kandungan N, P dan protein yang tinggi berkontribusi terhadap tingginya mutu benih. Mutu fisiologis benih diindikasikan oleh kecepatan berkecambah, kekuatan tumbuh benih dan berat kering kecambah. Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian Rifan dkk 2002 yang melaporkan bahwa pemberian FMA dapat meningkatkan KTK tanah, P tersedia, N total tanah, serapan P, pertumbuhan tanaman, jumlah polong bernas dan bobot biji per tanaman. Hasil penelitian Prasetyo 2002 menunjukkan bahwa inokulasi FMA dapat meningkatkan biji kering per tanaman dan per hektar. Gardner et al., 1991 bahwa asam fitat yang merupakan hasil dari metabolit P disimpan lebih besar di biji sebagai cadangan fosfat yang penting untuk kelanjutan generasi berikutnya, artinya dengan adanya kandungan P yang lebih besar, tanaman dapat mendorong terbentuknya biji yang lebih besar atau buah yang lebih berat. Hara- hara yang serapannya terpengaruh oleh adanya FMA adalah N, P, Zn, Cu, dan S Buecking 2005. Hasil penelitian Pujiastuti 2005 menunjukkan bahwa ketersediaan unsur hara NPK mempengaruhi keserempakan tumbuh benih buncis. Dalam Tabel 29 menunjukkan bahwa efisiensi serapan N, P dan K meningkat dengan adanya inokulasi FMA dan pemberian pupuk P. Efisiensi serapan P sebesar 27.0. Efisiensi yang diperoleh pada penelitian ini lebih tinggi dari hasil penelitian Darman 2006 bahwa efisiensi serapan P dari pupuk ekstrak kompos dan pupuk P tanpa mikoriza oleh tanaman kedele hanya diperoleh 8.3-9.6. Begitu juga hasil penelitian Pujiastuti 2005 efisiensi serapan P dari pupuk NPK dan pupuk kandang pada produksi benih tanaman buncis hanya 8. . Meningkatnya efisiensi serapan kemungkinan karena tanaman yang diinokulasi mikoriza mempunyai kemampuan untuk menyerap fosfat yang terikat dalam tanah dan fosfat dari pupuk, sehingga penyerapan P menjadi lebih besar dibanding tanaman yang tidak diinokulasi mikoriza. Hal ini juga didukung oleh hasil penelitian Guntoro 2003 bahwa efisiensi pemupukan P rata-rata 74.2 dari berbagai perlakuan dosis pupuk dan inokulan CMA, Azospirillum pada tanaman Turfgrass. Berdasarkan hasil percobaan, pengaruh pemupukan P meningkat dengan adanya inokulasi FMA, dan antara pemupukan P 2 O 5 dosis 100 kgha, 125 kgha dan 150 kgha tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam mempengaruhi pertumbuhan dan produksi tanaman. Hal ini berarti bahwa dengan pemupukan P 2 O 5 dosis 100 kgha dapat menekan penggunakan pupuk P 2 O 5 sebesar 50 kgha atau setara 138 kg pupuk SP 36 per ha. Selain itu, inokulasi FMA juga menekan penggunaan pupuk N, dimana dalam percobaan ini selain terjadi peningkatan serapan dan efisiensi P juga terjadi peningkatan serapan dan efisiensi N dan K yaitu sebesar 17.2 - 27.8 dan 7.7 - 12.4. Simpulan 1. Inokulasi FMA mampu meningkatkan hasil jumlah dan bobot buah, jumlah dan bobot benih dan inokulasi ini dipengaruhi oleh jenis kultivar cabai dan level pemupukan. 2. Kultivar cabai Tegar menunjukkan respon yang lebih baik dibanding kultivar Laris. 3. Inokulasi FMA pada kedua kultivar cabai dan pemupukan P 2 O 5 mampu meningkatkan serapan hara N, P dan K benih. Pada kultivar Laris serapan N, P, K tertinggi adalah 57.7, 155.2, 44.3, sedangkan pada Tegar 61.5, 69.3, 60.6. 4. Inokulasi FMA dan pemupukan P baik secara tunggal maupun interaksi mampu meningkatkan mutu fisiologis benih daya berkecambah, kecepatan tumbuh relatif, indeks vigor dan spontanitas tumbuh. 5. Inokulasi FMA mampu meningkatkan efisiensi serapan hara N, P dan K benih. Efisiensi serapan N tertinggi sebesar 29.7, efisiensi P tertinggi sebesar 37.4 dan efisiensi K tertinggi sebesar 12.3. 6. Inokulasi FMA pada dosis pemupukan P 2 O 5 100 kgha dapat menghemat pupuk pupuk SP 36 sebanyak 138 kgha atau setara 50 kgha P 2 O 5. TANGGAP TANAMAN TERHADAP INOKULASI INOKULUM FMA INDIGENOUS CAMPURAN DAN INOKULUM FMA MYCOFER Plant Response to Inoculation Inoculum of Indigenous Mixed AMF and Mycofer AMF Abstrak Potensi inokulum adalah kemampuan inokulan untuk mengkolonisasi akar pada suatu kondisi tertentu. Setiap jenis FMA memiliki tingkat keefektifan yang bervariasi terhadap tanaman inangnya, demikian juga dengan tanamannya memberikan tanggap yang berbeda terhadap FMA. Dalam usaha mendapatkan hasil yang optimal dan infeksi yang efektif, maka perlu adanya isolat yang mampu hidup dan dapat beradaptasi dengan kondisi setempat sesuai dengan tanaman lokal tersebut Untuk mendapatkan hasil yang memuaskan sebaiknya digunakan isolat-isolat lokal terseleksi yang dapat dikembangkan sendiri. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji keefektifan inokulum FMA indigenous campuran dan inokulum FMA Mycofer dalam meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman. Penelitian dilaksanakan di laboratorium Bioteknologi Hutan dan Lingkungan, Pusat Penelitian Sumber Daya Hayati dan Bioteknologi IPB, Bogor, rumah kaca PPPPTK Pertanian Cianjur. Rancangan percobaan menggunakan rancangan Petak Terbagi Split Plot, dalam pola Rancangan Acak Kelompok dengan tiga ulangan. Petak utama adalah kultivar cabai: Laris dan Tegar. Anak petak adalah inokulasi FMA: tanpa inokulasi, inokulasi FMA Mycofer, dan inokulasi FMA indegenous campuran Glomus sp, Gigaspora sp dan Acaulospora sp. Hasil penelitian menunjukkan bahwa FMA indigenous campuran dan FMA Mycofer berpengaruh nyata terhadap peningkatan pertumbuhan tinggi tanaman, diameter batang dan produksi jumlah buah, bobot buah, bobot benih dan kedua menunjukkan potensi yang sama. Kata kunci: Kultivar cabai Abstract Inoculum potential is the ability of inoculants to colonize the roots at a certain condition. Each type of FMA has a varied level of effectiveness of the host plant, as well as the plants provide a different response to the FMA. In an attempt to obtain optimal results and an effective infection, it is necessary to isolate that is able to live and be able to adapt to local conditions in accordance with local plants is to obtain satisfactory results should be used locally selected isolates that can be developed. The purpose of this study was to assess the effectiveness of mixed inoculum of indigenous AMF and AMF inoculum Mycofer in promoting growth and crop yield. The experiment was conducted in laboratory Forestry and envirument IPB and geenhouses Centre for Development and Empowerment of Teachers and Education Personne, Cianjur. Experiment was arranged in DividedSplit plots in the pattern of Randomized Block Design, with two treatments and three replications factor. The main plot is cultivare hot peppers: Laris and Tegar. Sub plot is AMF inoculant: without inoculation, AMF inoculation Mycofer 100 spores seeds M2, and AMF inoculation mix indigenous. The results show that inoculation of Mycofer AMF and mixed indigenous AMF increased the number of fruit, fruit weight and seed weight on Laris and Tegar. Both of AMF have same effectiveness. Key words: hot pepper cultivare Pendahuluan Pengujian FMA indigenous Glomus sp, Acaulospora sp, Gigaspora sp dan Mycofer pada percobaan sebelumnya percobaan 2 menunjukkan bahwa keempat FMA tersebut mampu mengkolonisasi akar cabai dan meningkatkan pertumbuhan tanaman secara nyata dibanding tanpa inokulasi Pada peubah derajat kolonisasi dan berat kering FMA Mycofer menunjukkan hasil yang lebih baik dibanding dengan ketiga FMA indigenous. Kefektifan FMA Mycofer kemungkinan disebabkan karena FMA Mycofer merupakan FMA campuran dari Glomus manihotis, Gigaspora margarita, Glomus etunicatum dan Acaulospora tuberculata. Oleh karena itu pada percobaan ini percobaan 4 FMA indigenous tunggal Glomus sp, Gigaspora sp dan Acaulospora sp dicampur untuk mengetahui keefektifannya dibanding dengan FMA Mycofer. Simanungkalit 2004, menyatakan bahwa potensi inokulum adalah kemampuan inokulan untuk mengkolonisasi akar pada suatu kondisi tertentu. Potensi inokulum pada inokulan campuran sering dinyatakan sebagai jumlah spora per satuan bobot inokulan tersebut. Setiap jenis FMA memiliki tingkat keefektifan yang bervariasi terhadap tanaman inangnya. Demikian juga dengan tanamannya memberikan tanggap yang berbeda terhadap FMA. Dalam usaha mendapatkan hasil optimal dan infeksi yang efektif maka perlu adanya suatu isolat yang mampu hidup dan dapat beradaptasi dengan kondisi setempat sesuai dengan tanaman lokal tersebut. Untuk mendapatkan hasil yang memuaskan sebaiknya digunakan isolat-isolat lokal terseleksi yang dapat dikembangkan sendiri. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan penggunaan inokulum mikroba di dalam tanah untuk dapat hidup dan berkembang yaitu: faktor inokulum, tanah, vegetasi, iklim dan kompetensi di lingkungannya. Percobaan ini bertujuan untuk menguji keefektifan FMA indigenous campuran dan FMA Mycofer dalam meningkatkan pertumbuhan dan produksi cabai. Bahan dan Metode Tempat dan Waktu Penelian ini dilaksanakan di laboratorium Bioteknologi Hutan dan Lingkungan, Pusat Penelitian Sumber Daya Hayati dan Bioteknologi IPB, Bogor, rumah kaca PPPPTK Pertanian Cianjur. Penelitian berlangsung dari bulan Oktober 2009 hingga Maret 2010 Rancangan Percobaan Percobaan menggunakan Rancangan Petak Terbagi Split Plot, dalam pola Rancangan Acak Kelompok RAK dengan tiga ulangan. Petak utama adalah kultivar cabai yaitu cabai keriting Laris K1, cabai keriting Tegar K2. Anak petak adalah inokulasi FMA yaitu: tanpa inokulasi M0, inokulasi FMA Mycofer M1, inokulasi FMA indigenous campuran Glomus sp, Gigaspora sp dan Acaulospora sp. Percobaan terdiri atas 2x3x3 =18 satuan percobaan. Setiap satuan percobaan 5 polibag. Data yang diperoleh diuji secara statistik dengan analisis ragam dan dilanjutkan dengan uji beda nyata. Pelaksanaan Percobaan Perbanyakan FMA indigenous Perbanyakan FMA indigenous dimaksudkan untuk memperoleh spora dalam jumlah yang banyak yaitu dengan cara mencampur spora tunggal hasil dari percobaan I. Prosedur perbanyakan sama dengan prosedur perbanyakan spora tunggal pada percobaaan I yaitu media perbanyakan menggunakan zeolit, tanaman inang menggunakan Pueraria javanica, tanaman dipupuk dengan pupuk Hyponex dengan konsentrasi 1 g2 l air, dilakukan satu minggu sekali. Penyiapan bibit Pembibitan cabai menggunakan pot plastik ukuran 250 ml. Pot diisi media campuran tanah dengan kascing kotoran cacing dengan perbandingan 4:1. Media dibasahi dan dibuat lubang dengan kedalaman ± 3 cm. Inokulum FMA sebanyak 10 gram 100 spora dimasukan kedalam lubang tersebut, kemudian di atas inokulum tersebut ditanami benih yang sebelumnya telah dikecambahkan terlebih dahulu. Pemeliharaan bibit meliputi penyiraman, pemupukan dan pengendalian hama dan penyakit. Persiapan media tanam Media tanam merupakan campuran dari tanah lokasi penanaman cabai yang telah disterilkan dengan metode basah dengan cascing dengan perbandingan 9:1. Polibag yang digunakan untuk penanaman ukuran panjang 55 cm, lebar 40 cm dan tebal 0,12 mm. Volume media tanam per polibag ±10 kg tanah Penanaman Bibit yang telah memiliki empat sampai dengan enam helai daun atau sudah berumur 30 hari setelah semai siap ditanam. Langkah-langkah penanaman adalah; membuat lubang tanam pada media tanam yang telah disiapkan, permukaan media pembibitan sedikit dipadatkan, kemudian bibit dicabut berserta seluruh medianya dan selanjutnya ditanamkan pada lubang tanam yang telah disiapkan. Pemeliharaan Pemeliharaan tanaman meliputi penyiraman, pemupukan serta pengendalian hama dan penyakit. Penyiraman menggunakan air bersih, dilakukan setiap pagi sesuai dengan kapasitas lapang. Pupuk yang diberikan berupa pupuk N, P dan K dengan dosis 250 kg pupuk N, 125 kg pupuk P 2 O 5 , dan 200 kg pupuk K 2 O. Pupuk P diberikan pada saat tanam, sedangkan pupuk N dan K diberikan pada tanaman berumur 50 HST dan 90 HST. Penyendalian hama dan penyakit dilakukan secara mekanis, sedangkan pengendalian dengan pestisida dilakukan satu bulan sekali. Pengamatan Peubah yang diamati adalah parameter pertumbuhan dan parameter produksi. Parameter pertumbuhan meliputi tinggi tanaman dan diameter batang diamati pada tanaman 10 minggu setelah tanam dan jumlah tanaman contoh lima tanaman. Parameter produksi meliputi jumlah buah, bobot buah dan bobot benih. 1. Tinggi tanaman cm. Pengukuran dilakukan dari permukaan tanah sampai pucuk dari cabang yang tertinggi pada saat tanaman berumur 10 minggu setelah bibit ditanam dalam polibag 2. Diameter batang cm. Pengamatan dilakukan pada saat tanaman berumur 10 minggu setelah bibit ditanam dalam polibag 3. Jumlah buah per tanaman. Jumlah buah diperoleh dari beberapa tahapan pemanenan yaitu 6 – 8 kali pemetikan 4. Bobot buah per tanaman. Buah diperoleh dari beberapa tahapan pemanenan yaitu 6 – 8 kali kali pemetikan 5. Bobot benih. Benih diambil dari buah yang sehat, dan panjang buah lebih dari 10 cm Hasil Rekapitulasi hasil percobaan menunjukkan bahwa FMA berpengaruh nyata terhadap peningkatan pertumbuhan dan produksi cabai keriting baik pada kultivar Laris maupun Tegar. Tidak terjadi interaksi antara kultivar dengan FMA baik pada paremeter pertumbuhan tinggi tanaman dan diameter batang maupun terhadap parameter produksi jumlah buah, bobot buah, bobot benih, dapat dilihat pada Lampiran 7. Parameter pertumbuhan tinggi tanaman, diameter batang Fungi mikoriza arbuskula Mycofer dan indigenous berpengaruh nyata dalam meningkatkan tinggi tanaman dan diameter batang kultivar Laris dan Tegar dibanding tanpa inokulasi, namun antara FMA Mycofer dan FMA indigenous campuran baik pada peubah tinggi tanaman maupun diameter batang tidak berbeda nyata. Inokulasi FMA Mycofer meningkatkan tinggi tanaman sebesar 27.9, diameter batang sebesar 33, sedangkan FMA indigenous campuran meningkatkan tinggi tanaman sebesar 27.2, diameter batang sebesar 40. Tabel 30. Respon tinggi tanaman dan diameter batang kultivar Laris dan Tegar akibat pengaruh inokulasi FMA Mycofer dan FMA indigenous campuran Perlakuan kultivar FMA Rataan kultivar Tanpa FMA M0 FMA Mycofer M1 FMA indigenous M2 Tinggi Tanaman cm Laris 81.9 106.9 107.2 98.6 a Tegar 85.7 107.6 106.1 100.1 a Rataan FMA 83.8 a 107.2 b 106.6 b Diameter Batang Laris 1.0 1.3 1.4 1.2 a Tegar 1.0 1.4 1.4 1.3 a Rataan FMA 1.0 a 1.3 b 1.4 b Keterangan: Angka-angka diikuti huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji BNT 5. Parameter produksi jumlah buah, bobot buah, bobot benih Hasil analisis ragam nenunjukkan bahwa tidak ada interaksi antara perlakuan kultivar dengan inokulasi FMA, pengaruh perlakuan bersifat tunggal. Inokulasi FMA berpengaruh nyata terhadap semua parameter produksi jumlah buah, bobot buah, bobot benih sedangkan perlakuan kultivar tidak berpengaruh nyata. Fungi mikoriza arbuskula indigenous berpotensi lebih baik dibanding FMA Mycofer, hal ini ditunjukkan dengan peningkatan hasil yang lebih tinggi dibanding FMA Mycofer. Inokulasi FMA indigenous mampu meningkatkan jumlah buah 65.3, bobot buah 73.8, bobot benih 65.2, sedangkan FMA Mycofer meningkatkan jumlah buah 62.3, bobot buah 70.4 dan bobot benih 61.7. Tabel 31. Respon jumlah buah, bobot buah dan bobot benih per tanaman kultivar Laris dan Tegar akibat pengaruh inokulasi FMA Mycofer dan FMA indigenous campuran Perlakuan kultivar FMA Rataan kultivar Tanpa FMA M0 FMA Mycofer M1 FMA indigenous M2 Jumlah Buah Laris 63.2 103.9 105,7 90.9 a Tegar 69.2 110.5 113.1 97.6 a Rataan FMA 66.2 a 107.2 b 109.4 b Bobot Buah gram Laris 133.9 231.7 235.6 200.4 a Tegar 146.8 246.4 252.2 215.1 a Rataan FMA 140.3 a 239.1 b 243.9 b Bobot Benih gram Laris 15.0 24.7 25.1 21.6 b Tegar 16.4 26.2 26.8 23.2 b 15.7 a 25.4 b 25.9 b Keterangan: Angka-angka diikuti huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji BNT 5. Pembahasan Hasil penelitian menunjukkan bahwa inokulasi FMA Mycofer maupun FMA indigenous campuran berpengaruh nyata terhadap peningkatan pertumbuhan maupun produksi buah dan benih cabai. Fungi mikoriza arbuskula indigenous campuran menunjukkan potensi yang lebih baik dibanding FMA Mycofer walaupun secara statistik tidak berbeda nyata. Berbeda dengan hasil percobaan 2 yang menunjukkan FMA Mycofer lebih baik dibanding FMA indigenous tungggal Glomus sp, Gigaspora sp, Acaulospora sp. Hal ini membuktikan bahwa FMA campuran baik dari Mycofer maupun indigenous lebih baik dari inokulasi FMA tunggal. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian peneliti-peneliti sebelumnya yaitu aplikasi inokulum campuran dapat meningkatkan hasil berbagai tanaman jagung, kedele, kacang tanah, tomat, padi dan tanaman lainnya dan ketersediaan hara bagi tanaman antara 20 hingga 100 Simarmata dan Herdiani 2004 dengan signifikan. Hal ini diduga disebabkan dalam isolat campuran, masing-masing isolat bekerja secara sinergi dalam membantu pertumbuhan tanaman. Inokulasi lebih dari satu jenis mikoriza meningkatkan penyerapan P lebih tinggi dibandingkan dengan inokulasi tunggal Jonh 2000; Jansa et al. 2004. Mansur 2002 mengemukakan bahwa isolasi FMA dari tanaman lokal akan lebih efektif untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman lokal tersebut dari pada digunakan isolat dari luar daerah tersebut. Hal ini disebabkan karena FMA adalah mahluk hidup dengan daya adaptasi terhadap inang dan lingkungan yang relatif spesifik, sehingga untuk mendapatkan hasil yang memuaskan sebaiknya digunakan isolat-isolat lokal terseleksi yang dapat dikembangkan sendiri. Kemampuan beradaptasi inokulum FMA indigenous terhadap lingkungannya tidak diragukan lagi, karena FMA tersebut telah menunjukkan kemampuannya untuk bertahan hidup pada lingkungan tersebut, hanya saja keefektifannya dalam mendukung pertumbuhan terkadang belum optimal. Untuk mendapatkan FMA indigenous campuran yang efektif perlu screening. Beberapa kriteria yang dipakai dalam pemilihan isolat unggul adalah selain efektif, isolat tersebut dapat beradaptasi dengan lingkungan setempat dimana progam inokulasi akan dilakukan, dapat berkompetisi dengan mikroba tanah, mudah diproduksi secara masal dan dapat tinggal persisten di lingkungan perakaran tanaman inang Dodd dan Thompson 1994. Keefektifan FMA berkaitan erat dengan berbagai faktor lingkungan tanah abiotik konsentrasi hara, pH, kadar air, temperatur, pengolahan tanah, dan penggunaan pupuk atau pestisida, faktor biotik interaksi mikroba, spesies fungi, tanaman inang, tipe perakaran tanaman inang, dan kompetensi antar fungi mikoriza. Dalam upaya untuk menghasilkanmempertahankan inokulan bermutu perlu memperhatikan hal-hal berikut: 1 Spesies-spesies FMA yang digunakan dalam formulasi inokulan tersebut harusnya sudah merupakan hasil seleksi dan murni, 2 inokulan multispesiesmultistrain haruslah diformulasikan segar pada setiap kali produksi inokulan, 3 medium tumbuhbahan pembawa inokulan haruslah disterilisasi, untuk menghindari terjadinya kontaminasi, 4 ruang kultur dan alat-alat yang dipakai dalam pembuatan inokulan harus tetap dijaga steril, 5 tanaman yang digunakan sebagai tanaman inang haruslah tanaman yang ketergantungannya kepada mikoriza tinggi dan memiliki sistem perakaran yang halus dan biomasa yang besar, 6 kultur perbanyakan harus dihindari dari kontaminasi setelah tajuk tanaman inang dipanen, 7 jumlah propagul ditetapkan setiap kali produksi inokulan, karena jumlah ini dapat berubah-ubah sesuai dengan pertumbuhan tanaman inang, dan kondisi lingkungan. Jumlah inokulan yang diberikan setiap kali disesuaikan dengan jumlah propagul inokulan yang bersangkutan, sehingga dosis yang diberikan bisa berubah sesuai dengan jumlah propagul yang terkandung pada inokulan tersebut, 8 pemurnian spesies FMA yang digunakan untuk inokulan tersebut perlu dilakukan secara periodik, agar inokulan tersebut tetap mengandung spesies yang dimaksud, 9 mutu inokulan FMA cepat menurun, karena itu sebaiknya disimpan pada suhu 5 C Simanungkalit 2004. Simpulan 1. Inokulasi FMA indigenous campuran dan FMA Mycofer mampu meningkatkan pertumbuhan dan produksi buah dan benih. 2. Potensi FMA indigenous campuran cenderung lebih baik dari FMA Mycofer. . PEMBAHASAN UMUM Pengembangan cabai pada tanah Ultisol di Indonesia sangat besar mengingat luas tanah Ultisol lebih kurang 45.8 juta ha atau 24 luas daratan Indonesia Subagyo et al. 2000, namun penggunaan tanah ini menghadapi beberapa kendala antara lain kandungan bahan organik rendah, bereaksi asam sehingga ketersediaan unsur hara khususnya fosfor P sangat rendah. Fosfor merupakan unsur makro yang sangat penting untuk pertumbuhan dan produksi tanaman. Unsur tersebut berfungsi sebagai penyusun metabolit dalam senyawa kompleks, sebagai aktivator, kofaktor atau penyatu enzim dan berperan dalam proses fisiologis serta merupakan substrat kunci dalam metabolisme energi dan biosintesis asam nukleik. Fosfor cenderung terkonsentrasi dalam biji dan titik tumbuh perkembangan akar serabut. Kekurangan unsur ini bagi tumbuhan dapat berakibat fatal yaitu tanaman umumnya pendek, berbunga lebih lambat, saat panen lambat, dan benih yang dihasilkan mempunyai status vigor yang rendah. Upaya untuk meningkatkan ketersediaan P dilakukan dengan pemupukan P dan pemberianpenginokulasi mikoriza. Fungi mikoriza arbuskula membentuk hubungam simbiosis mutualistis yang saling menguntungkan dengan perakaran tanaman. Prinsip kerja dari FMA adalah menginfeksi sistem perakaran tanaman inang, memproduksi jalinan hifa secara intensif sehingga akar tanaman bermikoriza akan mampu meningkatkan luas zona eksploitasi hingga 20 kali serta meningkatkan kapasitas penyerapan unsur hara terutama P dan air secara signifikan Hildebrant, et al. 2002. Keanekaragaman FMA di setiap ekosistem berbeda, tergantung kepada jenis tanaman yang tumbuh, jenis dan kesuburaan tanah, suhu, cahaya dan kelembaban serta pengelolaan tanaman pengolahan tanah, pemupukan, pengendalian hama dan penyakit. Rizosfer merupakan suatu daerah yang dipengaruhi oleh perakaran tumbuhan. Daerah ini dicirikan oleh aktivitas mikroba yang tinggi, terutama bakteri dan fungi. Meningkatnya aktivitas mikroba di rizosfer disebabkan oleh tersedianya unsur hara tambahan di daerah tersebut. Unsur hara tersebut dapat berasal dari eksudat akar, sisa rambut akar, bagian tudung akar dan sel epidermis yang terkelupas. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa asosiasi FMA dengan cabai terjadi pada semua lahan penanaman cabai yang diamati. Secara alami pada rizosfer cabai ditemukan satu jenis FMA dengan kerapatan yang rendah yaitu 2-5 spora per 50 g tanah. Hasil trapping menunjukkan bahwa sekurangnya dijumpai sembilan spesies FMA yaitu dua spesies dari genus Glomus, tiga spesies dari genus Gigaspora dan empat spesies dari genus Acaulospora, dengan kerapatan spora 143-185 per 50 g tanah dengan tanaman inang P javanica dan 158-202 dengan tanaman inang sorgum. Dalam penelitian ini ditunjukkan bahwa dengan trapping maka FMA potensial dapat ditetapkan. Tanaman inang dapat mempengaruhi populasi FMA, demikian pula dengan komposisi media dan lingkungan akan sangat berpengaruh terhadap pengembangan spora. Bever et al., 2001 menyatakan bahwa walaupun FMA dikatakan tidak spesifik namun terdapat kesukaan FMA berasosiasi dengan spesies tertentu. Genus Acaulospora lebih dominan dibanding dengan genus Glomus dan genus Gigaspora. Hal ini kemungkinan karena kondisi tanah dan lingkungan sangat cocok untuk pengembangan Acaulospora. Hasil penelitian Treseder dan Allen 2002 mendapatkan bahwa jumlah Scutellospora lebih sedikit pada tanah yang mendapat pemupukan N daripada pemupukan P, sementara Glomus lebih tinggi pada tanah yang subur, Gigaspora dan Acaulospora tidak berbeda pada lingkungan yang berbeda. Sebagian besar FMA bersifat acidophilic senang kondisi masam dengan kisaran pH 3,5-6,0, untuk Gigaspora sp dapat tumbuh dan berkecambah dengan baik pada pH 4-6 dan Glomus secara umum pada pH 6-8, pada keadaan aerobik, mesothermal dengan kisaran suhu optimal 22-30 o C, menyukai kelembaban kurang dari 80 dan tidak suka cahaya Pelezar dan Chan 1986. Cahaya dan temperatur merupakan unsur iklim yang sangat mempengaruhi proses infeksi mikoriza arbuskula. Temperatur optimum bagi perkembangan spora Gigaspora sp adalah 25-34 o C dan Glomus sp adalah 18-22 o C Setiadi 1989. Perkembangan FMA juga berhubungan dengan partikel tanah. Glomus berkembang baik pada tanah dengan tekstur yang baik, subur dan pH tinggi, Acaulospra laevis dengan tekstur kasar, pH asam, Gigaspora pada tanah pasir Bagyaraj 1991. Keanekaragaman FMA juga dipengaruhi oleh pola tanam. Sieverding 1991 dan Oehl et al., 2003 menyatakan bahwa pengusahaan tanaman secara monokultur menyebabkan penurunan keragaman dan populasi FMA. Keefektifan setiap jenis FMA tergantung pada jenis FMA, jenis tanaman, dan jenis tanah serta interaksi ketiganya Brundrett 1996. Setiap jenis tanaman memberikan tanggap yang berbeda terhadap FMA, demikian juga dengan jenis tanah, berkaitan erat dengan pH dan tingkat kesuburan tanah. Uji efektivitas tiga jenis FMA indigenous Glomus sp, Gigaspora sp, Acaoluspora sp dan FMA dari Mycofer campuran Glomus manihotis, Gigaspora margarita, Glomus etunicatum dan Acaulospora tuberculata terhadap pertumbuhan cabai menunjukkan bahwa semua FMA yang diuji adalah efektif meningkatkan semua parameter pertumbuhan, dan FMA dari Mycofer cenderung lebih baik , ditunjukkan dengan hasil pengukuran derajat kolonisasi dan berat kering akar yang berbeda nyata dengan FMA indigenous tunggal. Hal ini menunjukkan bahwa FMA Mycofer merupakan FMA yang telah teruji yaitu bisa berkembang optimal pada lingkungan baru, sedangkan FMA indigenous walaupun berasal dari tempat asalnya, tetapi belum bisa menunjukkan perkembangan yang optimal. Fungi mikoriza arbuskula indigenous masih belum stabil dengan perubahan lingkungan hidupnya yaitu dari lapangan ke kondisi rumah kaca. Untuk memperoleh isolat- isolat unggul yang efektif perlu dilakukan dengan cara screening. Kriteria isolat unggul adalah: 1 efektif dalam mempengaruhi perkembangan tanaman, 2 dapat beradaptasi dengan lingkungan setempat, 3 dapat berkompetisi dengan mikroba tanah, 4 mudah diproduksi secara masal dan 5 dapat tinggal persisten di lingkungan perakaran tanaman inang. Adanya kolonisasi yang tinggi dari FMA Mycofer mengindikasikan adanya keterlibatan eksudat flavonoid dan ketersediaan fotosintat yang sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan FMA dari Mycofer. Propagul FMA mampu menginfeksi akar tanaman inang karena adanya sinyal berupa eksudat flavonoid dari akar Gianinazzi-Pearson et al. 1989; Smith dan Read 1997. Energi untuk perkembangan propagul berasal dari C organik yang diperoleh secara langsung dari tanaman inang McGee et al. 1999. Eksudat yang dikeluarkan akar mempengaruhi perkecambahan spora dan pertumbuhan hifa FMA yaitu pembengkakan dan percabangan hifa Giovannetti et al. 1993. Inokulasi FMA mampu meningkatkan produksi buah dan benih dan inokulasi ini dipengaruhi oleh jenis kultivar dan level pemupukan Tabel 12, 13, 14, 15, 16. Pengaruh pemupukan P berbeda nyata antara tanaman yang diinokulasi FMA dengan yang tidak kontrol, namun antara pemupukan P 2 O 5 dosis 100kg Ha P1, P 2 O 5 dosis 125 kgHa P2 dan P 2 O 5 dosis 150 kgHa P3. tidak berbeda nyata, hal ini menunjukkan bahwa mikoriza berpengaruh positif terhadap peningkatkan penyediaan P dan efisien dalam penggunaan P. Berdasarkan hasil penelitian ini juga, kemampuan menyerap unsur hara N, P dan K tanaman yang diinokulasi FMA lebih tinggi dibandingkan tanpa FMA pada semua level pemupkan P Tabel 28. Peningkatan serapan N sebesar 62, P sebesar 69 dan K 60,6. Hasil yang sama diperoleh pada beberapa penelitian sebelumnya Kartika E, 2006; Mieke et al. 2003; Rokhminarsi et al. 2007. Peningkatan serapan hara oleh FMA berkaitan dengan adanya ekspansi hifa eksternal Cruz et al. 2004 dan kemampuan FMA menginduksi aktifitas fosfatase asam yang berperan dalam pelarutan P sehingga menjadi tersedia bagi tanaman Joner dan Johansen 2000. Tarafdar dan Claessen 2001 menyatakan bahwa meningkatkan aktivitas fosfatase asam akar bermikoriza tiga kali lebih besar dari pada akar yang tidak berkoloni dengan FMA, sedangkan hasil percobaan Suparno 2008 menunjukan 1,2 –2,5 kali fosfatase asam terutama berperan dalam mineralisasi P organik tetapi juga dapat juga melarutkan P dari tanah atau fosfat alam. Menurut Saito 1995 fosfatase asam ditemukan baik pada arbuskula, hifa ekstraradikal Van Aarle et al. 2001, maupun hifa intraradikal Inggrid et al. 2002. Menurut Bolan 1991 dalam proses penyerapan P, FMA membantu dalam 1 proses memodifikasi kimia yaitu dengan adanya perubahan fisiologi akar yang mempengaruhi eksudasi akar berupa asam-asam organik dan enzim fosfatase, 2 perpendekan jarak difusi ion-ion fosfat melalui hifa eksternalnya dan 3 penurunan konsentrasi minimum ion-ion fosfat yang diserap. Bentuk N yang paling mungkin diserap oleh FMA adalah NH 4 + , namun demikian mekanisme serapan N secara keseluruhan masih belum terungkap Jackson et al. 2008. Nitrogen disintesis dan disimpan dalam miselium ektraradikal dalam bentuk arginin yang terbentuk setelah terjadinya pemecahan arginin Jin et al. 2005. Kehadiran FMA dapat mempengaruhi serapan N tergantung kepada jenis pupuk yang diberikan dan nisbah NH 4 + NO 3 - . Tanaka dan Yano 2005 . Bago et al., 1996 menyatakan bahwa spora FMA mengandung enzym nitrate-reduktase, sehingga hifa eksternalnya mempunyai kapasitas penyerapan NO 3 + selain NH 4 + , K dan Mg yang bersifat mobil dalam tanah. Peningkatan serapan hara pada tanaman yang bermikoriza Tabel 28 berpengaruh terhadap peningkatan pertumbuhan dan perkembangan organ seperti daun dan batang. Perkembangan daun yang lebih baik mengakibatkan tanaman mampu melakukan fotosintesis lebih optimal, dengan demikian fotosintat yang tertimbun juga lebih besar. Peranan utama K adalah sebagai kofaktor berbagai enzim, pergerakan stomata dan menjaga elektronitas. K juga berperan penting dalam pembentukan hidrat arang dan translokasi gula serta pembentukan protein dan asam amino. K yang tersedia cukup dalam media tanam dapat menjamin ketegaran tanaman dan menghilangkan pengaruh buruk dari nitrogen. Ruiz- Lazano et al. 2000 mengatakan fotosintesis dan transpirasi meningkat pada tanaman selada yang bermikoriza. Peningkatan fotosintesis dan transpirasi menyebabkan proses metabolisme barlangsung lebih baik, akan mendukung pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Konsentrasi P dan genotip tanaman dapat mempengaruhi kemampuan eksudat akar dalam menarik tabung perkecambahan. Pinior et al., 1999 mengemukakan bahwa terdapat perbedaan baik secara kuantitatif maupun kualitatif komponen eksudat akar tanaman yang tidak dipupuk P dan dengan yang dipupuk P. Pada konsentrasi P eksternal yang rendah maka jumlah eksudat yang dikeluarkan tanaman lebih banyak dibandingkan dengan pada keadaan P yang tinggi. Secara umum kultivar Tegar menunjukkan pertumbuhan dan hasil yang lebih baik dibanding kultivar Laris, Smith et al., 2003 mengemukakan bahwa simbiosis FMA dengan tanaman dapat menyediakan jalur dominan penyediaan P tanaman. Kontribusi lain dari FMA dalam mendukung pertumbuhan dan perkembangan tanaman adalah FMA memproduksi phytohormon dan zat pengatur tumbuh seperti auxin, sitokinin dan giberelin di rizosfer; merubah arsitektur perakaran sehingga lebih efisien dalam memanfaatkan berbagai faktor tumbuh; meningkatkan toleransi tanaman terhadap senyawa atau unsur logam berat dalam tanah; serta berperan dalam transformasi unsur hara proses biogeokimia dalam tanah, yaitu melalui proses mineralisasi maupun dekomposisi berbagai senyawa organik; memberikan pengaruh yang positif terhadap perkembangan dan pertumbuhan mikroba tanah yang menguntungkan penambat N dan pelarut fosfat; meningkatkan jumlah karbon yang sangat menentukan kualitas dan kesehatan tanah; agen hayati terhadap patogen dan unsur toksik. Inokulasi FMA dan pemupukan P berpengaruh nyata terhadap peningkatan mutu fisiologis benih. Pemupukan fosfor pada semua level pemupukan dapat meningkatan daya berkecambah dan kecepatan tumbuh relatif, dan pemupukan P 2 O 5 dosis 100 kgha memberikan hasil tertinggi walaupun secara statistik tidak berbeda nyata dengan dosis anjuran. Inokulasi FMA dan pemupukan P secara tunggal berpengaruh nyata terhadap indeks vigor, sedangkan pada parameter spontanitas tumbuh inokulasi FMA dan pemupukan P baik secara tunggal maupun interaksi kedua faktor berpengaruh nyata. Berpengaruhnya FMA dan pemupukan terhadap mutu benih adalah berkaitan dengan ketersediaan P, K dan N yang meningkat. Phospor akan mengoptimalkan proses fisiologis tanaman seperti fotosintesa dan respirasi. K mengoptimalkan transportasi unsur hara dan assimilat dari daun keseluruh jaringan, hal ini mengakibatkan fotosintat bertambah dan meningkatkan hasil, demikian pula dengan serapan N yang tinggi oleh tanaman menyebabkan pembentukan protein yang lebih banyak pada benih. Benih dengan kandungan N dan protein yang tinggi berkontribusi terhadap tingginya mutu benih. Hasil penelitian Nuraeni 2005 menunjukkan bahwa inokulasi FMA berpengaruh sangat nyata terhadap berat kering biji per pohon, bobot 100 butir, kecepatan berkecambah, berat kering kecambah dan kekuatan tumbuh. Sadjad 1994 mengatakan bahwa benih yang berkembang dalam tanaman induk yang disuplai hara optimum akan menghasilkan kemampuan menghimpun energi yang baik. Selama periode pemasakan fosfor yang ada di bagian tanaman daun, batang akan ditranslokasikan ke benih disimpan dalam bentuk fitin, sedangkan sisanya ada dalam bentuk fosfolipid, fosfoprotein, asam nukleat, fosfat an organik. Kandungan fitin yang lebih tinggi menjadikan vigor benih lebih baik sehingga kemampuannya untuk tumbuh dan berkembang pada lingkungan yang optimum dan sub optimum, sebaliknya benih yang mempunyai cadangan fosfor yang rendah akan mempuyai status vigor yang rendah. Efisiensi pemupukan merupakan perbandingan serapan hara benih dengan dosis pupuk yang diberikan. Pada Tabel 34 menunjukkan bahwa efisiensi serapan P tertinggi adalah pada kultivar Tegar, yang inokulasi FMA dan dipupuk P 2 O 5 dengan dosis 100 kg ha yaitu sebesar 27,04 yang berarti bahwa P yang termanfaatkan oleh tanaman sebesar 27, hal ini cukup tinggi, dimana penelitian sebelumnya tanpa penggunaan mikoriza efisiensi pemupukan P hanya berkisaar 8- 13 Soepardi 1997. Hasil penelitian Darman 2006 bahwa efisiensi serapan P dari pupuk ekstrak kompos dan pupuk P tanpa mikoriza oleh tanaman kedele hanya diperoleh 8,31-9,58. Begitu juga hasil penelitian Pujiastuti 2005 efisiensi serapan P dari pupuk NPK dan pupuk kandang pada produksi benih tanaman buncis hanya 8. Meningkatnya efisiensi serapan P kemungkinan disebabkan karena meningkatnya metabolisme, dimana sebagian hasil fotosintat dipergunakan untuk menghasilkan sejumlah energi untuk memungkinkan proses serapan dapat terjadi serapan aktif. Hal ini berarti semakin tinggi serapan P, maka jumlah energi yang terkandung tanaman makin besar, sehingga efisiensi meningkat dengan meningkatnya serapan P dalam tanaman. Berbeda dengan hasil percobaan 2 dimana FMA Mycofer menunjukkan pengaruh yang lebih baik dari FMA indigenous tunggal, pada percobaan 4, FMA indigenous campuran tiga spesies menunjukkan potensi yang lebih baik dari FMA Mycofer dalam meningkatkan pertumbuhan dan produksi buah dan benih cabai. Hal ini berarti bahwa FMA campuran baik dari indigenous maupun pendatang lebih efektif dibanding FMA tunggal. Kemampuan beradaptasi inokulum FMA indigenous terhadap lingkungannya tidak diragukan lagi, karena FMA tersebut telah menunjukkan kemampuannya untuk bertahan hidup pada lingkungan tersebut. Mansur 2002 mengemukakan bahwa isolasi FMA dari tanaman lokal akan lebih efektif untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman lokal tersebut daripada digunakan isolat dari luar daerah tersebut. Keefektifan dari FMA campuran kemungkinan disebabkan karena masing-masing isolat bekerja secara sinergi dalam membantu pertumbuhan tanaman. Inokulasi lebih dari satu jenis mikoriza meningkatkan penyerapan P lebih tinggi dibandingkan inokulasi tunggal John 2000; Jansa et al. 2004. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Pada rizosfer tanaman cabai di tanah Ultisol daerah Cianjur terdapat keragaman jenis-jenis FMA yaitu dua spesies Glomus, tiga spesies Gigaspora dan empat spesies Acaulospora. 2. Semua jenis FMA baik FMA indigenous Glomus sp 1, Gigaspora sp 1, Acaulospora sp 3 maupun Mycofer yang diuji mampu meningkatkan pertumbuhan pada ke dua kultivar cabai. Pengaruh inokulasi FMA Mycofer dan FMA indigenous tidak berbeda nyata. 3. Pemupukan P sangat dipengaruhi oleh inokulasi FMA, perlakuan pemupukan pada tanaman yang diinokulasi FMA Mycofer menunjukkan hasil yang lebih baik dibanding tanpa FMA pada parameter jumlah buah, bobot buah dan bobot benih. 4. Kultivar Tegar menunjukkan respon yang lebih baik dari kultivar Laris terhadap inokulasi FMA Mycofer pada hampir semua parameter pertumbuhan dan produksi. 5. Inokulasi FMA Mycofer dan pemupukan P pada kultivar Laris dan Tegar mampu meningkatkan serapan N, P dan K benih. Pada kultivar Laris serapan N, P, K tertinggi adalah 57.7, 155.2, 44.3, sedangkan pada kultivar Tegar 61.5, 69.3, 60.6. 6. Mutu fisiologis benih hasil panen daya berkecambah, kecepatan tumbuh relatif, indeks vigor dan spontanitas tumbuh dipengaruhi secara nyata oleh pemupukan P dan inokulasi FMA. Inokulasi FMA pada pemupukan P 2 O 5 dosis 100 kgha mampu meningkatkan spontanitas tumbuh 16,1. 7. Inokulasi FMA Mycofer dan pemupukan P pada kultivar Laris dan Tegar mampu meningkatkan efisiensi serapan N, P dan K benih. Pada kultivar Laris efisiensi serapan N, P, K tertinggi adalah 28.8, 31.6, 10.1, sedangkan pada kultivar Tegar 29.2, 37.4, 12.3. 8. Pada hampir semua parameter, inokulasi FMA pada pemupukan P 2 O 5 dosis 100 kgha,125 kgha, dan 150 kgha, tidak berbeda nyata dalam meningkatkan pertumbuhan, produksi dan mutu benih. Inokulasi FMA pada pemupukan P 2 O 5 dosis 100 kgha, dapat menghematkan penggunaan pupuk SP 36 sejumlah 136.88 kgha setara 50 kgha P 2 O 5 . 9. Pengaruh inokulasi FMA indigenous campuran dan FMA Mycofer tidak berbeda nyata dalam meningkatkan pertumbuhan dan produksi buah dan benih. Pengaruh FMA indigenous campuran cenderung lebih baik. Saran 1. Fungi mikoriza arbuskula indigenous dari rizosfer cabai perlu dicoba kembali pada penanaman cabai di rumah kaca maupun di lapang agar menjadi spora teruji efektif. 2. Pengujian pengaruh FMA dan pemupukan P perlu dicobakan kembali untuk melihat pengaruhnya terhadap parameter mutu benih yaitu daya simpan benih dan kesehatan benih. 3. Pengaruh pemupukan P pada tanaman yang diinokulsi FMA pada dosis 150 kgha masih menunjukkan hasil yang tinggi, untuk itu perlu adanya penelitian dengan variasi dosis P yang lebih tinggi untuk mendapatkan dosis pupuk P yang optimal pada tanah Ultisol. 4. Fungi mikoriza arbuskula baik indigenous maupun pendatang Mycofer bisa digunakan sebagai pupuk biologis pada budidaya cabai untuk meningkatkan hasil dan efisiensi penggunakan pupuk. . DAFTAR PUSTAKA Abbott LK, Robson AD. 1984. The effect of mycorrhyzae on plant growth. In Powell, C.L1. and Bagyaraj DJ. ed. VA Mycorrhyza. CRC Press, Inc. Florida pp 113-130. Abbot, LK, Robson AD, Gazey C. 1992. Selection of inoculant vasicular- arbuscular mycorrhizal fungi. Method in Microbiol. 24:1-21. Abbot LK, Gazey C. 1994. An ecological view of formation of vesicular arbuscular mycorrhizas. Plant and Soil 159 1 : 69-78. Ali M. 2006. Chili Capsicum sp food chain analysis: setting research priorities in Asia. Shanhua, Taiwan: AVRDC-the world vegetable centre. Tech. Bull. 38.AVRDC Pub.06;678-930. Al-Karaki GN, Al-Raddad A. 1997. Effects of arbucular mycorrhizal fungi and drought stress on growth and nutrient uptake of two wheat genotypes differing in drought resistance. Mycorrhiza 7: 83-88. Allen MF, Allen EB. 1992. Development of micorrhyzal patches in a ecosystem,pp 164-170. Dalam D.J. Read, D.H. Lewis A.H. Fitter and I.J. Alexander Eds. Mycorrhyzal and Ecosystems. CAB International, UK. Alviana VF. 2005. Optimasi pemupukan pada budidaya cabai merah dengan irigasi tetes dan mulsa polyethylene [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Anas I, Tampubolon JLO. 2004. Media campuran tanah-pasir dan pupuk kandang untuk memproduksi inokulum fungi mikoriza arbuskula. Bul Agron 32 1 :26-31. Anonim. 2004. Budidaya paprika secara hidroponik di green house. www.joronet.comdatabaseartikel Paprika htm bagian 20 April 2004. Antibus RK, Croxdale JG, Milller OK, Linkins AE. 1981. Ectomycorrhyzal fungi of Salix rotundifolia III. Resynthesied mycorrhyzal complexes and their surfase phosphate activities. Can. J. Bot 59: 2458-2465. Aquilera-Comez L, Davies FT, Olalde-Portugal V, Duray SA, Phavaphutanon L. 1999, Influence of phosphorus and endomycorrhyza Glomus intraradices on gas exchange and plant growth of chile ancho pepper Capsicum annuum L. cv, San Luis. Photosynthetica 36 : 441-449. Astianti D, Ekamawati HA. 1996. Kajian sifat-sifat fisik, kimia dan biologi tempat tumbuh anakan ramin Gonystylus bancanus Kurz di hutan alam. Makalah dalam Ekspose. Hasil-hasil Penelitian Kehutanan dengan Sistem Penelitian Hibah Bersaing CAS. Badan Litbang Kehutanan Bekerjasama dengan Natural Resources Management ProjeectNRMP USAID, Bogor tidak dipublikan. Bago B, Vierhelig H, Piche Y, Azcon-Aguilar C. 1996. Nitrate depletion and pH changes induced by the extraradical mycelium of the arbuscular mycorrhizal fungus Glomus intraradices grown in monoxenic culture. New Phytol. 133: 273-280. Bagyaraj DJ. 1991. Ecology of vesicular arbuscular mycorrhizae. P 3-34. Dalam DK Arora, B Rai, KG Mukerti, GR Knudsen ED Handbook of applied Mycology. Soil and plants. Marcel Dekker. New York. Barea JM, Escudero JL, Aquilar A. 1980. Effects of introduced and indigenous VA mycorrhizal fungi on nodulation, growth and nutrion of Midicago sativa and phosphate fixing soil as affected by fertilizers. Plant Soil 54: 283-296. Barea JM, Andrade, Bianciotto V, Dowling D, Lohrke, Bonfante P, Gara O, Azcon-Aguilar C. 1998. Impact on arbuscular mycorrhiza formation of Pseudomonas strains used as inoculants for biocontrol of soil-borne fungal plant pathogen, Appl Environm Microbiol,64 6: 2304-2307. Basrudin. 2005. Pengaruh inang, media tumbuh dan trigger terhadap peningkatan kualitas inokulum cendawan mikoriza arbuskula. [thesis] Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bertham YH. 2006. Pemanfaatan CMA dan Bradyrhizobium dalam meningkatkan produktifitas kedelai pada sistem agroforestri kayu bawang Scorodorcarpus borneensis, Burm. F di Ultisol. [desertasi] Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Begananda, Rokhminarsi E. 2004. Efektivitas pupuk hayati mikoriza dengan penambahan kompos azola pada tanaman kedelai. Jurnal Penelitian dan Informasi Pertanian “Agrin” vol 8, no 1, April 2004. Fakultas Pertanian, UNSOED. Bever Jd, Schultz PA, Pringle A dan Morton JB. 2001. Arbuscular mycorrhizal fungi. More diverse than meets the eye, and the ecological tale of why. Biosci. 51, 923-931. Bianciotto V, Minerdi D, Perptto S, Bonafaaante P. 1996. Cellular intercations between arbuscular mycorrhizal fungi and rhizosphere bacteria. Protoplasma 193: 123-131. Blair G. 1993. Nutrient effesiency-What do we relly mean? Randall et al. eds Genetic aspects of plant mineral nutrition 205-213. Blal B, Morel C, Gianinazzi-Pearson V, Fardeau JC, Gianinazzi S. 1990. Influence of vesikular-arbuscular mycorrizae on phosphate fertilizer efficiency in two tropical acid planted with microproopagated oil palm Elaeis guineensis Jacq. Biol. Fertil. Soils 9: 43-48. Bolan NS. 1991. A critical review on the role of mycorrhizal fungi in the uptake of phosphorus by plants. Plant and soil 134: 189-209. Bosland PW, Votava EJ. 1999. Peppers : Vegetable and Spice Capsicums. New York. CABI hal 58-59. Bowen G. 1987. The Biology and physiology of infection and its development. In Safir, G.R. ed, pp 27-57. Ecofisiology of VA mycorrhizal plants. CRC, Press. Inc. Boca Raton. Florida. BPS. 2003. Statika Indonesia. Badan Pusat Statistik Indonesia. 610 hal. Brundrett,M,C, Bougher N, Dell B, Grove T, and Malajezuk N. 1996. Working with mycorrhizal in forestry and agriculture. ACIAR. Peter Lynch Ed Pirie Printers Canbera. Australia. 374 p. Brundrett, M.C. 2004. Diversity and classification of mycorrhyzal associations. Biol. Rev. 78: 473-495. Brundrett, M.C, Melvile L, Peterson L. 1994. Pratical methods in mycorrhiza research. Mycologie Publications. Ontario, Canada. 161 p. Bueking H. 2005. Rutgers The State University of new Jersey http:crab.rutgers. edubuckingjobs. Htm. Burkert B, Robson A. 1994. Zn uptake in subterranian clover Trifolium subterranian L by three VAM fungi in a root-free sandy soil. Soil Biol. Biochem. 269: 1117-1124. Caimey JWG. 2000. Evolution of mycorrhizal systems. Naturwissenschaften 87: 467-475. Cavagnaro TR; Smith FA; Ayling SM; Smith SE. 2003. Growth and phosphorus nutrition of Paris-type arbuscular mycorrhizal symbiosis. New Phytol, 157: 127-134. Chen P, Lott JN. 1992. Studies of Capsicum annuum seeds: structure, storage reserves, and mineral nutrients. Can J Bot. 70: 518-529. Cooper KM, Tinker PB. 1978. Translocation and transfer of nutrients in vesicular arbuscular mycorrhyzas. Effect of environmental variables on movement of phosporus. New Phytol 88: 327-339. Copeland LO, Donald Mc. 1995. Principles of Seed Scince and Technology . Third Edition. New York : Chapmond hall. Cuenca G, Lovera M. 1992. Vesicular-arbuscular mycorrhizal in disturbed ands revegeted sites from La Gran Sabana, Venezuela. Can. J. Bot 70: 73-79. Cruz C, Genn, Watson CA, Martin-Lucao MA. 2004. Fungctional aspects of root architecture mycorrhiza inoculation with respect to nutrient uptake capascity. Mycorrhiza 14: 177-184. Daniels BA, Trappe JM. 1980. Factor affecting spore germination of vasicular- arbuscular mycorrhiza fungus, Glomus epigaeus. Mycology 72: 457-463. Darman S. 2006. Efissiensi serapan fosfat dan pengaruh komponen beberapa sifat kimia tanah terhadap hasil tanaman kedele akibat pemberian ekstrak kompos dan pupuk fosfat pada Oxic Dystrudepts. J. Agrisains 7 2: 86- 94. Davies Jr; Olalde-Portugal FTV; Aguilera-Gomes K; Alvarado MJ; Ferrera- Cerrato RC and Boutton TW. 2002. Allevation of drought stress of Chile ancho pepper Capsicum annuum L cv San Luis with arbuscular mycorrhiza indigenous to Mexico. Scientiae Hort. 92: 347-359. De La Cruz, RE. 1981. Mycorrhizae- indispensable allies in forest regeneration. Symposium on Forest Regeneration in Soult East Asia. BIOTROP, Bogor. Indonesia. De La Cruz, DE. 1988. General lectures on mycorrhiza. Workshop on Mycorrhiza Inoc. Comp UIP the Philippines. Deptan Departemen Pertanian. 2006. Ketersedian benih sayuran dalam negeri menurun: Dirjen Bina Produksi Hortikultura Direktorat Tanaman Sayuran. D:data downloudherbalcabe,htm. Tgl 212-2007. Departemen Pertanian. 2007. Statistika Pertanian 2006. Jakarta: Pusat Data dan Informasi departemen Pertanian. Delvian. 2003. Keanekaragaman cendawan mikoriza arbuskula di hutan pantai dan potensi pemanfatannya. Studi kasus di hutan cagar alam Leuweung Sancang Kabupaten Garut, Jawa Barat. [desertasi] Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Dhlamini Z, Spillane C, Moss JP, Ruane J, Urquia N, Sonnino A. 2005. Status of research and Application of Crop Biotecnologies in developing Countries. Rome: Food and Agriculture Organization of The United Nationals. Direktorat Jenderal Hortikultura, Deptan. 2009. Produktivitas sayuran di Indonesia periode 2003-2008. Jakarta. www. Hortikultura deptan.go.id. ymbioses: how much do we know? African J Biotech 2: 1-7. Diouf D, Diop TA, Ndoye I. 2003. Actinorhizal, mycorrhizal and rhizobial symbioses: how much do we know?. African J Biotech 2: 1-7. Dodd JC and Thomson BD. 1994. The screening and selection of inoculant arbuscular mycorrhizal and ectomycorrhizal fungi. Plant Soil 159: 149- 158. DuekTh.A, Visser P, Ernst WHO, Schat H. 1986. VAM decrease zinc-toxicity to grass growing in zinc-polluted soil. Soil Biol. Biochem. 183: 413- 418. Duriat AS, Widjaya A, Hadisuganda W, Soetiarso TA, Prabaningrum L. 1999. Tehnologi produksi cabai merah. Balai Penelitian Tanaman Sayuran. Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Lembang. Ervayenri. 1998. Studi keanekaragaman dan potensi inokulan fungi mikoriza arbuskula FMA di lahan gambut studi kasus di Kab Bengkalis Prop Riau. [thesis] Bogor:. Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Ewaza T, Smith SE, Smith FA. 2002. University Farm, Nagoya University, Togocho, Aichi 470-0151 Japan. FAO. 2005. Analysis of the FAO-Bio Dec data on non-GM Biotechnologies. In : Status of research and aplibbeation of crop biotechnologies in developing countries. Preliminary assessment. Food and Agriculture Organization of The United Nations Rome,p 5-18. Fakuara MY. 1988. Mikoriza, teori dan kegunaan dalam praktek. Bogor: PAU- IPB Farida I. 2003. Identifikasi fungi mikoriza serta pengaruhnya terhadap pertumbuhan stek tebu yang di tanaman pada media bekas pertanaman padi gogo dan ubi kayu bermikoriza. Proseding Seminar Mikoriza. Bandung, 16 September 2003. Fisher RA, Yates F. 1970. Statistical Tables for Biological, Agricultural and Medical Research. 6 th Edition. Hafner Publ. Comp. Davien. Friese CF, Allen MF 1991. The spread of VA mycorrhizal fungal hyphae in the soil : Inokulum types and external hyphae architecture. Mycologia, 83, 409-418. Garcia-Garrido JM, Tribak M, Rejon-Palomares A, Ocampo JA, Garcia-Romera I. 2000. Hydrolytic enzymes and ability of arbuscular mycorrhizal fungi to colonize roots. J Exp Bot 51: 1443-1448. Garderman JW, Nicholson TH. 1963. Spore of mycorrhizal Endogons species extracted from soil by wet sieving and decanting. Trans. Br. Mycol. Soc. 46: 235-244. Gardner FP, Pearce RB, Mitchell RL 1991. Physiology of crop plants. The IOWA state University Press. 427 hal. Gianinazzi-Pearson V, Gianinazzi S. 1983. The physiology of vesicular arbuscular mycorrhyza roots. Plant and soil 71:197-209. Gianinazzi-Pearson V, Branzanti B, Gianinazzi S. 1989. In vitro enhancement of spore germination and early hyphae growth of vesicular arbuscular mycorrhizal fungus by host root exudates and plant flavonoid. Symbiosis 7: 243-255. Giovannetti M, Avio L, Sbrana C, Citernesi AS, Logi C. 1993. Differential hypha morphogenesis in arbuscular myccorrhizal fungi during pre- infection stages. New Phytol 125: 587-594. Gunawan AW. 1993. Mikoriza arbuscula. Pusat Antar Universitas PAU Ilmu Hayat. Institut Pertanian Bogor. Guntoro D. 2003. Pemanfaatan cendawan mikoriza arbuskula dan bakteri Azospirillum untuk meningkatkan efisiensi pemupukan pada turfgrass. [thesis] Bogor: Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Hanafiah KA. 2001. Pengaruh inokulasi ganda fungi mikoriza arbuscular dan Azospirrilum brasillience dalam meningkatkan efisiensi pemupukan P dan N pada padi sawah tadah hujan. [desertasi] Bogor: Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Hanum C. 2004. Penapisan beberapa galur kedelai Glysine max L. Merr toleran cekaman alumunium dan kekeringan serta tanggap terhadap mikoriza vesicular arbuskular. [desertasi] Bogor: Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Hapsoh. 2003. Kompatibilitas MVA dan beberapa genotype kedelai pada berbagai tingkat kekeringan tanah Ultisol: Tanggap morfologi dan hasil. [desertasi] Bogor: Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Hardjowigeno S. 2007. Ilmu Tanah. Jakarta: Akademika Pressindo. Haryantini BA, Santosa M. 2001. Pertumbuhan dan hasil cabai merah pada Andosol yang diberi mikoriza, pupuk fosfor dan zat pengatur tumbuh. Biosain 3: 50-57. Havlin JL, Beaton JD, Tisdale SL, Nelson WL. 1999. Soil fertilizers. An introduction to nutrient management. New Jersey: Sixth edition. Prentice Hall, Inc. Simon Schuster A Viacom Company. Upper Saddle River. Heepper CM. 1984. Regulation of spore germination of the Vesicular Arbuscular mycorrhizal fungus Acaulospora leavis by soil pH, Trans. Br. Mycol. Soc. 831 pp 154 - 157 Heijne B, Dam D van, Heil GW, Bobbink R. 1996. Acidification effects on vesicular-arbuscular mycorrhizal VAM. Hidayat A, Mulyani A. 2002. Lahan kering untuk pertanian. Di dalam Adimiharja A, Mappaona, Saleh A, editor. Tehnologi pengelolaan lahan kering. Bogor: Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, hlm 1-34. Hildebrat U, Janetta K, Bothe H. 2002. Toward growth of arbuscular mycorrhizal fungi independent of plant host. Appl. Environm. Microbiol. 68: 1919-1924. Ilyas S. 2003. Ilmu Benih. Progam Studi Agronomi, Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. INVAM. 2006. International culture collection of veskular – arbuskular mycorrhizal fungi. www.inam.caf.wvu.edomyco- infortaxonomyclassification.htm. 6 Febuari 2006. Ingrid M, Van Aarle, Rouhier H, Saito M. 2002. Phosphatase activities of arbuscular mycorrhizal intraradical and extraradical mycelium, and their relation to phosphorus availability. Mycol Res 106: 1224-1229. Iriani F. 2003. Identifikasi cendawan mikoriza pada tanah Ultisol bekas pertanaman padi gogo dan ubi kayu, serta pengaruhnya terhadap pertumbuhan stek tebu. Hal. 49-54. Didalam: Singamarta T, Arief DH, Sumarni Y, Hindersah R, Azirin A, Kalay AM, editor, Tehnologi Produksi dan Pemanfaatan Inokulan Endo-ektomikoriza untuk Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan. Bandung: Asosiasi Mikoriza Indonesia Jawa Barat. Jackson LE, Burger M, Cavagnaro TR. 2008. Roots nitrogen transformations, and ecosystem services. Annu Rev. Plant Biol 59: 341-363. Jakobsen I, Abbott LK, Robson AD. 1992. External hyphae of vesicular arbuscular mycorrhyzal fungi associated with Trifolium subterranum L. Spread of hyphae and phosphorus inflow into roots. New Phytol 120, 371- 380. Jang-Sun Suh. 2005. Aplication of VA mycorrhyzae and phosphate solubilizers as biofertilizers in Korea. National Institut of Agriculral Science and Technology, RDA Republic of Korea. Janos DP, Hartsorn GS. 1997. Arbuscular mycorrhizae sustain tropical plant biodiversity. Makalah dalam The International Conference on Mycorrhizas in Sustainable Tropical Agriculture and Forest Ecosystem . Research and Develompent Centre for Biology, Indonesian Institute of Sciences LIPI, Bogor tidak dipublikasikan. Jansa J, Frossard E, Smith S. 2004. Deversity of arbuscular mycorrhizal fungi. Does it matter for plant uptake ?. Historical Perspective. Rhizosphere, September 2004, 12-17. Jin H, Pfeffer PE, Douds DD, Piotrowski E, Lammers PJ, Shachar-Hill Y. 2005. The uptake, metabolism, transport and tranfer of nitrogen in an arbuscular mycorrhizal symbiosis. New Phytol 168: 687-696. John TSt. 2000. The instant expert guide to mycorrhiza. The connection for functional ecosystems. 44p.http:www.google.com. 23 April 2005. Joner EJ, Johansen A. 2000. Phosphatase activity of external hyphae of two arbuscular mycorrhizal fungi. Mycol Res 104: 81-86. Jumaniyazova GI, Tillayev TS, Takhtobin KS, Kalonov. 2004. Exlporating the phosphate solubilizing capacity of soil bacteria throught the application of 32p radioisotope techniques and X-ray diffraction method. Institute of Microbiology, Institute of Nuclear Physics, Academy of Science Republic of UzbekistanTashkent. Kaeppler SM, Parke JL, Mueller SM, Senior L, Stuber C, Tracy WF. 2000. Variation among maize inbred lines and detection of quantitative trait loci for growth at low phosphorus and responsiveness to arbuscular mycorrhizal fungi. Crop Science Society of America. Crop Sci. 40: 358- 364. Kalpunik, Douds DD. 2000. Arbuscular Mycorrhizas: Physiology and Function. Kluwer Academic Publishers, DordrechtBostonLondon. Kartika E. 2006. Tanggap pertumbuhan, serapan hara dan karakter morfologi terhadap cekaman kekeringan pada bibit kelapa sawit yang bersimbiosis dengan FMA. Desertasi. Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Kormanik, PP, McGraw AC. 1982. Quantification on Vesicular Arbuscular Mycorrhizae in Plant Roots. In: Schneck, NC Ed Methods and Principles of Mycorrhizal Research. The Am. Phytopath. Soc. St Paul, Himesota. Kusumainderawati, Sugiyarto EPM, Arifin Z, Sarwono, Istuti W, Pikukuh B Istiqomah N dan Abu. 2005. Teknologi perbenihan tanaman cabai merah keriting mendukung kebutuhan benih lahan kering dataran rendah. http:bp 2p jatim deptan.go idtemplates 08-EP Kusumainderawati paf. Lee KK, Reddy MV, Wani SP, Trimurti N. 1996. Vesicular-arbuscular mycorrhyzal fungi in earthworm casts and surrounding soil in relation to soil management of a semiarid tropical Alfisol. Aplied Soil Ecology 3: 177-181. Linderman RG, Hendrix JW. 1984. Evaluation of plant response to colonization by VAM fungi: host variable. In Schenck ed. Methodes and Principles of Mycorrhizal research. The American-Phytopathological Soc. 69-76. Liu A, Harmel C, Halmilton RI, Smith DL. 2002. Mycorrhyzae formation and nutrient uptake of new corn Zea mays L hybrids with extreme canopy and leaf architecture as influenced by soil N and P levels. Plants and Soils 221: 177-181. Ma JF. 2000. Role of organic acid in detoxification of alumunium in higher plants. Plants Cell Physiol 41 4: 383-390. Mansur I. 2003. Teknik perbanyakan dan aplikasi FMA untuk tanaman pertanian. Laboratorium Bioteknologi Hutan dan Lingkungan. Pusat Penelitian Bioteknologi Institut Pertanian Bogor Unpublished. Marschner H. 1995. Mineral nutrition of higher plants. Ed ke-2. Academic Press. Inc. San Diego. Matsumoto H, Senoo Y, Kasai M, Maeshima M. 1996. Response of the plant root to alumunium streess: analysis of the inhibition of root elongation and change in membrame function. J plant Res. 109: 99-105. McGee PA, Torrici V, Pattinson GS. 1999. The relationship between density of Glomus mossae propagules and the initiation and spread of arbuscular mycorrhizae in cotton roots. Mycorrhiza 9: 221-225. McGonigle TP, Evans DG, Miller MH. 1990. Effect of degree of soil disturbance on mycorrhizal colonization and phosphorus absorbtion by maize in growth chamber and field experiment. New Phytol. 116: 629-636. McWilliams D. 2003. Identifying nutrient deficiencies for efficient plant growth and water use . New Mexiko University and U.S Departement of Agriculture. http:www.google.com . [19 Des 2004] Mieke R, Setiawati, Nurbaity A, Betty N, Fitriatin, Sumarni Y. 2003. Peranan fungi mikoriza dalam meningkatkan efisiensi pupuk P dan kualitas bibit kentang pada Andisols asal Garut. Proseding Seminar Mikoriza, Bandung 16 September 2003. Mikanova O, Novakova. 2002. Evaluation of the P-solubilitizing activity of soil microorganism and its sensitivity to soluble phosphate. Rostlina Vyroba 489: 397-400. Ming DW, Mumpton FA. 1989. Zeolites in soil. Dalam JB Dixon dan SB Weed. Mineral in soils environments. 2 nd ed. SA, Madison. Wisconsin hal 673-911 Morgan JAW, Bending GD, White PJ. 2005. Biological costs and benefits to plant microbe interactions in the rhizosphere. J Exp Bot 56:1729-1739. Mosse B. 1981. Vesicular Arbuscular Mycorrhyzal. Research of Tropical Agriculture Research. Buletin Hawai Institut of Tropical Agriculture and Human Resources P 19. Morton JB, Bentivenga SP, Bever JD. 1994. Discovery, measurement, and interpretation of diversity in arbuscular endomycorrhizal fungi Glomales, Zygomycetes. Can J Bot 73 Suppl.1: S25-S32. Morton JB, Benny GL. 1990. Revised classification of arbuscular mycorrhizal fungi Zygomycetes: a new order, Glomales, two new oborders, Glomineae and Gigasporineae, and two new families, Acaulosporaceae and Gigasporaceae with an emendation of Glomaceae Mycotaxonn37: 471-491. Muchovej RM. 2002. Importance of Mycorrhyzae for Agriculture Crops. http:edis ifas.ulf.eduBody Ag 116. Florida. Muthukumar T, Udaiyan K, Manian S. 1996. Vesicular-arbuscular mycorrhyzae in tropical sedges of southern India. Biol Fertil Soils 22 : 96-100. Nadarajah P, Nawawi A. 1997. Vesicular-arbuscular mycorrhyzal fungi in Malaysian Plantations and grasslands. Makalah dalam The International Conference on Mycoorhyzas. Mycoorhyzal in Sustainable Tropical Agriculture and Forest Ecosystem. Research and Development Centre for Biology, Indonesian Institute of Science LIPI, Bogor tidak dipublikasikan. Nelson CE, Safir GR. 1982. Increased drought tolerance of mycorrhyzal onion plants caused by improved phosphorus nutrition. Plant 154: 407-413. Nuraeni. 2005. Pengaruh inokulasi mikoriza-arbuskular dan rhizobium japonicum dengan pemberian N dan P terhadap hasil dan mutu fisiologis benih kedele. J Agroland 12 3: 273-279. Nusantara AD, Kusmana C, Mansur I, Darusman LK, Soedarmadi. 2008. Produksi dan pembakuan mutu inokulum fungi mikoriza arbuskula. Makalah pada Seminar Nasional dan Workshop: Implementasi Teknologi Mikoriza Sebagai Agens Hayati dalam Menunjang Pertanian Berkelanjutan. Padang 12-15 November 2008. Oehl F, Sieverding E. 2004. Paciospora, a new vesicular mycorrhyzal fungal genus in the glomeromycetes. Angewandle Botanik 78 1 72-82. Oehl F, Sieverding E, Ineichen K, Mader P, Boller T, Wiemken A. 2003. Impact of land use intensity on the species deversity of arbuscular mycorrhizal fungi in agroecosystem of central Europe. Appl. Environ. Microbiol 69: 2816-2824. Orcutt DM dan ET Nilsen. 2000. The Physiology of plants under stress: Soil and biotic factors. John Wiley Sons, Inc. New York. Pacioni G. 1992. Wet sieving and decanting techniques for the extraction of spores of VA mycorrhyzal fungi. Di dalam: Norris JR, Read and Varma Fds. Methods in Microbiology, Vol 24, Academic Press Inc, San Diego. Hal 317-322. Phipps CJ, Tylor TN. 1996. Mixed arbuscular mycorrhyzal from the Triassic of Antartica. Mycology 88 5: 707-714. Pinior A, Wyss V, Piche Y, Vierheilig H. 1999. Plants colonized by AM fungi regulate further root colonization by AM fungi though altered root exiudation. Can. J. Bot. 77: 89111-897. Powell CLI, Bagyaraj DJ. 1984. VA mycorrhizal CRC Press. Inc. Boca Raton, Florida. Prasetyo, GWA. 2002. Pengaruh inokulasi cendawan mikoriza pada berbagai dosis pemupukan N dan P terhadap petumbuhan dan hasil kedelai di tanah PMK. [skripsi]. Fakultas Pertanian UNSOED Purwokerto. Pujiastuti SR. 2005. Efisiensi pemupukan NPK dan pupuk kandang terhadap viabilitas buncis Phaseolus vulgaris L [thesis]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Purnomo DW. 2008. Keefektifan fungi arbuskula dalam meningkatkan hasil dan adaptasi cabai Capsicum annuum L., pada tanah bercekeram alumunium [desertasi]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Raghothama KG. 1999. Phosphate Acquistion. Plant Mol. Biol 50: 665-693. Rahim KA. 2002. Biofertilizer in Malaysian Agriculture: perception, demand and promotion. FNCA Joint Workshop on Mutation Breeding and Biofertilizer, August 20-23. Beijing, China. Rainiyati. 2007. Status dan keanekaragaman cendawan mikoriza arbuskula CMA pada pisang raja nangka dan potensi pemanfaatannya untuk peningkatan produksi pisang asal kultur jaringan di Kabupaten Merangin, Propinsi Jambi [thesis]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Rajapakse S, Miller JC J. 1992. Methods for studying vasicular-arbuscular mycorrhizal root colonization and related root physical properties microbiology. 24: 301-316. Rajagukguk B. 1983. Masalah pengapuran tanah mineral masam di Indonesia Proseding Seminar Alternatif Pelaksaan Progam Pengapuran Tanah-tanah Mineral Masam di Indonesia. Fakultas Pertanian UGM, hal 15-43. Rao IM, Friesen DK, Horst WJ. 1999. Opportunities for germplasma selection to influence phosphorus acquisition from low phosphorus sols. Agroforest Forum 9: 13-17. Richardson AE, H adobas PA, Hayes JE, O’Hare CPO, Simpson RJ. 2001. Utilization of phosphorus by pasture plants supplied with myo-inositol hexaphosphate is enhanced by the presence of soil micro-organisms. Plant Soil 229: 47-56. Rifan, J., Maryanto, Karisun. 2002. Upaya pemanfaatan mikoriza, gambut dan BFA terasidulasi sebagai bahan amelioran untuk meningkatkan produktivitas kedele di tanah liat aktivitas rendah LAR. Laporan Penelitian. Fakultas Pertanian UNSOED Purwokerto. Rillig MC; Wright SF; Evinecr VT. 2002. The role of arbuscular mycorrhizal fungi and glomalin in soil aggregation: comparing effects of plant species. Plant soil 238: 325-333. Rokhminarsi E, Hartati, Suwandi. 2007. Pertumbuhan dan tomat ceri pada pemberian pupuk hayati mikoriza, azolla serta pengurangan pupuk N dan P. Jurnal Penelitian dan Informasi Pertani an “Agrin” vol 11,no 2, Oktober 2007. Fakultas Pertanian, UNSOED. Rout GR, Samantaray S, Das P. 2001. Alumunium toxycity in plants: a review, Agronomie 21: 3-21. Ruiz-Lozano JM, Gomez M, Nunez R, Azcon R. 2000. Mycorrhizal colonization and drought stress affect 13 CO 2 -labeled lettuce plants. Physiol Plant. 109:268-273. Sadjad S. 1993. Dari benih kepada benih. Jakarta. PT Gramedia. Widiasarana. Sadjad S. 1994. Kuantifikasi Metabolisme Benih. Jakarta: PT Gramedia Widisarana. Sadjad S, Murniati E, Ilyas S. 1999. Parameter Pengujian Vigor Benih dari Komperatif ke Simulatif. Jakarta: Grasindo. Saito M. 1995. Enzyme activities of internal hyfa and germinated spores of an arbuscular mycorrhizal fungus Gigaspora margarita Becker Hall. New Phytol 129: 425-431. Samuel T, Kucukakyuz K, Zachary K. 1997. Al partitioning pettern and root growth as related to Al sensivity and Al tolerance in wheat. Plant Physiol 133: 527-534. Sanders FE, Tinker PB, Black LB, Palmerrly SM. 1977. The development of mycorrhyzal root system: Spread of infection and growth promoting effects with four species of vasicular arbuscular endophyte, New Phytol 78, 257-268. Santoso M. 2009. Pertumbuhan dan hasil cabai meraah Capsicum annum pada Andisol yang diberi mikoriza, pupuk fosfor dan zat pengatur tumbuh. http:74.125.153.132search?q=cache:DE05-KEOEOcJ:images.soemarno. multiply.coma…01102009. Schachtman DP, Reid RJ, Ayling SM. 1998. Phosphorus uptake by plants: From soil to cell. Plant Physiol 116: 447-453. Schubler A, Schwarzott D, Walker C. 2001. A new fungal phylum, the Glomero- mycota : phylogeny and evolutionl . Mycol. Res 10512: 1413-1421. Setiadi Y. 1989. Pemanfaatan mikroorganisme dalam kehutanan. Departemen Pendiddikan dan Kebudayaan, Dirjen Dikti PAU Bioteknologi, IPB Bogor. Setiadi Y. 1992. Mikoriza dan Pertumbuhan Tanaman. Kemanfaatan limbah lignoselulolitik untuk media semai tanaman kehutanan. . Bogor: PAU IPB 6 Oktober-2 Nopember 1992. Setiadi. 2000. Status penelitian pemanfaatan fungi mikoriza arbuskula untuk merehabilitasi lahan terdegrasi, hlm 11-23. di dalam: Setiadi Y, Hadi S, Santoso E, Turjaman M, Irianto RBS, Prematuri R, Maryanti D, Widopratiwi R, editor, Proseding Seminar Nasional Mikoriza I. Jakarta Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Setiadi Y. 2002. Tehnik produksi inokulum mikoriza untuk rehabilitasi lahan. J Manajen Hutan Tropika VIII1: 51-64 Setiadi Y, Faiqoh. 2004. Teknik produksi inokulum fungi mikoriza arbuscula dan pemanfaatannya sebagai pupuk biologis. Makalah disampaikan dalam “Workshop Tecnologi Produksi Mikoriza Arbuskula sebagai Pupuk Biologis” Lembang, 22-23 Juli 2004. Setiadi Y. 2007. Bekerja dengan mikoriza untuk daerah tropik. Makalah disampaikan dalam “ Konggres Nasional Mikoriza Indonesia II” Bogor 17-18 Juli 2007. Sieverding E. 1991. Vesicular-Arbuscular Mycorrhyza Management in Tropical Agrosystem. Eschborn: Technical Cooperation, Federal Republic of Germany 342 p. Sieverding E, Oehl F. 2006. Revision of Entrophospora and description of Kuklo-spora and Intraspora, two new genera in the arbuscular mycoorhyzal Glomero-mycetes, Angewandite Botanic 80 1: 69-81. Simanungkalit RDM. 2004. Standarisasi mutu inokulum fungi mikoriza arbuskula. Balai Penelitian Tanah, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agriklimat. Lembang. Makalah disampaikan pada Workshop Tehnik produksi inokulum pupuk hayati mikoriza, 22-23 juli 2004. Simanungkalit RDM. 2007. Cendawan mikoriza arbuskuler. Metode Analisis Biologi Tanah. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Simarmata T. 2005. Pemanfaatan pupuk hayati CMA dan kombinasi pupuk organik dengan biostimulan untuk meningkatkan kolonisasi mikoriza, serapan hara P dan hasil tanaman kedele pada tanah Ultisols. Simarmata T, Herdiani E. 2004. Efek pemberian inokulum CMA dan pupuk kandang terhadap P tersedia, retensi P dalam tanah dan hasil tanaman bawang merah Allium ascalonicum L. Dalam Proseding: Tehnologi Produksi dan Pemanfatan Inokulan Endo-Ektomikoriza untuk Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan. Asosiasi Mikoriza Indonesia-Jawa Barat. ISBN 979-98255-0-4.. Smith ES, Read DJ. 1997. Mycorrhyzal Symbiosis. Second Edition. Academic press. Harcount Brace Campany Publishe. London. Smith FA, Read DJ. 2008. Mycorrhizal Symbiosis 3rd ed. New York: Elsevier Ltd. Smith FW. 2002. The phosphate uptake mechanism. Plant Soil 245: 105-114. Smith FW, Mudge SR, Rae AL, Glassop D. 2003. Phosphate transport in plant. Plant Soil J 248:71-83. Smith SE, Smith FA, Jakobsen I. 2003. Mycorrhizal fungi can dominate phosphate supply to plants irrespective of growthnresponse. Plant Physiol 133: 16-20. Soepardi G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Bogor: Departemen Ilmu-ilmu Tanah, Faperta IPB. Soepardi G. 1997. Pospo N pemicu serapan hara dan pemacu produksi. Dalam Subagyo et al., Penyunting Proseding Kongres Nasional VI HITI, Penatagunaan Tanah Sebagai Perangkap Penataan Ruang Dalam Rangka Meningkatkan Kesejahteran Rakyat, Jakarta 12-15. Desember 1995. Himpunan Ilmu Tanah Indonesia HITI Hlm 225-231. Subagyo H, Suharta, Siswanto. 2000. Tanah-tanah pertanian di Indonesia. Dalam tim Puslittanah. Sumberdaya lahan Indonesia dan Pengelolaannya. Puslittanah, p 21-65. Suh, J.S. 2005. Aplication of VA mycorrhizal and phosphate solubilizers as biofertilizers in Korea. National Institut of Agricultural Science and tecnology RDA republic of Korea. Suparno A. 2008. Tanggap morfologi bibit kakao yang diberi fosfat alam ayamaru Papua, asam humat, inokulasi FMA dan bakteri pelarut fosfat [desertasi]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.. Swasono DH. 2006. Peranan mikoriza arbuskula dalam mekanisme adaptasi beberapa varietas bawang merah terhadap cekaman kekeringan di tanah pasir pantai [desertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor Swift CE. 2004. Mycorrhiza and soil phosphorus levels. Colorado State University, Cooperation Extention.1-4. http:www.colostate.eduDeptsCoopExtTRaPLANTSmycorrhiza .html Syekhfani. 1999. Hubungan Tanah-Air-Tanaman. Penerbit Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya, Malang. Sylvia DM. 2005. Mycorrhizal Symbioses. Di dalam : Principles and Aplications of Soil Microbiology. New Jersey: 2 nd Edition. Pearson Prentice Hall, Upper Saddle River, hlm 263-282. Taiz L, Zeiger E. 2002. Plant Physiology. Sunderland Massachusetts: Third Edition. Sinauer Associates, Inc. Publishers. Tanaka Y, Yano K. 2005. Nitrogen delivery to maize via mycorrhizal hypha Tarafdar JC, Claaessen N. 2001. Comparative effeciency of acid phosphatase origanated from plant and fungal sources. J Plant Nutr Soil Sci 164: 279- 282.. Taylor DL. 2000. A new dawn-the ecological genetics of mycorrhizal fungi. New Phytol 147: 236-239. Taylor GJ. 1988. Physiology of alumunium tolerance in higher plants Commun Soil Sci Plant Anal 19: 179-194. Treseder KK, Allen NF. 2002. Direct nitrogen and phosphorus limitation of arbuscular fungi: a model and field test. New Phytol. 155: 507-515. Van Aarle IM, Olsson PA, B Sodestrom. 2001. Microscopic detection of phosphatase activity of saprophytic and arbuscular mycorrhizal fungi using a fluorogenic subtrate. Mycologia 93: 17-24. Vierheilig H, Schweiger P, Brundrett M. 2005. An overview of methods for the detection and observation of arbuscular mycorrhyzal fungi in roots. Physiologia Plantarum 125: 393-40. Vitorello VA, Capaldi FL, Stefanuto VA. 2005. Recent advances in alumunium toxicity and resistance in higher plants. Braz J Plant Physiol 17: 129-143. Watkins JT, Cantliffe DJ, Huber HB, Nell TA. 1985. Gibberllic acid stimulated degredation of endosperm in peppeer. J Am Soc Hort Sci. 110: 61-65. Widiastuti H dan JS Tahardi. 1993. Effect of visicular arbuscular mycorrhizae innoculation on the growth and nutrient uptake of micro propagated oil palm. Menara Perkebunan 61 3: 56-60. Widiastuti H, Kramadibrata K. 1992. Identifikasi VA mikoriza pada perkebunan kelapa sawit di Jawa Barat. Menara Perkeunan 61: 56-60. Widiastuti H. 2004. Biologi interaksi cendawan mikoriza arbuskula kelapa sawit pada tanah masam sebagai dasar pengembangan tehnologi aplikasi dini [desertasi].Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Wiryanta BTW. 2002. Kiat Mengatasi Permasalahan Praktis Bertanam Cabai pada Musim Hujan, Jakarta: Agro Media Pustaka. Zhao ZW, Xia YM, Qin XZ, Li XW, Cheng LZ, Sha T, Wang GH. 2001. Arbuscular mycorrhizal status of plants and the spore density of arbuscular mycorrizal fungi in the tropical rain forest of xishuangbanna, southwest China, Mycorrhiza 11:159-162. Zhu YG, Cavagnaro TR, Smith SE, Dickson S. 2001. Accesing phosphate beyond the rhizosphere-depletion zone. Trend Plant Sci 6: 194-195. Lampiran 1: Metode pengamatan kolonisasi FMA pada akar tanaman Pengamatan kolonisasi FMA pada akar tanaman contoh dilakukan teknik pewarnaan akar staining akar. Metode yang digunakan adalah metode Kormanik dan Mc Graw 1982 sebagai berikut: 1. Akar-akar segar dipilih dan dicuci dengan air mengalir hingga bersih. Contoh akar direndam dalam larutan KOH 10 sampai akar menjadi jernih 2. Larutan KOH kemudian dibuang dan contoh akar dicuci dengan air mengalir selama 5-10 menit 3. Contoh akar direndam dalam larutan HCL 5 selama 30 menit. Kemudian larutan tersebut dibuang dengan mengalirkannya secara perlahan-lahan. 4. Contoh akar direndam larutan staining trypan blue 0,05 dan dipanaskan pada alat pemanas selama 10 menit 5. Larutan trypan blue dibuang dan diganti dengan larutan lactogliserol untuk proses distaining. Selanjutnya contoh tanah siap diamati. 6. Perhitungan prosentase kolonisasi akar menggunakan metode panjang akar slide dari Giovanetti dan Mosse 1980. Secara acak potongan-potongan akar yang telah diwarnai diambil dengan panjang ± 1 cm sebanyak 10 potongan akar dan disusun dalam preparat slide. Kolonisasi akar ditandai dengan adanya hifa, vesikula, arbuskula atau satu dari ketiganya. Setiap bidang pandang miskroskop yang menunjukan tanda kolonisasi diberi symbol + dan yang tidak -. Jumlah bidang pandang yang akan diamati sebanyak 10 buah per 1 potongan akar. Persentase kolonisasi akan dihitung dengan menggunakan rumus : Σ akar terinfeksi + kolonisasi = x 100 Σ akar total Lampiran 2: Analisis kimia tanah Ultisol Cianjur Jenis analisis Nilai Kriteria Pusat penl Tanah pH H2O 1:1 5,50 Masam pH HCL 1;10 4,70 Masam C-organik 1,99 Rendah N-Total 0,29 Rendah P Bray I ppm 7,50 Rendah K HCl 25 ppm 242,00 Ca me100g 1,52 Rendah Mg me100g 1,19 Sedang K me100g 0,69 Sedang Na me100g 0,64 Sedang KTK me100g 32,08 Sedang KB 12,59 Rendah Al me100g tr H me100g 0,12 Sangat rendah Fe ppm 0,57 Rendah Cu ppm 1,71 Zn ppm 6,45 Mn ppm 143,82 Pasir 11,17 Debu 29,66 Liat 59,17 Lampiran 3. Katagori arasselang kolonisasi Rajapakse dan Miller 1992 O ’Connor et al. 2001 Persen kolonisasi Katagori Persen kolonisasi Katagori 0 - 5 Kelas 1 0 Tidak dikolonisasi 6 – 25 Kelas 2 10 Rendah 26 –50 Kelas 3 10 – 30 Sedang 51 – 75 Kelas 4 30 Tinggi 75 –100 Kelas 5 Lampiran 4. Rekapitulasi uji F analisis ragam pengaruh perlakuan kultivar, inokulasi FMA dan interaksi kedua perlakuan terhadap parameter pertumbuhan. No Peubah Perlakuan K M KxM 1 Derajat kolonissi tn tn 2 Tinggi tanaman tn tn 3 Jumlah cabang tn tn 4 Panjang akar tn 5 Bobot kering akar tn tn 6 Bobot kering tajuk 7 Nisbah tajukakar tn tn Keterangan : K kultivar, M mikorizaFMA, P pemupukan P, berpengaruh sangat nyata, berpengaruh nyata, tn tidak berpengaruh Tabel Lampiran 5. Rekapitulasi uji F analisis ragam pengaruh perlakuan kultivar, inoklasi FMA, pemupukan P dan interaksi ketiga dan atau kedua perlakuan terhadap parameter pertumbuhan dan produksi ParameterPeubah Perlakuan K M P KMP KM KP MP Parameter Pertumbuhan Tinggi tanaman tn tn tn tn tn Jumlah cabang tn tn tn tn tn tn tn Diameter batang tn tn tn tn tn Parameter Produksi Jumlah buah total tn tn Jumlah buah calon benih tn tn tn tn tn Diameter buah tn tn tn tn tn tn Panjang buah Bobot buah tn tn Jumlah benih tn tn tn Bobot benih tn tn Berat basah brang kasan per tanaman Berat kering bio massa per tanaman Derajat kolonisasi tn tn tn tn Kadar N tn Kadar P Kadar K tn Serapan N Serapan P Serapan K Keterangan : K kultivar, M mikorizaFMA, P pemupukan P, berpengaruh sangat nyata, berpengaruh nyata, tn tidak berpengaruh Lampiran 6. Rekapitulasi uji F analisis ragam pengaruh perlakuan kultivar, inokulasi FMA, pemupukan P dan interaksi ketiga dan atau kedua perlakuan terhadap parameter mutu benih ParameterPeubah Perlakuan K M P KMP KM KP MP Parameter mutu benih Berat 1000 butir Daya berkecambah tn tn tn tn tn tn Kecepatan tumbuh relatif tn tn tn tn tn tn Indeks vigor tn tn tn tn tn Spontanitas Tumbuh tn tn tn tn Keterangan : K kultivar, M mikorizaFMA, P pemupukan P, berpengaruh sangat nyata, berpengaruh nyata, tn tidak berpengaruh Lampiran 7. Rekapitulasi uji F analisis ragam pengaruh perlakuan kultivar, inokulasi FMA, dan interaksi kedua perlakuan terhadap parameter pertumbuhan dan produksi buah dan benih ParameterPeubah Perlakuan K M KP Tinggi tanaman tn tn Diameter batang tn tn Jumlah buah tn tn Bobot buah tn tn Bobot benih tn tn Keterangan: K kultivar, M mikorizaFMA, berpengaruh nyata tn tidak berpengaruh. ABSTRACT WIDI AGUSTIN . Inoculation of Arbuscular Mycorrhizal Fungus to Increase Yield and Quality of Hot Pepper Capsicum annuum L Seed and Phosphorus Fertilization Efficiency. Under direction: SATRIYAS ILYAS, SRI WILARSO BUDI, ISWANDI ANAS, FAIZA C SUWARNO. Pepper production has not been achieving optimal results although demands are increasing. The low production of pepper is partly because the use of seed that has not qualified in quantity and quality. Besides that, pepper is cultivated on the marginal soil such as Ultisol. Nutrient availability, such as P, within the marginal soil is very limited whereas there is high fixations of P. Phosporus provide the important role to increase the quality and production of the seeds. One of the efforts to boost the availability and to make the using of P efficient is inoculating Arbuscular Mycorrhizal Fungus AMF. This research is aimed to isolate indigenous AMF from hot pepper plant rhizosphere, effective AMF selection, and to examine AMF effectiveness in enhancing production and quality of pepper seeds while the use of fertilizer whether or not efficient was then observed. Research conducted contains of four experiments which each experiment links to another. Those are: [1] Isolation, characterization and purification of AMF for three places of hot pepper plantation; [2] Selection of AMF effective in increasing the growth of hot pepper; [3] Examination of AMF effectiveness in boosting up the production and quality of pepper seeds and using efficiency of P fertilizer, [4] Plant response to inoculation inoculum of indigenous mixed AMF and AMF Mycofer. The experiment was conducted in the laboratory and greenhouse Silviculture, Faculty of Forestry IPB, Forests and Environmental Biotech Laboratory, Research Centre for Biological Resources and Biotechnology IPB, and the PPPPTK Pertanian greenhouse. The soil samples were observed coming from the three planting sites rhizosphere hot pepper. Selections are made to the effective AMF isolates from single spore culture results and AMF Mycofer from laboratory Biotech Forest and Environment, Research Centre for Biological Resources and Biotechnology IPB. Testing the effectiveness of using the design plots are divided split-split plot in a Randomized design pattern, with three factors and three replications. The main plot is hot pepper cultivar: Laris type from Panah Merah and Tegar from Surabumi. The sub plot is the inoculant arbuscular mycorrhizae which are uninoculated and inoculated of Mycofer AMF 100 spores per seedling. The sub- sub plot are some level of P 2 5 dose: without fertilizer P and with 100 kgha of P 2 O 5 , 125 kgha P 2 O 5 , 150 kg P 2 O 5 . Experiment of plant response to inoculation of indigenous mixed AMF and Mycfer AMF was arranged in split plot design, the main plot: hot pepper cultivar. The sub plot is the inoculant arbuscular mycorrhiza: uninoculated, inoculated of Mycofer AMF 100 spores per seedling, and inoculated of indigenous mixed AMF. The results showed that the pepper rhizosphere is found in three genus nine species spores i.e. two species of Glomus, three species of Gigaspora and four species of Acaulospora. Based on a single spore culture, it was found that only three species that can grow and develop properly; one species of Glomus PENDAHULUAN Latar Belakang Kebutuhan cabai terus meningkat setiap tahun sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk dan berkembangnya industri yang membutuhkan bahan baku cabai. Data statistik menunjukkan bahwa konsumsi cabai mencapai 4.65 kg per kapita per tahun, jika diasumsikan penduduk yang mengkonsumsi cabai berumur 15 tahun ke atas sebanyak 170 juta maka diperkirakan kebutuhan cabai dalam negeri sebesar 790 500 ton per tahun. Luas pertanaman cabai pada tahun 2008 mencapai 103 837 ha, menempati urutan pertama terluas dibandingkan dengan tanaman sayuran lainnya Direktorat Jenderal Hortikultura 2009. Rataan produksi nasional baru mencapai 6.51 tonha atau hanya menghasilkan 736 019 ton Departemen Pertanian 2007. Angka tersebut masih sangat rendah bila dibandingkan dengan produktivitas negara Cina yang telah mencapai 19,13 tonha Ali 2006. Rendahnya produksi cabai disebabkan antara lain penggunaan benih yang belum memenuhi syarat baik jumlah maupun mutu. Kebutuhan benih Nasional 73 814 kg, sedangkan produksi benih hanya 11 201 kg atau hanya 18.10 dari kebutuhan Nasional Departemen Pertanian 2006. Kekurangan benih 81.9 masih mengandalkan penanaman benih sendiri atau diperoleh dari sumber lain yang tidak teridentifikasi secara resmi. Penggunaan benih bermutu rendah menghasilkan produksi yang rendah. Selain disebabkan oleh mutu benih, rendahnya produksi juga disebabkan oleh karena sebagian usahatani sayuran dilakukan pada tanah marginal seperti Ultisol. Di Indonesia tanah Ultisol lebih kurang 45.8 juta ha atau 24 luas daratan Indonesia Subagyo et al. 2000. Tanah Ultisol terbentuk dari batuan liat, pH tanah asam, dan KB rendah. Pada tanah masam pH dibawah 5, kelarutan Al sangat tinggi terdapat dalam bentuk Al 3+ yang sangat beracun bagi tanaman, hal ini merupakan kendala yang sering membatasi pertumbuhan tanaman Vitorello et al. 2005. Keracunan Al menyebabkan penghambatan perpanjangan akar primer dan sekunder sehingga akar menjadi kerdil yang menyebabkan penghambatan penyerapan hara dan air Taylor 1988; Marschner 1995. Gangguan penyerapan hara juga terjadi karena pengaruh langsung interaksi Al dengan fosfor P sehingga P menjadi tidak tersedia bagi tanaman Marschner 1995. Fosfor merupakan salah satu unsur hara makro yang penting dalam pertumbuhan akar, pertumbuhan bagian generatif bunga, buah dan perkecambahan benih. Unsur tersebut berfungsi sebagai penyusun metabolit dalam senyawa kompleks, sebagai aktivator, kofaktor atau penyatu enzim dan berperan dalam proses fisiologis Soepardi 1983. Selain itu fosfor merupakan molekul pentransfer energi ADP dan ATP Gardner et al. 1991; Marschner 1995. Jika energi tersedia dalam jumlah cukup maka semua proses metabolisme dapat berlangsung dengan baik, sehingga tanaman akan lebih mampu tumbuh dengan baik. Pemberian pupuk P pada tanah Ultisol yang bertujuan meningkatkan kandungan dan ketersediaan P tanah serta meningkatkan produksi benih cabai, menjadi tidak efisien karena ada fiksasi P yang tinggi pada tanah Ultisol. Mikanova dan Novakova 2002 menyatakan meskipun P total dalam tanah terdapat dalam jumlah yang banyak tetapi ketersediaannya bagi tanaman sangat rendah. Tanaman hanya mengambil 10-25 P yang diberikan melalui pemupukan, sebagian besar mengakibatkan perubahan kimia dalam tanah menjadi bentuk tidak larut dan tidak tersedia bagi tanaman. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan ketersediaan dan efisiensi P adalah dengan menginokulasi fungi endomikoriza Jumaniyazova et al. 2004. Fungi mikoriza arbuskula FMA telah menunjukkan peran yang menguntungkan bagi tanaman yaitu kolonisasi mikoriza membantu tanaman dalam mengatas kondisi kering Nelson dan Safir 1982; Hapsoh 2003; Hanum 2004; Kartika 2006, menghalangi patogen akar Gianinazzi-Person dan Gianinazzi 1983, meningkatkan agregasi tanah dalam tanah tererosi. Inokulasi dengan FMA adalah cara yang efisien untuk meningkatkan penyerapan fosfat yang ditransfer ke tanaman Smith 2002; FAO 2005; Suparno 2008. Hal ini berhubungan dengan peningkatan penyerapan hara P oleh penyebaran hifa mikoriza dan lebih nyata pada tanah dengan kesuburan rendah Garcia-Garrido et al. 2000. Menurut Marschner 1995, tanaman yang bermikoriza mempunyai laju penyerapan unsur P per unit panjang akar meningkat 2-3 kali dibandingkan tanaman tanpa mikoriza. Hal ini karena pada akar tanaman yang bermikoriza ditemukan hifa yang memberikan kontribusi sebesar 70-80 dari total penyerapan P. Prinsip kerja dari FMA adalah menginfeksi sistem perakaran tanaman inang, memproduksi jalinan hifa secara intensif. Fungi mikoriza arbuskula dapat meningkatkan pertumbuhan vegetatif dan reproduktif tanaman, seperti hasil penelitian Aguilera-Gomes et al., 1999 yang mendapatkan bahwa FMA dapat meningkatkan jumlah daun, luas daun, bobot kering tajuk, akar dan buah Capsicum annuum L meningkat 450. Mieke et al., 2003 melaporkan pemberian FMA dan pupuk P dapat meningkatkan umbi kentang sebesar 23.5. Hasil percobaan Farida 2003 menunjukkan pemberian FMA dapat meningkatkan pertumbuhan stek tebu. Purnomo 2008 bahwa inokulasi Gigaspora margarita dapat meningkatkan bobot buah panen sebesar 94.49 pada cabai Cilibangi 3 dan 80.37 pada cabai Helm. Kemampuan FMA memperbaiki dan meningkatkan pertumbuhan tanaman berkaitan dengan peranannya dalam penyerapan fosfor, seperti hasil penelitian Kalpulnik, dan Douds 2000 menyatakan bahwa biji yang berasal dari tanaman bermikoriza mengandung P lebih banyak dari tanaman tanpa mikoriza. Fosfor total dalam benih berfungsi sebagai cadangan fosfor dan untuk pemeliharaan energi. Benih dengan kandungan P total tinggi dapat meningkatkan vigor benih, sehingga mampu mempertahankan viabilitasnya selama periode simpan Bewle dan Black

1978. Fosfor dalam benih berbentuk: 1 fosfat an organik yaitu H

2 PO 4 - , 2 senyawa cadangan yaitu fitin, 3 senyawa fosfor yang terikat pada fosfolipid, asam nukleat dan sebagainya, 4 intermediat metabolisme misalnya gula fosfat, NAD dan 5 senyawa kaya energi yaitu ATP. Benih yang berkembang dalam tanaman induk yang disuplai hara optimum akan menghasilkan kemampuan menghimpun energi yang baik, sebaliknya benih yang mempunyai kandungan P yang rendah akan mempunyai status vigor yang rendah Sadjad, 1993. Vigor benih mencerminkan mutu dari suatu benih. Ilyas 2003 menyatakan mutu dapat diklasifikasikan menjadi mutu genetis, mutu fisiologis dan mutu fisik. Mutu genetik benih mengait pada sifat-sifat yang menurun yang dibawa oleh benih dari masing-masing spesies atau varietas. Mutu fisiologis mengait pada mutu benih untuk tingkat viabilitasnya dan mutu benih apabila disimpan dan ditranslokasikan. Mutu fisik mengait pada mutu kebersihan dan homogenitas fisik. Volume tanah yang dijelajah oleh 1 cm akar tanaman tanpa FMA hanya sekitar 1-2 cm 3 , sedangkan 1 cm akar tanaman ber FMA dapat menjelajah 12-15 cm 3 6-15 kali Sieverding 1991. Akibat pembesaran volume jelajah akar serap bermikoriza, keuntungan yang diperoleh tanaman adalah 1 peningkatan daya serap air dan hara terutama yang relatif immobile seperti P, Cu dan Zn, juga yang relatif mobile seperti K, S, NH 4 + , Mo; 2 penurunan stress tanaman akibat infeksi patogen akar, kondisi tanah salin, kelembaban tanah yang rendah, temperatur tanah yang tinggi serta faktor-faktor merugikan lainnya, 3 peningkatan toleransi tanaman terhadap defisiensi hara pada tanah tidak subur, dan terhadap kemasaman dan toksisitas Al, Fe, dan Mn pada tanah masam dan 4 peningkatan nodulisasi dan daya fiksasi N 2 oleh Rhizobium pada simbiosis legum, 5 meningkatkan serapan dan toleransi tanaman terhadap toksisitas Zn Dueck et al. 1986; Burkert dan Robson 1994; 6 merangsang laju fotosintesis dan transportasi fotosintat ke akar, produksi hormon seperti IAA Indole Acetic Acid, sitokinin, auksin dan giberelin dan eksudasi asam-asam organik dari akar, serta permeabilitas membran terhadap lintasan hara Abbott dan Robson 1984; Gianinazzi-Pearson dan Gianinazzi 1983; 7 mempercepat fase fisiologis definitif, sehingga waktu berbunga dan panen dipercepat, serta meningkatkan daya survival tanaman pada awal pertanaman Linderman dan Hendrix 1984; dan 8 berperan penting dalam konservasi dan pendauran hara dalam tanah, dalam agregasi tanah dan mengurangi erosipelindian hara tanah Sieverding 1991. Penelitian inokulasi FMA pada kelapa sawit asal kultur in vitro menunjukkan bahwa inokulasi FMA meningkatkan efisiensi pemupukan P Blal et al. 1990 dan meningkatkan daya hidup serta serapan hara tanaman Widiastuti dan Tahardi 1993. Efisiensi serapan berkaitan dengan karakterisasi morfologi, fisiologi maupun biokimia akar. Blair 1993 mengemukakan ada tiga katagori utama untuk mendifinisikan efisiensi P yaitu: 1 Efisiensi serapan yang berdasarkan pada parameter akar 2 Efisiensi pembentukan yang berhubungan dengan hasil tajuk 3 Efisiensi penggunaan meliputi keseluruhan tanaman akar dan tajuk. Aplikasi fungi mikoriza dan berbagai taraf pupuk P diharapkan berinteraksi positif dalam meningkatkan produksi cabai dan mutu benih yang dihasilkan serta meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk P pada lahan-lahan marginal. Penelitian terdiri atas empat percobaan yang saling melengkapi dan berkaitan antara satu dengan yang lainnya yaitu: 1 isolasi, karakterisasi dan pemurnian FMA, 2 seleksi FMA yang efektif terhadap pertumbuhan cabai, 3 pengujian efektivitas inokulasi dalam menekan penggunaan pupuk P dan peningkatan produksi dan mutu benih cabai genotip Laris dan Tegar, 4 tanggap tanaman terhadap inokulasi inokulum FMA indigenous campuran dan inokulum FMA Mycofer. Tujuan Penelitian 1. Mengisolasi dan mengkarakterisasi FMA pada lahan penanaman cabai di daerah Cianjur. 2. Mendapatkan jenis FMA yang efektif dalam meningkatkan pertumbuhan bibit cabai. 3. Mengkaji pengaruh inokulasi FMA dalam meningkatkan efisiensi pemupukan P 4. Mengkaji pengaruh inokulasi FMA dan pupuk P terhadap peningkatan hasil dan mutu benih cabai. Kegunaan Penelitian 1. Dengan ditemukan isolat FMA yang efektif maka isolat tersebut dapat digunakan pada usahatani cabai di tanah Ultisol. 2. Dengan diketahui mekanisme kerja FMA dalam peningkatan penyerapan hara P, maka diharapkan dapat memperbaiki teknik budidaya khususnya dalam pemupukan. 3. Sebagai salah satu alternatif paket teknologi dalam meningkatkan produksi benih cabai. Hipotesis 1. Terdapat keragaman jenis-jenis FMA pada rhizosfer cabai. 2. Terdapat FMA jenis tertentu yang efektif tinggi pada tanaman cabai di tanah Ultisol. 3. Inokulasi FMA dapat meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk P. 4. Inokulasi FMA dan pemupukan P meningkatkan produksi dan mutu benih. Strategi Penelitian Penelitian ini terdiri atas tiga topik penelitian, dan masing-masing topik penelitian saling berkaitan. Topik pertama bertujuan untuk mengisolasi dan mengkarakterisasi isolat-isolat FMA yang terdapat pada tanah Utisol, dengan judul “Isolasi, karakterisasi dan pemurnian FMA dari tanah Ultisol lahan penanaman cabai”. Isolat-isolat yang ditemukan pada penelitian pertama, diuji keefektifannya terhadap pertumbuhan bibit cabai pada penelitian kedua. Judul penelitian kedua Seleksi FMA efektif terhadap pertumbuhan cabai”. Selanjutnya hasil penelitian kedua digunakan untuk penelitian ketiga dengan judul Efektivitas inokulasi fungi mikoriza arbuskula dalam meningkatkan produksi dan mutu benih cabai serta menekan kebutuhan pupuk P ”, penelitian keempat dengan judul” Tanggap tanaman terhadap inokulasi inokulum FMA indigenous campuran dan inokulum FMA Mycofer”. Bagan alir penelitian yang menunjukkan keterkaitan antar penelitian disajikan pada Gambar 1 INOKULASI FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA UNTUK MENINGKATKAN PRODUKTIVITAS DAN MUTU BENIH CABAI Capsicum annuum L SERTA EFISIENSI PENGGUNAAN PUPUK P Gambar 1. Bagan Alir Penelitian Percobaan 1 Inokulasi, karakterisasi, pemurnian dan perbanyakan FMA dari lokasi penanaman cabai pada tanah Ultisol Percobaan 2 Seleksi fungi mikoriza arbuskula FMAhasil percobaan 1 yang efektif dalam pertumbuhan cabai Percobaan 3 Efektivitas inokulasi FMA hasil percobaan 2 dalam meningkatkan produksi dan mutu benih cabai serta menekan kebutuhan pupuk P Hasil yang diharapkan FMA meningkatkan produksi , mutu benih dan penggu naan pupuk p Hasil yang diharapkan FMA efektif dalam meningkatkan pertumbuhan Hasil yang diharapkan Jenis FMA indigenous Karakteristik Percobaan 4 Tanggap tanaman terhadap inokulasi inokulum FMA indigenous campuran dan inokulum Mycofer Hasil yang diharapkan FMA campuran efektif dalam meningkatkan produksi TINJAUAN PUSTAKA Tanah Ultisol dan Permasalahannya Pada wilayah beriklim tropika basah seperti di Indonesia, kemasaman tanah yang tinggi merupakan suatu masalah utama yang sering ditemui. Curah hujan ≥ 2.000 mm per tahun, temperatur rata-rata 27 C, mengakibatkan tercucinya