BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kemajuan di bidang pengetahuan dan teknologi yang ditunjang dengan kemajuan di bidang komunikasi dan informasi dalan era globalisasi ini telah
menyebarkan dampak positif dan negatif keseluruhan dunia. Dampak negatifnya dapat dilihat dengan semakin berkembangnya the new dimentions of crime, yang
merupakan kejahatan yang dilakukan dengan menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan pelaku professional.
4
Salah satu organisasi internasional yang memberi perhatian besar adalah The Financial Action Task Force On Money Laundering FATF, berkedudukan
di Paris yang didirikan oleh G-7 Summit di Paris pada bulan Juli tahun 1989, bertujuan untuk mengupayakan berbagai cara dan tindakan untuk memerangi
praktik kejahatan pencucian uang money laundering. Lembaga ini telah menyusun dan mengeluarkan 40 empat puluh rekomendasi yang harus
Kejahatan dalam suatu wilayah negara maupun lintas batas wilayah negara juga semakin berkembang, diantaranya illegal
logging, perdagangan obat-obatan terlarang, penyelundupan barang, penyelundupan tenaga kerja, terorisme, penyuapan, korupsi, dan kejahatan-
kejahatan kerah putih white collor crime, lainnya. Tidak kejahatan ini umumnya
melibatkan dan menghasilkan uang dalam jumlah yang besar.
4
Her Kustriyadi Wibawa, Verifikasi Dokumentasi dan Tandatangan Pencegahan dan Penindakan Kejahatan Perbankan dan Keuangan, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2002,
hal.1.
Universitas Sumatera Utara
dilaksanakan oleh anggotanya. Rekomendasi ini dikenal sebagai “Forty Recommendations”.
5
Indonesia merupakan “surga” untuk praktik pencucian uang money laundering. Dengan demikian Indonesia mendapat kesan buruk di mata dunia
internasional dan telah masuk ke dalam barisan daftar hitam black list sebagai NCCTs sejak tahun 2001 oleh FATF, maka Pemerintah Indonesia membuat
ketentuan yang melarang kegiatan pencucian uang money laundering dalam bentuk apapun yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, selanjutnya disebut sebagai Undang-Undang TPPU, yang merupakan singkatan dari Undang-
Undang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Tindak lanjut dari terbentuknya FATF tersebut adalah dengan merekomendasikan beberapa negara yang dikategorikan tidak kooperatif
dalam memerangi kejahatan pencucian uang dan dimasukkan dalam daftar Non-
Cooperative Countries and Teritories NCCTs.
Tindak pidana pencucian uang money laundering tersebut dapat terjadi setelah dilakukakannya kejahatan awal atau asal predicate offence, misalnya
korupsi, penyuapan, narkotika, psikotropika, penyelundupan tenaga kerja, penyelundupan migran, perdagangan orang, perdagangan senjata gelap, terorisme,
penculikan, pencurian, penggelapan, penipuan, pemalsuan uang, dan perjudian. Setelah itu, proses pencucian uang tersebut terjadi ketika uang tersebut
dipergunakan untuk kepentingan sendiri atau bersama yang dapat dilakukan melalui bidang perbankan, pasar modal, asuransi, yayasan, ataupun untuk
5
Sutan Remy Sjahdeini, Seluk-Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pembiayaan Terorisme, Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti, 2004, hal 89.
Universitas Sumatera Utara
melakukan kejahatan kembali, misalnya di bidang narkotika ataupun kejahatan
lainnya. Pencegahan praktik pencucian uang tidak hanya dapat diatasi dengan
adanya Undang-Undang TPPU, melainkan juga harus dibantu dengan adanya peraturan lain yang bersangkutan dengan praktik pencucian uang tersebut,
misalnya dalam yayasan, maka sangat diperlukan Undang-Undang Yayasan untuk membantu terselenggaranya pencegahan praktik pencucian uang tersebut.
Sebelum lahirnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2001, yang kemudian diamandemen dengan Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Yayasan, pendirian yayasan di Indonesia dilakukan berdasarkan kebiasaan dalam masyarakat, doktrin, dan yurisprudensi.
Badan hukum yayasan, di samping untuk tujuan sosial, kemanusiaan, dan keagamaan, telah pula dipergunakan untuk tujuan-tujuan lain yang menyimpang
dari tujuan semula penciptaan badan hukum ini. Penambahan “keagamaan” dalam tujuan yayasan, merupakan suatu penekanan karena sebenarnya dalam tujuan
sosial dan kemanusiaan, sudah termasuk tujuan keagamaan. Yayasan telah dipergunakan untuk tujuan-tujuan yang bukan tujuan sosial dan kemanusiaan,
seperti untuk memperkaya diri sendiri atau pengurus yayasan, menghindari pajak yang seharusnya dibayar untuk menguasai suatu lembaga pendidikan untuk
selama-lamanya, untuk menembus birokrasi, untuk memperoleh berbagai fasilitas dari negara atau penguas, dan berbagai tujuan lain.
6
6
Chatamarrasjid Ais selanjutnya disebut dengan I, Badan Hukum Yayasan Suatu Analisis Mengenai Yayasan Sebagai Suatu Badan Hukum Sosial, cet. 1, Bandung: Penerbit PT.
Citra Aditya Bakti, 2002, hal. 104.
Universitas Sumatera Utara
Pengaturan yayasan dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan jo. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan, selanjutnya disebut sebagai Undang-Undang Yayasan, merupakan perwujudan politik hukum
nasional dalam pembentukan hukum baru. Dengan pengaturan tersebut, yayasan ditegaskan sebagai badan hukum, sehingga mempunyai landasan hukum yang
kuat dalam melaksanakan kegiatan sesuai dengan maksud dan tujuannya. Oleh karena kenyataan dalam masyarakat menunjukkan yayasan tumbuh dan
berkembang begitu pesat dengan berbagai kegiatan, maksud, dan tujuannya yang
juga dapat berperan dalam mendukung kegiatan perekonomian.
Lahirnya undang-undang baru tentang yayasan ini, diharapkan dapat mengatasi berbagai masalah mengenai yayasan, serta diharapkan akan menjadi
dasar hukum yang kuat dalam mengatur kehidupan yayasan di Indonesia, dan menjamin kepastian dan ketertiban hukum agar yayasan berfungsi sesuai dengan
maksud dan tujuannya berdasarkan prinsip akuntabilitas dan transparansi guna
mencegah terjadinya praktik tindak pidana pencucian uang money laundering.
Salah satu prasyarat dan kondisi yang harus dipenuhi untuk meningkatkan efektivitas penerapan prinsip akuntabilitas dan transparansi adalah adanya
kesamaan persepsi dan pemahaman oleh yayasan, perbankan, dan aparat penegak hukum mengenai perlunya penerapan prinsip tersebut. Salah satu upaya yang satu
ini tengah dilakukan adalah komunikasi dan sosialisasi secara intensif dan berkesinambungan bukan hanya dengan yayasan tetapi juga dengan masyarakat
Universitas Sumatera Utara
luas. Khusus bagi dunia yayasan, persamaan persepsi dimaksud perlu dicapai
mulai dari tingkat kebijakan sampai dengan pelaksanaanya.
Dalam yayasan terdapat prinsip akuntabilitas dan transparansi yang wajib dijadikan acuan utama oleh tiap-tiap yayasan dalam menyusun kebijakan dan
prosedur penerapan prinsip akuntabilitas dan transparansi. Dengan menerapkan prinsip akuntabilitas dan transparansi ini diharapkan tindak pidana pencucian
uang money laundering dapat dicegah terutama pada sektor keuangan.
B. Perumusan Masalah