Kerusakan Pohon Peneduh di Wilayah Jakarta Selatan

(1)

K

KERUSA

HAR

D

IN

AKAN PO

JAK

RISFAN N

DEPART

FAKUL

NSTITUT

OHON PE

KARTA SE

NOPIANS

EMEN H

LTAS KE

T PERTA

BOGO

2012

NEDUH

ELATAN

SYAH BA

HASIL HU

EHUTAN

ANIAN BO

OR

2

DI WILA

N

ATUBARA

UTAN

NAN

OGOR

AYAH


(2)

KERUSAKAN POHON PENEDUH DI WILAYAH

JAKARTA SELATAN

HARISFAN NOPIANSYAH BATUBARA

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada

Fakultas Kehutanan

DEPARTEMEN HASIL HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(3)

RINGKASAN

HARISFAN NOPIANSYAH BATUBARA. Kerusakan Pohon Peneduh di Wilayah Jakarta Selatan. Dibimbing Oleh DODI NANDIKA dan LINA KARLINASARI.

Keberadaan pohon peneduh (shade trees) di wilayah perkotaan sangat penting. Hal ini terkait dengan besarnya nilai dan manfaat pohon tersebut, baik secara estetika, sosial, dan ekologis. Sehubungan dengan hal tersebut, pemantauan kesehatan pohon di wilayah perkotaan sangat penting. Namun demikian saat ini perhatian terhadap kesehatan pohon peneduh di kota-kota di Indonesia masih relatif rendah. Hal ini tercermin antara lain dari kurangnya informasi tentang kesehatan pohon peneduh dan kurangnya antisipasi sebagian besar pemerintah kota terhadap kemungkinan tumbangnya pohon peneduh di wilayah masing-masing. Salah satu cara yang paling sederhana untuk mengetahui kesehatan pohon adalah dengan pengamatan secara visual terhadap fisik pohon. Selain itu, dapat digunakan teknologi pemantauan kesehatan pohon secara Nondestructive

Evaluation/Testing (NDE/T) berbasis gelombang ultrasonik. Teknologi ini sangat

sesuai untuk mengetahui kondisi bagian dalam batang pohon berdiri, seperti keberadaan gerowong yang sering tidak terdeteksi dari luar.

Suatu penelitian telah dilakukan untuk mengetahui kesehatan pohon peneduh di wilayah Jakarta Selatan, Provinsi DKI Jakarta, baik secara visual maupun dengan memanfaatkan rambatan gelombang ultrasonik yang dihasilkan dari alat Sylvatest Duo® (frekuensi 22 KHz). Pengamatan secara visual dilakukan terhadap ada tidaknya gejala deteriorasi pada pohon sasaran, dari pangkal batang hingga tajuk pohon. Sementara itu penilaian kesehatan pohon dengan alat

Sylvatest Duo® didasarkan atas kecepatan rambatan gelombang di dalam batang

pohon sasaran pada ketinggian setinggi dada (DBH). Pohon peneduh yang berdiameter ≥ 45 cm dipilih sebagai pohon sasaran. Pohon sasaran tersebar di 11 ruas jalan contoh di seluruh kecamatan (10 kecamatan) di wilayah Jakarta Selatan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya 13,85% pohon peneduh di wilayah Jakarta Selatan yang secara visual tidak menunjukkan gejala deteriorasi, sedangkan sisanya (86,15%) menunjukkan adanya gejala deteriorasi berupa kanker (16,45%); luka terbuka (16,02%); gerowong (9,52%); perubahan warna daun (9,10); mata kayu (6,49%); keropos akibat serangan rayap (5,20%); kerusakan kuncup, daun atau tunas (4,33%); kematian ranting atau cabang

(dieback) (3,46%); lapuk (3,46%); lapuk hati (konk) (3,03%); tumbuhan

pengganggu (2,60%); resinosis (0,43%); dan lain-lain (6,06%). Hal ini sejalan dengan hasil evaluasi berbasis gelombang ultrasonik, dimana sebanyak 11,26% pohon sasaran termasuk ke dalam kategori kecepatan I (kondisi pohon sehat), sisanya (88,74%) mengalami deteriorasi yang terdiri dari kategori II (14,71%); III (23,81%); dan IV (17,75%), sementara itu untuk pohon yang masuk kategori V


(4)

(sakit) mencapai 32,47%. Pada pohon sakit, rambatan gelombang ultrasonik mengalami hambatan internal dalam batang pohon akibat adanya gerowong, lapuk atau bentuk deteriorasi lainnya. Adanya deteriorasi dalam batang pohon sasaran tersebut mempengaruhi sifat fisis kayu, khususnya kadar air.

Upaya pemeliharaan dan perawatan pohon peneduh di Jakarta Selatan perlu diintensifkan sebagai bagian dari sistem pengelolaan pohon peneduh. Perhatian khusus perlu diberikan terhadap kondisi kesehatan pohon glodogan dan pohon angsana, bahkan perlu dipertimbangkan kembali kebijakan penggunaan kedua jenis pohon tersebut sebagai pohon peneduh.

Kata Kunci: Kesehatan pohon, Pohon peneduh, Pengamatan visual pohon, Pengujian non destruktif, Gelombang ultrasonik.


(5)

     

INTRODUCTION : The shade trees in Southern Jakarta plays important roles in aesthetical, social, as well as ecological aspects. Therefore, regular monitoring and evaluation of their health condition is quite critical. However, the awarness on that issue is not sufficient. One of the simple ways to determine tree’s health is by visual observation. In addition, today’s latest technique to determine tree’s health, particularly tree’s stem condition, is by using ultrasonic wave propagation accros the targeted tree’s stem. This technique could assess inner part of targeted trees’s stem which is hard to detected by visual observation. A study was conducted to evaluate health condition of shade trees grown in Southern Jakarta area by visual observation and ultrasonic wave propagation measurement.  

MATERIAL AND METHODS : 231 shade trees (DBH ≥ 45 cm) that growth along the sample streets (1% of total length of streets) in South Jakarta area was elected purposively as targeted trees. Visual observation on each targeted trees was conducted to determine any deterioration evidence in any parts of the tree (from stem base until tree’s crown). Whereas a SylvatestDuo® (ultrasonic wave propagation system) was used to determine inner parts of each targeted tree’s stem.

RESULT AND DISCUSSION: The result showed that only 13,85% of shade trees in South Jakarta were not showing deterioration indication, and the rest of them (86,15%) shows deterioration such as tree cancer about (16,45%); open wound (16,02%); hole (9,52%); leaf discolor (9,10%); knot (6,49%); termite attack (5,20%); shoot and bud damages (4,33%); dieback (3,46%); decayed (3,46%); konk (3,03%); weeds (2,60%); resinosis (0,43%); and other (6,06%). Those were in line with ultrasonic wave test results, where were 11,26% of targeted tree include in speed category I (health). The rest of them (88,74%) include in speed category II (14,71%); III (23,81%); and IV (17,75%), whereas for category V (sick) about 32,47%. In deteriorated tree, the ultrasonic wave propagation met the internal obstacle inside the tree due to hole existance inside. Deterioration inside the targeted tree were affected on physical properties of wood, especially moisture content. 

KEYWORDS: Tree’s health, shade tree, tree’s visual monitoring, non destructive testing, ultrasonic wave.

1)

Student of Forest Products Department, Faculty of Forestry, IPB

2)

Lecturer of Forest Products Department, Faculty of Forestry, IPB  

E/THH 

Deterioration of Shade Trees in Southern Jakarta Area

By :

1)

Harisfan Nopiansyah Batubara, 2) Dodi Nandika,

2)


(6)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Skripsi : Kerusakan Pohon Peneduh di Wilayah Jakarta Selatan Nama Mahasiswa : Harisfan Nopiansyah Batubara

NIM : E24070012

Program Studi : Teknologi Hasil Hutan

Menyetujui,

Dosen Pembimbing 1 Dosen Pembimbing 2

Prof. Dr. Ir. Dodi Nandika, MS. Dr. Lina Karlinasari, S.Hut, M.Sc.F.Trop

NIP : 19511207 198203 1 001 NIP : 19731126 199802 2 001

Mengetahui,

Ketua Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. I Wayan Darmawan, M.Sc

NIP: 19660212 199103 1 002


(7)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi “Kerusakan Pohon Peneduh di Wilayah Jakarta Selatan” adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Maret 2012

Harisfan Nopiansyah Batubara NIM E24070012


(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pekanbaru, Riau pada tanggal 13 November 1988 dari ayah H. Harun Alrasyid Batubara dan ibu Hj. Hafni Erta Nasution. Penulis merupakan anak ketiga dari empat bersaudara.

Penulis memulai pendidikannya di SD Negeri 029 Rintis Pekanbaru pada tahun 1995, kemudian melanjutkan pendidikan pada tahun 2001 di SLTP Negeri 1 Pekanbaru. Tahun 2007 penulis lulus dari SMA Negeri 8 Pekanbaru dan pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).

Selama mengikuti pendidikan di Fakultas Kehutanan IPB, penulis aktif di sejumlah organisasi kemahasiswaan yakni Himpunan Mahasiswa Hasil Hutan (HIMASILTAN) sebagai Kepala Bidang Pengembangan Sumber Daya Manusia (PSDM) tahun 2009-2010, anggota divisi Olahraga dan Seni Ikatan Keluarga Pelajar Mahasiswa Riau Bogor (IKPMR) tahun 2008-2009, dan anggota Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Tenis Meja IPB. Selain itu penulis juga melakukan Praktek Kerja Lapang di PT. Intracawood Manufacturing Tarakan, Kalimantan Timur pada tahun 2011.

Untuk memperoleh gelar sarjana Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul Kerusakan Pohon Peneduh di Wilayah Jakarta Selatan. Selama penyelesaian skripsi penulis dibimbing oleh Prof. Dr. Ir. Dodi Nandika, MS. dan Dr. Lina Karlinasari, S.Hut, M.Sc.F.Trop.


(9)

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala curahan rahmat dan kasih sayang-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan menyusun skripsi yang berjudul “Kerusakan Pohon Peneduh di Wilayah Jakarta Selatan”.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses penyusunan skripsi. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun untuk penyempurnaannya sangat diharapkan. Penulis juga berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat terutama bagi penulis dan pihak-pihak yang membutuhkan.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb

Bogor, Maret 2012


(10)

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan kontribusi kepada penulis dalam melakukan penelitian ini dan selama menempuh pendidikan di Fakultas Kehutanan. Untuk itu, ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada :

1. Kedua orang tua dan segenap keluarga besar yang telah memberikan cinta dan kasih sayang selama ini serta selalu memberikan motivasi dan semangat bagi penulis dalam menyelesaikan studi.

2. Prof. Dr. Ir. Dodi Nandika, MS dan Dr. Lina Karlinasari S.Hut, M.Sc.F.Trop selaku Dosen Pembimbing I dan II atas segala bimbingan dan pengarahannya. 3. Ir. Ahmad Hadjib, MS selaku dosen penguji dan Dr. Ir. I Wayan Darmawan,

M.Sc selaku ketua sidang komprehensif.

4. Segenap jajaran para Dosen dan Staf Departemen Hasil Hutan IPB yang telah memberikan ilmu dan pelayanan terbaik selama kuliah.

5. Kepala Suku Dinas Pertamanan Jakarta Selatan beserta staf yang telah memberikan izin dan membantu pelaksanaan penelitian ini.

6. Teman-teman seperjuangan Ferry, Reza, Mukhlas, Ivana, Werdhy, Januar, Jauhar, Ika, Dendi, Hafidz, Syamsi, Anas, Iftor, Barus, Putu, Sisharyanto, Agung dan Amin yang telah banyak membantu penelitian ini.

7. Keluarga besar HIMASILTAN atas kebersamaannya selama ini. 8. Seluruh pihak yang namanya tidak dapat disebutkan satu persatu.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat terutama bagi penulis dan pihak lain yang membutuhkan serta memajukan kehutanan Indonesia.


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL... iii

DAFTAR GAMBAR... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... vi

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 2

1.3 Manfaat ... 2

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pohon Peneduh di Perkotaan dan Fungsinya ... 3

2.2 Jenis – Jenis Pohon Peneduh ... 5

2.3 Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Kerusakan Pohon ... 6

2.4 Tipe – Tipe Kerusakan Pada Pohon ... 8

2.5 Pengujian Nondestruktif Berbasis Gelombang Ultrasonik ... 10

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat ... 12

3.2 Alat dan Bahan ... 12

3.3 Prosedur Penelitian... 12

3.3.1 Pemilihan Sasaran Pengamatan... 12

3.3.2 Penentuan Pohon Sasaran dan Posisi Geografisnya ... 13

3.3.3 Pengukuran Dendrometri Pohon Sasaran... 13

3.3.4 Evaluasi Kesehatan Pohon Sasaran ... 14

3.3.5 Pengujian Sifat Fisis Kayu ... 15

3.3.6 Analisis Data ... 17

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Kondisi Geografi ... 18

4.2 Jaringan Jalan Kota Jakarta Selatan ... 18

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Karakteristik Pohon Sasaran ... 22


(12)

5.2 Evaluasi Kesehatan Pohon Secara Visual ... 25

5.3 Evaluasi Berbasis Gelombang Ultrasonik ... 34

5.4 Sifat Fisis Kayu ... 39

5.4.1 Kadar Air ... 39

5.4.2 Kerapatan ... 40

6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 42

6.2 Saran ... 42

DAFTAR PUSTAKA ... 43

LAMPIRAN ... 46

                             


(13)

DAFTAR TABEL

No Halaman

1 Nama jalan dan panjang jalan contoh di setiap kecamatan ... 13 2 Intensitas kepadatan jalan di wilayah Jakarta Selatan... 19 3 Standar intensitas kepadatan jalan ... 20 4 Sebaran pohon sasaran di setiap kecamatan di wilayah Jakarta Selatan ... 23


(14)

DAFTAR GAMBAR

No Halaman

1 Skema penempatan alat SylvatestDuo® pada batang pohon sasaran :

penampang memanjang /vertikal (a) dan penampang melintang (b) ... 14

2 Penempatan transduser SylvatestDuo® pada batang pohon sasaran ... 15

3 Pengambilan contoh uji kayu dengan menggunakan bor riap ... 16

4 Contoh uji kerapatan kayu pohon sasaran ... 16

5 Contoh kayu dari batang pohon sasaran yang telah dibungkus aluminium foil ... 17

6 Jalur hijau di Kota Jakarta Selatan yaitu jalur median jalan (a) dan jalur tepian jalan (b) ... 21

7 Persentase jenis pohon peneduh di Jakarta Selatan ... 23

8 Klasifikasi diameter pohon sasaran ... 24

9 Contoh jenis pohon peneduh Kota Jakarta Selatan: angsana (a) dan mahoni (b) ... 25

10 Kondisi pohon sasaran berdasarkan gejala deteriorasi yang ditemukan ... 26

11 Kanker pada batang mahoni ... 27

12 Luka terbuka pada batang pohon angsana ... 28

13 Gerowong pada pangkal batang pohon angsana ... 28

14 Serangan rayap pada batang pohon glodogan (a) dan keropos pada batang pohon angsana (b) ... 29

15 Kerusakan mata kayu lepas pada batang pohon angsana ... 30

16 Daun gugur pada pohon mahoni ... 31

17 Serangan jamur pada batang pohon saga ... 31

18 Indikator lapuk lanjut berupa tubuh buah jamur pada batang pohon angsana ... 32

19 Tumbuhan pengganggu yang melilit batang pohon saga ... 33

20 Resinosis pada batang pohon mahoni ... 33

21 Luka mekanis pada batang pohon angsana ... 34

22 Jumlah pohon sasaran berdasarkan kategori kecepatan rambatan gelombang ultrasonik ... 35

23 Jumlah pohon sasaran di setiap kecamatan berdasarkan kategori kecepatan rambatan gelombang ultrasonik ... 36


(15)

24 Rata-rata nilai kadar air kayu pohon sasaran setiap kecamatan ... 39 25 Rata-rata nilai kerapatan kayu pohon sasaran setiap kecamatan ... 41


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

No Halaman

1 Posisi jalan contoh di setiap kecamatan di wilayah Jakarta Selatan ... 47

2 Sebaran jenis pohon sasaran Jakarta Selatan ... 48

3 Sebaran kesehatan pohon di wilayah Jakarta Selatan ... 49

4 Peta Kota Jakarta Selatan ... 50

5 Dimensi, sifat fisis, dan posisi geografis pohon sasaran ... 51

6 Hasil evaluasi kesehatan pohon sasaran secara visual dan gelombang ultrasonik ... 62

7 Jumlah dan jenis pohon sasaran di wilayah Jakarta Selatan ... 81


(17)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Keberadaan pohon peneduh di wilayah perkotaan sangatlah penting. Hal ini terkait dengan besarnya nilai dan manfaat pohon tersebut, baik secara arsitektural, sosial, dan ekologis. Menurut Nowak (2004), pohon peneduh antara lain berperan sebagai identitas kota, pelestarian lingkungan, penyaring udara kotor, peredam kebisingan, menurunkan suhu kota, memperindah kota dan pelestarian tanah.

Sementara itu pengalaman menunjukkan bahwa pada musim hujan dan angin kencang, tumbangnya pohon peneduh sangat besar. Hal ini misalnya terjadi di Jakarta Selatan yang banyak memiliki jalur hijau di pinggir maupun median jalan. Pada awal tahun 2012, kejadian pohon tumbang di wilayah tersebut tercatat 26 pohon tumbang, 12 pohon sempal dan sekitar 2500 pohon rawan tumbang yang mengakibatkan empat mobil, satu bajaj rusak, dan satu orang tewas tertimpa pohon peneduh yang tumbang (Kompas, 4 Februari 2012). Dampak yang ditimbulkan oleh kejadian tersebut tidak hanya kerugian materi saja tetapi juga keselamatan jiwa.

Melihat banyaknya manfaat yang dapat diberikan, pohon di lingkungan perkotaan jelas merupakan aset yang perlu dipelihara dan dipertahankan keberadaannya. Sejalan dengan itu, kondisi kesehatan pohon peneduh di lingkungan perkotaan selayaknya dipantau secara berkala sebagai bagian dari sistem pemeliharaannya. Namun saat ini belum banyak informasi mengenai pemantauan kesehatan pohon peneduh. Salah satu cara yang paling sederhana untuk mengetahui kesehatan pohon adalah dengan pemantauan secara visual terhadap fisik pohon. Selain itu, saat ini dapat digunakan suatu teknologi memantau kesehatan pohon secara Nondestructive Evaluation/Testing (NDE/T) berbasis gelombang ultrasonik. Hal ini sangat mendukung untuk mengetahui kondisi bagian dalam batang pohon berdiri, seperti keberadaan gerowong yang sering tidak terdeteksi dari luar.

Berdasarkan hal tersebut di atas, dirasa perlu melakukan evaluasi dan penilaian kondisi kesehatan pohon peneduh di Kota Jakarta Selatan terutama pada


(18)

ruas-ruas jalan utama kota dengan menggunakan teknologi berbasis kecepatan rambatan gelombang ultrasonik untuk mendukung pengamatan secara visual.

1.2Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kesehatan pohon peneduh di wilayah Jakarta Selatan berdasarkan pengamatan secara visual dan dengan teknik yang memanfaatkan kecepatan rambatan gelombang ultrasonik.

1.3 Manfaat

Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi Pemerintah Kota Jakarta Selatan dalam pengembangan sistem pengelolaan pohon peneduh, termasuk upaya mencegah tumbangnya pohon peneduh tersebut.


(19)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Pohon Peneduh di Perkotaan dan Fungsinya

Pada hakikatnya pohon dalam suatu tata kota merupakan unsur pelembut dalam lanskap. Pohon dalam suatu tatanan kehidupan tertentu tidak saja sebagai bagian dari lanskap yang berfungsi untuk keindahan dan fungsi ekologis, lebih jauh keberadaan pohon seringkali sebagai bagian dari monumental sejarah yang memiliki nilai umur, fungsi, dan sejarah itu sendiri (Karlinasari dan Surjokusumo 2010).

Pohon merupakan aset lingkungan yang utama. Keberadaan pepohonan yang dikelola dengan baik dapat memberikan manfaat yang besar. Menurut Nowak (2004), peranan pohon di lingkungan perkotaan antara lain :

a. Identitas kota

Dapat menggambarkan identitas kota melalui koleksi jenis tanaman dan hewan yang merupakan simbol atau lambang suatu kota di areal tersebut.

b. Pelestarian lingkungan

Seiring bertambahnya jumlah penduduk maka tentunya kualitas lingkungan akan mengalami penurunan. Akibat pencemaran lingkungan hidup kota yang kemungkinan sangat tinggi, baik oleh kendaraan bermotor maupun aktivitas industri.

c. Penahan dan penyaring partikel padat dari udara

Udara yang kotor akibat kegiatan manusia seperti penggunaan kendaraan bermotor, aktivitas kawasan industri dan partikel padat yang tersuspensi pada lapisan biosfer bumi akan dapat dibersihkan oleh tajuk pohon melalui proses jerapan dan serapan.

d. Peredam kebisingan

Pohon dapat meredam suara dengan cara mengabsorpsi gelombang suara oleh daun, cabang dan ranting. Jenis tumbuhan yang paling efektif untuk meredam suara ialah yang mempunyai tajuk tebal dengan daun yang rindang. Dedaunan dapat menyerap kebisingan sampai 95%. Menanam


(20)

berbagai jenis tanaman dengan berbagai strata yang cukup rapat dan tinggi akan dapat mengurangi kebisingan, khususnya kebisingan yang sumbernya berasal dari bawah (Dahlan 1992).

e. Menurunkan suhu kota

Keadaan dibawah tegakan pohon pada siang hari suhunya lebih rendah jika dibandingkan dengan diluar tegakan pohon, karena sinar matahari diabsorbsi oleh tajuk pohon, sebaliknya pada malam hari didalam tegakan pohon lebih tinggi suhunya dibandingkan dengan diluar tegakan pohon karena radiasi sinar matahari ditahan oleh tajuk pohon (Dahlan 1992).

f. Memperindah kota

Dengan penataan yang baik, desain vegetasi pohon dalam jajaran jalur hijau jalan dapat secara efektif mengatasi permasalahan lingkungan yang dihadapi dengan keindahan yang bersifat alami. Karena pada dasarnya benda-benda di sekeliling manusia dapat ditata dengan indah menurut garis, bentuk, warna, ukuran dan teksturnya sehingga dapat diperoleh suatu bentuk komposisi yang menarik (Irwan 1994).

g. Pelestarian air tanah

Pada daerah hulu yang berfungsi sebagai daerah resapan air, hendaknya ditanami dengan tanaman yang mempunyai daya evapotranspirasi yang rendah. Di samping itu sistem perakaran dan serasahnya dapat memperbesar porositas tanah, sehingga air hujan banyak yang masuk ke dalam tanah sebagai air infiltrasi dan hanya sedikit yang menjadi air limpasan. Sistem perakaran tanaman dan serasah yang berubah menjadi humus akan memperbesar jumlah pori tanah. Karena humus bersifat lebih higroskopis dengan kemampuan menyerap air yang besar. Di daerah perkotaan, erosi air hujan hampir mencapai 100%. Hal ini dikarenakan sedikitnya area tanah yang terbuka antara pinggiran jalan dengan trotoar dimana tanaman pinggir jalan menyerap air dengan tidak optimal (Hartman et al.2000).

Pohon dapat memberikan nilai estetika tertentu yang terkesan alamiah dari garis, bentuk, warna, dan tekstur yang ada dari tajuk, daun, batang, cabang, kulit


(21)

batang, akar, bunga, buah maupun aroma yang ditimbulkan dari daun, bunga maupun buahnya (Nor 2009).

Pohon peneduh merupakan pohon dengan percabangan yang tingginya lebih dari dua meter, dapat memberikan keteduhan dan penahanan silau sinar matahari bagi pejalan kaki. Pohon peneduh merupakan penetralisir sumber pencemar gas buangan kendaraan bermotor, tajuknya yang rindang memberikan keteduhan, sistem perakarannya dapat meningkatkan infiltrasi air permukaan dan mengurangi air limpasan sehingga meningkatkan jumlah air pada reservoar tanah, menciptaka iklim mikro yang lebih sejuk (Anonim 2004).

2.2Jenis - Jenis Pohon Peneduh

Kebanyakan pohon peneduh yang ditanam baik di taman-taman kota maupun di tepian jalan merupakan tanaman yang menjadi ciri khas dari wilayah tersebut karena dinggap sebagai aset kawasan selain memang sebagai jenis lokal yang cocok dengan kondisi setempat. Disamping itu, kadang juga ditanami tanaman-tanaman yang memang tren untuk ditanam. Misalnya saja di wilayah Jakarta Selatan yang kebanyakan di tepian jalannya ditanami pohon angsana, flamboyan, mahoni, trembesi, tanjung dan lain sebagainya.

Menurut Aryadi (2009), persyaratan umum tanaman untuk ditanam di wilayah perkotaan adalah disenangi dan tidak berbahaya bagi warga kota, mampu tumbuh pada lingkungan yang marjinal (tanah tidak subur, udara dan air yang tercemar), tahan terhadap gangguan fisik (vandalisme), perakaran dalam sehingga tidak mudah tumbang, tidak gugur daun, cepat tumbuh, bernilai hias dan arsitektural, dapat menghasilkan O

2 dan meningkatkan kualitas lingkungan kota,

bibit/benih mudah didapatkan dengan harga yang murah/terjangkau oleh masyarakat, prioritas menggunakan vegetasi endemik/lokal, dan keanekaragaman hayati. Pemilihan jenis pohon perkotaan haruslah sesuai dengan kriteria. Menurut Sulistyantara (2006) kriteria tanaman jalan dalam kota adalah pohon penaung dengan tinggi sedang atau tinggi <15 m, bentuk tajuk pohon bulat atau kolumar, tinggi cabang paling bawah 5 m, tidak membahayakan pengguna jalan, tidak berduri, berbiji besar, percabangan kuat dan perakaran tidak ektensif, sehingga tidak merusak trotoar dan saluran drainase.


(22)

2.3 Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Kerusakan Pohon

Pohon dikatakan sehat atau normal ketika pohon tersebut masih dapat menjalankan fungsi fisiologisnya. Sebaliknya, dikatakan tidak sehat apabila pohon yang secara struktural mengalami kerusakan baik secara keseluruhan ataupun sebagian pohon. Penyebab utama penyakit tersebut dapat berupa organisme hidup patogenik ataupun faktor lingkungan fisik (Karlinasari dan Surjokusumo 2010).

Selain faktor patogen sebagai salah satu penyebab kerusakan pohon, serangan serangga, polusi udara, aktivitas manusia dan faktor biologi serta usia pohon yang makin meningkat diduga berperan pula menurunkan kualitas pohon. Penurunan kualitas pohon ini dapat diketahui melalui tingkat kerusakan yang diderita pohon tersebut.

Menurut Djafaruddin (1996), secara alamiah yang termasuk pengganggu tanaman dapat dikelompokkan menjadi :

1. Pengganggu yang termasuk jasad hidup

Hama adalah jasad pengganggu yang merupakan makhluk hidup yang termasuk dalam kelompok hewan atau binatang. Serangga dapat merusak tanaman dengan cara memakan bagian tanaman, menghisap cairan sel-sel tanaman terutama daun, menyebabkan bengkak/puru pada bagian tertentu, menyebabkan kanker pada batang/bagian berkayu, meletakkan telur pada bagian tanaman, mengambil bagian tanaman untuk dijadikan sarang dan menularkan jasad pengganggu.

Gulma adalah jasad pengganggu yang merupakan sebangsa jenis tumbuhan tingkat tinggi yang bukan termasuk ke dalam penyebab penyakit biotis. Gulma bersifat mengganggu, merugikan dan merusak apabila ditinjau dari segi sifat dan keberadaannya.

2. Pengganggu yang bukan jasad hidup

Bencana alam lingkungan seperti banjir, erosi, kekeringan, longsor yang disebabkan oleh faktor dan unsur iklim serta cuaca merupakan faktor pengganggu yang secara tidak langsung sebagai akibat kurang pekanya terhadap alam.

Unsur lain yang berpengaruh terhadap kerusakan pohon yaitu kerusakan mekanis. Kerusakan mekanis pada pohon dapat terjadi disebabkan oleh


(23)

tumbangnya suatu pohon yang menyebabkan luka pada kulit dan kayu pohon, kebakaran pada pohon, hujan es atau salju yang menyebabkan daun rontok dan sambaran petir (Soeratmo 1974).

Menurut Widyastuti et al. (2005) faktor abiotik penyebab kerusakan pohon adalah faktor fisik dan kimia penyusun lingkungan tempat tumbuh yang tingkat keberadaannya tidak mendukung pertumbuhan atau perkembangan normal pohon penyusun hutan yang diantaranya adalah :

a. Suhu

Tiap jenis tumbuhan mempunyai kisaran persyaratan suhu yang dapat ditoleransi dalam pertumbuhannya. Perubahan suhu yang melampaui batas toleransi akan menyebabkan tumbuhan mengalami penyimpangan fisiologis dan dapat menyebabkan kematian.

b. Kelembaban

Saat kelembaban nisbi tinggi, penguapan dari tumbuhan menjadi rendah, sehingga dapat terjadi penghambatan penyerapan hara. Kekurangan hara ini dapat berakibat gangguan formasi sel dan daun tumbuhan.

c. Iklim

Pada hutan yang jenis tumbuhan penyusunnya merupakan jenis eksotik atau dibangun pada lahan-lahan marginal maka faktor iklim atau faktor tempat tumbuh dapat merupakan faktor pembatas bagi pertumbuhan tanaman. Bila faktor tersebut berada di atas atau di bawah batas kemampuan adaptasi tumbuhan maka dapat terjadi kerusakan fisiologis atau mekanis. d. Unsur hara

Kerusakan tanaman dapat terjadi jika ketersediaan unsur hara dalam tanah tidak mencukupi jumlah yang diperlukan tumbuhan yang hidup di tempat tersebut. Selain itu kelebihan unsur hara juga mampu menyebabkan kerusakan pada tumbuhan akibat kerusakan sel secara langsung oleh unsur hara tertentu.

e. Polusi udara

Kerusakan tumbuhan oleh polutan pada umumnya meningkat seiring dengan peningkatan intensitas cahaya, kelembaban tanah dan kelembaban nisbi udara, suhu dan keberadaan polutan yang lain.


(24)

f. Kekurangan oksigen

Kondisi kekurangan oksigen di alam secara umum berasosiasi dengan kelembaban tanah atau suhu udara yang tinggi. Kombinasi antara kelembaban dan suhu tinggi dalam tanah atau udara menyebabkan kerusakan perakaran tumbuhan.

g. Cahaya

Kekurangan cahaya menghambat pembentukan klorofil dan merangsang pemanjangan ruas sehingga daun berwarna pucat, jaringan menjadi lemah dan daun serta bunga gugur lebih awal.

2.4 Tipe – Tipe Kerusakan Pada Pohon

Pohon dalam proses perkembangan hidupnya memang tidak bisa dilepaskan dari interaksi dengan lingkunganya termasuk dengan faktor-faktor pengganggu atau perusak. Kerusakan atau gangguan dapat diakibatkan oleh patogen, serangga, polusi udara, dan daya alam serta kegiatan manusia. Kerusakan yang disebabkan oleh salah satu dari agen-agen ini, baik sendiri-sendiri atau dalam kombinasi dapat secara nyata mempengaruhi tingkat kesehatan pohon atau menyebabkan kematian (Sudintanhut 2008).

Kesehatan pohon dipengaruhi oleh kerusakan yang terjadi pada pohon tersebut. Kerusakan atau cacat yang dimaksud adalah segala macam kerusakan yang dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman selanjutnya. Menurut Mangold (1997), kerusakan yang dapat terjadi pada pohon antara lain :

a. Kanker

Gejala kerusakan kanker berupa pembengkakan pada batang yang berkembang meluas kebagian atas dan bawah. Jaringan kayu pada batang yang membengkak umumnya menjadi lunak, rapuh, retak-retak, dan sering digunakan untuk tempat berlindung serangga. Kanker mungkin dapat disebabkan oleh berbagai agen tetapi lebih sering disebabkan oleh jamur. Di daerah yang topografinya miring (bergelombang) dan banyak angin, pohon yang menderita kanker batang mudah patah dan tumbang (Rahayu 2000).


(25)

b. Busuk hati, tubuh buah dan indikator lapuk lanjut.

Gejala yang terjadi berupa pembusukkan pada pangkal batang, lalu disertai dengan adanya daun-daun pada tajuk yang menguning dan mengering. Kondisi ini terjadi karena kematian sel-sel jaringan pada tanaman. Kematian jaringan tanaman biasanya didahului dengan adanya perubahan warna dari hijau ke kuning kemudian menjadi coklat atau kemerah-merahan akibat serangan patogen. Kerusakan ini sukar diamati dari luar, tetapi timbulnya tubuh buah menjadi indikator lapuk yang sudah lanjut yang disebabkan oleh fungi.

c. Luka terbuka

Luka terbuka adalah suatu luka atau serangkaian luka yang ditunjukkan dengan mengelupasnya kulit atau kayu bagian dalam kayu telah terbuka dan tidak ada tanda lapuk lanjut. Biasanya luka terbuka disebabkan oleh luka pangkasan yang memotong ke dalam kayu.

d. Resinosis dan Gumosis

Resinosis merupakan keluarnya cairan yang berupa resin dari bagian tanaman yang sakit, dan disebut gumosis apabila berupa gum. Terjadi hanya jika batang atau cabang terluka atau dilukai hingga mengenai xylem dan terserang patogen. Tipe kerusakan ini akan membuat pohon sakit karena kehilangan banyak getah dan mengundang serangan penyakit.

e. Brum

Brum adalah suatu gerombolan ranting yang padat, tumbuh di suatu tempat yang sama terjadi di dalam daerah tajuk hidup, termasuk struktur vegetatif dan organ yang bergerombol tidak normal. Brum terjadi akibat adanya infeksi oleh benalu kerdil.

f. Dieback

Dieback merupakan kerusakan dimana terjadinya kematian ranting

atau cabang dari bagian ujung dan meluas ke bagian kambium. Dieback bukan serta merta hasil dari satu faktor seperti akibat adanya organisme perusak atau musim kering berkepanjangan saja, melainkan karena akumulasi dari kurangnya nutrisi sehingga memicu organisme perusak.  


(26)

g. Akar patah atau mati

Akar patah atau mati baik karena galian atau apapun penyebabnya yang melukai dapat mengundang penyebab penyakit lain untuk datang. h. Hilangnya ujung dominan, mati ujung

Gejala mati ujung adalah kematian yang dimulai dari ujung atau titik tumbuh seperti ujung akar, pucuk, dan cabang yang terus menjalar ke bagian yang lebih tua. Mati ujung biasanya disebabkan oleh faktor cuaca, serangga dan penyakit, ataupun sebab-sebab lainnya. Serangan mati ujung mengakibatkan pertumbuhan menjadi tidak lurus, jaringan pucuk menjadi kering, rapuh dan busuk serta kualitas pertumbuhan pun menurun. Menurut Rahayu (2000), mati ujung umumnya terjadi karena kerusakan jaringan tanaman atau penyumbatan xylem.

i. Kerusakan kuncup, daun atau tunas.

Kerusakan yang memiliki gejala yaitu daun yang termakan serangga, terkerat atau daun terkeliat termasuk kuncup atau tunas terserang jamur. j. Perubahan warna daun

Gejala yang tampak yaitu daun tidak lagi berwarna hijau atau daun menjadi layu. Hal ini dikarenakan tidak terbentuknya klorofil yang disebabkan oleh patogen, racun, kekurangan mineral, pencemaran udara, kekeringan, kelebihan atau terbakar karena bahan kimia (Sumardi dan Widyastuti 2002).

2.5Pengujian Nondestruktif Berbasis Gelombang Ultrasonik

Saat ini pengujian nondestrukif telah luas digunakan untuk mengevaluasi sifat kayu. Pengujian nondestruktif didefinisikan sebagai kegiatan mengidentifikasi sifat fisis dan mekanis suatu bahan tanpa merusak atau mengganggu produk akhirnya sehingga diperoleh informasi yang tepat terhadap sifat dan kondisi bahan tersebut yang akan berguna unuk menentukan keputusan akhir pemanfaatannya (Ross dan Pellerin 2002). Pengujian nondestruktif juga didefinisikan sebagai metode pengujian yang digunakan untuk memeriksa suatu objek, bahan atau sistem tanpa merusak atau mempengaruhi kegunaanya di masa yang akan datang (ASNT 2011).


(27)

Dalam menilai kesehatan pohon, khususnya pelapukan yang terjadi di bagian dalam, seringkali tidak tampak sebagai indikator eksternal yang jelas. Untuk itu metode NDT efektif dapat digunakan untuk membantu mendeteksi kerusakan yang terjadi. Hal ini tentu saja sangat berguna dalam mengidentifikasi tingkat keparahan serangan, mencegah penyebaran serangan, serta untuk meningkatkan kondisi kualitas pohon. Metode NDT digunakan pada tegakan berdiri untuk mendeteksi adanya lapuk/decay yang akan membantu pengelola hutan dalam memperbaiki tegakan, memilih tebangan, membuat harga jual kayu lebih tinggi, menduga besarnya kehilangan volume kayu, mengidentifikasi pohon yang penuh resiko dan mencegah melebarnya lapuk/decay (Wang et al. 2004).

Salah satu pengujian secara nondestruktif adalah metode gelombang suara/bunyi. Gelombang suara adalah gangguan yang ditimbulkan pada medium elastik yang dapat berupa gas, cair dan padat. Berdasarkan frekuensinya, suara dibagi menjadi empat jenis yaitu infrasonik (0 Hz – 20 Hz), audiosonik (20 Hz – 20 KHz), ultrasonik (20 KHz – 1 GHz), dan hipersonik (1 GHz – 10 THz) (Tsoumis 1991).

Gelombang ultrasonik merupakan gelombak mekanik longitudinal dengan frekuensi diatas 20 kHz. Gelombang ini dapat merambat dalam medium padat, cair dan gas. Hal ini disebabkan karena gelombang ultrasonik merupakan rambatan energi dan momentum mekanik sehingga merambat sebagai interaksi dengan molekul dan sifat enersia medium yang dilaluinya (Fajar 2011).

Dalam Nondestructive Testing (NDT), pengukuran kecepatan gelombang ultrasonik pada kayu didasarkan pada sifat elastis dan viscoelastisnya. Pendugaan kualitas kayu yang dilakukan berdasarkan pada pengukuran kecepatan perambatan gelombang ultrasonik yang dibangkitkan melalui getaran. Parameter yang diukur adalah rambatan gelombang ultrasonik yang digunakan untuk menentukan kecepatan perambatannya (Bucur 1995).


(28)

BAB III

METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian dilakukan pada bulan Agustus sampai dengan Oktober 2011 di Kota Jakarta Selatan, Provinsi DKI Jakarta. Pengujian sifat fisis kayu (kerapatan dan kadar air) dilakukan di Laboratorium Anatomi dan Fisika Kayu, Bagian Teknologi Peningkatan Mutu Kayu, Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor (IPB).

3.2 Alat dan Bahan

Alat - alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat uji kualitas batang pohon merk Sylvatest Duo® (frekuensi 22 KHz), kamera digital, haga hypsometer, GPS Garmin 12XL, kompas brunton, bor riap, phiband, kaliper, oven, desikator, dan timbangan elektrik. Adapun bahan yang digunakan adalah aluminium foil, plastik, dan kertas label.

3.3Prosedur Penelitian

3.3.1 Pemilihan Sasaran Pengamatan

Pengamatan dilakukan di ruas-ruas jalan contoh yang tersebar di seluruh kecamatan (10 kecamatan) di wilayah Jakarta Selatan (Lampiran 1). Panjang seluruh ruas jalan contoh di masing-masing kecamatan adalah 1 % dari keseluruhan panjang jalan di wilayah tersebut. Ruas jalan contoh di masing-masing kecamatan dipilih secara sengaja (purposive) berdasarkan tingkat kepadatan pohon dan tingkat kepadatan lalu lintasnya. Nama jalan dan panjang jalan contoh di masing-masing kecamatan disajikan pada Tabel 1.


(29)

Tabel 1 Nama jalan dan panjang jalan contoh di setiap kecamatan

No Kecamatan Nama Jalan

(ruas)

Panjang jalan (km)

1 Pasar Minggu Raya Pasar Minggu

Tanjung Barat

2,00 0,60

2 Jagakarsa Moh. Kahfi II 2,20

3 Kebayoran Lama Sultan Iskandar Muda 1,99

4 Kebayoran Baru Pangeran Antasari 1,68

5 Pancoran Raya Pasar Minggu 1,56

6 Cilandak Fatmawati 1,42

7 Pesanggrahan Ciledug Raya 1,36

8 Tebet Dr. Soepomo 1,21

9 Mampang Prapatan Mampang Prapatan 1,15

10 Setiabudi HR. Rasuna Said 0,86

Jumlah 11 16,23

3.3.2 Penentuan Pohon Sasaran dan Posisi Geografisnya

Seluruh pohon yang berdiameter ≥ 45 cm yang tumbuh di masing-masing jalan contoh dipilih sebagai pohon sasaran. Masing-masing pohon sasaran ditentukan posisi geografisnya dengan menggunakan GPS (Global Position

System) Garmin 12XL.

3.3.3 Pengukuran Dendrometri Pohon Sasaran

Terhadap masing-masing pohon sasaran dilakukan pengukuran tinggi menggunakan haga hypsometer dan pengukuran diameter batang setinggi dada

(diameter at the breast height, DBH) menggunakan phiband.

3.3.4 Evaluasi Kesehatan Pohon Sasaran

a. Secara Visual

Evaluasi kesehatan pohon sasaran secara visual dilakukan dengan mengamati seluruh bagian pohon sasaran, dari bagian pangkal pohon sampai tajuk pohon. Kondisi bagian pohon sasaran, termasuk adanya gejala atau tanda deteriorasi, dicatat dalam tally sheet, serta dibuat dokumentasinya dalam bentuk foto


(30)

b. Dengan Menggunakan Alat SylvatestDuo®

Untuk mendukung pengamatan secara visual, dilakukan juga evaluasi kondisi internal setiap batang pohon sasaran dengan menggunakan alat pengujian nondestruktif (merk SylvatestDuo®). Cara kerja alat ini adalah berbasis kecepatan rambatan gelombang ultrasonik yang secara sengaja dilintaskan ke dalam jaringan batang pohon sasaran dari transduser pengirim menuju transduser penerima.

Pengujian dilakukan pada ketinggian DBH, dalam hal ini digunakan empat titik penempatan transduser pada satu bidang horizontal batang (penampang melintang), dua titik pada arah utara (U) – selatan (S) dan dua titik pada arah timur (T) – barat (B). Masing-masing transduser ditempatkan pada liang (diameter 5 mm, kedalaman ± 2 cm) yang dibuat terlebih dahulu pada masing-masing batang pohon sasaran (Gambar 1). Setelah selesai pengujian menggunakan

SylvatestDuo®, liang bor ditutup kembali dengan lilin malam. Hal ini bertujuan

agar liang pohon tidak menjadi akses masuknya serangan patogen ke dalam pohon.

(a) (b)

Gambar 1 Skema penempatan alat SylvatestDuo® pada batang pohon sasaran : penampang memanjang /vertikal (a) dan penampang melintang (b)

Sebelum alat SylvatestDuo® dioperasikan, terlebih dahulu masukkan data diameter pohon sasaran (D) yang nilainya ditentukan dengan formula sebagai berikut :


(31)

D = Dint – 14

dimana : D = Diameter pohon sasaran yang telah terkoreksi (cm)

Dint = Hasil pengukuran jarak antar dua transduser yang

berseberangan pada batang pohon sasaran (cm)

14 = Total panjang dua kepala transduser yang masing-masing masuk ke dalam liang penempatan yang berseberangan pada pohon sasaran (cm)

Data yang ditampilkan pada alat SylvatestDuo® sesaat setelah alat tersebut dioperasikan pada batang pohon sasaran adalah waktu (micro second, µs), kecepatan (meter per second, m/s), dan energi (milivolt, mv) perambatan gelombang ultrasonik antar dua transduser yang posisinya berseberangan pada batang pohon sasaran (Gambar 2). 

                   

 

 

Gambar 2 Penempatan transduser SylvatestDuo® pada batang pohon sasaran

3.3.5 Pengujian Sifat Fisis Kayu

Selain pengujian gelombang ultrasonik, dilakukan juga pengujian sifat fisis kayu yaitu pengujian kadar air dan kerapatan kayu pohon berdiri. Contoh kayu untuk pengujian kadar air dan kerapatan kayu diambil dari batang pohon sasaran pada ketinggian setinggi dada (DBH) menggunakan bor riap. Bor riap memiliki panjang selongsong 30 cm dan diameter selongsong 0,6 cm (Gambar 3).


(32)

Gambar 3 Pengambilan contoh uji kayu dengan menggunakan bor riap

a. Pengujian Kerapatan

Contoh kayu yang diambil dari selongsong bor riap ditimbang berat pada kondisi basah, kemudian dihitung volumenya (Gambar 4). Kerapatan batang kayu dihitung dengan menggunakan persamaan:

dimana: ρ = Kerapatan (g/cm3) BB = Berat awal (g) Vol = Volume (cm3)

Gambar 4 Contoh uji kerapatan kayu pohon sasaran


(33)

b. Pengujian Kadar Air

Untuk pengukuran kadar air kayu digunakan contoh kayu yang sama seperti pada pengujian kerapatan kayu. Contoh kayu yang diambil dari pohon dibungkus dengan aluminium foil dan dimasukkan ke dalam plastik (Gambar 5). Hal ini dilakukan untuk mengurangi air yang menguap pada contoh kayu agar nilai kadar air yang diperoleh adalah nilai kadar air segar. Kadar air ditentukan dengan menimbang berat awal (berat basah) contoh kayu yang selanjutnya dimasukkan ke dalam tanur pada suhu 103±2oC sampai beratnya konstan untuk memperoleh berat kering tanurnya. Nilai kadar air ditentukan dengan persamaan sebagai berikut :

KA BB BKTBKT

dimana: KA = Kadar Air (%)

BB = Berat awal (g)

BKT = Berat Kering Tanur (g)

Gambar 5 Contoh kayu dari batang pohon sasaran yang telah dibungkus aluminium foil

3.3.6 Analisis Data

Data kondisi pohon sasaran ditabulasi dan dianalisis secara statistik deskriptif sederhana untuk mengetahui persentase pohon yang sehat dan yang mengalami deteriorasi berdasarkan jenis pohon dan lokasinya.


(34)

BAB IV

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Kondisi Geografi

Jakarta Selatan merupakan nama sebuah kota administrasi di sebelah selatan Daerah Khusus Ibukota Jakarta terletak pada 106o22’42”BT dan 6o22’54”LS. Jakarta Selatan adalah salah satu dari lima kota administrasi dan satu kabupaten administrasi DKI. Di sebelah utara, Jakarta Selatan berbatasan dengan Jakarta Barat dan Jakarta Pusat, di sebelah timur berbatasan dengan Jakarta Timur, di sebelah selatan berbatasan dengan Kota Depok dan sebelah barat berbatasan dengan Kota Tangerang (Lampiran 4). Kota Jakarta Selatan merupakan salah satu kota administrasi dan ekonomi utama di Provinsi DKI Jakarta. Hal ini ditandai dengan banyaknya perumahan warga kelas menengah ke atas dan tempat pusat bisnis utama. Perkembangan di berbagai sektor terutama di sektor usaha, jasa dan perumahan cukup pesat. Hal ini dapat dilihat dengan tingginya intensitas perdagangan dan transaksi jual beli. Kota Jakarta Selatan memiliki luas wilayah yaitu 145,73 km2 dengan jumlah penduduk pada sensus tahun 2010 berjumlah 2.057.080 jiwa. Rata-rata tingkat kepadatan penduduk adalah sebanyak 14.115 orang per kilometer persegi (BPS 2010).

4.2 Jaringan Jalan Kota Jakarta Selatan

Lingkungan di wilayah Jakarta Selatan didominasi oleh gedung-gedung perkantoran, area pemukiman, fasilitas pemerintahan dan tempat hiburan. Kota Jakarta Selatan memiliki jalan utama yang cukup banyak. Jalan tersebut terbagi atas jalur untuk pengendara sepeda motor, kendaraan roda empat dan terdapat juga jalur busway. Intensitas pemakaian jalan terutama pada jalan utama sangat tinggi. Hal ini dapat dilihat dari padat dan macetnya jalan di wilayah Jakarta Selatan terutama di hari kerja. Intensitas kepadatan jalan di wilayah Jakarta Selatan dapat dilihat selengkapnya pada Tabel 2.


(35)

Tabel 2 Intensitas kepadatan jalan di wilayah Jakarta Selatan

No Nama Jalan Arah Lokasi Waktu V/C

Ratio

1 Jl. Ciledug Raya Pasar Keb. Lama

Depan IEC/Komp.

Sangrila II

06.00 – 09.00 16.00 – 19.00

1,67 0,62

2 Jl. Iskandar Muda Pondok Indah

Depan Kampus

USNI

06.00 – 09.00 16.00 – 19.00

1,83 1,78

3 Jl. Pangeran Antasari Blok M

Depan Masjid Al

Ikhlas

06.00 – 09.00 16.00 – 19.00

2,28 0,71

4 Jl. Tebet Barat

Dalam IX Tugu Pancoran

Depan RM. Sederhana

06.00 – 09.00 16.00 – 19.00

0,11 0,11

5 Jl. Lebak Bulus I

Raya RS. Fatmawati

Belakang Apart Bona

Vista

06.00 – 09.00 16.00 – 19.00

2,32 1,19

6 Jl. Pejaten Raya Pasar Minggu Halte

Pejaten

06.00 – 09.00 16.00 – 19.00

1,28 1,27

7 Jl. K. P. Tendean Pancoran JPO R Sona

Motor

06.00 – 09.00 16.00 – 19.00

2,30 2,73

8 Jl. H. Nawi Raya Fatmawati LeXcorp 06.00 – 09.00

16.00 – 19.00

2,48 1,17 Sumber : Suku Dinas Perhubungan Jakarta Selatan (2011)

Kondisi jalan di Kota Jakarta Selatan terutama jalan utama pada setiap kecamatan sangatlah baik. Hal ini dapat dilihat dari adanya jalur hijau berupa pohon peneduh di tepian dan median jalan (Gambar 6) Seperti pada jalan Sultan Iskandar Muda, Kecamatan Kebayoran Lama yang jalur hijau terletak pada median jalan. Sebagian besar jalur hijau yang berada di median jalan merupakan jalan yang dilewati busway, namun jalur hijau yang dominan di wilayah Jakarta Selatan berada di tepian jalan.


(36)

Intensitas kepadatan jalan (V/C Ratio) merupakan rasio antara volume lalu lintas dengan kapasitas ruas jalan. Intensitas kepadatan jalan yang sesuai standar penggunaan jalan yaitu berkisar antara 0,45 – 0,75. Standar intensitas kepadatan jalan disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Standar intensitas kepadatan jalan Tingkat

Pelayanan Karakteristik V/C Ratio

A

Kondisi arus bebas Kecepatan tinggi Volume lalu lintas rendah

0,00 – 0,20

B Arus stabil

Kecepatan mulai dibatasi oleh kondisi lalu lintas 0,21 – 0,44

C

Arus stabil

Kecepatan dan gerak kendaraan dikendalikan 0,45 – 0,75

D

Arus mendekati tidak stabil Kecepatan masih dapat dikendalikan

V/C masih dapat ditolerir

0,76 – 0,84

E

Arus tidak stabil Kecepatan kadang terhenti Permintaan mendekati kapasitas

0,85 – 1,00

F

Arus dipaksakan Kecepatan rendah Volume dibawah kapasitas

Antrian panjang (macet)

> 1,00

Keterangan : V/C Ratio = Rasio perbandingan volume lalu lintas dengan kapasitas ruas


(37)

(a)

(b)

Gambar 6 Jalur hijau di Kota Jakarta Selatan yaitu jalur median jalan (a) dan jalur tepian jalan (b)


(38)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Karakteristik Pohon Sasaran

Hasil penelitian menunjukkan jumlah pohon peneduh di seluruh ruas jalan contoh di Jakarta Selatan adalah 880 pohon, 231 pohon diantaranya termasuk pohon sasaran (diameter batang ≥ 45 cm) (Lampiran 3). Pohon sasaran tersebut tersebar di seluruh kecamatan di wilayah Jakarta Selatan. Kecamatan Pancoran merupakan kecamatan yang memiliki jumlah pohon sasaran yang paling banyak (41 pohon), kemudian di wilayah Kecamatan Kebayoran Baru (37 pohon), kecamatan Jagakarsa (11 pohon), Kecamatan Setiabudi (26 pohon), Kecamatan Kebayoran Lama (20 pohon), Kecamatan Tebet (19 pohon), Kecamatan Cilandak (17 pohon), Kecamatan Pesanggrahan (15 pohon), Kecamatan Pasar Minggu (12 pohon), dan Kecamatan Mampang Prapatan (11 pohon). Jumlah pohon peneduh yang berada di setiap kecamatan berbeda, sehingga jumlah pohon sasaran yang akan diuji juga berbeda jumlahnya. Sebaran pohon sasaran dapat dilihat selengkapnya pada Tabel 4.

Pohon angsana merupakan jenis pohon yang paling banyak ditemukan, terutama di Kecamatan Kebayoran Lama dan Kecamatan Kebayoran Baru. Jumlah pohon angsana yang diuji berjumlah 92 pohon atau sekitar 39,82% dari total keseluruhan pohon yang diuji. Kemudian jenis mahoni juga mendominasi sebagai pohon peneduh di wilayah Jakarta Selatan. Pohon mahoni yang diuji berjumlah 78 pohon atau sekitar 33,77% . Selain itu, pohon peneduh yang banyak ditemukan dan dilakukan pengujian yaitu pohon glodogan (16,88%) dan pohon saga (6,50%). Ada beberapa jenis lain yang ditemukan dan dilakukan pengujian, hanya persentasenya kurang dari 1% (Gambar 7).


(39)

Tabel 4 Sebaran pohon sasaran di setiap kecamatan di wilayah Jakarta Selatan

No Kecamatan Ag Mh Gl Sg Kh Br Tj Kt Al Jumlah

Pohon

1 Pancoran 41 41 (17,75%)

2 Keb. Baru 37 37 (16,02%)

3 Jagakarsa 2 3 12 15 1 33 (14,29%)

4 Setiabudi 26 26 (11,25%)

5 Keb. Lama 18 2 20 (8,66%)

6 Tebet 3 13 1 1 1 19 (8,22%)

7 Cilandak 1 15 1 17 (7,36%)

8 Pesanggrahan 15 15 (6,49%)

9 Pasar minggu 7 4 1 12 (5,19%)

10 Mampang

Prapatan 9 1 1 11 (4,77%)

Total 92 78 39 15 2 2 1 1 1 231 (100%)

Keterangan : Ag = Angsana (Pterocarpus indicus); Gl = Glodogan (Polyalthia longifolia); Kh = Khaya (Khaya spp); Tj = Tanjung (Mimusops elengi); Al = Asam Londo (Pithecellobium dulce); Mh = Mahoni (Swietenia macrophylla); S = Saga (Adenanthera povonina); Br = Beringin (Ficus benjamina); Kt = Ketapang (Terminalia catappa)

Gambar 7 Persentase jenis pohon peneduh di Jakarta Selatan 39,82%

33,77% 16,88%

6,50% 3,03%

Angsana Mahoni Glodogan Saga Lain‐lain


(40)

Ditin Kebayoran Pesanggra Pancoran Sementara (11,25%) penelitian Berd berdiamet angsana y sasaran ya Kecamata diameter p dengan di dapat dilih

Sem (24 m) ad terendah ( 0 10 20 30 40 50 60

Jumlah Pohon (N)

njau dari lo n Baru (16, ahan (6,49%

(17,75%), K a itu pohon

dan Keca di 10 kecam dasarkan d ter 45cm - yang lebih ang memili an Pancoran paling kecil iameter 45 hat pada Ga

Ga mentara itu r dalah jenis a

(5,5 m) juga

45≤DBH

56 43 35 okasinya, po 01%), Keca %). Pohon Kecamatan n glodogan amatan Jag matan Jakar diameter po 60cm dan banyak did ki diameter n dengan dia

l yaitu jeni cm. Klasif ambar 8.

ambar 8 Kla rata-rata tin angsana yan a jenis angs

H≤60 (65,37%)

14

1 1 1

Kelas

ohon angsan amatan Keb mahoni s Cilandak (6

sebagian b gakarsa (5, rta Selatan d ohon, sebag

34,63% be dapati pada r paling bes ameter 114 is glodogan fikasi diame

asifikasi dia ggi pohon s ng berada d sana di Kec

) D 36 3 1 s Diameter na sebagian bayoran Lam ebagian be 6,49%), dan besar berad ,19%). Leb disajikan pa gian besar erdiameter a dua kelas

sar yaitu je cm dan po n yang bera

eter pohon

ameter poho sasaran ada di Kecamata camatan Keb

DBH>60 (34,6

35

4

1 1 1

Pohon

besar berad ma (7,79%) esar berada n Kecamatan

da di Kecam bih detail ada Lampira

(65,37%) diatas 60 c s diameter enis mahoni ohon sasaran ada di Keca

sasaran di

on sasaran alah 11,9 m,

an Tebet, s bayoran Ba 3%)

1 1 1

da di Kecam , dan Kecam a di Kecam n Tebet (5,6

matan Seti sebaran p an 2.

pohon sa cm dengan

tersebut. P i yang bera n yang mem amatan Seti

i Jakarta Se

, pohon tert edangkan p aru. Contoh Angsana Mahoni Glodoga Saga Khaya Beringin Tanjung Ketapan

Asam Lo

matan matan matan 63%). abudi pohon asaran jenis Pohon ada di miliki abudi elatan tinggi pohon jenis a i an n g ng ondo


(41)

pohon peneduh yang sebagian besar berada di Kota Jakarta Selatan dapat dilihat pada Gambar 9.

(a) (b)

Gambar 9 Contoh jenis pohon peneduh Kota Jakarta Selatan: angsana (a) dan mahoni (b)

5.2 Evaluasi Kesehatan Pohon Secara Visual

Hasil pemantauan kesehatan pohon secara visual menunjukkan bahwa sebagian besar (86,15%) pohon sasaran yang diuji mengalami kerusakan yang diakibatkan penyakit, serangga dan penyebab abiotik lainnya. Hanya 13,85 % pohon sasaran tampak sehat dan tidak mengalami gejala kerusakan (Lampiran 6). Kerusakan yang dialami yaitu kanker (16,45%), luka terbuka (16,02%), gerowong (9,52%), keropos akibat serangan rayap (5,20%). Hampir seluruh pohon peneduh di setiap kecamatan Kota Jakarta Selatan mengalami kerusakan dan abnormal dalam pertumbuhan. Hal ini dapat diakibatkan oleh beberapa faktor yang ditimbulkan dari internal pohon dan eksternal berupa kegiatan manusia yang sering merusak dan mengganggu keberadaan pohon. Kondisi pohon sasaran berdasarkan gejala deteriorasi yang ditemukan dapat dilihat pada Gambar 10.


(42)

Gambar 10 Kondisi pohon sasaran berdasarkan gejala deteriorasi yang ditemukan Banyaknya faktor yang menimbulkan kerusakan pada pohon peneduh, sehingga mengakibatkan pohon menjadi rawan tumbang dan mengancam keselamatan pengguna jalan. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya gejala kerusakan fisik yang dapat ditemukan pada pohon peneduh. Gejala deteriorasi yang sering dijumpai adalah sebagai berikut :

1. Kanker

Gejala kerusakan visual berupa kanker merupakan kerusakan yang sering dijumpai pada pohon sasaran. Tipe deteriorasi ini sebagian besar menyerang pohon angsana dan mahoni. Kerusakan ini banyak dijumpai pada pohon angsana yang berada di Kecamatan Kebayoran Baru dan Kecamatan Pesanggrahan. Selain itu, sebagian kecil juga dijumpai pada jenis mahoni yang berada di Kecamatan Pancoran dan Kecamatan Cilandak (Gambar 11). Gejala kerusakannya ditunjukkan dengan permukaan kulit yang biasanya tertekan kebawah atau bagian kulitnya pecah sehingga terlihat bagian kayunya. Selain itu, kanker menyerang pada bagian berkambium sehingga mematikan fungsi pengangkutan unsur hara dan penyaluran nutrisi.

Sementara itu, hasil pengujian nondestruktif yang juga digunakan dalam mengevaluasi kesehatan pohon sasaran menunjukkan nilai kecepatan rambatan

16,02%

9,52%

9,10%

16,45% 6,49%

5,20% 23,37%

13,85%

Luka terbuka

Gerowong

Perubahan warna daun

Kanker

Mata kayu

Keropos akibat serangan rayap

lain‐lain


(43)

gelombang ultrasonik yang rendah pada pohon sasaran yang mengalami kerusakan kanker. Hal ini memberikan pengaruh terhadap kerusakan yang terjadi pada bagian dalam batang pohon tersebut.

Gambar 11 Kanker pada batang mahoni 2. Luka terbuka

Tipe deteriorasi ini ditemukan hampir di seluruh kecamatan di Jakarta Selatan. Luka terbuka dapat diakibatkan oleh benda tajam seperti tebasan golok dan luka akibat sambaran petir. Luka ini nantinya akan menjadi tempat berbagai jenis patogen untuk hidup di dalam batang. Menurut Dahlan (1992), luka terbagi menjadi 2 bagian yaitu : a) luka yang terbatas hanya pada kulit luar saja dan b) luka yang terjadi pada kulit luar, kulit dalam dan juga luka pada kayu gubal dan kayu teras. Sebagian besar luka terbuka yang dialami oleh pohon sasaran yaitu luka hingga kulit dalam (Gambar 12).

Sebagian besar luka terbuka dijumpai pada jenis angsana yang banyak disebabkan oleh perlukaan benda tajam berupa vandalisme. Apabila luka dibiarkan terbuka maka akan sangat mudah bagi patogen memasuki batang sehingga dapat menimbulkan kerusakan yang lebih parah seperti kanker.


(44)

Gambar 12 Luka terbuka pada batang pohon angsana 3. Gerowong

Kerusakan visual berupa gerowong dapat dicirikan dengan adanya lubang pada batang pohon yang cukup besar (Gambar 13). Sebagian besar tipe deteriorasi ini banyak dijumpai pada pangkal batang pohon terutama pada jenis angsana yang berada di Kecamatan Kebayoran Baru. Selain itu pohon yang mengalami deteriorasi ini juga megalami kerusakan berupa batang pohon yang keropos, tampak lapuk, dan banyak tunnel. Kondisi ini diperparah dengan banyaknya luka mekanis berupa goresan benda tajam dan menjadi tempat membakar sampah yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.


(45)

4. Perubahan warna daun

Tipe kerusakan daun berubah warna banyak dijumpai pada jenis angsana dan mahoni yang berada di Kecamatan Cilandak, Kecamatan Kebayoran Baru, dan Kecamatan Pesanggrahan. Salah satu faktor yang mempengaruhi kesehatan daun yaitu gas-gas yang dikeluarkan oleh emisi dari kendaraan bermotor. Misalnya di Kecamatan Cilandak dimana padatnya lalu lintas terutama jalan Fatmawati sebagai jalan sasaran secara tidak langsung memberikan tekanan terhadap pohon. Menurut Fakuara (1986), pohon dan segala jenis tanaman paling sensitif terhadap SO2, polutan ini masuk ke dalam daun melalui stomata dan

bereaksi di dalam sel menyebabkan rusaknya daun/matinya jaringan tanaman. Kerusakan dapat kronis/tidak tergantung pada tingkat pencemaran dan tingkat ketahanan dari tanaman itu sendiri.

5. Keropos akibat serangan rayap

Tipe kerusakan ini sebagian besar ditemukan pada jenis glodogan dan angsana dengan persentase 5,20%. Pohon glodogan yang berada di jalan HR Rasuna Said Setiabudi rata-rata mengalami keropos akibat serangan rayap. Hal ini dapat dilihat dari kondisi pohon tampak lapuk dan ketika kulit pohon dikelupas, banyak rayap yang sudah menggerogoti pohon glodogan (Gambar 14).

(a) (b)

Gambar 14 Serangan rayap pada batang pohon glodogan (a) dan keropos pada batang pohon angsana (b)


(46)

6. Mata kayu

Kerusakan visual berupa mata kayu sebagian besar ditemukan pada jenis angsana yang berada di Kecamatan Kebayoran Baru. Mata kayu yang ditemukan pada pohon sasaran yaitu mata kayu lepas seperti pada Gambar 15. Nilai kecepatan rambatan gelombang ultrasonik yang juga digunakan sebagai pendekatan dalam mendeteksi kondisi pohon akan menurun apabila melewati mata kayu dan serat miring di sekitar mata kayu, karena dengan adanya mata kayu orientasi serat akan menyimpang.

Gambar 15 Kerusakan mata kayu lepas pada batang pohon angsana 7. Kerusakan kuncup, daun atau tunas

Tipe kerusakan ini ditemukan sebagian besar pada jenis mahoni dengan persentase 4,33% yang tersebar di beberapa kecamatan Jakarta Selatan. Gejala kerusakannya berupa daun yang termakan serangga, terkerat atau terkeliat ataupun terserang jamur termasuk kuncup atau tunas, akibatnya daun-daun rontok dan proses fotosintesis menjadi terganggu. Selain itu kerusakan yang dapat terjadi yaitu cabang pohon yang mati dan tidak terdapat daun yang tumbuh (Gambar 16). Matinya cabang ini dapat disebabkan oleh gugurnya daun akibat terserang penyakit gugur daun dan dapat pula disebabkan oleh patahnya cabang, akan tetapi cabang ini masih melekat pada batang tajuk utama dan masih memiliki daun yang tumbuh, biasanya hal ini dikarenakan pohon tersambar petir.


(47)

Gambar 16 Daun gugur pada pohon mahoni 8. Lapuk

Gejala yang terlihat dari kerusakan ini adalah adanya jamur yang menyerang batang pohon. Kondisi ini mengakibatkan pohon menjadi lapuk dan mudah terserang patogen lainnya. Tipe kerusakan seperti yang ditunjukkan pada Gambar 17, sebagian besar dialami oleh pohon saga yang berada di Kecamatan Jagakarsa dan juga beberapa pohon angsana.


(48)

9. Konk atau lapuk hati

Tipe kerusakan lapuk hati/konk menunjukkan gejala bagian batang terserang mati, terurai dan berwarna coklat. Identifikasi untuk lapuk hati antara lain adanya tubuh buah. Tubuh buah yang dijumpai tampak di permukaan bagian pohon yan terserang berbentuk seperti benjolan bulat berwarna coklat (Gambar 18). Tipe kerusakan ini menyebabkan meningkatnya resiko penurunan penyerapan air dan unsur hara sehingga mengakibatkan pohon mudah roboh oleh angin (Widyastuti et al. 2005). Sebagian besar kerusakan ini ditemukan pada jenis angsana yang tersebar di beberapa kecamatan Jakarta Selatan. Keberadaan tubuh buah pada pohon mengindikasikan pohon tersebut mengalami lapuk hati. Hal ini diperkuat dengan hasil pengujian non destruktif yang menunjukkan bahwa nilai kecepatan rambatan gelombang yang dirambatkan pada pohon tersebut menjadi lebih lambat, dikarenakan adanya hambatan internal dalam batang.

Gambar 18 Indikator lapuk lanjut berupa tubuh buah jamur pada batang pohon angsana

10. Tumbuhan pengganggu

Tipe deteriorasi ini sebagian besar ditemukan pada jenis pohon saga dan glodogan yang berada di Kecamatan Jagakarsa. Tumbuhan pengganggu berupa benalu melilit batang pohon sehingga kondisi pohon hampir seluruhnya tertutupi (Gambar 19).


(49)

Gambar 19 Tumbuhan pengganggu yang melilit batang pohon saga 11. Eksudasi berupa resinosis

Eksudasi adalah keluarnya cairan dari bagian tanaman yang sakit. Eksudasi yang ditemukan pada jenis mahoni di Kecamatan Pasar Minggu yaitu resinosis, yang artinya cairan yang keluar berupa resin. Tipe kerusakan ini hanya sebagian kecil dijumpai yaitu sebanyak 0,43%. Resinosis pada mahoni dapat dilihat pada Gambar 20.

Gambar 20 Resinosis pada batang pohon mahoni

Sebagian besar masyarakat kurang sadar akan pentingnya manfaat dan fungsi pohon peneduh. Hal ini dapat dilihat banyaknya pohon peneduh yang beralih fungsi menjadi tempat sandaran baliho dan penempelan iklan (Gambar


(50)

21). Paku atau benda tajam yang berfungsi menyandarkan baliho atau iklan mengakibatkan luka mekanis pada batang pohon. kerusakan ini akan menimbulkan kerusakan yang lebih parah apabila patogen menyerang luka tersebut.

Gambar 21 Luka mekanis pada batang pohon angsana

Kecamatan Pasar Minggu terdapat jenis yang jarang difungsikan sebagai pohon peneduh yaitu jenis pohon khaya (khaya spp). Pohon khaya termasuk ke dalam keluarga pohon Mahagony yang aslinya berasal dari negara tropis Afrika dan Madagaskar. Pohon khaya memiliki ciri-ciri yaitu dapat mencapai tinggi 50 m, diameter 150 cm, batang lurus dan silindris, kulit batang halus, warna abu-abu dan coklat bercoreng (Bpthbalinusra 2009). Secara visual, jenis khaya spp ini tidak mengalami kerusakan. Pertumbuhan pohon yang baik dengan batang lurus mengindikasikan bahwa pohon dalam kondisi sehat. Hal ini di dukung oleh nilai pengujian kecepatan rambatan gelombang ultrasonik yang bernilai tinggi.

5.3 Evaluasi Berbasis Gelombang Ultrasonik

Hasil penelitian menunjukkkan bahwa hanya 11,26% pohon di Kota Jakarta Selatan memiliki nilai kecepatan rambatan gelombang ultrasonik > 1600 m/detik yang sebagian besar adalah jenis mahoni dan angsana. Nilai kecepatan rambatan tersebut mengartikan bahwa pohon tidak mengalami kerusakan dibagian dalam batang. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Wang dan Robert (2002), bahwa nilai kecepatan rambatan pada pohon berdiri yang sehat yaitu sekitar 1500 m/detik untuk jenis hardwoods dan 1000 m/detik untuk jenis softwoods. Persentase pohon


(51)

sasaran yang sehat berdasarkan kecepatan gelombang ultrasonik tidak berbeda jauh dengan persentase penilaian kesehatan pohon secara visual yaitu 13,85%. Sebagian besar pohon yang tidak mengalami kerusakan fisik memiliki nilai kecepatan rambatan gelombang ultrasonik > 1600 m/detik.

Sementara itu pohon yang mengalami tanda adanya deteriorasi pada bagian dalam batangnya mencapai 88,74% dimana merupakan jenis glodogan dan angsana yang memiliki nilai kecepatan rambatan < 500 m/detik. Nilai kecepatan rambatan yang rendah dapat mengindikasikan bahwa pohon mengalami kerusakan dalam batang. Adanya kerusakan dalam batang pohon membuat rambatan gelombang ultrasonik terganggu sehingga waktu rambatan menjadi lebih lama. Hal ini didukung dengan pernyataan Wang et al. (2004) bahwa waktu transmisi untuk kayu yang mengalami kerusakan jauh lebih lama dibandingkan kayu yang tidak mengalami kerusakan. Sebaran kesehatan pohon di wilayah Jakarta Selatan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 3.

Ditinjau dari jenis pohonnya, sebagian besar jenis pohon yang termasuk ke dalam kategori kecepatan I adalah jenis angsana dan mahoni, sementara itu jenis pohon yang termasuk ke dalam kategori kecepatan V adalah jenis glodogan dan angsana. Jumlah pohon sasaran berdasarkan kategori kecepatan rambatan gelombang ultrasonik dapat dilihat selengkapnya pada Gambar 22.

Gambar 22 Jumlah pohon sasaran berdasarkan kategori kecepatan rambatan gelombang ultrasonik 0 5 10 15 20 25 30

I  II III IV V

Angsana  Mahoni  Glodogan  Saga  Beringin  Khaya 

Asam Londo 

Tanjung 

Ketapang 

Jum

lah (N)

Kategori Kecepatan Rambatan Gelombang Ultrasonik

KATEGORI v

I   : Sehat II  : Cukup sehat III : Sedang IV : Cukup sakit

V :  Sakit


(52)

Sementara itu ditinjau dari lokasinya, sebagian pohon yang termasuk ke dalam kategori kecepatan I (sehat) berada di Kecamatan Tebet dan Kecamatan Pasar Minggu, sedangkan pohon yang termasuk ke dalam kategori kecepatan V atau yang mengalami kerusakan pada bagian dalam batang sebagian besar berada di Kecamatan Kebayoran Baru dan Kecamatan Jagakarsa. Jumlah pohon sasaran setiap kecamatan berdasarkan kategori kecepatan rambatan gelombang ultrasonik dapat dilihat selengkapnya pada Gambar 23.

Gambar 23 Jumlah pohon sasaran di setiap kecamatan berdasarkan kategori kecepatan rambatan gelombang ultrasonik

Jenis angsana, mahoni dan glodogan merupakan jenis pohon peneduh yang mendominasi wilayah Jakarta Selatan. Pemantauan kesehatan pohon ini sangat penting karena keberadaanya hampir di setiap kecamatan. Pada jenis mahoni, hanya 11 pohon sasaran atau 14,10% yang menunjukkan nilai kecepatan rambatan gelombang ultrasonik > 1600 m/detik dari 78 pohon mahoni yang diuji, tersebar di Kecamatan Cilandak, Kecamatan Pasar Minggu, Kecamatan Jagakarsa, Kecamatan Tebet, Kecamatan Pancoran, dan Kecamatan Kebayoran Lama.

Rata-rata nilai kecepatan rambatan gelombang ultrasonik pohon mahoni di Kecamatan Pancoran dan Kecamatan Kebayoran Lama lebih rendah dibandingkan dengan kecamatan lain yang juga memiliki pohon mahoni yaitu sebesar 847

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18

I II III IV V

Pancoran

Kebayoran Baru

Jagakarsa Setiabudi

Kebayoran Lama

Tebet Cilandak

Pasar Minggu

Pesanggrahan 

Mampang Prapatan

Jum

lah

(N)

Kategori Kecepatan Rambatan Gelombang Ultrasonik

KATEGORI v 

I : Sehat

II  : Cukup sehat III : Sedang IV : Cukup sakit


(53)

m/detik dan 536 m/detik. Hal ini dapat diakibatkan oleh kondisi tempat tumbuh pohon di Jalan Raya Pasar Minggu Pancoran yang berada di bagian trotoar jalan. Kondisi ini dapat mengganggu proses penyerapan unsur hara pada pohon sehingga pertumbuhan pohon menjadi terganggu dan rentan terserang patogen. Berbeda dengan tempat tumbuh jenis mahoni di Jalan Tanjung Barat Pasar Minggu yang tumbuh di atas tanah tanpa ditutupi oleh trotoar maupun aspal jalan dan memiliki rata-rata nilai kecepatan rambatan yang cukup tinggi yaitu 1368 m/detik. Selain itu intensitas kepadatan Jalan Raya Pasar minggu Pancoran dan Jalan Sultan Iskandar Muda Kebayoran Lama yang sangat tinggi juga memberikan pengaruh terhadap kondisi pohon. Meskipun demikian, kualitas udara di kedua kecamatan tersebut dapat terjaga dikarenakan jumlah pohon peneduh yang sangat banyak disepanjang jalan tersebut.

Jenis angsana termasuk jenis yang keberadaanya sangat mendominasi di setiap kecamatan. Jenis angsana yang termasuk ke dalam kategori kecepatan rambatan gelombang ultrasonik > 1600 m/detik hanya berjumlah 13 pohon atau 14,13% dari 92 pohon yang diuji, yang tersebar hampir diseluruh kecamatan di Jakarta Selatan. Kondisi ini mengindikasikan bahwa banyak pohon angsana mengalami kerusakan dalam batang pohon. Rata-rata nilai kecepatan rambatan gelombang ultrasonik jenis angsana setiap kecamatan yaitu 1669 m/detik untuk Kecamatan Tebet, 1526 m/detik untuk Kecamatan Pasar Minggu, 1128 m/detik untuk Kecamatan Kebayoran Lama, 937 m/detik untuk Kecamatan Mampang Prapatan, 786 m/detik untuk Kecamatan Kebayoran Baru, 773 m/detik untuk Kecamatan Pesanggrahan, 422 m/detik untuk Kecamatan Cilandak, dan 405 m/detik untuk Kecamatan Jagakarsa.

Sebagian besar jenis angsana yang memiliki nilai kecepatan < 500 m/detik berada di Jalan Pangeran Antasari Kebayoran Baru. Banyaknya jenis angsana yang mengalami kerusakan pada bagian dalam batang yang dilihat dari nilai kecepatan rambatan juga didukung oleh kondisi visual dimana kerusakan berupa gerowong maupun keropos sering dijumpai teutama jenis angsana di Kecamatan Kebayoran Baru.

Sebanyak 39 jenis pohon glodogan yang tersebar di Kecamatan Setiabudi, Kecamatan Jagakarsa, dan Kecamatan Mampang Prapatan memiliki rata-rata nilai


(54)

kecepatan rambatan gelombang ultrasonik yang rendah yaitu 583 m/detik, 429 m/detik, dan 319 m/detik. Nilai kecepatan rambatan gelombang ultrasonik yang paling tinggi untuk jenis glodogan yaitu 1055 m/detik dan paling rendah bernilai 302 m/detik yang berada di Kecamatan Setiabudi. Banyaknya jenis glodogan yang memiliki nilai kecepatan rambatan > 500 m/detik mengindikasikan bahwa ada kerusakan di dalam batang pohon. Kondisi ini didukung dengan kerusakan fisik dan penyakit yang menyerang pohon, seperti di Kecamatan Setiabudi yang rata-rata pohon sudah keropos akibat serangan rayap. Banyaknya gedung perkantoran dan intensitas jalan yang cukup padat seperti Jalan HR Rasuna Said di Kecamatan Setiabudi memberikan pengaruh terhadap pohon glodogan yang sebagian besar tumbuh di daerah tersebut.

Jenis pohon saga, asam londo, ketapang, tanjung memiliki rata-rata nilai kecepatan rambatan gelombang ultrasonik 849 m/detik, 681 m/detik, 1619 m/detik, 524 m/detik. Untuk jenis khaya dan beringin memiliki rata-rata nilai kecepatan rambatan gelombang ultrasonik 1424 m/detik dan 586 m/detik. Pohon-pohon tersebut tersebar merata pada setiap kecamatan di Jakarta Selatan sesuai dengan koordinat posisi geografisnya.

Perbedaan nilai pengujian gelombang ultrasonik pohon-pohon sasaran tidak hanya dipengaruhi oleh kerusakan bagian dalam batang dan faktor lingkungan saja, melainkan juga dipengaruhi oleh diameter setiap pohon yang akan diuji. Sebagian besar nilai kecepatan rambatan diatas 1600 m/detik memiliki diameter dibawah 60 cm. Semakin besar diamater maka kecepatan gelombang ultrasonik yang merambat semakin kecil. Hal ini dipengaruhi oleh hambatan yang ditemukan di dalam pohon sehingga membuat intensitas gelombang ultrasonik menurun.

Pemeliharaan terhadap pohon peneduh di Kota Jakarta Selatan harus ditingkatkan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara pemangkasan cabang atau ranting yang membahayakan, pengecekan kesehatan pohon secara berkelanjutan, memberi air sesuai kebutuhan dan menyemprotkan anti hama. Pemeliharaan ini perlu dilakukan untuk menghindari tumbangnya pohon secara tiba-tiba yang bisa disebabkan karena faktor alam seperti angin kencang dan hujan lebat. Pendugaan kesehatan pohon tidak bisa dengan melihat kondisi luar dari pohon. perlu pengecekan secara menyeluruh agar pohon bisa berfungsi sebagaimana mestinya.


(55)

5.4 Sifat Fisis Kayu

5.4.1 Kadar Air

Salah satu sifat fisis adalah kadar air. Menurut Pansin dan Zeeuw (1980), kadar air merupakan jumlah air yang dikandung kayu yang dinyatakan dalam persen berat kering ovennya. Sedangkan menurut Haygreen et al. (2003), kadar air kayu didefinisikan sebagai berat air dalam kayu yang dinyatakan dalam persen terhadap berat kering tanur (BKT).

Berdasarkan hasil penelitian, rata-rata nilai kadar air yang paling tinggi dimiliki jenis pohon beringin (F. benjamina) yaitu sebesar 105,56% yang berada di Kecamatan Mampang Prapatan dan Kecamatan Cilandak, sedangkan rata-rata nilai kadar air paling rendah dimiliki oleh jenis Asam londo (P. dulce) yaitu sebesar 35,92% yang berada di Kecamatan Tebet (Gambar 24).

Gambar 24 Rata-rata nilai kadar air kayu pohon sasaran setiap kecamatan

Setiap jenis kayu memiliki nilai kadar air yang berbeda. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Pansin dan Zeeuw (1980) bahwa jumlah air yang dikandung kayu bervariasi tergantung dari jenis kayu, berkisar antara 40%-200% berat kering kayu. Selain itu faktor kondisi iklim tempat pohon berada juga mempengaruhi nilai kadar air akibat dari perubahan suhu dan kelembaban udara.

Kecepatan rambatan gelombang ultrasonik dapat dipengaruhi oleh nilai kadar air. Wang dan Robert (2002) mengemukakan bahwa kadar air kayu

46.28%

61.21%

83.89%

55.38%

105.56%

52.19%

35.92%

48.16%

59.18%

0 20 40 60 80 100 120

Rata-rata

k

adar

Air (%

)


(56)

memberikan pengaruh pada kecepatan rambatan dan kerapatan. Nilai kadar air yang tinggi seperti pada jenis F. benjamina dan glodogan (P. longifolia) memiliki nilai kecepatan rambatan gelombang ultrasonik yang lebih rendah dibandingkan dengan jenis mahoni (S. macrophylla), Khaya (Khaya spp) dan angsana (P.

indicus) yang memiliki nilai kadar air yang lebih rendah. Hal ini diperkuat oleh

Oliveira et al. (2002), yang mengemukakan bahwa kadar air yang tinggi cenderung memperlambat kecepatan rambatan gelombang. Bucur (1995) menyatakan bahwa kecepatan menurun secara drastis dengan kenaikan kadar air sampai titik jenuh serat dan kemudian variasinya sangat kecil. Selain itu, kadar air juga bisa menunjukkan kondisi bagian dalam batang pohon. Batang kayu yang kering karena kadar air yang rendah menunjukkan kondisi bagian dalam batang kayu terganggu. Hal ini dapat diakibatkan oleh proses penyerapan unsur hara dan proses fotosintesis pohon yang tidak sempurna akibat gangguan terhadap pohon seperti perakaran yang tertekan.

5.4.2 Kerapatan

Definisi kerapatan menurut Tsoumis (1991) adalah perbandingan suatu massa terhadap volumenya, dan menurut Haygreen et al. (2003) adalah perbandingan berat dan atau massa suatu bahan terhadap volumenya yang dinyatakan dengan satuan g/cm3 atau kg/m3. Kerapatan kayu berhubungan langsung dengan porositasnya, yaitu proporsi volume rongga kosong. Nilai kerapatan yang diperoleh merupakan kerapatan kayu segar pada saat pohon masih berdiri.

Dari penelitian yang dilakukan, diketahui bahwa rata-rata nilai kerapatan yang diperoleh dari pengujian pohon sasaran dilapangan yaitu jenis pohon Asam londo (P. dulce) di Kecamatan Tebet memiliki nilai kerapatan tertinggi dengan nilai 0,64 g/cm3 dan kerapatan yang paling rendah yaitu jenis pohon glodogan (P.

longifolia) yang berada di Kecamatan Mampang prapatan, Kecamatan Setiabudi,

dan Kecamatan Jagakarsa dengan nilai 0,41 g/cm3. Rata-rata nilai kerapatan masing-masing jenis pohon dapat dilihat secara lengkap pada Gambar 25.

Nilai kerapatan pada jenis yang sama tidak mengalami perbedaan walaupun berada pada kecamatan yang berbeda. Jenis S. macrophylla yang berada di


(57)

Kecamatan Tebet, Kecamatan Cilandak, Kecamatan Pancoran, Kecamatan Jagakarsa, Kecamatan Pasar minggu, dan Kecamatan Kebayoran Lama memiliki rata-rata nilai kerapatan yang sebagian besar berada pada kisaran antara 0,51 g/cm3 - 0,59 g/cm3. Begitu juga dengan jenis angsana yang merupakan pohon peneduh Kota Jakarta Selatan yang sebagian besar memiliki rata-rata nilai kerapatan dengan kisaran 0,43 g/cm3 - 0,52 g/cm3. Nilai kerapatan dan dimensi pohon sasaran selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 5.

Menurut Haygreen et al. (2003), kerapatan kayu yang tinggi menunjukkan besarnya proporsi sel dengan dinding sel yang tebal dan rongga sel yang kecil sehingga akan menghasilkan kayu dengan kekuatan yang tinggi. Sementara itu menurut Oliveira et al. (2002), semakin besar kerapatan maka gelombang ultrasonik merambat makin cepat. Hal ini dikarenakan dengan semakin tingginya kerapatan kayu maka dinding sel kayu semakin tebal, yang berarti tersedianya media untuk gelombang merambat dimana interaksi partikel didalamnya semakin kuat. Sementara itu, dinding sel dengan porositas dan permeabilitas tinggi akan memperlambat kecepatan gelombang ultrasonik. Jenis glodogan yang memiliki niali kerapatan yang rendah juga memiliki rata-rata nilai kecepatan rambatan gelombang ultrasonik yang rendah. Hal ini dapat menggambarkan kondisi bagian dalam batang pohon glodogan yang mengalami deteriorasi.

Gambar 25 Rata-rata nilai kerapatan kayu pohon sasaran setiap kecamatan

0.50 0.53

0.41

0.48

0.42

0.50

0.64

0.54

0.48

0.00 0.10 0.20 0.30 0.40 0.50 0.60 0.70

Rata-rata

k

erapatan (g/cm

3)


(58)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

1. Berdasarkan pemantauan secara visual dan pengujian kecepatan rambatan gelombang ultrasonik, sebagian besar (86,15% - 88,74%) pohon peneduh di Jakarta Selatan mengalami deteriorasi. Deteriorasi pada pohon peneduh tersebut terutama berupa kanker, luka terbuka, gerowong, mata kayu, dan keropos akibat serangan rayap.

2. Pohon yang tidak mengalami deteriorasi secara visual (13,85%) dan secara rambatan gelombang ultrasonik (11,26%) terutama adalah jenis mahoni (S.

macrophylla). Hal ini diduga terkait dengan karakteristik jenis pohon tersebut

yang relatif lebih tahan terhadap berbagai agen penyebab deteriorasi.

3. Jenis pohon yang paling banyak mengalami deteriorasi adalah pohon glodogan (P. longifolia) dan angsana (P. indicus)

6.2 Saran

1. Pemerintah Kota Jakarta Selatan selayaknya melakukan pemantauan kesehatan pohon peneduh secara reguler berdasarkan prosedur standar sehingga kemungkinan tumbangnya pohon peneduh dapat diantisipasi.

2. Upaya pemeliharaan dan perawatan pohon peneduh di Jakarta Selatan perlu diintensifkan sebagai bagian dari sistem pengelolaan pohon peneduh.

3. Perhatian khusus perlu diberikan terhadap kondisi kesehatan pohon glodogan dan pohon angsana, bahkan perlu dipertimbangkan kembali kebijakan penggunaan kedua jenis pohon tersebut sebagai pohon peneduh.

4. Kesadaran masyarakat perlu ditingkatkan dalam hal menjaga pohon peneduh kota dengan tidak merusak dan menyalahgunakan fungsinya.

5. Perlu penelitian lebih lanjut tentang kesehatan pohon di Jakarta Selatan dengan menggunakan alat yang lebih mutakhir misalnya sonic tomograph.


(59)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2004. Pedoman Penanaman Turus (kanan-kiri) Jalan Nasional Gerakan

Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GERHAN).

http://dephut.go.id/files/l1_7_p03_04.pdf [10 Desember 2010].

Aryadi EWS. 2009. Fungsi dan Manfaat Ruang Terbuka Hijau.

http://semuatentangkota.blogspot.com/2009/04/fungsi-dan-manfaat-ruang-terbuka-hijau.html [10 Desember 2010].

[ASNT] The American Society for Nondestructive Testing. 2011. Introduction

To Nondestructive Testing. http://www.asnt.org/ndt/primer2.html

[16 November 2011].

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Data Agregat per Kecamatan-Badan Pusat Statistik. http:/bps.go.id/hasilSP2010/dki/3171.pdf [16 November 2011]. [Bpthbalinusra] Balai Perbenihan Tanaman Hutan Bali Nusra. 2009. Mahoni

Afrika ( Khaya anthotheca C.DC). http://bpthbalinusra.net/.../199-mahoni-afrika-khaya-anthotheca-cdc.html [12 Desember 2011].

Bucur V. 1995. Acoustic of Wood. Institut National de la Recherche Agronomigue Centre de Recherches Forestieres. Nancy. France.

Dahlan EN. 1992. Hutan Kota Untuk Pengelolaan dan Peningkatan Kualitas

Lingkungan. Jakarta: APHI.

Djafaruddin. 1996. Dasar-dasar Perlindungan Tanaman. PT Bumi Aksara. Jakarta.

Fajar A. 2011. Catatan kuliah di teknik elektro. http://kuliah.Andifajar.com/tag/ karakteristik-gelombang-ultrasonik.html [30 November 2011].

Fakuara Y. 1986. Hutan Kota : Peranan dan Permasalahanya. Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB, Bogor.

Hartman JR, Pirone TP. 2000. Pirone’s Tree Maintenance: Seventh Edition. New York: Oxford Unibersity Press.

Haygreen JG, Shmulsky R, Bowyer JL. 2003. Forest Products and Wood Science

an Introduction. Iowa: The Iowa State University Press AMES.

Irwan ZD. 1994. Peranan Bentuk dan Struktur Kota Terhadap Kualitas Lingkungan Kota. [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Karlinasari L dan Surjokusumo S. 2010. Kebugaran Pohon Berdiri (Standing

Tree) Sebagai Aset Lingkungan Perkotaan dan Perumahan. Workshop

Pemantauan Kesehatan Hutan Pada Ruang Terbuka Hijau di Lingkungan Perkotaan. Hlm: IV-1 – IV-8.


(60)

Kompas. 2012. Sepanjang Januari, 204 pohon tumbang di Jakarta. http://megapolitan.kompas.com/read/2012/02/04/15413734/Sepanjang. Januari.204.Pohon.Tumbang.Di.Jakarta. [4 Februari 2012].

Mangold R. 1997. Forest Health Monitoring: Field Methods Guide. USDA Forest Service.

Nor IA. 2009. Ruang Terbuka Hijau. http://simpangmahar.blogspot.com/2010/02/ ruang-terbuka-hijau-rth.html. [10 Desember 2010].

Nowak DJ. 2004. The Effect Of Urban Trees On Air Quality.

www.earthowners.net/effect on urban areas.htm. [22 November 2011]. Oliveira FGR, Campos JAO de, Sales A. 2002. Ultrasonic Measurements in

Brazilian Hardwoods. Materials Research Journal 5 (1): 51-55.

Pansin AJ dan C de Zeeuw. 1980. Textbook of Wood Technology Vol I. Structure, Identification, Uses, and Propertiesof The Commercial Wood of The

United States and Canada. Mc Graw Hill Book Co. New York.

Rahayu S. 2000. Penyakit Tanaman Hutan di Indonesia (Gejala, Penyebab, dan

Teknik Pengendalian). Gajah Mada University Press. Yogyakarta.

Ross and Pellerin. 2002. Nondestructive Evaluation of Wood. Madison: Forest Product Society.

Soeratmo FG. 1974. Plant Diseases 3 rd Edition. Oxford & IBH Publishing CO. New Delhi.

Suku Dinas Perhubungan Jakarta Selatan. 2011. Kajian Volume Lalu Lintas

Wilayah Jakarta Selatan. Jakarta: PT. Andalusia Konsulindo.

[Sudintanhut] Suku Dinas Pertanian dan Kehutanan Jakarta Selatan. 2008. Laporan Akhir Pembangunan Basis Inventarisasi dan Penilaian Pohon

Pada RTH di Jakarta Selatan. Jakarta: PT. Tritis Bina Mandiri.

Sulistyantara B. 2006. Taman Rumah Tinggal. Jakarta: Penebar Swadaya.

Sumardi dan SM Widyastuti. 2002. Bahan Ajar Perlindungan Hutan Proyek

Peningkatan Penelitian Pendidikan Tinggi. Direktorat Jendral

Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Jakarta.

Tsoumis G. 1991. Science and Technology of wood (Structure, Properties,

Utilization). New York: Van Nostrand Reinhold.

Wang X, JR Robert. 2002. Nondestructive Evaluation of Wood. Chapter 10: Nondestructive Evaluation of Green Materials – Recent Research and

Development Activities. Madison, WI; Washington State University,

Pullman WA; and USDA Forest Service, Forest Product Laboratory. Hlm: 149-171.


(1)

No Kecamatan Jenis Pohon

Hasil Pengukuran Dengan Alat Sylvatest Duo®

Kondisi Visual Pohon v rata-rata

(m/s)

t rata-rata (µs)

e rata-rata (mv)

216 Kebayoran Lama Angsana 558 998 3825 gerowong dibagian akar, mata kayu, beberapa daun tampak menguning, kulit terkelupas 217 Kebayoran Lama Angsana 395 1338 3824 kulit terbuka, mata kayu dan beberapa daun

menguning dan tampak layu

218 Kebayoran Lama Angsana 1605 200 3823 Penampakkan sehat

219 Kebayoran Lama Angsana 1469 247 3826 Penampakkan pohon sehat, hanya ada bekas pemangkasan cabang

220 Kebayoran Lama Angsana 503 913 3825 beberapa cabang ranting yang patah dan mati, ada benjolan seperti mata kayu

221 Kebayoran Lama Angsana 1440 277 3825 Penampakkan sehat

222 Kebayoran Lama Angsana 1419 343 3825 Penampakkan sehat

223 Kebayoran Lama Angsana 1438 328 3825 penampakkan sehat hanya banyak cabang ranting yang tumbuh

224 Kebayoran Lama Angsana 1367 336 3825 mata kayu, beberapa daun menguning dan luka terbuka

225 Kebayoran Lama Angsana 1448 248 3825 Penampakkan sehat

226 Kebayoran Lama Angsana 1630 245 3826 Penampakkan sehat

227 Kebayoran Lama Angsana 1640 226 3826 Penampakkan sehat, hanya pertumbuhan pohon miring

228 Kebayoran Lama Angsana 976 419 3825

kulit yang mengelupas cukup panjang dibagian atas pohon, beberapa cabang ranting

yang sudah mati dan benjolan kecil

229 Kebayoran Lama Mahoni 597 725 3825 Penampakkan sehat

230 Kebayoran Lama Mahoni 475 896 3825 luka terbuka dan luka mekanis


(2)

Lanjutan lampiran 6

No Kecamatan Jenis

Pohon

Hasil Pengukuran Dengan Alat Sylvatest Duo®

Kondisi Visual Pohon v rata-rata

(m/s)

t rata-rata (µs)

e rata-rata (mv)

231 Kebayoran Lama Angsana 942 818 3825 penampakkan sehat hanya ada sedikit luka terbuka

Keterangan : v : Kecepatan rambatan gelombang ultrasonik t : Waktu rambatan gelombang ultrasonik e : Energi rambatan gelombang ultrasonik


(3)

No Nama Lokal Nama Ilmiah Jumlah Pohon Persentase (%)

1 Angsana Pterocarpus indicus 92 39,82

2 Mahoni Swietenia macrophylla 78 33,77

3 Glodogan Polyalthia longifolia 39 16,88

9 Saga Adenanthera povonina 15 6,50

4 Khaya Khaya spp 2 0,87

5 Beringin Ficus benjamina 2 0,87

6 Tanjung Mimusops elengi 1 0,43

7 Ketapang Terminalia catappa 1 0,43

8 Asam londo Pithecellobium dulce 1 0,43

Total 231 100,00

                             

   


(4)

Lampiran 8 Contoh pohon sasaran dan penampakan daunnya  

           

Pohon saga Daun saga  

           

Pohon mahoni Daun mahoni  

             


(5)

         

   

Pohon angsana Daun angsana  

             

Pohon khaya Daun khaya


(6)

   

   

   

     

Pohon tanjung Daun tanjung  

       

   

   

Pohon ketapang Daun ketapang