Dasar Hukum Mediasi di Pengadilan Negeri Medan

B. Dasar Hukum Mediasi di Pengadilan Negeri Medan

Pada dasarnya dalam hal mengenai perdamaian di pengadilan yang dilakukan oleh hakim sebagai pendamainya atau biasa disebut hakim mediator sebenarnya bukan hal baru dalam proses acara perdata dipengadilan Indonesia. Artinya ia bukanlah merupakan hal yang baru bagi hakim Indonesia. Sesuai dengan pasal 130 HIR 154 Rbg yang merupakan dasar hukum dari pelaksanaan mediasi dalam hukum acara perdata, telah ditentukan bahwa hakim wajib mengajukan upaya damai kepada para pihak sebelum proses pemeriksaan perkara dimulai. Hanya saja dalam peraturan tersebut tidak ditentukan mengenai prosedur dan peran khusus hakim dalam mendamaikan perkara di pengadilan. Mediasi itu merupakan bagian dari alternatif penyelesaian sengketa. Tapi yang kita bicarakan disini adalah mediasi yang dlakukan dilingkungan atau ruang lingkup pengadilan. Namun karena mediasi itu sendiri adalah pemberdayaan dari pasal 130 HIR maka mediasi menjadi wajib sifatnya seperti yang terdapat dalam PERMA No.01 Tahun 2008 adalah pasal 2 ayat 3 yang menyatakan bahwa: “Tidak menempuh prosedur mediasi berdasarkan peraturan ini merupakan pelanggaran terhadap pasal 130 HIR yang mengakibatkan putusan batal demi hukum”. 71 Selama berjalannya waktu dan adanya amanat pasal 130 HIR dan 154 Rbg dimana dalam beracara dipengadilan megenai kasus perdata hakim wajib menawarkan kepada para pihak untuk melakukan perdamaian atau mediasi. Dan 71 PERMA No.1 Tahun 2008 . Pasal 2 ayat 3 Universitas Sumatera Utara kemudian mengenai perdamaian atau mediasi ini diatur didalam UU No.30 Tahun 1999 yang terdapat dala pasal 6 ayat 1 sampai dengan pasal 6 ayat 9. Pasal-pasal dalam UU No.30 Tahun 1999 ini dirasa kurang dalam dan mendetail membahas dan mengatur mengenai mediasi dimana UU No. 30 Tahun 1999 lebih banyak mngetur tentang alternative penyelesaian yang dilakukan diluar pengadilan, yang kemudian Mahkamah Agung mengeluarkan Perma No. 2 Tahun 2003. Dengan berjalannya pelaksanaan dari PERMA No. 2 Tahun 2003 sebagai dasar hukum dalam pelaksanaan mediasi baik di pengadilan mapun diluar pengadilan ternyata ditemukan beberapa permasalahan yang bersumber dari Peraturan Mahkamah Agung tersebut, sehingga Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2003 sebagai dasar hukum dalam pelaksanaan mediasi dalam beracara di pengadilan maka perlu direvisi dengan maksud untuk lebih mendayagunakan mediasi sebagai akses mudah dalam menyelesaikan sengketa yang terkait dengan proses berperkara di Pengadilan sebagai yang termuat dalam asas cepat, sederhana dan biaya ringan. Maka dikeluarkanlah Perma No.01 Tahun 2008 sebagai perubahan atas Perma No. 2 Tahun 2003 yang mana Perma No.01 Tahun 2008 ini terbit setelah melalui sebuah kajian oleh tim yang dibentuk Mahkamah Agung. Salah satu lembaga yang intens mengikuti kajian mediasi ini adalah Indonesia Institute For Conflict Transformation IIFCT. PERMA No. 01 Tahun 2008 terdiri dari VIII Bab dan 27 pasal yang telah ditetapkan oleh Ketua Makamah Agung pada tanggal 31 Juli 2008, PERMA No. 01 Tahun 2008 sebagai dasar hukum mediasi di pengadilan membawa beberapa perubahan penting, bahkan menimbulkan Universitas Sumatera Utara implikasi hukum jika tidak dijalani. Misalnya, memungkinan para pihak menempuh mediasi pada tingkat banding atau kasasi Perubahan-perubahan itu penting dipahami oleh para hakim, penasihat hukum, advokat, pencari keadilan, dan mereka yang berkecimpung sebagai mediator atau arbiter. Menurut PERMA No. 01 Tahun 2008, mediasi perlu didayagunakan pada proses berperkara dipengadilan karena : 72 a. Mediasi merupakan salah satu proses penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan murah, serta dapat memberikan akses yang lebih besar kepada para pihak menemukan penyelesaian yang memuaskan dan memenuhi rasa keadilan. b. dapat menjadi salah satu instrumen efektif mengatasi masalah penumpukan perkara di pengadilan serta memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam penyelesaian sengketa di samping proses pengadilan yang bersifat memutus ajudikatif. c. mendorong para pihak untuk menempuh proses perdamaian yang dapat diintensifkan dengan cara mengintegrasikan proses mediasi ke dalam prosedur berperkara di Pengadilan Negeri. 72 Konsiderans pada PERMA Nomor 1Tahun 2008. Universitas Sumatera Utara Dan semua putusan pengadilan dapat batal demi hukum jika tidak melakukan prosedur mediasi yang didasarkan PERMA No.01 tahun 2008, dan PERMA No.01 Tahun 2008 mencoba memberikan pengaturan yang lebih komprehensif, lebih lengkap, lebih detail sehubungan dengan proses mediasi di pengadilan. Diarahkannya para pihak yang berpekara untuk menempuh proses perdamaian secara detail, juga disertai pemberian sebuah konsekuensi, bagi pelanggaran, terhadap tata cara yang harus dilakukan, yaitu sanksi putusan batal demi hukum atas sebuah putusan hakim yang tidak mengikuti atau mengabaikan PERMA No.01 Tahun 2008 ini. . PERMA No.01 Tahun 2008 tidak melihat pada nilai perkara, tidak melihat apakah perkara ini punya kesempatan untuk diselesaikan melalui mediasi atau tidak, tidak melihat motivasi para pihaknya, tidak melihat apa yang mendasari iktikad para pihak mengajukan perkara, tidak melihat apakah para pihak punya sincerity kemauan atau ketulusan hati untuk bermediasi atau tidak. Tidak melihat dan menjadi persoalan berapa banyak pihak yang terlibat dalam perkara dan dimana keberadaan para pihak, sehingga dapat dikatakan PERMA No.01 Tahun 2008 memiliki pendekatan yang sangat luas. Dalam PERMA No.01 Tahun 2008, Peran mediator menurut pasal 5 menegaskan, ada kewajiban bagi setiap orang yang menjalankan fungsi mediator untuk memiliki sertifikat, ini menunjukan keseriusan penyelesai sengketa melalui mediasi secara professional. Mediator harus merupakan orang yang qualified dan memiliki integritas tinggi, sehingga diharapkan mampu memberikan keadilan dalam proses mediasi. Namun mengingat bahwa PERMA No.1 Tahun 2008 Universitas Sumatera Utara mewajibkan dan menentukan sanksi pasal 2, maka perlu dipertimbangkan ketersedian dari Sumber daya Manusianya untuk dapat menjalankan mediasi dengan baik. Adanya kewajiban menjalankan mediasi, membuat hakim dapat menunda proses persidangan perkara. Dan dalam pelaksanaan mediasi para pihak diberi kebebasan untuk memilih mediator yang disediakan pengadilan atau mediator diluar pengadilan. Untuk memudahkan memilih mediator, ketua pengadilan minimal menyediakan daftar nama mediator sedikitnya 5 lima nama yang disertai latar belakang pendidikan atau pengalaman mediator. Ketua Pengadilan mengevaluasi mediator dan memperbaharui daftar setiap tahun .Pasal 9 Ayat 7 PERMA No.01 Tahun 2008. 73 Dimana dengan adanya pengaturan pelaksanaan mediasi yang jelas di pengadilan diharapkan dapat mengurangi beban perkara di pngadilan dan menyediakan akses seluas mungkin kepada para pihak yang bersengketa untuk memeperoleh rasa keadilan, sehingga secara tidak langsung dapat membentuk independent judiciary. Adapun perbedaan posisi antara hakim yang memeriksa perkara biasa di pengadilan dengan hakim sebagai pihak yang menengahi perkara dalam format mediasi adalah di mana dalam persidangan biasa hakim memegang kekuasaan tertinggi dalam persidangan, sedangkan dalam mediasi, kekuasaan tertinggi ada di para pihak masing-masing yang bersengketa. Mediator sebagai Jadi telah begitu detail PERMA No. 01 Tahun 2008 mengurai pelaksanaan mediasi itu sendiri sampai dengan penanda tanganan akta perdamaian yang dihasilkan dari proses mediasi tersebut. 73 Ibid, h. 313. Universitas Sumatera Utara pihak ketiga yang dianggap netral hanya membantu atau memfasilitasi jalannya proses mediasi saja. Hasil dari proses persidangan adalah putusan hakim. Sedangkan proses mediasi menghasilkan suatu akta perdamaian atau biasa disebut akta vandading.

C. Prosedur Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan Negeri Medan