BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ditinjau dari segi kodratnya, manusia pada dasarnya memiliki sifat yang kurang puas. Dimana sifat yang kurang puas tersebut manusia selalu berusaha
untuk memenuhinya, apabila telah terpenuhi kemudian timbul kebutuhan lain yang ingin dipenuhi sehingga menimbulkan ketidakpuasan atas dirinya sendiri dan
bahkan menimbulkan kerugian pada pihak lain. Dalam perkembangaan selanjutnya, masyarakat yang sangat kompleks itu
selalu berusaha agar kebutuhannya cepat selesai, termasuk juga dalam proses berperkara di pengadilan. Bersamaan dengan itu dalam Hukum Acara Perdata
yang terdapat suatu asas yang terdapat dan tercantum dalam penjelasan Undang- Undang No.4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Bagian umum, butir 8
yang berbunyi : “Peradilan dilakukan sederhana, cepat dan biaya ringan tetap harus dipegang teguh yang tercermin dalam dalam undang-undang tentang hukum
acara pidana dan hukum acara perdata yang termuatp peraturan-peraturan tentang pemeriksaan dan pembuktian yang jauh lebih sederhana“
1
Seandainya banyak perkara yang tertumpuk di Pengadilan, maka akan memakan waktu yang lama dan akhirnya dari lamanya waktu tersebut
. Asas tersebut penting bagi mereka yang berperkara, hakim dan aparat penegak hukum lainnya
mengingat untuk menjaga agar supaya perkara yang telah masuk ke Pengadilan Negeri tidak banyak yang tertumpuk serta tidak berlarut-larut penyelesaiannya.
1
Undang-Undang No.4 Tahun 2004 “ Tentang Kekuasaan Kehakiman”
Universitas Sumatera Utara
mengakibatkan biaya tidak sedikit. Di samping itu juga tidak tercapainya putusan yang obyektif karena dengan berlarutnya putusan itu para pihak yang dinyatakan
menang dalam perkara tidak dapat menikmati kemenangannya karena telah meninggal lebih dahulu sebelum putusan turun.
Manusia memiliki berbagai kebutuhan di dalam hidupnya. Untuk dapat memenuhi kebutuhan tersebut, di dalam berhubungan manusia lain diperlukan
keteraturan. Keadilan dan kepastian hukum merupakan salah satu kebutuhan yang penting dalam masyarakat. Untuk itu, masyarakat membuat aturan hukum untuk
dipatuhi dan akan ditegakkan bila terjadi pelanggaran. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, konflik-konflik hukum yang terjadi di masyarakat menjadi
semakin meningkat sehingga menghambat jalannya proses penegakan. Salah satu cara yang dilakukan untuk mengatasi penumpukan perkara
adalah melalui mediasi. Mediasi pada prinsipnya merupakan salah satu bentuk dari alternatif penyelesaian sengketa Alternative Dispute Resolution. Dikatakan
sebagai alternatif penyelesaian sengketa karena mediasi merupakan satu alternatif penyelesaian sengketa di samping pengadilan. Panjangnya proses peradilan, mulai
dari tingkat pengadilan pertama, banding, kasasi dan peninjauan kembali PK membuat penyelesaian membutuhkan waktu yang lama. Padahal, mayarakat
mencari proses penyelesaian yang mudah dan cepat. Dalam kenyataannya, sampai saat ini belum ada yang mampu mendesain sistem peradilan yang efektif dan
efisien. Banyak aspek yang harus dipertimbangan agar tidak saling berbenturan.
Adanya kewalahan dalam menangani perkara-perkara kasasi dan PK yang setiap
Universitas Sumatera Utara
tahunnya semakin menumpuk, membuat Mahkamah Agung MA mengeluarkan Peraturan MA PERMA yakni PERMA No.01 Tahun 2008 tentang Prosedur
Mediasi Perkara di Pengadilan. Dengan keluarnya PERMA No.01 Tahun 2008 mengenai Mediasi ini diharapkan mampu mengurangi penumpukan perkara di
pengadilan dengan cara mengintegrasikan mediasi ke dalam proses beracara di pengadilan. Jadi, perkara-perkara yang sederhana, tidak perlu diselesaikan
berlarut-larut. Dan juga Orang yang merasa dirugikan oleh orang lain dan ingin
mendapatkan kembali haknya, dapat mengupayakan melalui prosedur yang berlaku, baik melalui litigasi pengadilan maupun alternatif penyelesaian
sengketa Alternative Dispute ResolutionADR dan tidak boleh main hakim sendiri eigenrichting.
Di pengadilan, penyelesaian perkara dimulai dengan mengajukan gugatan ke pengadilan yang berwenang. Penyelesaian sengketa hukum melalui pengadilan
ini dilakukan dengan tiga tahap. Tahap permulaan dengan mengajukan gugatan sampai dengan jawaban. Tahap penentuan dimulai dari pembuktian sampai
dengan putusan, dan tahap pelaksanaan adalah pelaksanaan putusan. Setiap tahap tersebut memerlukan waktu relatif lama, mahal dan prosedur yang cukup rumit.
Dalam perkembangannya, tuntutan akan kecepatan, kerahasiaan, efisiensi dan efektifitas serta demi menjaga kelangsungan hubungan antara pihak yang
bersengketa, selama ini belum dapat direspon secara optimal oleh lembaga litigasi pengadilan, sehingga mendapat banyak kritikan. Dalam operasionalnya,
pengadilan dinilai lamban, mahal, memboroskan energi, waktu, uang serta tidak
Universitas Sumatera Utara
didapatnya win-win solution yang diharapkan oleh kedua belah pihak. Karena itu, penyelesaian sengketa alternatif mendapat sambutan positif. Alternatif dimaksud
adalah mediasi sebelum perkara diajukan ke pengadilan dimulai. Indonesia , dalam hal lembaga mediasi, dulunya lebih maju dari negara
lain. Hukum Acara Perdata yaitu HIR Het Herziene Reglement pasal 130 dan R.Bg. Rechtsreglement Buitengewesten pasal 154, misalnya, telah mengatur
lembaga perdamaian, dimana hakim yang mengadili wajib mendamaikan lebih dahulu pihak yang berperkara, sebelum perkaranya diperiksa secara ajudikasi.
Selain itu, dikeluarkan pula SEMA No. 1 Tahun 2002 Tentang Pemberdayaan Lembaga Perdamaian sebagai peraturan pendukung pelaksanaan mediasi itu
sendiri. Sementara tentang mediasi atau alternatif penyelesaian sengketa APS di
luar pengadilan, diatur dalam pasal 6 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase Penyelesaian Sengketa. Lembaga-lembaga APS bisa dijumpai
secara luas dalam berbagai bidang seperti undang- undang bidang Lingkungan Hidup, Pertumbuhan, Perlindungan Konsumen dan lain sebagainya. Mahkamah
Agung MA RI juga telah mengeluarkan PERMA No. 2 Tahun 2003 Yo PERMA No.01 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan yang mewajibkan
pihak yang bersengketa perdata, lebih dulu menempuh proses mediasi. Yaitu melalui perundingan antara pihak yang bersengketa dengan bantuan pihak ketiga
yang netral dan tidak memiliki kewenangan memutus mediator. Berkaitan dengan hal itu, MA mewajibkan penggunaan jasa mediasi sebagai upaya
memaksimalkan perdamaian sebagaimana diatur dalam pasal 130 HIR dan pasal
Universitas Sumatera Utara
154 Rbg. Lembaga sejenis mediasi untuk menyelesaikan perkara di luar pengadilan sudah diatur dalam Pasal 130 HIR154 RBg. Pasal ini menyatakan
bahwa, “Jika pada hari yang ditentukan itu, kedua belah pihak datang menghadiri, maka Pengadilan Negeri dengan pertolongan Hakim Ketua mencoba untuk
mendamaikan mereka.”
2
Padahal jika proses mediasi atau perdamaian tercapai, maka secara langsung dapat dibuatkan akta perdamaian yang harus dipatuhi, berkekuatan dan
dijalankan sebagai keputusan biasa. Menurut M. Yahya Harahap, upaya mendamaikan bersifat imperatif. Hal ini dapat ditarik dari kesimpulan Pasal 131
Pada ayat diatas sangat jelas keharusan Hakim Ketua Pengadilan Negeri untuk mengupayakan perdamaian terhadap perkara perdata yang diperiksanya.
Dalam kaitannya ini hakim harus dapat memberikan pengertian, menanamkan kesadaran dan keyakinan kepada para pihak yang berperkara, bahwa penyelesaian
perkara dengan perdamaian merupakan suatu cara penyelesaian yang lebih baik dan lebih bijaksana daripada diselesaikan dengan putusan Pengadilan, baik
dipandang dari segi waktu, biaya dan tenaga yang digunakan. Namun terkadang dalam kenyataannya penerapan mediasi dalam beracara
perdata tersebut tidak terlaksana sesuai dengan apa yang diharapkan para pencari keadilan dalam menyelesaikan perkara mereka, sehingga banyak anggapan yang
timbul dari masyarakat bahwa proses mediasi bukan lagi menjadi suatu cara tepat dalam menyelesaikan sengketa.
2
Ropaun Rambe, Hukum Acara Perdata Lengkap, Jakarta : Sinar Grafika, 2006, h. 245.
Universitas Sumatera Utara
ayat 1 HIR bahwa bila hakim tidak dapat mendamaikan para pihak, maka hal itu harus dicantumkan dalam berita acara sidang. Kelalaian tidak mencantumkan hal
tersebut mengakibatkan pemeriksaan perkara menjadi cacat formil dan pemeriksaannya batal demi hukum. Dari sini, dapat disimpulkan bahwa proses
perdamaian sangat penting dan wajib dilakukan. Mediasi itu sendiri pada dasarnya merupakan salah satu upaya untuk
membantu lembaga pengadilan dalam rangka mengurangi beban penumpukan perkara serta agar adanya keasadaran akan pentingnya sistem hukum di Indonesia
untuk menyediakan akses seluas mungkin kepada para pihak yang berpekara atau bersengketa untuk mendapatkan rasa keadilan. Mediasi itu sendiri prosesnya lebih
singkat dan lebih cepat penyelesaiannya serta tidak memerlukan biaya yang besar. Salah satu asas dalam Hukum Acara Perdata, Peradilan Dilaksanakan Dengan
sederhana, Cepat dan Biaya Ringan. Berdasarkan uraian di atas, maka di dalam perkara perdata upaya
perdamaian yang dikenal dengan mediasi secara langsung merupakan suatu kewajiban yang memang harus dilakukan dalam proses persidangan. Hal ini
dimaksudkan bahwa mediasi mampu untuk dijadikan konsep dalam mempermudah bagi para pihak yang berperkara demi memperoleh kesepakatan
bersama dan memberikan suatu keadilan yang bersumber dari perilaku aktif para pihak itu sendiri beserta hal-hal yang dikehendaki dalam proses mediasi tersebut.
Pemakaian lembaga mediasi pengadilan lebih menguntungkan karena cepat, oleh karenanya, mekanisme mediasi dalam proses penyelesaian sengketa di Pengadilan
Universitas Sumatera Utara
juga mendorong upaya damai sebagai solusi yang utama oleh para pihak yang bertikai.
Masyarakat yang berkepentingan akan menyelesaikan sengketa yang sederhana dan efisien, baik dari segi waktu maupun biaya. Pemantapan dan
pengetahuan akan pentingnya mediasi menganjurkan bagi para pencari keadilan untuk dapat bertindak dalam memperoleh kebenaran sejati tanpa mengalami
kerugian baik materiil maupun non materiil. Pelaksanaan mediasi diharapkan dapat menciptakan penerapan azas
peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan secara sungguh-sungguh dilaksanakan, khususnya di Pengadilan Negeri Medan. Dewasa ini sering
terdengar adanya keluhan dari masyarakat karena berbelit-belitnya prosedur dalam proses pemeriksaan perkara, khususnya pada perkara perdata. Selain itu
keluhan juga timbul karena lamanya jangka waktu pemeriksaan perkara, maupun tingginya biaya perkara yang harus mereka keluarkan. Keadaan seperti tersebut
diatas sering mengakibatkan masyarakat enggan berhubungan dengan peradilan Dengan segala permasalahan yang ada dan telah mempertimbangkan
banyak hal serta aspek yang melingkupinya, upaya damai dalam rangka penerapan azas sederhana, cepat dan biaya ringan ke dalam prosedur mediasi yang telah
berlangsung menjadi suatu hal yang perlu dilakukan perbaikan, maka melalui fungsinya sebagai lembaga yang memiliki kekuasaan dan kewenangan dalam
membuat peraturan, Mahkamah Agung telah memberlakukan PERMA No. 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi yang diintensifkan ke dalam prosedur
berperkara di Pengadilan Negeri.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan uraian atas permasalahan pada latar belakang dan beberapa alasan tersebut diatas, maka mendorong penulis untuk mengadakan penelitian,
dalam penulisan hukum ini penulis memberikan suatu pengetahuan akan suatu hal yang patut diangkat menjadi sebuah penelitian dengan judul “ PERAN DAN
PELAKSANAAN MEDIASI DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA PERDATA DI PENGADILAN NEGERI MEDAN “.
B. Rumusan Masalah