Data ini bersumber dari sebuah situs internet http:hasanudinnoor.blogspot.com201006larwul- ngabal-hukum-adat-di-kepulauan.html.
Di Pulau Kei, kerusuhan yang terjadi berlangsung cukup lama hingga membuat warga Kei resah. Desa yang dulunya tenang kini berubah menjadi desa yang menakutkan. Oleh karena
itu, para tokoh-tokoh masyarakat ingin meredakan konflik dengan cara pendekatan adat Larwul Ngabal. Adat Larwul Ngabal merupakan hukum adat Kei, di mana saat hukum itu dibacakan
semua orang Kei disekap bisu dan mengeluarkan air mata. Hal ini dikarenakan sejarah dari hukum adat tersebut. Bagi siapa yang melanggarnya maka hukuman sosial yang diterimanya
sangat berat, keterangan yang digambarkan pengarang dalam novelnya. “Dua malam lalu, sepulang saya mengantarmu dan para pengungsi lainnya
ke sini, saya ikut bergabung dengan rapat yang digelar tokoh-tokoh ada di balai desa. Mereka membicarakan rekonsiliasi. Hukum adat Larwul
Ngabal adalah satu-satunya jalan untuk menghentikan perang saudara ini.” KEI: 75.
Dalam adat Larwul Ngabal diajarkan bahwa air mata seorang perempuan adalah air mata emas. Oleh sebab itu, setiap lelaki di Kei tidak boleh sembarangan mengeluarkan air mata
seorang perempuan. Adat ini juga mengajarkan kepada masyarakat Kei agar setiap lelaki di Kei hanya boleh berkelahi untuk menjaga kehormatan perempuan.
Malam nanti, dia aka bercerita lagi kepada Namira. Tentang air mata emas perempuan Kei. Kaum lelaki di Kei harus menghormati para kaum
perempuan. Dalam Larwul Ngabal, air mata perempuan Kei disamakan dengan emas. Air mata perempuan tak boleh sembarang ditumpahkan.
Oleh karena itu, lelaki Kei sejati hanya akan berperang untuk membela kehormatan perempuan, KEI : 93-94.
4.2.6.4 Penyerahan Sirih dan Pinang
Konflik yang terjadi di pulau Kei diselesaikan dengan cara adat Kei. Awal penyelesaiannya dimulau dari desa Evu. Saat kabar beredar bahwa Evu akan diserang maka ibu
Mery, Emiliana yang juga aktivis perempuan di pulau Kei, beserta istri kepalad desa melakukan
Universitas Sumatera Utara
suatu rencana, yaitu melakukan penyerahan sirih dan pinang kepada kelompok penyerang saat akan menyerang desa Evu. Penyerahan sirih dan pinang ini merupakan pendekatan secara adat
yang dilakukan oleh kaum perempuan Kei untuk menghentikan perkelahian diantara kaum lelaki di Kei. Hal ini digambarkan pada kutipan berikut.
Ketika mendengar kabar kalau pulau Warwut- pulau di selatan Evu itu akan menyerang Evu. Sebagai aktivis kemanusiaan perempuan, Emiliana
ingin melakukan pencegahan. Dia telah menghubungi istri kepala desa. Dan rencana telah dibuat, jika para penyerang datang ke Evu, maka kaum
perempuan akan menyambut penyerang dengan membawa sirih dan pinang. Sejak ribuan tahun lalu, sirih dan pinang memiliki kekuatan
sebagai upaya permohonan damai di Kei, KEI: 147.
Rencana yang buat Emiliana bersama perempuan lainnya untuk meredam kemarahan lelaki Kei yang berkelahi nampaknya cukup berhasil. Saat para lelaki membawa senjata-senjata
tajam untuk menyerang desa Evu, bersama perempuan lainnya, Emiliana masuk ke tengah- tengah dan menyerahkan sirih pinang kepada kelompok penyerang. Para kelompok penyerang
tersebut wajib harus menerima sirih pinang yang diberikan oleh kelompok perempuan sebagai tanda perdamaian. Satu persatu senjata dijatuhkan ke tanah, dan kelompok penyerang mundur
dengan teratur. Di Evu, para penyerang telah menguasai seperempat kampung. Mereka
merasa sudah di atas angin. Saat darah mereka mendidih terbakar amarah, Emiliana dan perempuan lain yang dipimpin Dorothea maju ke tengah-
tengah kekacauan dan menyerahkan sirih dan pinang. Aliran darah panas para penyerang itu langsung berhenti. Mereka tertegun dan secara
serempak, dengan serta merta menjatuhkan senjata-senjata tajam yang mereka bawa. Mereka tahu ketentuan adat Kei. Mereka harus menerima
sirih pinang itu dan memakannya sebagai tanda damai. Dengan langkah yang tak lagi tegap, para penyerang itu berbalik mundur.
Mereka tahu betul, ajaran adat Kei yang bersemayam di hati mereka lebih kuat dari apa pun. Meski sedang marah dan saling berkelahi, jika ada
kaum perempuan yang melerai, para lelaki itu harus berhenti, KEI: 148- 149.
Universitas Sumatera Utara
Dalam ajaran adat Kei, perempuan adalah lambang hawear yang merupakan tanda sakral atau perdamaian. Ketika para lelaki Kei berkelahi jalan satu-satunya yang ampuh untuk
mendamaikannya adalah perempuan. Di Pulau Kei, petuah leluhur ini terus menerus diajarkan oleh seorang ibu kepada anaknya. Hal ini terdapat dalam kutipan berikut.
“Nak, kau tahu dalam ajaran adat Kei, satu-satunya alasan orang berperang atau berkelahi adalah untuk mempertahankan kehormatan kaum
perempuan dan kedaulatan batas wilayah. tolong jangan berkelahi lagi. Laki-laki yang benar-benar lelaki tak akan sembarang berkelahi”
Sala mengangguk. Baru kali itu dia merasa dirinya tak jantan. Berkelahi karena hanya tak tahan ejekan. “Sebenar-benarnya laki-laki adalah lelaki
yang marah karena melihat kehormatan perempuan dilecehkan.” Kalimat itu terus terngiang-ngiang di kepalanya, KEI: 44-45.
Sebagai seorang ibu, Martina selalu menyampaikan hal tersebut kepada Sala. Sala pun memahami betul akan petuah leluhur yang tidak boleh dilanggar. Setiap tindakan yang akan
diambilnya, Sala selalu berusaha untuk menyesuaikannya dengan ajaran leluhur. Begitupun ketika Sala akan disuruh untuk membunuh seseorang. Dia tidak mau menjalankan perintah itu
karena ajaran para leluhur yang terus dia hormati. “Jika ajaran adat dilanggar, leluhur dan Tuhan tak pernah mengampuni
kita Tulah akan mengikuti tubuh kita di darat, laut, dan udara. Saya tak akan melakukan pembunuhan ini. Tak akan” kata Sala dengan wajah
memerah, KEI: 174.
4.2.6.5 Prisip Satu Leluhur