“Saya dengar orang-orang TKR dan perangkat adat, akan menghentikan kerusuhan ini dengan kekuatan ken sa faak,” kata Mery memecahkan
kebekuan dan ketegangan yang berlangsung, KEI: 128-129.
4.2.6.2 Adat Vehe Belan
Dalam budaya Kei, ada dikenal upacara adat Vehe Belan. Adat Vehe Belan merupakan upacara adat yang menandakan bahwa sudah adanya perdamaian yang ditempuh oleh warga
yang bertikai. Vehe Belan juga dapat berfungsi sebagai ritual adat yang digunakan untuk meredam suatu pertikaian yang terjadi pada masyarakat Kei.
Namira membalikkan peta itu, di belakang peta itu ada tulisan tangan Mery; bawalah ini, jika kau lupa jalan pulang.
“Apa dikatakan sahabatmu, kenapa wajahmu mendadak sedih?” tanya Bu Nana saat menemui Namira di depan meja kasir. Surat dari Mery tergelatk
di atas meja. “Dia mengabarkan Vehe Belan di sana, Ibu,” kata Namira. Namira
menyembunyikan kesedihannya.
“Vehe Belan, apa itu?” tanya Ibu Kumala. “Itu ritual adat untuk memadamkan pertikaian antara satu desa dengan desa
lainnya di kampung saya. Warga kedua kampung yang bertikai saling mengunjungi. Mereka membentuk barisan dengan gerakan seperti orang
mendayung perahu.” “Oh ya? Kenapa mereka harus membuat gerakan mendayung perahu?”
Nana tampak tertarik dengan penjelasan Namira.
“Bagi orang Kei, mendayung perahu bermakna sebagai usaha menempuh suatu tujuan.”
“Terus jelaskan padaku,” kata Nana bersemangat. Nana selalu tertarik dengan hal-hal yang menyangkut pengetahuan local, KEI: 193.
4.2.6.3 Adat Larwul Ngabal
Adat Larwul Ngabal pada hakikatnya merupakan dua hukum adat yang dipersatukan, yaitu Hukum Larwul dan Hukum Ngabal. Hukum Larwul bersal dari pulau Kei yang ditandai
dengan disembelinya seekor kerbau milik seorang puteri yang bernama Dit Sak Mas. Dalam bahasa Kei, Lar artinya darah dan War artinya merah, diambil dari sebuah situs internet,
http:hasanudinnoor.blogspot.com201006larwul-ngabal-hukum-adat-di-kepulauan.html.
Universitas Sumatera Utara
Masih dari sumber yang sama, arti dari Larwul adalah darah merah dan Ngabal adalah tombak atau tiang lancip. Warga Kei selalu mentaati hukum ini. Masyarakat patrilinial yang
berada di kepulauan Kei mempunyai hubungan kekerabatan yang sangat erat. Dalam bahasa Kei ada sebutan Vu’ut Ain Mehe Ngifun, Manut Ain Mehe Tilur, yang artinya adalah telur-telur satu
ikan dan satu burung. Masyarakat Kei memiliki kepercayaan bahwa orang-orang Kei berasal dari satu keturunan. Selain itu, dalam kehidupannya sehari-hari ada juga pepatah leluhur yang
selalu diingat masyarakat Kei, yaitu Ain Ni Ain, yang berarti “kita semua adalah satu”, sampai saat ini masih dipegang teguh dalam sanubari masyarakat Kei, diambil dari sebuah situs internet
http:hasanudinnoor.blogspot.com201006lawur-ngabal-hukum-adat-di-kepulauan.html. Dalam kehidupan masyarakat Kei, ada beberapa petuah-petuah leluhur dituliskan dalam
bahasa Kei yang menjadi bagian dari kehidupan warga Kei dan petuah-petuah itu juga dijadikan sebagai pandangan hidup dalam menjalani kehidupannya sehari-hari. Petuah-petuah leluhur
tersebut, yaitu sebagai berikut: 1.
Itdok fo ohoi itmian fo nuhu yang artinya kita mendiami atau menempati kampug maupun desa kita, di mana kita hidup dan makan dari alam atau tanahnya.
2. Itdok itdid kuwat dokwain itwivnon itdit mimiir atau bemiir, yang artinya kita
menempati tempat kita dan tetap menjinjit bagian kita. 3.
Itwarnon afa ohoi nuhu enhov ni hukum adat, memiliki arti kita tetap memikul semua kepentingan kampung atau desa kita dengan hukum adatnya.
4. Itwait teblo uban ruran, yang berarti kita hidup sejujur-jujurnya dan tetap berjalan
tegak lurus. 5.
Ikbo hukum adat enfangnan enbatang haraang, memiliki pengertian bahwa dengan demikian, barulah hukum adat akan menyayangi dan melindungi kita.
Universitas Sumatera Utara
6. Nit yamad ubudtaran, nusid teod erhoverbatang fangnan, artinya adalah segingga
leluhur pun ikut menjaga dan melindungi kita. 7.
Duad enfangnan wuk, berarti Allah pun melindungi kita. Data ini bersumber dari sebuah situs internet http:hasanudinnoor.blogspot.com201006larwul-
ngabal-hukum-adat-di-kepulauan.html. Untuk lebih menjelaskan fungsi dari ketujuh petuah-petuah di atas, maka di bawah ini akan
dijabarkan lebih konkrit lagi larang atau pelanggaran-pelanggaran hukum adat yang isinya diurutkan sesuai dengan berat ringannya pelanggaran-pelanggaran tersebut. Hukum ini mirip
dengan hukum pidana, di mana masyarakat Kei menyebutnya Hukum Nev Nev, yaitu sebagai berikut:
1. Muur nai, berfungsi jika seseorang mengata-ngatai dan menyumpahi.
2. Hebang haung atau haung hebang, memiliki fungsi jika orang Kei berencana untuk
berniat jahat. 3.
Rasung smu-rodang daid, berfungsi jika seseorang mencelakakan orang lain dengan jalan ilmu hita, doti, dan lain-lain.
4. Kev bangil atau ov bangil, berfungsi jika seseorang memukul atau meninju orang lain.
5. Tev hai-sung tawa, memiliki fungsi jika seseorang melempar, menikam, dan menusuk
orang lain 6.
Fedan na, tetwanga, berfungsi jika seseorang membunuh, memotong, memancung orang lain.
7. Tivak luduk fo vavain, memiliki fungsi jika seseorang mengubur dan menenggelamkan
orang lain dengan cara hidup-hidup.
Universitas Sumatera Utara
Data ini bersumber dari sebuah situs internet http:hasanudinnoor.blogspot.com201006larwul- ngabal-hukum-adat-di-kepulauan.html.
Di Pulau Kei, kerusuhan yang terjadi berlangsung cukup lama hingga membuat warga Kei resah. Desa yang dulunya tenang kini berubah menjadi desa yang menakutkan. Oleh karena
itu, para tokoh-tokoh masyarakat ingin meredakan konflik dengan cara pendekatan adat Larwul Ngabal. Adat Larwul Ngabal merupakan hukum adat Kei, di mana saat hukum itu dibacakan
semua orang Kei disekap bisu dan mengeluarkan air mata. Hal ini dikarenakan sejarah dari hukum adat tersebut. Bagi siapa yang melanggarnya maka hukuman sosial yang diterimanya
sangat berat, keterangan yang digambarkan pengarang dalam novelnya. “Dua malam lalu, sepulang saya mengantarmu dan para pengungsi lainnya
ke sini, saya ikut bergabung dengan rapat yang digelar tokoh-tokoh ada di balai desa. Mereka membicarakan rekonsiliasi. Hukum adat Larwul
Ngabal adalah satu-satunya jalan untuk menghentikan perang saudara ini.” KEI: 75.
Dalam adat Larwul Ngabal diajarkan bahwa air mata seorang perempuan adalah air mata emas. Oleh sebab itu, setiap lelaki di Kei tidak boleh sembarangan mengeluarkan air mata
seorang perempuan. Adat ini juga mengajarkan kepada masyarakat Kei agar setiap lelaki di Kei hanya boleh berkelahi untuk menjaga kehormatan perempuan.
Malam nanti, dia aka bercerita lagi kepada Namira. Tentang air mata emas perempuan Kei. Kaum lelaki di Kei harus menghormati para kaum
perempuan. Dalam Larwul Ngabal, air mata perempuan Kei disamakan dengan emas. Air mata perempuan tak boleh sembarang ditumpahkan.
Oleh karena itu, lelaki Kei sejati hanya akan berperang untuk membela kehormatan perempuan, KEI : 93-94.
4.2.6.4 Penyerahan Sirih dan Pinang