Dari kutipan diatas, semangat kepedulian yang terjalin diantara Esme dan Namira adalah bentuk dari persaudaraan masyarakat Kei terhadap sesamanya. Esme memiliki
hubungan yang baik dengan Namira. Sebenarnya keduanya berbeda agama. Esme beragama Kristen sedangkan Namira beragama Islam. Akan tetapi, selama di
pengungsian keduanya saling menyayangi dan mengasihi. Esme memberikan sebuah liontin kepada Namira sebagai wujud kepeduliannya terhadap Namira. Kekeluargaan
seperti inilah yang selalu dilakukan oleh masyarakat Kei. Walaupun di dalam perbedaan tersebut, warga Kei masih mau memberi dan menolong sesamanya.
4.2.3 Kerukunan Antar Suku
Suku atau suku bangsa adalah suatu istilah yang ada pada masyarakat sebagai bentuk identitas diri yang dilihat melalui pengelompokan kebudayaannya. Dalam hal ini, menurut
Koentjaraningrat 1990: 264-265 mengenai penyebutan suku diusulkan harus secara lengkap, yaitu suku bangsa. Menurutnya, penyebutan kata suku pada masyarakat dalam sistem
peristilahan etnografi dan ilmu hukum adat di Indonesia, sudah mempunyai arti teknikal yang khas. Namun, sejauh ini belum ada ketetapan dalam pemakaian kedua istilah tersebut. Jadi, baik
istilah suku maupun suku bangsa bisa digunakan untuk menyebutkan suatu golongan masyarakat tertentu. Masih menurut Koentjara di dalam buku yang sama, bahwa konsep istilah suku bangsa
adalah suatu golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan indentitas akan kesatuan kebudayaan, sedangkan kesadaran dan identitas itu seringkali dikuatkan oleh kesatuan bahasanya
juga. Hal serupa juga diutarakan oleh Elly dan Usman 2011: 469 bahwa antara suku satu
dengan suku lainnya terdapat ciri khas masing-masing, terutama pola-pola kehidupannya yang berkaitan dengan peralatan hidup, bahasa, pakaian adat, bangunan rumah, kesenian, dan sistem
Universitas Sumatera Utara
perkawinan. Kesadaran atas persamaan kebuayaan ini juga menandai keterjalinan hubungan yang lebih dekat lagi diantara masyarakatnya yang bersangkutan dibandingkan dengan individu
di luarnya. Dengan kata lain, kedekatan setiap anggota kelompok masyarakatnya yang sesuku lebih kental dibanding dengan masyarakat di luar sukunya. Oleh sebab itu, Pengelompokan
masyarakat berdasarkan kesukuannya dapat menimbulkan kesenjangan sosial dalam bermasyarakat.
Dalam novel KEI, pengarang menggambarkan kehidupan masyarakat Kei yang hidup rukun dalam keberagaman sukunya. Hubungan antar suku dalam masyarakatnya sangat baik.
Perbedaan suku diantara warganya tidak lantas membuat masyarakat di desa Kei terpecah-pecah. Saat kerusuhan sedang memuncak di luar pulau Kei dan sekitarnya, keadaan masyarakat di desa
Kei masih cukup aman. Semua warga Kei saling mengingatkan agar setiap suku yang ada di desa mereka tidak terlibat dalam konflik. Warga Kei juga melakukan diskusi atau musyawarah yang
bertujuan untuk mencari jalan keluar agar kerusuhan cepat mereda. Hal ini digambarkan dalam kutipan berikut.
Ketika kerusuhan mulai memuncak di Kei, raja-raja adat orang Kei asli, para perantau; Bugis, Jawa, Buton, dan orang Tionghoa, semua berkumpul
dan membicarakan perdamaian, KEI: 119.
Dari kutipan di atas, musyawarah yang dilakukan oleh raja-raja adat Kei dengan suku lainya untuk membicarakan perdamaian. Musyawarah perdamaian ini merupakan seuatu bentuk
usaha yang dilakukan warga Kei untuk tetap menjaga hubungan yang baik terhadap sesama masyarakat Kei. Tokoh-tokoh masyarakat yang ada di desa Kei, seperti tokoh adat dan tokoh
agama sangat berperan penting di dalam mewujudkan hal tersebut. Ismael Kabalmay, Imam masjid di Elaar pun menyampaikan hal serupa “Jangan
sampai kita terlibat. Baik orang Kei, perantau Bugis, Jawa, Makassar, atau Buton, semua bersaudara…” Semua warga diminta berpelukan. Namira dan Mery
berpelukan erat. Dua gadis remaja itu kini menjauh. Di belakang mereka,
Universitas Sumatera Utara
kerumunan warga sedang membicarakan bagaimana cara mengamankan desa mereka, KEI: 18.
Ismael Kabalmay adalah salah satu tokoh agama di pulau Kei tepatny di desa Elaar. Ismael menyuarakan agar setiap warga Kei tidak terpancing oleh riak-riak konflik yang sedang
melanda desa mereka. Semua warga mendengarkan seruan tokoh ulama tersebut. Mereka paham betul apa yang disampaikan oleh Ismael Kabalmay. Warga saling berpelukan dan meyatukan
diri. Persaudaran warga Kei cukup kental. Baik warga perantau maupun penduduk asli di desa Kei saling menolong dan menghormati. hal ini digambarkan pada kutipan berikut.
Tiga hari kemudian, kabar itu terbukti. Para penyerang telah mematahkan kelompok kecil pemuda Evu yang menjaga batas keamanan desa. Seorang
pengusaha keturunan Cina Ambon pemilik kapal barang “Cinta Semusim” yang sering berangkat ke Makassar mengambil barang-barang tekstil dan
bahan-bahan pangan, mengajak siapa saja yang ada di dekat bibir pantai untk mengungsi.
Kapal barang KM Cinta Semusim bertolak dari dermaga pulau Evu. Gadis itu menuju ke Makassar bersama ratusan pengungsi yang merupakan para
pedagang Bugis dan Buton, KEI: 147-148.
Pemilik kapal “Cinta Semusim” yang merupakan seorang keturunan Cina Ambon adalah pengusaha yang cukup sukses di pulau Kei. Upayanya untuk menyelamatkan setiap warga yang
terjebak dalam situasi kerusuhan pada saat itu mengisyaratkan sikap solidaritasnya yang tinggi terhadap sesamanya. Pengusaha keturunan Cina Ambon tersebut tidak membeda-bedakan warga
yang ingin di selamatkan. Semua warga yang terjebak kerusuhan diajak untuk masuk ke dalam kapalnya. Hal ini menggambarkan perbedaan suku diantara warga Kei bukanlah penghalang bagi
mereka untuk saling menolong dan menjaga sesamanya. Justru di dalam perbedaan yang ada, masyarakat Kei dapat hidup rukun dan berdampingan dengan baik.
4.2.4 Hubungan Persahabatan