Kerukunan Antar Umat Beragama

Ras, dan Antargolongan yang terjadi, masyarakat Kei tetap saling menghargai dan menolong sesamanya. Mereka selalu menjaga kehidupan yang rukun dalam keberagamannya tersebut.

4.2.2 Kerukunan Antar Umat Beragama

Agama pada dasarnya adalah sebuah sistem kepercayaan yang di dalamnya berisi aturan dan peraturan, hukum, praktik, doktrin-doktrin, dan ajaran-ajaran suci yang berhubungan dengan Sang Pencipta atau Tuhan Yang Maha Kuasa. Bagi para penganutnya, agama dianggap sebagai upaya penyucian diri untuk mendekatkan diri dengan Tuhannya. Kehadiran agama selain diakui dalam praktik ritualnya yang menghubungkan manusia dengan Tuhannya, agama juga dapat berfungsi untuk memperkuat sikap solidaritas dalam kehidupan bermasyarakat. Berkaitan dengan hal ini, Horton dan Hunt dalam Dwi dan Bagong, 2007: 254 mengatakan bahwa: “Pranata agama memiliki fungsi manifes dan latent. Fungsi manifest nyata agama berkaitan dengan segi-segi doktrin, ritual, dan aturan perilaku dalam agama. Tujuan atau fungsi agama adalah untuk membujuk manusia agar melaksanakan ritus agama, bersama-sama menerapkan ajaran agama, dan menjalankan kegiatan yang diperkenankan agama. Sedangkan fungsi latent agama, antara lain menawarkan kehangatan bergaul, meningkatkan mobilitas sosial, mendorong terciptanya beberapa bentuk stratifikasi sosial, dan mengembangkan seperangkat nilai ekonomi.” Dalam kehidupan masyarakat majemuk, keberadaan agama menjadi begitu penting mengingat kondisi setiap anggota masyarakanya yang hidup dalam keberagaman. Seperti yang telah dipahami bersama bahwa konsep dari masyarakat majemuk itu sendiri adalah masyarakat yang terdiri atas kelompok-kelompok tertentu yang dibedakan melalui golongan-golongan sosialnya, seperti suku, ras, kedudukan, sektor ekonomi, bidang politik, dan sebagainya yang berada dalam satu Negara yang disebut suku bangsa. Perbedaan-perbedaan ini sering menimbulkan konflik dikalangan kelompok-kelompok masyarakat. Di sinilah peran dari agama diharapkan mampu sebagai sistem pengontrol perilaku guna menyeimbangkan hubungan yang Universitas Sumatera Utara terjalin dengan sesama anggota dalam masyarakatnya. Oleh Dwi dan Bagong 2007: 252 mengatakan bahwa : “Peraturan atau kaidah yang terdapat di dalam agama dapat berupa petunjuk-petunjuk, keharusan atau perintah, maupun larangan-larangan, yang semua itu agar ada keselarasan, ketertiban, dan keseimbangan hubungan antara manusia dengan manusia yang lain, manusia dengan lingkungan alam, dan manusia dengan Tuhan Yang Maha Kuasa dapat tercapai.” Lebih lanjut, Dwi dan Bagong 2007: 252 mengatakan bahwa : “Agama tidak jarang dicirikan sebagai pemersatu aspirasi manusia yang paling sublim; sebagai benteng moralitas yang cukup tangguh; sebagai sumber tatanan masyarakat dan perdamaian batin bagi para individu; sebagai sesuatu yang memuliakan dan membuat manusia beradab.” Berbicara tentang persoalan agama memang tidak ada habisnya. Di sisi lain, jika melihat kasus-kasus sosial yang terjadi selama ini, agama tidak sepenuhnya dianggap sebagai sistem perekat solidaritas dalam bermasyarakat. Buktinya keberadaan agama itu sendiri sering diperalat oleh oknum-oknum tertentu untuk menciptakan konflik-konflik sosial dikalangan masyarakat. Pengelompokan masyarakat berdasarkan agamanya juga dapat membangun ketidakharmonisan hubungan sosial antar masyarakatnya. Oleh Elly dan Usman 2011: 351 mengemukakan bahwa: “secara sosiologis, agama selain dapat dijadikan sebagai alat perekat solidaritas sosial, tetapi juga menjadi pemicu disintegrasi sosial. Perbedaan keyakinan penganut agama yang menyakini kebenaran ajaran agamanya, dan menganggap keyakinan agama lain sesat telah menjadi pemicu konflik antar-penganut agama.” Erni Aladjai dalam novelnya KEI, menggambarkan kehidupan suatu kelompok masyarakat yang begitu rukun terhadap sesamanya. Kelompok masyarakat yang dimaksudkan di sini adalah masyarakat Kei. Masyarakat Kei merupakan kelompok masyarakat yang majemuk. Banyak terdapat perbedaan-perbadaan sosial yang begitu mencolok pada setiap anggota masyarakatnya. Salah satu bentuk perbedaan tersebut adalah sistem religi atau agama. Agama Universitas Sumatera Utara yang paling mendominasi pada masyarakat Kei adalah agama Islam dan agama Kristen Protestan dan Katolik. Walaupun memiliki perbedaan dari segi agamanya, akan tetapi dalam praktik sosialnya masyarakat Kei tetap bersatu. Mereka dapat hidup berdampingan dengan damai, seperti yang digambarkan di kamp-kamp pengungsian pada novel tersebut. Saat konflik SARA melanda pulau Kei dan sekitarnya, baik masyarakat lokal maupun yang berasal dari luar pulau Kei bergabung dalam satu pengungsian yang sama yang berada di Desa Kei. Masyarakat yang bergabung dalam pengungsian tersebut beragam. Ada yang beragama Islam, Kriten Protestan, dan Kristen Katolik. Semuanya bersatu, saling menghormati, menolong, dan menjaga sesamanya. Hal ini terdapat pada kutipan berikut. Namira dan para pengungsi bergabung dengan warga lokal di sana. Mereka mengungsi di dalam Gereja Ohoinol. Sementara di luar, Warga Ohoinol berjaga-jaga. Tak ada jarak agama. Pengungsi beragama Islam ikut berlindung ke dalam Gereja. Di luar, warga Ohoinol yang beragama Katolik berjaga-jaga. Mereka menjaga keamanan. Melindungi saudara- saudara mereka yang Islam dan Protestan, KEI: 23. Ada beberapa bentuk kerukunan beragama dalam masyarakat. Dalam hal ini, oleh Yewangoe 2002: 28 membagi konsep kerukunan beragama ke dalam tiga bentuk yang disebut sebagai Tri Kerukunan beragama, yaitu kerukunan antar-umat beragama, kerukunan intern-umat beragama, dan kerukunan antar umat beragama dengan pemerintah. Kerukunan antar-umat beragama dapat diartikan sebagai kerukunan yang terjalin diantara agama-agama yang berbeda. Kerukunan intern-umat beragama adalah kerukunan yang dibangun oleh para umat dengan agama yang sama. Sedangkan kerukunan umat beragama dengan pemerintah merupakan bentuk kerukunan yang tercipta melalui kerjasama-kerjasama antara tokoh-tokoh agama dengan pemerintah. Jika melihat data di atas, maka ada dua bentuk kerukunan yang tercipta saat warga berada di dalam gereja Ohoinol, yaitu bentuk kerukunan antar-umat beragama dan kerukunan intern-umat beragama. Dikatakan kerukunan antar-umat beragama karena ada terjalin hubungan Universitas Sumatera Utara yang baik antara warga yang beragama Islam dengan warga yang beragama Kristen. Sedangkan bentuk kerukunan intern-umat beragama adalah saat keberadaan warga yang beragama Protestan dipengungsian, mendapatkan perlakuan yang baik dari warga yang beragama Katolik. Semua warga Kei sama. Mereka bersaudara dan menghormati setiap perbedaan yang ada. Masyarakat Kei suka menolong. Seperti yang dilakukan oleh sosok Namira dan keluarganya. Namira dan keluarganya menganut agama Islam. Akan tetapi, ayah Namira suka berbagi dan membantu kepada sesamanya yang beragama Kriten. Jika ada kegiatan-kegiatan amal seperti pembangunan gereja, ayah Namira selalu meluangkan waktu dan tenaganya untuk ikut dalam pengerjaan tempat ibadah tersebut. “…Namira kenal baik pendeta itu. Dahulu waktu di sekoloah dasar, ayahnya kerap memintanya mengantarkan ikan kerapu yang masih segar ke rumah Pendeta Fritz. Kadang-kadang jika ada kegiatan amal gereja, ayahnya ikut membantu membangun tenda-tenda terpal, KEI: 23. Di desa Kei, para warganya selalu melakukan kegiatan-kegiatan amal. Pembangunan tempat-tempat ibadah dikerjakan bersama-sama. Misalnya, warga Kei yang beragama Kristen ikut terlibat langsung dalam pembangunan sebuah masjid. Sebaliknya, bagi warga Kei yang beragama Islam memperbolehkan masjid dipakai untuk tempat ibadah bagi warga Kei yang beragama Kristen jika diperlukan. Bentuk kekeluargaan ini sudah menjadi tradisi yang terus menerus diajarkan kepada orang-orang di Kei. “Suatu hari, masjid di kampung saya diterpa angin puting beliung. Atapnya rusak. Jemaah gereja di kampung saya, ikut kerja bakti memperbaiki masjid, termasuk saya. Imam masjid di kampung kami berkata; bukan lantaran kita hidup sekampung atau kita berbeda agama sehingga kalian membantu kami memperbaiki masjid ini. Namun, peristiwa hari ini adalah karena kita bersama-sama melanjutkan apa yang telah leluhur kita lakoni sejak dulu, masjid ini milik bersama, silakan dipakai ibadah menurut agama masing-masing,” kata Sala sembari meniru ucapan sang Iman masjid, KEI: 73. Universitas Sumatera Utara Bagi para penganutnya, menjalankan ritual-ritual yang berhubungan dengan agama yang dianutnya adalah bagian yang penting dan wajib untuk dilaksanakan. Begitupun dengan masyarakat Kei. Warga Kei yang beragama Kristen memiliki kewajiban untuk beribadah pada hari minggu. Di kamp pengungsian, pelaksanaan ibadah minggu pagi dilakukan. Bagi warga Kei yang beragama Islam turut menenangkan diri untuk menjaga suasana agar tetap hening. Mereka berusaha untuk memberikan kenyamanan bagi saudaranya yang beragama Kristen yang sedang beribadah. Menghormati orang yang sedang beribadah adalah praktik kerukunan di dalam beragama itu sendiri. Minggu pagi, sebagian pengungsi berpakaian rapi. Mereka membawa Alkitab memasuki gereja. Namira mengamati mereka satu per satu. Wajah yang tenang menuju pemujaan Tuhannya. Di tenda tinggal pengungsi muslim. Suasana hening. Yang tak ibadah menghormati yang sedang beribadah, KEI: 92. Ikatan persaudaraan antar masyarakat Kei sangat Kental. Rasa persaudaraan ini juga melahirkan sikap kepedulian terhadap sesamanya dan telah mematahkan perbedaan-perbedaan yang ada. Seperti yang terlihat dalam kutipan berikut ini. Pengungsi dibagi dua kelompok. Satu kelompok akan diungsikan ke Gereja Langgur. Satunya lagi akan diungsikan di rumah Pastor Gerardus. Nasib mereka pasrahkan saja pada Tuhan. Esme mengungsi ke rumah Pastor Gerardus. Namira berada di kumpulan orang-orang yang mengungsi ke gereja. Esme memeluk Namira. Dia mengeluarkan kalung emasnya dengan liontin Nabi Isa di kayu salib. Namira tertegun melihat liontin itu, “Ambil ini, jika kau butuh uang, kau bisa menjualnya,” kata Esme sembari menarik tangannya den menyimpan kalung itu. Esme menggenggam tangan Namira. “Tapi.” “Ambilah. Rusuh di Kei tak ada hubungannya dengan Islam atau Kristen. Tuhan dan agama tak pernah mengkhianati pemeluknya. Manusialah yang mengkhianati Tuhan dan agamanya.” “Ambillah Hanya itu yang bisa kuberikan. Jangan pandang mata kalung itu. Pandang emasnya, siapa tahu kelak jika kau butuh sesuatu, kau bisa menjualnya” kata Esme sekali lagi. Namira memeluk Esme dengan erat, KEI: 67-68. Universitas Sumatera Utara Dari kutipan diatas, semangat kepedulian yang terjalin diantara Esme dan Namira adalah bentuk dari persaudaraan masyarakat Kei terhadap sesamanya. Esme memiliki hubungan yang baik dengan Namira. Sebenarnya keduanya berbeda agama. Esme beragama Kristen sedangkan Namira beragama Islam. Akan tetapi, selama di pengungsian keduanya saling menyayangi dan mengasihi. Esme memberikan sebuah liontin kepada Namira sebagai wujud kepeduliannya terhadap Namira. Kekeluargaan seperti inilah yang selalu dilakukan oleh masyarakat Kei. Walaupun di dalam perbedaan tersebut, warga Kei masih mau memberi dan menolong sesamanya.

4.2.3 Kerukunan Antar Suku