Bahasa Nonverbal Sebagai Makna Warna Dalam Etnis Tionghoa Pada Perayaan Imlek Di Kecamatan Medan Petisah

(1)

BAHASA NONVERBAL SEBAGAI MAKNA WARNA DALAM ETNIS TIONGHOA PADA PERAYAN IMLEK KECAMATAN MEDAN PETISAH

SKRIPSI

Sandra Sintauli

050701019

DEPARTEMEN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

BAHASA NONVERBAL SEBAGAI MAKNA WARNA DALAM ETNIS TIONGHOA PADA PERAYAAN IMLEK DI KECAMATAN MEDAN PETISAH

Oleh Sandra Sintauli

050701019

Skripsi ini diajukan untuk melengkapi persyaratan memeroleh gelar sarjana dan telah disetujui oleh :

Pembimbing I, Pembimbing II,

Drs. Hariadi Susilo, M.Si Drs. Pribadi Bangun

NIP. 19580505 197803 1 001 NIP. 19581019 198601 1 002

Departemen Sastra Indonesia Ketua,

Dra. Nurhayati Harahap, M.Hum NIP. 19620419 198703 2 001


(3)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memeroleh gelar kesarjanaan di perguruan tinggi dan sepanjang sepengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Apabila pernyataan yang saya perbuat ini tidak benar, saya bersedia menerima sanksi berupa pembatalan gelar sarjana yang saya peroleh.

Medan, Maret 2010 Penulis,


(4)

BAHASA NONVERBAL SEBAGAI MAKNA WARNA DALAM ETNIS TIONGHOA PADA PERAYAAN IMLEK DI KECAMATAN MEDAN PETISAH

Oleh Sandra Sintauli

ABSTRAK

Penelitian ini menganalisis bahasa nonverbal sebagai makna warna di Kecamatan Medan Petisah. Tujuannya adalah untuk mengungkapkan bentuk dan makna warna dalam etnis Tionghoa khususnya pada perayaan Imlek di Kecamatan Medan Petisah. Teori yang digunakan adalah Teori Charles Sanders Peirce, tentang tiga hubungan tanda dan Teori Barthes tentang pemaknaan tahap kedua pada sebuah tanda. Pengumpulan data penelitian ini menggunakan metodologi data kualitatif dengan jenis data primer dan sekunder. Jenis data primer diperoleh dengan melakukan observasi dan wawancara sedangkan jenis data sekunder diperoleh dengan cara mengutip dari sumber lain. Pada pengajian data digunakan metode deskriptif kualitatif yang dilakukan secara bersamaan selama proses pengumpulan data sejak observasi. Dari hasil penelitian ini, penulis dapat mengetahui bentuk serta makna warna dalam etnis Tionghoa khususnya pada perayaan Imlek di Kecamatan Medan Petisah.


(5)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini dan menuangkannya dalam bentuk skripsi sebagai syarat tugas akhir untuk memeroleh gelar sarjana.

Skripsi ini penulis persembahkan kepada orangtua tercinta, Bapak St. Ir. Wilson Pasaribu (Alm) dan Ibu Indrawati Tunggara Siregar atas dukungan moral, material, kasih sayang dan doa yang selalu dilimpahkan kepada penulis. Semoga kasih Tuhan selalu menyertai dan memberkati setiap langkah-langkah kalian.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Drs. Syaifuddin, M.A., Ph.D., Sebagai Dekan Fakultas Sastra Universitas

Sumatera Utara.

2. Ibu Dra. Nurhayati Harahap, M.Hum., sebagai Ketua Departemen Sastra Indonesia

Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara yang telah mengesahkan skripsi ini.

3. Ibu Dra. Mascahaya, M.Hum., sebagai Sekretaris Departemen Sastra Indonesia

Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memberikan bantuan kepada penulis selama perkuliahan hingga selesainya skripsi ini.

4. Bapak Drs. Hariadi Susilo, M.Si., sebagai Dosen Pembimbing I yang telah begitu

sabar memberikan bimbingan, semangat, dan dukungan kepada penulis hingga penyelesaian skripsi ini.

5. Bapak Drs. Pribadi Bangun, sebagai Dosen Pembimbing II yang telah banyak

membantu penulis dalam memeriksa, mengomentari bahkan memotivasi penulis untuk menyempurnakan skripsi ini.

6. Ibu Dra. Ida Basaria, M.Hum., sebagai Dosen Wali penulis yang banyak memberikan


(6)

7. Bapak dan Ibu staf pengajar Departemen Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memberikan bimbingan dan pengajaran selama penulis mengikuti perkuliahan.

8. Kakak Dedek yang telah banyak memberikan bantuan kepada penulis dalam

menyelesaikan masalah administrasi.

9. Kakak dan Adik Penulis, Rotua Marianne Pasaribu, S.E., Sahala Jesaya Einstein

Pasaribu dan Josep Sahat Hamonangan Pasaribu yang selalu memberikan doa dan semangat kepada penulis hingga selesainya skripsi ini.

10.Teman-teman mahasiswa di Departemen Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas

Sumatera Utara stambuk 2005, khususnya Lady, Fitri, Lia, Wika dan Stephanie, terima kasih telah menjadi sahabat yang baik bagi penulis.

11.Teman-teman sepermainan dan sepelayanan penulis, khususnya Anna, Raisa, Debora,

Jhonata, Jhosephine, Riris, Juwita, Ondi dan Dody terima kasih buat doa dan semangat yang telah diberikan kepada penulis hingga selesainya skripsi ini.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa penelitian ini masih belum sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik dari pembaca yang sifatnya membangun untuk menyempurnakan skripsi ini.

Hormat saya,


(7)

DAFTAR ISI

PERNYATAAN

ABSTRAK………....i

PRAKATA………ii

DAFTAR ISI……….iv

BAB I PENDAHULUAN………. 1

1.1Latar Belakang ... 1

1.2Rumusan Masalah ... 5

1.3Batasan Masalah... 5

1.4Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5

1.4.1 Tujuan Penelitian ... 5

1.4.2 Manfaat Penelitian ... 6

1.4.2.1 Manfaat Teoritis ... 6

1.4.2.2 Manfaat Praktis ... 6

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA………..7

2.1 Konsep ... 7

2.1.1 Bahasa Nonverbal ... 7

2.1.2 Makna ... 8

2.1.3 Warna ... 8

2.1.4 Etnis Tionghoa ... 9

2.1.5 Perayaan Imlek ... 10


(8)

2.2.1 Semiotika ... 13

2.2.2 Charles Sanders Peirce ... 13

2.2.3 Roland Barthes ... 14

2.3 Tinjauan Pustaka ... 17

BAB III METODE PENELITIAN………...18

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 18

3.1.1 Lokasi Penelitian ... 18

3.1.2 Waktu Penelitian ... 18

3.2 Populasi dan Sampel ... 18

3.2.1 Populasi ... 18

3.2.2 Sampel... 18

3.3 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ... 19

3.4 Metode dan Teknik Analisis Data ... 21

BAB IV PEMBAHASAN ... 22

4.1 Bentuk Bahasa Nonverbal sebagai Ikon, Indeks dan Simbol ... 22

4.2 Bahasa Nonverbal sebagai Makna Warna dalam Perayaan Imlek ... 35

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ... 44

5.1 Simpulan ... 44

5.2 Saran ... 44


(9)

BAHASA NONVERBAL SEBAGAI MAKNA WARNA DALAM ETNIS TIONGHOA PADA PERAYAAN IMLEK DI KECAMATAN MEDAN PETISAH

Oleh Sandra Sintauli

ABSTRAK

Penelitian ini menganalisis bahasa nonverbal sebagai makna warna di Kecamatan Medan Petisah. Tujuannya adalah untuk mengungkapkan bentuk dan makna warna dalam etnis Tionghoa khususnya pada perayaan Imlek di Kecamatan Medan Petisah. Teori yang digunakan adalah Teori Charles Sanders Peirce, tentang tiga hubungan tanda dan Teori Barthes tentang pemaknaan tahap kedua pada sebuah tanda. Pengumpulan data penelitian ini menggunakan metodologi data kualitatif dengan jenis data primer dan sekunder. Jenis data primer diperoleh dengan melakukan observasi dan wawancara sedangkan jenis data sekunder diperoleh dengan cara mengutip dari sumber lain. Pada pengajian data digunakan metode deskriptif kualitatif yang dilakukan secara bersamaan selama proses pengumpulan data sejak observasi. Dari hasil penelitian ini, penulis dapat mengetahui bentuk serta makna warna dalam etnis Tionghoa khususnya pada perayaan Imlek di Kecamatan Medan Petisah.


(10)

BAB I

PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang

Bahasa memegang peranan yang sangat penting. Bahasa juga memiliki kemampuan untuk menyatakan lebih dari apa yang disampaikan. Hidayat (dalam Sobur, 2004: 274) mengatakan bahwa pengertian bahasa adalah percakapan, alat untuk melukiskan sesuatu pikiran, perasaan atau pengalaman; alat ini terdiri dari kata-kata yang merupakan penghubung bahasa dengan dunia luar, sesuai dengan kesepakatan para pemakainya sehingga dapat saling mengerti.

Komunikasi mengacu pada tindakan oleh satu orang atau lebih, yang mengirim dan menerima pesan. Dalam berkomunikasi pasti ada simbol, yaitu sesuatu yang digunakan untuk mewakili maksud tertentu, misalnya dalam kata-kata verbal yang tertulis maupun lisan, dan juga nonverbal yang diperagakan melalui gerak-gerik tubuh, warna, artifak, gambar, pakaian, dan lainnya yang harus dapat dipahami secara konotatif.

Kesulitan dalam komunikasi tidak hanya pada bahasa verbal saja, melainkan juga pada bahasa nonverbalnya. Bahasa nonverbal dalam suatu kelompok tidak kalah rumitnya dengan bahasa verbal. Secara sederhana, pesan nonverbal adalah semua isyarat yang bukan kata-kata. Menurut Larry A Samovar dan Richard E Porter (dalam Mulyana, 2000), “Komunikasi nonverbal mencakup semua rangsangan (kecuali rangsangan verbal) dalam suatu setting komunikasi, yang dihasilkan oleh individu dan penggunaan lingkungan oleh individu, yang mempunyai nilai pesan potensial bagi pengirim atau penerima”, juga mencakup perilaku yang disengaja dan tidak disengaja sebagai bagian dari peristiwa komunikasi secara keseluruhan, mengirim banyak pesan nonverbal tanpa menyadari bahwa pesan tersebut bermakna bagi orang lain.


(11)

Wallace (dalam Aminuddin, 2001) mengungkapkan berpikir tentang bahasa sebenarnya sekaligus juga telah melibatkan makna. Makna adalah pertautan yang ada antara unsur-unsur bahasa itu sendiri (terutama pada kata-kata). Selanjutnya, Stewart L. Tubbs (dalam Sobur, 2004) mengatakan bahwa, proses pembentukan makna antara dua orang atau lebih adalah dengan cara berkomunikasi. Namun, makna yang didapat pendengar dari pesan-pesan kita akan sangat berbeda dengan makna yang ingin dikomunikasikan. Komunikasi merupakan proses yang digunakan untuk memproduksi, dipikiran pendengar, apa yang ada dalam pikiran.

Samsuri (dalam Fatimah, 1993) mengungkapkan adanya garis hubungan antara makna sebagai penghubung bahasa dengan dunia luar sesuai dengan kesepakatan para pemakainya sehingga dapat saling mengerti.

Menurut Darmaprawira (dalam wikipesia.com), sehubungan dengan tiga tingkat keberadaan tersebut, makna juga memiliki pengaruh yang sangat besar pada setiap warna yang dipakai karena warna menunjukkan identitas atau lambang suatu politik, suku, agama maupun kebudayaan. Warna adalah sebuah gejala visual yang terkadang tidak begitu diperhatikan oleh manusia. Warna dalam kebudayaan Indonesia beserta dengan aplikasinya juga membantu pembaca untuk memahami lebih lanjut bahwa sebenarnya warna tidaklah lepas dari kebudayaan manusia.

Warna memiliki banyak kegunaan selain dapat mengubah rasa, bisa juga memengaruhi cara pandang, dan bisa menutupi ketidaksempurnaan serta bisa membangun suasana atau kenyamanan untuk semua orang. Warna adalah satu hal yang sangat penting dalam menentukan reaksi dari orang. Warna adalah hal pertama yang dilihat oleh seseorang. Setiap warna memberikan kesan dan identitas tertentu, walaupun hal ini tergantung pada latar belakang pengamatnya juga. Warna mempunyai sesuatu makna. Makna bisa berbeda, bisa juga sama dari suatu budaya dengan budaya yang lain (Nugroho, 2008).


(12)

Penduduk Indonesia terdiri atas bermacam-macam suku bangsa. Di antara suku bangsa yang ada di Indonesia, salah satunya adalah Tionghoa. Tujuan pertama kedatangan mereka adalah pusat-pusat yang menawarkan berbagai kesempatan pekerjaan. Untuk itulah, hidup secara berkelompok tidak dapat mereka hindari. Meskipun jumlah mereka lebih sedikit dari penduduk umumnya di Medan, namun kehadiran mereka mudah ditandai, yakni dengan melihat tempat pemukiman atau tempat tinggalnya. Dan, diseluruh pusat perbelanjaan dan sepanjang jalan inti kota Medan dijadikan rumah tempat tinggal mereka sekaligus membuka usaha.

Perayaan etnis Tionghoa yang sudah diakui sebagai hari libur nasional adalah perayaan tahun baru Imlek atau Sin Tjia. Imlek berasal dari kata “Im” yang berarti “bulan” dan ‘Lek” adalah “kalender”. Imlek merupakan perayaan pergantian musim, dari musim dingin menuju musim semi atau pergantian tahun. Pesta pergantian itu harus dirayakan. Dan, perayaan itu juga dalam konteks menjaga keseimbangan relasi manusia dengan alam.

Menurut Sartini (dalam Wikipedia.com), perayaan tersebut sering disebut ucapan Gong Xi Fa Cai ‘hormat bahagia berlimpah rejeki’. Perayaan ritual itu dalam kelenteng-kelenteng selalu disertai dengan doa-doa yang mengandung makna dan penuh dengan filosofi dan nilai kehidupan masyarakat Tionghoa.

Pada perayaan tahun baru Imlek, warna merah dan keemasan menjadi filosofi tersendiri bagi etnis Tionghoa. Warna merah, yang berarti kebahagiaan dan semangat hidup. Sebagaimana darah dalam nadi, pengalaman hidup yang penuh semangat dan membahagiakan itu harus mengalir dan meresapi berbagai bagian tubuh untuk kehidupan yang lebih baik. Warna merah selain sebagai simbol keberuntungan dan bahagia, juga melambangkan kegembiraan dan keberhasilan yang pada akhirnya akan membawa nasib baik. Sedangkan warna keemasan yang dalam bahasa Mandarin disebut “jin” dan makna lain


(13)

dari “jin” adalah uang. Warna ini melambangkan sebuah harapan di tahun berikutnya dilimpahi uang (rejeki).

Kecamatan Medan Petisah adalah daerah pusat perdagangan Kota Medan, dengan luas wilayah 13,16 KM². Kecamatan Medan Petisah terletak di Pusat Kota Medan, dengan batas-batas sebagai berikut:

Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Medan Helvetia Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Medan Barat Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Medan Baru Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Medan Barat

Banyak penelitian yang telah dilakukan para peneliti terhadap segala aspek kehidupan masyarakat Tionghoa, seperti penelitian tentang kehidupan perkawinan masyarakat Jawa dan Tionghoa, ritual perayaan Imlek, konsep dan nilai kehidupan masyarakat Tionghoa, kesusasteraan Tionghoa, perubahan nama masyarakat Tionghoa, tetapi memilih penelitian terhadap bahasa nonverbal sebagai makna warna dalam etnis Tionghoa pada perayaan imlek ini belum pernah diteliti dan dibahas, sehingga membuat peneliti tertarik, karena makna warna itu mengandung nilai-nilai kehidupan.


(14)

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

a. Bagaimana bentuk bahasa nonverbal sebagai makna warna dalam etnis Tionghoa pada

perayaan imlek di Kecamatan Medan Petisah?

b. Bagaimana bahasa nonverbal sebagai makna warna dalam etnis Tionghoa pada

perayaan imlek di Kecamatan Medan Petisah?

1.3Batasan Masalah

Dalam penelitian ini, bentuk bahasa nonverbal sebagai makna warna dalam etnis Tionghoa objek fokus material penelitian pada tradisi perayaan tahun baru imlek tanggal 26 Januari 2009. Ruang Lingkup kajian dibatasi dengan bahasa nonverbal yang menjadi identitas masyarakat etnis Tionghoa di Kecamatan Medan Petisah.

1.4Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.4.1 Tujuan Penelitian

Berdasarkan masalah yang dirumuskan, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Mendeskripsikan dan mengungkapkan bentuk bahasa nonverbal sebagai makna warna

dalam etnis Tionghoa pada perayaan imlek di Kecamatan Medan Petisah.

b. Mendeskripsikan dan memahami bahasa nonverbal sebagai makna warna dalam etnis


(15)

1.4.2 Manfaat Penelitian 1.4.2.1Manfaat Teoritis

Secara teoritis, manfaat yang diperoleh dari hasil penelitian analisis semiotika terhadap bahasa nonverbal sebagai makna warna dalam etnis Tionghoa, adalah:

a. Menambah wawasan dan pengetahuan penulis serta masyarakat mengenai bahasa

nonverbal sebagai makna warna dalam etnis Tionghoa pada perayaan imlek di Kecamatan Medan Petisah.

b. Menjadi sumber dan pengetahuan bagi penulis pada bidang linguistik kebudayaan

dan memberi manfaat bagi kelestarian etnis Tionghoa yang menjadi salah satu suku di Indonesia.

c. Menjadi sumber rujukan bagi peneliti lain dalam mengungkapkan penelitian

budaya ilmu pengetahuan fokus objek material yang sama.

1.4.2.2Manfaat Praktis

Hasil penelitian makna warna pada enis Tionghoa ini secara praktis dapat digunakan sebagai sumbangan pemikiran untuk bahan pengetahuan dalam pemilihan warna terutama pada perayaan tahun baru Imlek.


(16)

BAB II

KONSEP, LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep

Pengertian konsep dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003:588) adalah gambaran mental dari suatu objek, proses, atau apapun yang ada di luar bahasa, yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain.

Oleh karena itu, konsep penelitian ini adalah mengenai :

2.1.1 Bahasa Nonverbal

Bahasa nonverbal sebagai bentuk komunikasi yang digunakan oleh manusia untuk mengadakan kontak dengan lingkungannya. Bahasa nonverbal merupakan bentuk komunikasi yang tidak menggunakan kata-kata baik lisan maupun tulisan.

Menurut Linda Beamer (dalam www.edwias.com) bahasa nonverbal adalah bahasa yang tidak memakai kata-kata. Sedangkan menurut Larry A. Samovar dan Richard E. Porter, komunikasi nonverbal mencakup semua rangsangan (kecuali rangsangan verbal) dalam suatu setting komunikasi, yang dihasilkan oleh individu yang mempunyai nilai pesan potensial bagi pengirim atau penerima (Mulyana, 2002). Sejalan dengan ini, Liliweri (1994: 89) menyatakan bahwa bahasa nonverbal ini biasanya dipergunakan untuk menggambarkan perasaan dan emosi.


(17)

2.1.2 Makna

Makna adalah hubungan antara bahasa dengan dunia luar yang telah disepakati bersama oleh para pemakai bahasa sehingga dapat saling dimengerti, Grice (dalam Aminuddin, 2001: 53). Dari batasan pengertian tersebut dapat diketahui adanya tiga unsure pokok yang tercakup di dalmnya, yakni:

1) Makna adalah hasil hubungan bahasa dengan dunia luar

2) Penentuan hubungan terjadi karena kesepakatan para pemakai, serta

3) Perwujudan makna itu dapat digunakan untuk menyampaikan informasi sehingga

dapat saling mengerti.

Berbeda dengan Tubs (dalam Sobur, 2004: 255), yang mengatakan bahwa komunikasi adalah proses pembentukan makna di antara dua orang atau lebih. Pearson (dalam Sobur, 2004: 255) juga mengungkapkan hal yang sama, bahwa komunikasi adalah proses memahami dan berbagi makna.

2.1.3 Warna

Warna adalah corak rup seperti merah, putih, hitam, hijau, dan sebagainya; untuk menyatakan corak rupa yang sebagai benda di belakangnya, Kridalaksana (dalam Kartika, 2007: 9). Hal yang senada juga dikemukakan oleh Berlin dan Kay (dalam Matsumoto, 2004) yang menyatakan bahwa warna adalah sifat-sifat desain universal dari sistem persepsi visual manusia sangat kuat membatasi sistem terminology yang ditemukan dalam bahasa dunia, dari subkelompok yang sangat kecil sampai besar. Sejalan dengan kedua pengertian sebelumnya, Haruyahya (2005) juga menyatakan bahwa warna dipahami sebagai suatu konsep yang membantu kita mengenali sifat-sifat berbagai objek dan mendefinisikannya dengan tepat.

Jadi, bahasa nonverbal sebagai makna warna adalah komunikasi tanpa kata yang berhubungan dengan dunia luar dan membantu untuk mengenali sifat-sifat berbagai objek


(18)

dan mendefinisikannya dengan tepat. Dalam penelitian ini, defenisi yang digunakan sebagai acuan adalah menurut Haruyahya (2005).

2.1.4 Etnis Tionghoa

Etnis Tionghoa mulai datang ke Sumatera Utara sekitar abad ke-16 sampai kira-kira pertengahan abad ke-19. Para imigran dari Tiongkok ini berasal dari beberapa suku bangsa dan dari daerah yang berbeda. Umumnya mereka berasal dari Propinsi Fukien bagian selatan dan Kwantung. Mayarakat Tionghoa di Medan terdiri atas berbagai kelompok suku bangsa dan satu hal yang dapat membedakan kesukuan mereka adalah bahasa pergaulan yang mereka gunakan. Sedikitnya, ada empat suku bangsa Tionghoa yang terdapat di Medan, diantaranya adalah suku Hokkian, Hakka, Khek, dan Kwan Fu. Dari tahun ke tahun jumlah orang Tionghoa di Medan terus bertambah. Menurut Harian Medan Bisnis, hingga saat ini, sesuai dengan data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) Sumatera Utara, jumlah masyarakat Tionghoa di Medan sekitar 202.839 jiwa.

Kehidupan masyarakat Tionghoa mulai mewarnai lembaran ritual di Indonesia. Masyarakat Tionghoa memiliki berbagai adat istiadat. Mereka mengenal bermacam-macam perayaan atau festival tradisional. Adat istiadat ini merupakan suatu bentuk penggambaran kebiasaan sehari-hari, tradisi, dan mitos yang berkembang di masyarakat. Kesenian seperti Barongsai bisa disaksikan pada saat perayaan tahun baru Imlek. Perayaan tahun baru Imlek adalah dunia simbolis. Cassirer (dalam Sartini, 2006) mengatakan bahwa dunia simbolis manusia dapat terungkap melalui bahasa, mitos, seni dan religi atau agama. Imlek beserta wacana ritualnya dikaji dengan penelusuran melalui interpretasi masyarakatnya terhadap simbol-simbol warna yang digunakannya.

Pada awalnya bermacam-macam perayaan ini mempunyai sejarahnya sendiri-sendiri, kemudian hal ini mengalami perubahan karena pengaruh dari berbagai agama di sekeliling masyarakat Tionghoa. Secara umum, agama dan kepercayaan masyarakat Tionghoa dapat


(19)

dikelompokkan (1) Konghucu, (2) Taoisme dan Budha, (3) Kristen Protestan, (4) Kristen Katolik, (5) Islam, (6) ajaran Tridharma.

2.1.5 Perayaan Imlek

Perayaan tahun baru Imlek adalah tradisi yang sudah diwariskan ratusan tahun yang

lalu. Perayaan ini dimulai pada tanggal 30 bulan ke-12 dan berakhir pada tanggal 15 bulan

pertama. Ada beberapa tradisi yang sudah turun-temurun dilakukan oleh kalangan etnis Tionghoa dalam merayakan Imlek. Di antaranya, hidangan Imlek, pakaian baru, membakar petasan, saling mengunjungi dan memberi hormat dan memberi angpao.

Pada perayaan Imlek, masyarakat Tionghoa selalu menggantungkan lampion/lentera merah. Dalam perayaan ini, anak-anak atau orang yang lebih muda memberi hormat kepada orang tua dengan cara mengepalkan kedua tangan sambil digoyang-goyang ke depan dan belakang lalu mengucapkan Gong Xi Fa Cai. Setelah itu orang tua memberikan angpao. Angpao adalah amplop berwarna merah yang berisi uang. Lalu, bersama-sama membakar petasan atau kembang api yang berwarna merah dan keemasan. Ini merupakan simbol kegembiraan karena rejekinya ”meledak”. Ada pula yang memanggil barongsai, sebagai tanda untuk mengundang rejeki dan menolak bala. Barongsai merupakan seekor naga yang berwarna merah dan keemasan yang dimainkan dua sampai delapan pemain.

Perayaan Imlek ini adalah penggambaran harapan-harapan masyarakat Tionghoa seperti keselamatan, kemakmuran dan kesejahteraan. Selain itu, perayaan Imlek merupakan sebuah introspeksi diri terhadap apa yang telah dilakukan pada tahun-tahun yang lalu.

Perayaan Imlek juga mempunyai makna spiritual yang perlu digali dari pengalaman kehidupan dan dunia makna yang berkembang di antara etnis Tionghoa. Dalam perjalanan


(20)

waktu, Imlek juga dirayakan oleh masyarakat etnis Tionghoa yang tersebar di seluru dunia. Adapun makna spiritual yang terkandung di dalam perayaan Imlek, adalah:

a. Kasih sebagai faktor pemersatu kehidupan.

Imlek memperlihatkan pengalaman perjumpaan etnis Tionghoa dengan kenyataan kehidupan yang ada di sekitarnya. Bagi masyarakat Tionghoa, kenyataan di dunia ini disatukan, disemangati, ditumbuhkan oleh kasih. Karena itu, mereka menemukan dan menggunakan berbagai macam barang, tanaman, atau binatang yang ada di lingkungan mereka untuk menunjukkan pengalaman kasih yang menghidupkan. Mereka mengungkapkan harapan kehidupan yang lebih berkualitas dengan menggunakan obyek-obyek tersebut.

b. Perayaan pengalaman kasih yang membahagiakan dan terbagikan kepada sesama.

Bagi masyarakat Tionghoa, kasih yang membahagiakan diterima dari kemurahan alam. Oleh sebab itu, masyarakat Tionghoa harus belajar bermurah hati kepada sesama. Kasih yang membahagiakan itu dinikmati dalam kebersamaan dengan orang lain, dalam semangat solider kepada sesama, terutama yang lemah, miskin, dan papah. Dalam perayaan Imlek, dibagikan kepada anak-anak, orang-orang miskin, sederhana, dan papah, hal-hal yang dapat membahagiakan mereka: uang, makanan, hadiah, atau berbagai bentuk bantuan yang lain. Dengan berbagi kebahagiaan, kasih yang berlimpah diharapkan dapat semakin membuat kehidupan memberikan kebahagiaan lebih besar lagi.

c. Pengalaman kasih dimulai dari keluarga.

Inti kasih tidak terletak dalam banyaknya kata-kata, tetapi dalam tindakan untuk saling memberikan diri kepada orang yang dikasihi. Kemampuan mengasihi disadari oleh masyarakat Tionghoa, berawal di dalam keluarga. Pusat perayaan Imlek terletak pada kesediaan seluruh anggota keluarga untuk berkumpul bersama, meninggalkan kepentingan diri, dan berbagi pengalaman kasih dalam keluarga. Puncak perayaan diungkapkan dengan kesediaan makan bersama, saling menghormati, bercerita pengalaman hidup yang


(21)

membahagiakan, mengampuni, berbagi rezeki, menyampaikan salam berupa doa atau harapan untuk hidup lebih baik lagi, dan sebagainya.

d. Keempat, Perayaan kebebasan yang inklusif.

Kesederhanaan alam pikiran tidak banyak memberi tempat pada rumitnya aturan yang harus ditaati. Pada dasarnya Imlek tidak memiliki aturan baku. Seandainya ada, peraturan itu amat umum, tidak menyertakan hukuman bagi pelanggarnya. Dengan demikian, dunia tidak mengenal adanya model tunggal perayaan Imlek. Setiap pribadi, keluarga, atau kelompok masyarakat apa pun, diizinkan merayakan Imlek dengan segala kemampuan, keterbatasan, latar belakang, simbol, dan sistem pemaknaan masing-masing. Kebebasan seperti ini menjadikan Imlek perayaan yang inklusif karena tidak mengeliminasi siapa pun untuk tidak diizinkan merayakannya.

Di Indonesia, selama tahun 1965-1998, perayaan tahun baru Imlek dilarang dirayakan di depan umum. Dengan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967, rezim Orde Baru di bawah pemerintahan Presiden Soeharto, melarang segala hal yang berbau Tionghoa, diantaranya Imlek.

Masyarakat Tionghoa di Indonesia kembali mendapatkan kebebasan merayakan tahun baru Imlek pada tahun 2000 ketika Presiden Abdurrahman Wahid mencabut Inpres Nomor 14/1967. Kemudian Presiden Megawati Soekarno Putri menindaklanjutinya dengan mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 19/2002 tertanggal 9 April 2002 yang meresmikan Imlek sebagai hari libur nasional. Mulai 2003, Imlek resmi dinyatakan sebagai salah satu hari libur nasional.


(22)

2.2 Landasan Teori

2.2.1 Semiotika

Disiplin ilmu yang relevan dalam penelitian ini adalah teori semiotika. Semiotika berasal dari kata Yunani: Semeion, yang berarti tanda. Menurut Saussure, semiologi didasarkan pada anggapan bahwa selama perbuatan dan tingkah laku manusia membawa makna atau selama berfungsi sebagai tanda, harus ada dibelakangnya sistem perbedaan dan konvensi yang memungkinkan makna itu. Di mana ada tanda di sana ada sistem. Artinya, sebuah tanda (berwujud kata atau gambar) mempunyai dua aspek yang ditangkap oleh indra yang disebut dengan signifier, bidang penanda atau bentuk dan aspek lainnya yang disebut signified, bidang petanda atau konsep atau makna. Aspek kedua terkandung di dalam aspek pertama. Penanda terletak pada tingkatan ungkapan dan mempunyai wujud atau merupakan bagian fisik seperti bunyi, huruf, kata, gambar, warna, objek, dan sebagainya. Petanda terletak pada tingkatan isi atau gagasan dari apa yang diungkapkan melalui tingkatan ungkapan. Hubungan antara kedua unsur melahirkan makna.

2.2.2 Charles Sanders Peirce

Bagi Charles Sanders Peirce (dalam Sobur, 2004: 46) dalam teori Ground Triadik-nya mengemukakan tiga hubungan tanda. Adapun tiga hubungan tanda yang dimaksudkan adalah representament (R) “bagian tanda yang dapat dipersepsi”, Objek (O) “sesuatu diwakili olehnya”, dan interpretant (I) “bagian dari proses yang menafsirkan hubungan R dengan O. Menurut Hoed (2008: 42), konsep ketiga tahap ini penting untuk memahami bahwa dalam suatu kebudayaan kadar pemahaman tanda tidak sepenuhnya sama pada semua anggota kebudayaan tersebut.


(23)

Tanda tidak hanya representatif, tetapi juga interpretatif. Peirce membedakan tiga jenis tanda, yakni, ikon, indeks dan simbol. Bagi Peirce tanda bukan sesuatu yang terstruktur. Pemakaian tanda mengikuti suatu proses tiga tahap.

Contoh: Apabila seseorang melihat potret sebuah mobil, ia melihat sebuah R yang membuatnya merujuk pada suatu O, yakni mobil yang bersangkutan. Proses selanjutnya ialah ia menafsirkannya sebuah mobil sedan berwarna merah miliknya sendiri (I). tanda dengan proses pemaknaan seperti itu disebut ikon, yaitu hubungan antara R dan O menunjukkan identitas.

Apabila dalam perjalanan di luar kota seseorang melihat asap mengepul di kejauhan, ia melihat R. apa yang dilihatnya itu membuatnya merujuk pada sumber asap itu, yaitu cerobong pabrik (O). Setelah itu, ia menafsirkan bahwa ia sudah mendekati sebuah pabrik ban mobil (I). Tanda dengan proses pemaknaan seperti itu disebut indeks, yaitu hubungan antara R dan O bersifat langsung.

Apabila di tepi pantai seseorang melihat bendera merah (R), maka dalam hubungannya ia merujuk pada ‘larangan untuk berenang’ (O). Selanjutnya, ia menafsirkan bahwa ‘adalah berbahaya untuk berenang disitu” (I). tanda seperti itu disebut simbol, yaitu hubungan antara R dan O bersifat konvensional (seseorang harus memahami konvensi tentang hubungan antara ‘bendera merah’ dan ‘larangan berenang’)

2.2.3 Roland Barthes

Barthes (dalam Sobur, 2004:viii) menjelaskan dua tingkat dalam pertandaan, yaitu denotasi (denotation) dan konotasi (connotation). ‘Denotasi’ adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, atau antara tanda dan rujukannya pada


(24)

realitas, yang menghasilkan makna yang eksplisit, langsung dan pasti. Sementara, ‘konotasi’ adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, yang didalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung dan tidak pasti (artinya terbuka terhadap berbagai kemungkinan tafsiran). Selain itu, Barthes juga melihat makna yang lebih dalam tingkatnya, akan tetapi lebih bersifat konvensional, yaitu makna-makna yang bersifat dengan mitos. Mitos, dalam pemahaman semiotika Barthes adalah pengkodean makna dan nilai-nilai sosial (yang sebetulnya arbitrer atau konotatif) sebagai sesuatu yang dianggap ilmiah.

Menurut Santosa (1993), Roland Barthes menawarkan lima kode untuk mendapatkan amanat, yaitu :

1. Kode teka-teki, yaitu merupakan sebuah pertanyaan bagi si penerima atau si

penikmat yang dapat meningkatkan hasrat dan kemauan untuk menemukan jawaban dari sebuah pertanyaan yang dikandung.

Contoh : Mengapa perayaan Imlek identik dengan warna merah dan keemasan?

Warna merah dan keemasan merupakan dua warna yang digunakan dalam perayaan imlek. Etnis Tionghoa hanya menyukai kemeriahan warna merah dan suasana yang dianggap dapat lebih menyemarakkan Perayaan Tahun Baru Imlek. Dan, warna keemasan merupakan simbol dari uang (rejeki).

2. Kode konotatif, yaitu merupakan dunia yang ditransformasikan ke dalam deretan

tanda tulis yang bersifat lihatan.

Contoh : Warna merah sebagai identitas pada perayaan Imlek.

Bermula dari mitos yang mengungkapkan bahwa tepat pada malam tahun baru, ada seekor monster besar datang dan menyerang manusia juga memangsa hewan


(25)

ternak. Lalu, untuk menghindari monster tersebut, etnis Tionghoa menempel kertas berwarna merah di depan pintu rumah yang diyakini sangat ditakuti monster yang bernama Nian ini.

3. Kode simbolik, yaitu merupakan dunia perlambang, yakni dunia personifikasi

manusia dalam menghayati arti hidup dan kehidupan.

Contoh : Lampion/Lentera merah

Lampion merupakan simbol penerangan dan keberuntungan bagi etnis Tionghoa.

4. Kode aksian, yaitu merupakan prinsip bahwa di dalam tuangan bahasa secara tulis

perbuatan-perbuatan itu harus disusun secara linier.

Contoh : Angpao

Angpao berupa amplop berwarna merah yang berisi uang. Dan, pada perayaan tahun baru Imlek setiap anak-anak yang mengucapkan selamat tahun baru imlek kepada orang yang lebih tua akan diberikan angpao. Yang berarti rejeki yang sudah diterima pada tahun lalu haruslah dibagi kepada setiap orang, jika tidak maka di tahun berikutnya, tidak akan menerima rejeki yang berkelimpahan.

5. Kode budaya atau kode acuan, yaitu merupakan peranan metalingual atau

mengacu pada benda-benda yang sudah diketahui dan dikondisikan oleh budaya.

Contoh : Barongsai

Barongsai merupakan seekor naga berwarna merah dan keemasan yang dimainkan dua sampai delapan pemain. Barongsai ini hanya ada pada perayaan-perayaan besar seperti Perayaan Tahun Baru Imlek.


(26)

2.3 Tinjauan Pustaka

Tinjauan adalah hasil meninjau, pandangan, pendapat sesudah menyelidiki atau mempelajari (KBBI, 2003:1198). Pustaka adalah kitab-kitab; buku; buku primbon (KBBI, 2003:912).

Sartini (2006), seorang dosen Fakultas Sastra Universitas Airlangga, Surabaya pernah meneliti konsep dan nilai kehidupan masyarakat Tionghoa. Dalam penelitiannya dinyatakan bahwa simbol-simbol yang digunakan pada perayaan tahun baru Imlek sarat dengan makna dan nilai kehidupan. Tidak ada benda yang tidak melambangkan nilai-nilai kehidupan dalam perayaan tahun baru Imlek. Dan, hampir seluruh peralatan yang digunakan dalam perayaan tahun baru Imlek berwarna merah dan keemasan.

Kartika, skripsi (2007) : Konsep Warna dalam Bahasa Batak Toba. Skripsi ini meneliti tentang konsep warna dan menggunakan teori Metabahasa Semantik Alami (MSA).

Saul, skripsi (2007) : Wacana Iklan Kematian pada Harian Analisa sebagai Identitas Budaya Etnis Tionghoa. Skripsi ini mengungkapkan fungsi dan makna wacana iklan kematian dengan menggunakan teori Barthes tentang pemaknaan tahap kedua pada sebuah tanda dan teori Peirce tentang tiga hubungan tanda.

Dari uraian diatas, penelitian terhadap Bahasa Nonverbal Sebagai Makna Warna Dalam Etnis Tionghoa Dalam Perayaan Imlek di Kecamatan Medan Petisah dengan menggunakan teori ground triadik oleh Charles Sanders Peirce serta pendekatan Barthes sama sekali belum pernah dilakukan oleh para peneliti sebelumnya. Oleh karena itu, pada kesempatan ini peneliti akan meneliti bagaimanakah bentuk ground triadik serta makna kode amanat yang muncul pada bahasa nonverbal sebagai makna warna dalam etnis tionghoa pada perayaan imlek di kecamatan medan petisah.


(27)

BAB III

METODE PENELITIAN 1.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

1.1.1 Lokasi Penelitian

Lokasi adalah letak atau tempat (KBBI, 2003:680). Yang menjadi lokasi penelitian penulis adalah Kecamatan Medan Petisah, Medan.

1.1.2 Waktu Penelitian

Penulis melakukan penelitian terhadap bahasa nonverbal sebagai makna warna dalam etnis Tionghoa terhitung sejak tanggal 22 Januari sampai dengan 29 Januari 2009.

1.2 Populasi dan Sampel 1.2.1 Populasi

Populasi adalah sekelompok orang, benda atau hal yang menjadi sumber pengambilan sampel; suatu kumpulan yang memenuhi syarat tertentu yang berkaitan dengan masalah penelitian (KBBI, 2003:889). Yang menjadi populasi penelitian ini adalah bahasa nonverbal sebagai makna warna dalam etnis Tionghoa pada perayaan imlek di Kecamatan Medan Petisah.

1.2.2 Sampel

Sampel adalah sesuatu yang digunakan untuk sifat suatu kelompok yang lebih besar, bagian kecil yang mewakili kelompok atau yang lebih besar; percontoh. Penentuan sampel dilakukan dengan cara memilih beberapa warna yang dipakai dalam etnis Tionghoa pada


(28)

perayaan imlek. Warna yang dipakai pada perayaan Imlek adalah warna merah dan keemasan.

1.3 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Metode adalah cara mendekati, mengamati, menganalisis dan menjelaskan suatu fenomen (Kridalaksana, 2001:136). Dan dalam memperoleh data, penelitian ini menggunakan data lisan dan data tulis. Data lisan diperoleh dari informan etnis Tionghoa dengan menggunakan metode simak dan metode cakap (Sudaryanto, 1993:132).

Menurut Sudaryanto (1993:133), disebut metode simak atau penyimakan karena memang berupa penyimakan:dilakukan dengan menyimak, yaitu menyimak penggunaan bahasa.

Disebut metode cakap atau percakapan karena memang berupa percakapan dan terjadi kontak antara peneliti selaku peneliti dengan penutur selaku narasumber (Sudaryanto, 1993:137).

Dengan demikian, sumber data terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari lokasi penelitian melalui cara-cara berikut :

1. Observasi

Observasi yaitu pengumpulan data dengan menggunakan pengamatan langsung ke objek penelitian. Teknik ini digunakan untuk mengenali dan menemukan beberapa data yang berkenaan dengan kondisi objektif yang ada di Kecamatan Medan Petisah. Bersamaan dengan obeservasi diadakan pengumpulan atau dokumentasi. Dokumentasi, yaitu pengumpulan data dengan memeriksa, membaca, kemudian mencatat dokumen-dokumen yang terkait dengan permasalahan yang diteliti.


(29)

2. Wawancara

Wawancara yaitu pengumpulan data dengan mengadakan wawancara mendalam melalui informan yang memahami situasi dan kondisi objek penelitian. Teknik wawancara yang digunakan adalah wawancara yang tidak berstruktur yaitu dengan mengajukan beberapa pertanyaan secara langsung dan sebagai instrument adalah peneliti sendiri, kemudian dikembangkan dan diperdalam sesuai data yang dibutuhkan.

Adapun etnis Tionghoa yang menjadi narasumber, ditetapkan dengan persyaratan-persyaratan sebagai berikut:

1. Berjenis kelamin pria atau wanita;

2. Berusia 25-48 tahun (tidak pikun);

3. Orang tua, istri, atau suami informan lahir dan dibesarkan di lingkungan etnis

tionghoa dan tidak merupakan keturunan;

4. Memiliki kebanggaan terhadap kebudayaannya;

5. Sehat jasmani dan rohani;

6. Mengetahui sejarah dan kebudayaan masyarakat etnis Tionghoa; dan

7. Dapat berbahasa Indonesia (Kartika, 2007: 7).

Data sekunder atau data tulis diperoleh dari buku-buku yang berhubungan dengan semiotika, bahasa nonverbal, warna dan perayaan pada etnis Tionghoa. Selain itu, data dari internet juga diakses untuk kepentingan penelitian ini.


(30)

1.4 Metode dan Teknik Analisis Data

Semua data yang telah terkumpul dianalisis untuk menyelesaikan permasalahan penelitian yang telah ditentukan. Data yang telah terkumpul dianalisis dengan metode simak dan cakap, yang dilakukan selama proses pengumpulan data, yaitu menyimak, mempelajari dan memeriksa data yang telah terkumpul.

Metode simak diwujudkan dengan penyadapan. Dalam mendapatkan data yang dibutuhkan, peneliti haruslah menyadap pembicaraan seseorang atau beberapa orang dan ikut berpartisipasi dalam pembicaraan dan menyimak pembicaraan tersebut. Jadi, peneliti terlibat langsung dan ikut angkat bicara dalam proses percakapan tersebut. Dan, teknik ini disebut dengan Teknik Simak Libat Cakap, dengan diri si peneliti sendiri sebagai alatnya.

Selanjutnya, data yang telah dianalisis disajikan secara formal sehingga hasil analisis dipaparkan secara sistematis dalam bentuk laporan ilmiah berupa skripsi dengan menggunakan bahasa, teks gambar yang mudah dipahami sedangkan secara informal disajikan dengan deskripsi kata-kata.


(31)

BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Bentuk Bahasa Nonverbal sebagai Ikon, Indeks dan Simbol

Perayaan tahun baru Imlek merupakan suatu kegiatan yang penuh dengan simbol dan warna merah.Simbol yang ada pada perayaan Imlek mempunyai makna yang berbeda antara yang satu dengan yang lain. Adapun perlengkapan perayaan ini terdiri atas makanan dan benda-benda yang harus ada dalam setiap perayaan Imlek.

1. Angpao, berupa bungkusan merah yang berisi uang.

Gambar di atas menjadi ikon karena terdapat suatu kemiripan dengan objek yang menjadi rujukan. Walaupun hanya sebuah gambar namun mengartikannya sebagai gambar angpao, karena ada kemiripan dengan angpao yang sesungguhnya. Dalam gambar angpao di atas terlihat sebuah tulisan Cina dengan warna emas yang dalam bahasa mandarin berarti uang, dan di samping angpao tersebut ada sebuah koin yang dikaitkan dengan benang berwarna merah.


(32)

hubungan kausalitasnya (sebab-akibat). Jika dilihat, gambar menjadi satu keseluruhan, yaitu angpao tersebut berisi uang. Hal ini ditandai dengan adanya koin emas yang dikaitkan dengan benang berwarna merah yang berada di samping angpao.

Gambar di atas bisa menjadi simbol karena untuk memahaminya ada konvensi yang berlangsung dalam masyarakat Tionghoa. Yaitu bagaimana cara setiap orang memberikan angpao. Dari tanda ini sebenarnya bisa tahu bahwa dalam tradisi Tionghoa, yang berhak memberikan angpao adalah para orangtua kepada anak yang belum menikah dan dari anak yang sudah menikah kepada orangtua.

2. Lampion atau Lentera Merah, yang melambangkan keberhasilan dan kegembiraan.

Gambar di atas menjadi ikon karena terdapat suatu kemiripan dengan objek yang menjadi rujukan. Walaupun hanya sebuah gambar namun mengartikannya sebagai gambar lampion, karena ada kemiripan dengan lampion yang sesungguhnya. Dalam gambar lampion di atas terlihat digantung di bawah lampu pada atap sebuah ruangan.


(33)

Gambar di atas bisa menjadi indeks karena menunjuk pada sesuatu, bukan berdasarkan pada kemiripannya tapi lebih menekankan pada keterkaitan logisnya atau hubungan kausalitasnya (sebab-akibat). Jika dilihat, gambar menjadi satu keseluruhan, yaitu lampion tersebut berguna untuk menyinari sebuah ruangan. Hal ini ditandai dengan penempatan lampion pada bagian atas sebuah ruangan yang membantu lampu untuk menyinari ruangan tersebut.

Gambar diatas bisa menjadi simbol karena untuk memahaminya ada konvensi yang berlangsung dalam masyarakat Tionghoa. Yaitu bagaimana cara meletakkan lampion pada bagian atas ruangan. Bahwa ketika memasuki sebuah ruangan, bisa menjadi alat penerangan sebagai pengganti lampu.

3. Kue Keranjang atau Kue Bakul biasa disebut kue tahun baru.


(34)

kue keranjang, karena ada kemiripan dengan kue keranjang yang sesungguhnya. Dalam gambar di atas terlihat bahwa ada seorang wanita yang sedang menempel kertas berwarna merah di atas kue yang menyerupai keranjang tersebut.

Gambar di atas bisa menjadi indeks karena menunjuk pada sesuatu, bukan berdasarkan pada kemiripannya tapi lebih menekankan pada keterkaitan logisnya atau hubungan kausalitasnya (sebab-akibat). Jika dilihat, gambar menjadi satu keseluruhan, yaitu kue keranjang yang selalu muncul pada tahun baru Imlek dan disusun ke atas dengan kertas merah di bagian atasnya.

Gambar diatas bisa menjadi simbol karena untuk memahaminya ada konvensi yang berlangsung dalam masyarakat Tionghoa. Yaitu bagaimana cara menyusun kue keranjang yang merupakan simbolisasi dari sebuah harapan agar di tahun baru ini berlimpah rejeki yang semakin meningkat dan menanjak seperti tumpukan kue keranjang tersebut.

4. Barongsai, adalah suatu pertunjukan berupa tarian atau gerakan-gerakan


(35)

Gambar di atas menjadi ikon karena terdapat suatu kemiripan dengan objek yang menjadi rujukan. Walaupun hanya sebuah gambar namun mengartikannya sebagai gambar barongsai, karena ada kemiripan dengan barongsai yang sesungguhnya. Dalam gambar diatas, terlihat barongsai sedang berhenti sesaat untuk menaiki tempat yang lebih tinggi dan aksinya sedang diamati oleh penonton.

Gambar di atas bisa menjadi indeks karena menunjuk pada sesuatu, bukan berdasarkan pada kemiripannya tapi lebih menekankan pada keterkaitan logisnya atau hubungan kausalitasnya (sebab-akibat). Jika dilihat, gambar menjadi satu keseluruhan, yaitu barongsai yang dimainkan oleh beberapa orang yang bersembunyi di balik kostum singa dan disaksikan oleh penonton.

Gambar diatas bisa menjadi simbol karena untuk memahaminya ada konvensi yang berlangsung dalam masyarakat Tionghoa. Yaitu bagaimana cara pemain barongsai memainkan setiap aksinya yang mencuri perhatian penonton. Dalam gambar di atas terlihat bahwa penonton sangat menikmati aksi yang diperagakan oleh barongsai dan ingin mengabadikan pertunjukan tersebut.


(36)

Gambar di atas menjadi ikon karena terdapat suatu kemiripan dengan objek yang menjadi rujukan. Walaupun hanya sebuah gambar namun mengartikannya sebagai gambar petasan karena ada kemiripan dengan petasan yang sesungguhnya. Dalam gambar di atas terlihat petasan berwarna merah dengan sumbu yang siap untuk diledakkan dan diberi gambar bunga.

Gambar di atas bisa menjadi indeks karena menunjuk pada sesuatu, bukan berdasarkan pada kemiripannya tapi lebih menekankan pada keterkaitan logisnya atau hubungan kausalitasnya (sebab-akibat). Jika dilihat, gambar menjadi satu keseluruhan, yaitu pemilihan warna dan penempatan gambar bunga pada petasan yang sesuai pada perayaan imlek.

Gambar diatas bisa menjadi simbol karena untuk memahaminya ada konvensi yang berlangsung dalam masyarakat Tionghoa. Yaitu bagaimana cara memilih warna yang disesuaikan dengan perayaan Imlek. Bahwa seseorang langsung dapat memahami jika melihat warna petasan yang dibeli.


(37)

6. Lilin, adalah alat penerangan yang menjadi simbol bagi etnis Tionghoa.

Gambar di atas menjadi ikon karena terdapat suatu kemiripan dengan objek yang menjadi rujukan. Walaupun hanya sebuah gambar namun mengartikannya sebagai gambar lilin, karena ada kemiripan dengan lilin yang sesungguhnya. Dalam gambar diatas, terlihat lilin sedang bersinar dan berdiri tegak di altar.

Gambar di atas bisa menjadi indeks karena menunjuk pada sesuatu, bukan berdasarkan pada kemiripannya tapi lebih menekankan pada keterkaitan logisnya atau hubungan kausalitasnya (sebab-akibat). Jika dilihat, gambar menjadi satu keseluruhan, yaitu lilin yang bercahaya dan perlahan-lahan mulai mengecil karena membakar dirinya.

Gambar diatas bisa menjadi simbol karena untuk memahaminya ada konvensi yang berlangsung dalam masyarakat Tionghoa. Yaitu bagaimana lilin menjadi simbol penerangan bagi manusia, agar selalu menjadi penerang bagi sesama.


(38)

7. Buah Jeruk merupakan simbol kemakmuran bagi etnis Tionghoa.

Gambar di atas menjadi ikon karena terdapat suatu kemiripan dengan objek yang menjadi rujukan. Walaupun hanya sebuah gambar namun mengartikannya sebagai gambar buah jeruk, karena ada kemiripan dengan buah jeruk yang sesungguhnya. Dalam gambar diatas, terlihat buah jeruk tersebut dibungkus di dalam plastik dan diberi kertas berwarna merah.

Gambar di atas bisa menjadi indeks karena menunjuk pada sesuatu, bukan berdasarkan pada kemiripannya tapi lebih menekankan pada keterkaitan logisnya atau hubungan kausalitasnya (sebab-akibat). Jika dilihat, gambar menjadi satu keseluruhan, yaitu ada orang yang membungkus buah jeruk tersebut setelah dipetik beserta daunnya.

Gambar diatas bisa menjadi simbol karena untuk memahaminya ada konvensi yang berlangsung dalam masyarakat Tionghoa. Yaitu bagaimana cara memetik buah jeruk beserta daunnya dan dibungkus ke dalam plastik yang diberi kertas berwarna merah.


(39)

8. Ikan, merupakan sajian makanan yang selalu ada pada setiap perayaan imlek.

Gambar di atas menjadi ikon karena terdapat suatu kemiripan dengan objek yang menjadi rujukan. Walaupun hanya sebuah gambar namun mengartikannya sebagai gambar ikan, karena ada kemiripan dengan ikan yang sesungguhnya. Dalam gambar di atas terdapat 3 ekor ikan berwarna merah dan keemasan yang diletakkan di atas piring.

Gambar di atas bisa menjadi indeks karena menunjuk pada sesuatu, bukan berdasarkan pada kemiripannya tapi lebih menekankan pada keterkaitan logisnya atau hubungan kausalitasnya (sebab-akibat). Jika dilihat, gambar menjadi satu keseluruhan, yaitu pemilihan warna pada ikan yang sesuai dengan perayaan Imlek.

Gambar diatas bisa menjadi simbol karena untuk memahaminya ada konvensi yang berlangsung dalam masyarakat Tionghoa. Yaitu bagaimana cara memilih warna yang disesuaikan dengan perayaan Imlek. Bahwa seseorang langsung dapat memahami jika melihat warna ikan yang dipilih.


(40)

9. Tarian Naga atau Liang Liong, pertunjukan berupa tarian atau gerakan-gerakan seperti naga.

Gambar di atas menjadi ikon karena terdapat suatu kemiripan dengan objek yang menjadi rujukan. Walaupun hanya sebuah gambar namun mengartikannya sebagai gambar tarian naga, karena ada kemiripan dengan tarian naga yang sesungguhnya. Dalam gambar tarian naga diatas, terlihat bahwa benda yang berbentuk naga tersebut sedang dimainkan oleh beberapa orang dengan bantuan tongkat atau kayu panjang.

Gambar di atas bisa menjadi indeks karena menunjuk pada sesuatu, bukan berdasarkan pada kemiripannya tapi lebih menekankan pada keterkaitan logisnya atau hubungan kausalitasnya (sebab-akibat). Jika dilihat, gambar menjadi satu keseluruhan, yaitu naga yang sedang beraksi itu ingin berputar dan menunjukkan tubuhnya yang panjang agar penonton mengaguminya.

Gambar diatas bisa menjadi simbol karena untuk memahaminya ada konvensi yang berlangsung dalam masyarakat Tionghoa. Yaitu bagaimana cara pemain tarian naga tersebut


(41)

memainkan aksinya yang menyimbolkan bahwa naga sebagai bentuk keagungan mampu menerangi semua orang. Dalam etnis Tionghoa, naga dianggap sebagai makhluk yang suci.

10.Buah Naga

Gambar di atas menjadi ikon karena terdapat suatu kemiripan dengan objek yang menjadi rujukan. Walaupun hanya sebuah gambar namun mengartikannya sebagai gambar buah naga karena ada kemiripan dengan buah naga yang sesungguhnya. Dalam gambar buah naga di atas terlihat seorang penjual sedang membersihkan buah naga yang akan dijajakannya.

Gambar di atas bisa menjadi indeks karena menunjuk pada sesuatu, bukan berdasarkan pada kemiripannya tapi lebih menekankan pada keterkaitan logisnya atau hubungan kausalitasnya (sebab-akibat). Jika dilihat, gambar menjadi satu keseluruhan, yaitu baru saja ada orang yang mengantar buah naga. Ini ditandai dengan adanya gerobak yang mengangkut buah naga hingga sampai ke tempat si penjual berada.

Gambar diatas bisa menjadi simbol karena untuk memahaminya ada konvensi yang berlangsung dalam masyarakat Tionghoa. Yaitu bagaimana cara masyarakat Tionghoa menjadikan buah naga sebagai lambang kejayaan.


(42)

11.Buah Pisang

Gambar di atas menjadi ikon karena terdapat suatu kemiripan dengan objek yang menjadi rujukan. Walaupun hanya sebuah gambar namun mengartikannya sebagai gambar buah pisang karena ada kemiripan dengan buah pisang yang sesungguhnya. Dalam gambar buah pisang di atas terlihat bahwa pisang masih utuh di tangkai dan siap untuk disajikan pada saat perayaan imlek.

Gambar di atas bisa menjadi indeks karena menunjuk pada sesuatu, bukan berdasarkan pada kemiripannya tapi lebih menekankan pada keterkaitan logisnya atau hubungan kausalitasnya (sebab-akibat). Jika dilihat, gambar menjadi satu keseluruhan, yaitu baru saja ada orang yang membeli buah pisang, dan secara dengan sengaja pisang tersebut akan disajikan dengan utuh beserta tangkainya.

Gambar diatas bisa menjadi simbol karena untuk memahaminya ada konvensi yang berlangsung dalam masyarakat Tionghoa. Yaitu bagaimana cara memilih pisang mas yang merupakan simbolisasi dari emas atau kemakmuran.


(43)

12.Arak, adalah minuman yang disajikan pada perayaan Imlek.

Gambar di atas menjadi ikon karena terdapat suatu kemiripan dengan objek yang menjadi rujukan. Walaupun hanya sebuah gambar namun mengartikannya sebagai gambar arak karena ada kemiripan dengan arak yang sesungguhnya. Dalam gambar arak di atas terlihat bahwa ada seorang pria dengan berbagai macam botol arak yang sedang digantung dan siap untuk dijual.

Gambar di atas bisa menjadi indeks karena menunjuk pada sesuatu, bukan berdasarkan pada kemiripannya tapi lebih menekankan pada keterkaitan logisnya atau hubungan kausalitasnya (sebab-akibat). Jika dilihat, gambar menjadi satu keseluruhan, yaitu seorang pria sedang membersihkan dan mewarnai botol arak tersebut menjadi warna merah seperti arak-arak lain yang sedang digantung.

Gambar diatas bisa menjadi simbol karena untuk memahaminya ada konvensi yang berlangsung dalam masyarakat Tionghoa. Yaitu bagaimana arak menjadi suatu kebiasaan yang dilakukan dalam setiap perayaan Imlek yang menegaskan bahwa arak berbeda dengan minum-minuman keras lainnya yang memabukkan.


(44)

4.2 Bahasa Nonverbal sebagai Makna Warna dalam Perayaan Imlek

Warna merupakan identitas atau simbol bagi si pemakainya. Dalam perayaan Imlek, warna merah dan keemasan sangat sarat dengan etnis Tionghoa. Jika dilihat secara spesifik, warna merah dan keemasan terbagi atas 2 makna, yakni makna secara umum (universal) dan makna secara khusus.

Warna Makna secara umum (universal) Makna secara khusus (pada etnis Tionghoa)

Merah - Berani (pada bendera kebangsaan

Indonesia, warna merah berarti gagah berani atau pantang menyerah).

- Dukacita (pada masyarakat Kota

Medan, apabila salah seorang mendapat kemalangan atau dukacita, maka di ujung jalan atau di depan rumah akan dibuat bendera berwarna merah. Hal ini mempunyai arti yang sama dengan warna merah pada rambu-rambu lalu lintas, yang menyatakan berhenti)

- Kebahagiaan/Sukacita

- Keberhasilan

- Semangat Hidup

- Keberuntungan

Keemasan (emas)

- Kemewahan (karna semua

benda-benda yang bersifat mewah atau mahal berwarna emas)

- Kata emas dalam bahasa

mandarin adalah ‘jin’, dan makna lain dari ‘jin’ adalah uang (rejeki).


(45)

Namun, jika dianalisis secara mitologi akan diperoleh suatu mitos mengapa warna merah dan keemasan sangat sarat dalam perayaan Imlek. Disini, masyarakat Tionghoa bersedia untuk berbagi cerita.

Dahulu kala ada seekor monster jahat yang memiliki kepala panjang dan tanduk yang tajam. Monster yang bernama nian ini sangat ganas, dia berdiam di dasar lautan, namun setiap tahun baru dia muncul ke darat untuk menyerang penduduk desa dan menelan hewan ternak. Oleh karena itu setiap menjelang tahun baru, seluruh penduduk desa selalu bersembunyi dibalik pegunungan untuk menghindari serangan monster nian ini. Pada suatu hari saat menjelang pergantian tahun, semua penduduk desa sedang sibuk mengemasi barang-barang untuk mengungsi ke pegunungan, datanglah seorang lelaki tua berambut abu-abu ke desa itu. Dia memohon ijin menginap semalam pada seorang wanita tua dan meyakinkannya bahwa dia dapat mengusir monster nian ini. Tak ada satupun yang mempercayainya. Wanita tua ini memperingatkan dia untuk ikut bersembunyi bersama penduduk desa lainnya, tetapi lelaki tua ini bersikukuh menolaknya. Akhirnya penduduk desa meninggalkannya sendirian di desa itu. Ketika monster nian mendatangi desa untuk membuat kekacauan, tiba-tiba dia dikejutkan dengan suara ledakan petasan. Nian menjadi sangat ketakutan ketika melihat warna merah, kobaran api dan mendengar suara petasan itu. Pada saat bersamaan pintu rumah terbuka lebar lalu muncullah lelaki tua itu dengan mengenakan baju berwarna merah sambil tertawa keras. Nian terkejut, dan segera angkat kaki dari tempat itu. Hari berikutnya, penduduk desa pulang dari tempat persembunyiannya, mereka terkejut melihat seluruh desa utuh dan aman. Sesaat mereka baru menyadari atas peristiwa yang terjadi. Lelaki tua itu sebenarnya adalah Dewata yang datang untuk menolong penduduk desa mengusir monster nian ini. Mereka juga menemukan 3 peralatan yang digunakan lelaki tua itu untuk mengusir nian. Mulai dari itu, setiap perayaan Tahun Baru Imlek mereka memasang kain merah, menyalakan petasan dan menyalakan lentera sepanjang malam, menunggu datangnya Tahun Baru.


(46)

Warna merah, yang melambangkan kebahagiaan, keberhasilan dan semangat hidup. Sebagaimana darah dalam nadi, pengalaman hidup yang penuh semangat dan membahagiakan itu harus mengalir dan meresapi berbagai bagian tubuh untuk kehidupan yang lebih baik. Sedangkan warna keemasan, yang dalam bahasa Mandarin disebut jin, dan makna lain dari kata jin adalah uang. Warna ini melambangkan sebuah harapan agar di tahun berikutnya berlimpah uang (rejeki). Sehingga seluruh peralatan dan makanan yang disajikan dalam perayaan tahun baru Imlek berwarna merah dan keemasan, yaitu :

1. Angpao

Angpao pada tahun baru Imlek diberikan untuk anak-anak yang berkaitan dengan pertambahan umur/pergantian tahun. Di zaman dulu, hadiah ini biasanya berupa manisan, permen dan makanan. Untuk selanjutnya, karena perkembangan zaman, orang tua merasa lebih mudah memberikan uang dan membiarkan anak-anak memutuskan hadiah apa yang akan dibeli.

Di dalam tradisi Tionghoa, orang yang wajib dan berhak memberikan angpao biasanya adalah orang yang telah menikah, karena pernikahan dianggap merupakan batas antara masa kanak-kanak dan dewasa. Selain itu, ada anggapan bahwa orang yang sudah menikah biasanya lebih mapan secara ekonomi. Selain memberikan angpao kepada anak-anak, mereka juga wajib memberikan angpao kepada orang yang dituakan.

Bagi yang belum menikah, tetap berhak menerima angpao walaupun secara umur, seseorang itu sudah termasuk dewasa. Ini dilakukan dengan harapan angpao dari orang yang telah menikah akan memberikan nasib baik kepada orang yang menerima, dalam hal ini tentunya jodoh. Bila seseorang yang belum menikah ingin memberikan angpao, sebaiknya cuma memberikan uang tanpa amplop merah. Namun, dalam perayaan Imlek, jumlah uang


(47)

yang ada dalam sebuah angpao haruslah dalam angka genap. Karena, angka genap melambangkan kebahagiaan.

Angpao adalah bungkusan berwarna merah yang berisi uang. Angpao selalu ada pada perayaan imlek. Dan makna yang terkandung dalam warna merah pada sebuah angpao adalah melambangkan kebahagiaan (sukacita).

2. Lampion atau Lentera Merah

Lampion atau Lentera Merah awalnya hanya benda yang tidak mempunyai suatu makna khusus bagi masyarakat Tionghoa. Sampai suatu waktu, banjir melanda rumah penduduk Tionghoa. Mereka berusaha menyelamatkan diri dengan naik ke atap rumah dan membawa lentera merah. Banjir terus meninggi dan membuat orang-orang mulai putus asa. Lalu, Jenderal Li memerintahkan anak buahnya untuk menyelamatkan rakyat yang membawa lentera merah. Untuk memperingati kebaikan hati Jenderal Li dalam menyelamatkan rakyat jelata, maka bangsa Tionghoa selalu menggantung lentera merah pada setiap perayaan penting, seperti pada Perayaan Tahun Baru Imlek sebagai makna keberuntungan.

Lampion atau lentera merah selalu ada pada perayaan imlek. Dan makna yang terkandung dalam warna merah pada sebuah lampion adalah melambangkan keberuntungan.

3. Kue Keranjang atau Kue Bakul

Kue Keranjang atau Nian Gao atau lebih sering disebut kue keranjang (tii kwee) adalah kue wajib pada perayaan Imlek. Kue ini mendapat nama dari cetakannya yang terbuat dari keranjang. Nian sendiri berati tahun dan Gao berarti kue dan juga terdengar seperti kata tinggi, oleh sebab itu kue keranjang sering disusun tinggi atau bertingkat. Kue keranjang disusun makin ke atas makin mengecil, yang memberikan makna peningkatan dalam hal rejeki atau kemakmuran. Pada zaman dahulu banyaknya atau tingginya kue


(48)

keranjang menandakan kemakmuran keluarga pemilik rumah. Biasanya kue keranjang disusun ke atas dan ditutup dengan kertas berwarna merah dibagian atasnya. Ini adalah sebagai simbol kehidupan manis yang kian menanjak dan selalu dipenuhi kebahagiaan.

Kue keranjang hanya muncul pada saat perayaan Imlek saja. Kue keranjang ini disusun makin ke atas makin mengecil dan meletakkan kertas warna merah pada bagian atas kue. Dan makna yang terkandung dalam warna merah pada sebuah angpao adalah melambangkan kebahagiaan (sukacita).

4. Barongsai

Barongsai atau tari singa sering diadakan pada perayaan Imlek. Barongsai adalah suatu pertunjukan berupa tarian atau gerakan-gerakan tertentu dengan para penari yang menggunakan kostum seperti singa. Barongsai ini dipercayai dengan pukulan gendang yang kuat dan bunyi simbal yang memekakkan telinga serta wajah singa yang menari dengan agresif sekali dapat mengusir roh jahat. Tarian yang menggunakan kostum berwarna merah dan keemasan ini diharapkan dapat mengusir roh jahat dan mendatangkan kebahagiaan bagi penonton.

Dan makna yang terkandung dalam warna merah dan keemasan pada kostum barongsai adalah melambangkan kebahagiaan (sukacita) dan mendatangkan rejeki (uang) yang berlimpah pada tahun berikutnya.

5. Petasan

Petasan yang selalu diledakkan pada saat malam tahun baru ini bertujuan untuk menakut i monster jahat dan mengusir roh jahat. Petasan ini berwarna warna merah. Dan makna yang terkandung dalam warna merah adalah melambangkan kebahagiaan dan keberuntungan.


(49)

6. Lilin

Sepasang lilin berwarna merah adalah sebagai alat penerangan yang menyimbolkan bahwa manusia harus menjadi penerang bagi manusia lainnya. Penerang juga bisa berarti memberikan jalan keluar bagi orang lain yang punya permasalahan. Dari awal menyala sampai padam lilin selalu menjadi penerang, demikian halnya dengan manusia keberadaannya harus menjadi penerang sejak kecil hingga akhir hayatnya.

Dan makna yang terkandung dalam warna merah pada lilin adalah melambangkan semangat hidup yang akan terus bertambah di tahun berikutnya.

7. Buah Jeruk

Buah jeruk yang disajikan setiap hari raya Imlek mempunyai kisah dan makna tersendiri. Dalam bahasa Mandarin, jeruk disebut Jik yang juga berarti selamat. Maka timbullah ungkapan Mandarin, Tah Jik, yang artinya besar selamat atau amat selamat. Buah jeruk biasanya diletakkan di atas meja ruang tamu. Buah yang dipilih terutama yang sepasang atau lebih, terutama yang memiliki daun di dekat buahnya. Jeruk tersebut ditempeli kertas merah dan juga disajikan di meja altar dekat tempat sembahyang sampai hari Cap Go Meh. Buah Jeruk yang dipilih pun harus yang rasanya manis, agar kehidupannya selalu diberi kebahagiaan dan keberhasilan.

Dan makna yang terkandung dalam warna merah pada kertas merah yang ditempel pada buah Jeruk adalah melambangkan kebahagiaan dan keberhasilan yang sejalan dengan makna dari buah Jeruk tersebut.

8. Ikan

Ikan yang disajikan pada saat perayaan Imlek, melambangkan rejeki. Karena dalam bahasa Mandarin kata "ikan" sama bunyinya dengan kata "yu" yang berarti


(50)

rejeki. Oleh sebab itu, pada malam tahun baru imlek ikan sebagai makanan utama etnis Tionghoa, dengan harapan agar tahun berikutnya, rejeki akan mudah didapat.

Ikan yang disajikan pada perayaan Imlek dipilih dengan warna merah dan keemasan. Dan, makna yang terkandung dalam warna merah dan keemasan pada seekor ikan adalah keberhasilan dan rejeki pada tahun berikutnya.

9. Tarian Naga atau Liang Liong

Tarian naga ini selalu ada setiap perayaan Imlek. Dalam bahasa Mandarin, naga disebut long atau juga diartikan agung. Liang artinya terang, berkilauan sehingga tari ini menyimbolkan bahwa naga sebagai bentuk keagungan mampu menerangi semua orang. Dalam budaya Tionghoa naga dianggap sebagai makhluk suci perantara atau penjaga kekayaan dewa-dewa. Karena naga dianggap sebagai penjaga kekayaan dewa-dewa, maka kostum yang dipakai pada saat memainkan tarian naga ini adalah emas.

Dan makna yang terkandung dalam warna emas pada kostum naga adalah melambangkan kekayaan atau kemakmuran.

10.Buah Naga

Buah Naga yang selalu hadir menyemarakkan perayaan Imlek dipercaya sebagai lambang kejayaan. Karena naga tersebut adalah mahkluk suci bagi etnis Tionghoa.

Dan makna yang terkandung dalam warna merah kulit luar dan dalam pada buah Naga adalah melambangkan keberhasilan yang juga sama dengan makna dari buah naga tersebut.


(51)

11.Buah Pisang

Buah yang sudah pasti ada pada perayaan Imlek adalah pisang raja atau pisang mas. Pisang dalam bahasa Mandarin disebut xiangjiao, xiang ‘disukai, digemari’ atau bisa juga bermakna ‘membantu, menolong’. Tanaman pisang hanya berbuah sekali dalam hidupnya dan sebelum mati tunas-tunas baru sudah ada sekitarnya. Dalam pandangan etnis Tionghoa, hal ini melambangkan bahwa manusia sebelum meninggal harus telah melakukan kebajikan dan memiliki keturunan. Manusia harus bisa menjadi panutan bagi generasinya dan harus bias tolong menolong dan berbudi luhur agar disukai dan digemari orang lain.

Dan makna yang terkandung dalam warna emas buah Pisang adalah melambangkan mas atau kemakmuran.

12.Arak

Arak selalu hadir untuk meramaikan perayaan tahun baru atau yang biasa disebut perayaan Imlek. Arak yang dalam bahasa Mandarin disebut jiu ‘menolong, memberi bantuan’. Arak merupakan hasil permentasi air tape beras atau ketan. Arak mempunyai banyak kegunaan, antara lain sebagai penghangat badan di musim dingin, sebagai campuran obat-obatan tradisional dan juga sebagai penyedap masakan. Arak ini melambangkan bahwa manusia harus bermanfaat atau berguna bagi masyarakat.

Kebiasaan minum arak berbeda dengan budaya minum minuman keras yang memabukkan. Ini hanya merupakan tradisi & kebiasaan orang Tionghoa untuk memeriahkan perayaan Imlek. Dan, juga merupakan wujud penghargaan tuan rumah terhadap tamu undangan yang datang. Tuan rumah menyediakan arak tapi bukan berarti tuan rumah mengajak para tamu undangan untuk mabuk-mabukan tetapi maknanya lebih untuk menghormati dan menghargai tamu.


(52)

Dan, arak yang diminum ini menggunakan sloki berwarna merah, yang mempunyai makna sebagai semangat hidup. Agar di tahun berikutnya, etnis Tionghoa semakin bersemangat menjalani hidup dan menjalin hubungan yang baik antar sesama.


(53)

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan

Penelitian bahasa nonverbal sebagai makna warna dalam etnis Tionghoa dalam perayaan Imlek di kecamatan Medan Petisah ini menggunakan teori Semiotika dengan pendekatan Charles Sanders Peirce dan Roland Barthes. Teori ini memiliki kelebihan dalam menganalisis makna sehingga menjadi lebih sederhana dan mudah dipahami.

Berdasarkan data yang diperoleh, maka dapat disimpulkan bahwa ditemukannya bentuk bahasa nonverbal sebagai icon, indeks dan simbol pada perayaan Imlek. Dengan adanya bentuk bahasa nonverbal tersebut, maka penulis dapat mengetahui makna apa yang ingin disampaikan oleh si pemakai kepada masyarakat. Selain itu, dalam perayaan Imlek, tidak ada benda yang tidak melambangkan nilai-nilai kehidupan. Benda-benda tersebut dilengkapi dengan warna merah dan keemasan yang menjadi ciri khas perayaan Imlek.

Perayaan Imlek adalah perayaan tahun baru yang bersifat simbolis dan sangat diyakini dapat memberi berkah dan kebahagiaan pada tahun yang mendatang dan atas segala harapan itu, etnis Tionghoa selalu mengucapkan gong xi fa cai ‘bahagia dengan berlimpah rejeki’.

5.2 Saran

Indonesia adalah negara multikultural dan sedang berusaha memperbaiki keadaannya. Beragam budaya dan semua wujud kebudayaan dapat ditemukan di Indonesia. Wujud budaya yang menunjukkan identitas pemiliknya terkadang terusik karena berada di


(54)

tengah-tengah masyarakat mayoritas. Salah satunya masyarakat Tionghoa di Indonesia, khususnya di Medan, yang dulu tidak mempunyai kebebasan untuk menunjukkan identitas budayanya. Maka, bagaimana kita bisa membangun bersama jika masih ada prasangka karena kurang mengenal?

Bahasa nonverbal sebagai makna warna dalam etnis Tionghoa yang penulis kaji hanyalah sebagian kecil dari banyaknya media untuk mengetahui mereka. Sebagai saran normatif dari penelitian ini, marilah kita semua untuk saling mengenal dan menilai dengan positif satu sama lain terlebih lagi terhadap etnis-etnis minoritas karena kita semua sama-sama manusia yang memiliki akal pikiran.


(55)

DAFTAR PUSTAKA

Alwi, Hasan, dkk. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka Aminuddin. 2001. Semantik. Bandung : Sinar Baru Algensindo

Bisnis, Harian Medan. 2008. Dalam budiawan-hutasoit.blogspot.com

Darmaprawira, Sulasmi. 2002. Warna, Teori dan Kreativitas Penggunanya. Bandung: Penerbit ITB

(diakses 28 Juli 2009)

Fatimah. 1993. Semantik I Pengantar ke Arah Ilmu Makna. Bandung : Eresco

Haruyahya. 2005. Warna Illahi. Dalam http//id/buku/cita rasa 003.htm (diakses 29 November 2009).

Hoed, Benny H. 2008. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Prakata oleh Haryatmoko. Depok : Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia

Kridalaksana, Harimurti. 2001. Kamus Linguistik. Jakarta : Gramedia

Liliweri, Alo. 1994. Komunikasi Verbal dan Nonverbal. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti. Matsumoto, David. 2004. Pengantar Psikologi Lintas Budaya. Penerjemah: Sutikno.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Mulyana. 2002. Dalam

Nugroho, Eko. 2008. Pengenalan Teori Warna. Yogyakarta : CV. Andi Offset

Santosa, Puji. 1993. Ancangan Semiotika dan Pengkajian Susastra. Bandung: Angkasa Sartini, Ni Wayan. 2007. Tesis. Konsep dan Nilai Kehidupan Masyarakat Tionghoa. Fakultas

Sastra, Universitas AirLangga. Surabaya

Sidabutar, Kartika. 2007. Skripsi. Konsep Warna Pada Bahasa Batak Toba. Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara. Medan

Sihombing, Saul M. 2007. Skripsi. Wacana Iklan Kematian pada Harian Analisa sebagai Identitas Budaya Etnis Tionghoa. Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara. Medan


(56)

Sobur, Alex. 2004. Semiotika Komunikasi. Bandung : PT Remaja Rosdakarya

Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta : Duta Wacana University Press

Situs:

http:// wikipedia.ac.id (diakses pada 27 Oktober 2009)

Narasumber:

1. Tung Hwang Seng

Usia: 45 tahun

Pekerjaan: Wiraswasta

2. Gao Tjit Nio

Usia: 38 tahun

Pekerjaan: Wiraswasta

3. Pheiny Tse

Usia: 31 tahun

Pekerjaan: Ibu Rumah Tangga

4. A Lik

Usia: 34 tahun

Pekerjaan: Pengurus Vihara

5. Ichwan

Usia: 28 tahun Pekerjaan: Pedagang


(1)

11.Buah Pisang

Buah yang sudah pasti ada pada perayaan Imlek adalah pisang raja atau pisang mas. Pisang dalam bahasa Mandarin disebut xiangjiao, xiang ‘disukai, digemari’ atau bisa juga bermakna ‘membantu, menolong’. Tanaman pisang hanya berbuah sekali dalam hidupnya dan sebelum mati tunas-tunas baru sudah ada sekitarnya. Dalam pandangan etnis Tionghoa, hal ini melambangkan bahwa manusia sebelum meninggal harus telah melakukan kebajikan dan memiliki keturunan. Manusia harus bisa menjadi panutan bagi generasinya dan harus bias tolong menolong dan berbudi luhur agar disukai dan digemari orang lain.

Dan makna yang terkandung dalam warna emas buah Pisang adalah melambangkan mas atau kemakmuran.

12.Arak

Arak selalu hadir untuk meramaikan perayaan tahun baru atau yang biasa disebut perayaan Imlek. Arak yang dalam bahasa Mandarin disebut jiu ‘menolong, memberi bantuan’. Arak merupakan hasil permentasi air tape beras atau ketan. Arak mempunyai banyak kegunaan, antara lain sebagai penghangat badan di musim dingin, sebagai campuran obat-obatan tradisional dan juga sebagai penyedap masakan. Arak ini melambangkan bahwa manusia harus bermanfaat atau berguna bagi masyarakat.

Kebiasaan minum arak berbeda dengan budaya minum minuman keras yang memabukkan. Ini hanya merupakan tradisi & kebiasaan orang Tionghoa untuk memeriahkan perayaan Imlek. Dan, juga merupakan wujud penghargaan tuan rumah terhadap tamu undangan yang datang. Tuan rumah menyediakan arak tapi bukan berarti tuan rumah mengajak para tamu undangan untuk mabuk-mabukan tetapi maknanya lebih untuk menghormati dan menghargai tamu.


(2)

Dan, arak yang diminum ini menggunakan sloki berwarna merah, yang mempunyai makna sebagai semangat hidup. Agar di tahun berikutnya, etnis Tionghoa semakin bersemangat menjalani hidup dan menjalin hubungan yang baik antar sesama.


(3)

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Penelitian bahasa nonverbal sebagai makna warna dalam etnis Tionghoa dalam perayaan Imlek di kecamatan Medan Petisah ini menggunakan teori Semiotika dengan pendekatan Charles Sanders Peirce dan Roland Barthes. Teori ini memiliki kelebihan dalam menganalisis makna sehingga menjadi lebih sederhana dan mudah dipahami.

Berdasarkan data yang diperoleh, maka dapat disimpulkan bahwa ditemukannya bentuk bahasa nonverbal sebagai icon, indeks dan simbol pada perayaan Imlek. Dengan adanya bentuk bahasa nonverbal tersebut, maka penulis dapat mengetahui makna apa yang ingin disampaikan oleh si pemakai kepada masyarakat. Selain itu, dalam perayaan Imlek, tidak ada benda yang tidak melambangkan nilai-nilai kehidupan. Benda-benda tersebut dilengkapi dengan warna merah dan keemasan yang menjadi ciri khas perayaan Imlek.

Perayaan Imlek adalah perayaan tahun baru yang bersifat simbolis dan sangat diyakini dapat memberi berkah dan kebahagiaan pada tahun yang mendatang dan atas segala harapan itu, etnis Tionghoa selalu mengucapkan gong xi fa cai ‘bahagia dengan berlimpah rejeki’.

5.2 Saran

Indonesia adalah negara multikultural dan sedang berusaha memperbaiki keadaannya. Beragam budaya dan semua wujud kebudayaan dapat ditemukan di Indonesia. Wujud budaya yang menunjukkan identitas pemiliknya terkadang terusik karena berada di


(4)

tengah-tengah masyarakat mayoritas. Salah satunya masyarakat Tionghoa di Indonesia, khususnya di Medan, yang dulu tidak mempunyai kebebasan untuk menunjukkan identitas budayanya. Maka, bagaimana kita bisa membangun bersama jika masih ada prasangka karena kurang mengenal?

Bahasa nonverbal sebagai makna warna dalam etnis Tionghoa yang penulis kaji hanyalah sebagian kecil dari banyaknya media untuk mengetahui mereka. Sebagai saran normatif dari penelitian ini, marilah kita semua untuk saling mengenal dan menilai dengan positif satu sama lain terlebih lagi terhadap etnis-etnis minoritas karena kita semua sama-sama manusia yang memiliki akal pikiran.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Alwi, Hasan, dkk. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka Aminuddin. 2001. Semantik. Bandung : Sinar Baru Algensindo

Bisnis, Harian Medan. 2008. Dalam budiawan-hutasoit.blogspot.com

Darmaprawira, Sulasmi. 2002. Warna, Teori dan Kreativitas Penggunanya. Bandung: Penerbit ITB

(diakses 28 Juli 2009)

Fatimah. 1993. Semantik I Pengantar ke Arah Ilmu Makna. Bandung : Eresco

Haruyahya. 2005. Warna Illahi. Dalam http//id/buku/cita rasa 003.htm (diakses 29 November 2009).

Hoed, Benny H. 2008. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Prakata oleh Haryatmoko. Depok : Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia

Kridalaksana, Harimurti. 2001. Kamus Linguistik. Jakarta : Gramedia

Liliweri, Alo. 1994. Komunikasi Verbal dan Nonverbal. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti. Matsumoto, David. 2004. Pengantar Psikologi Lintas Budaya. Penerjemah: Sutikno.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Mulyana. 2002. Dalam

Nugroho, Eko. 2008. Pengenalan Teori Warna. Yogyakarta : CV. Andi Offset

Santosa, Puji. 1993. Ancangan Semiotika dan Pengkajian Susastra. Bandung: Angkasa Sartini, Ni Wayan. 2007. Tesis. Konsep dan Nilai Kehidupan Masyarakat Tionghoa. Fakultas

Sastra, Universitas AirLangga. Surabaya

Sidabutar, Kartika. 2007. Skripsi. Konsep Warna Pada Bahasa Batak Toba. Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara. Medan

Sihombing, Saul M. 2007. Skripsi. Wacana Iklan Kematian pada Harian Analisa sebagai


(6)

Sobur, Alex. 2004. Semiotika Komunikasi. Bandung : PT Remaja Rosdakarya

Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta : Duta Wacana University Press

Situs:

http:// wikipedia.ac.id (diakses pada 27 Oktober 2009)

Narasumber:

1. Tung Hwang Seng Usia: 45 tahun

Pekerjaan: Wiraswasta 2. Gao Tjit Nio

Usia: 38 tahun

Pekerjaan: Wiraswasta 3. Pheiny Tse

Usia: 31 tahun

Pekerjaan: Ibu Rumah Tangga 4. A Lik

Usia: 34 tahun

Pekerjaan: Pengurus Vihara 5. Ichwan

Usia: 28 tahun Pekerjaan: Pedagang