Etnis Tionghoa Perayaan Imlek

dan mendefinisikannya dengan tepat. Dalam penelitian ini, defenisi yang digunakan sebagai acuan adalah menurut Haruyahya 2005.

2.1.4 Etnis Tionghoa

Etnis Tionghoa mulai datang ke Sumatera Utara sekitar abad ke-16 sampai kira-kira pertengahan abad ke-19. Para imigran dari Tiongkok ini berasal dari beberapa suku bangsa dan dari daerah yang berbeda. Umumnya mereka berasal dari Propinsi Fukien bagian selatan dan Kwantung. Mayarakat Tionghoa di Medan terdiri atas berbagai kelompok suku bangsa dan satu hal yang dapat membedakan kesukuan mereka adalah bahasa pergaulan yang mereka gunakan. Sedikitnya, ada empat suku bangsa Tionghoa yang terdapat di Medan, diantaranya adalah suku Hokkian, Hakka, Khek, dan Kwan Fu. Dari tahun ke tahun jumlah orang Tionghoa di Medan terus bertambah. Menurut Harian Medan Bisnis, hingga saat ini, sesuai dengan data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik BPS Sumatera Utara, jumlah masyarakat Tionghoa di Medan sekitar 202.839 jiwa. Kehidupan masyarakat Tionghoa mulai mewarnai lembaran ritual di Indonesia. Masyarakat Tionghoa memiliki berbagai adat istiadat. Mereka mengenal bermacam-macam perayaan atau festival tradisional. Adat istiadat ini merupakan suatu bentuk penggambaran kebiasaan sehari-hari, tradisi, dan mitos yang berkembang di masyarakat. Kesenian seperti Barongsai bisa disaksikan pada saat perayaan tahun baru Imlek. Perayaan tahun baru Imlek adalah dunia simbolis. Cassirer dalam Sartini, 2006 mengatakan bahwa dunia simbolis manusia dapat terungkap melalui bahasa, mitos, seni dan religi atau agama. Imlek beserta wacana ritualnya dikaji dengan penelusuran melalui interpretasi masyarakatnya terhadap simbol-simbol warna yang digunakannya. Pada awalnya bermacam-macam perayaan ini mempunyai sejarahnya sendiri-sendiri, kemudian hal ini mengalami perubahan karena pengaruh dari berbagai agama di sekeliling masyarakat Tionghoa. Secara umum, agama dan kepercayaan masyarakat Tionghoa dapat Universitas Sumatera Utara dikelompokkan 1 Konghucu, 2 Taoisme dan Budha, 3 Kristen Protestan, 4 Kristen Katolik, 5 Islam, 6 ajaran Tridharma.

2.1.5 Perayaan Imlek

Perayaan tahun baru Imlek adalah tradisi yang sudah diwariskan ratusan tahun yang lalu. Perayaan ini dimulai pada tanggal 30 bulan ke-12 dan berakhir pada tanggal 15 bulan pertama. Ada beberapa tradisi yang sudah turun-temurun dilakukan oleh kalangan etnis Tionghoa dalam merayakan Imlek. Di antaranya, hidangan Imlek, pakaian baru, membakar petasan, saling mengunjungi dan memberi hormat dan memberi angpao. Pada perayaan Imlek, masyarakat Tionghoa selalu menggantungkan lampionlentera merah. Dalam perayaan ini, anak-anak atau orang yang lebih muda memberi hormat kepada orang tua dengan cara mengepalkan kedua tangan sambil digoyang-goyang ke depan dan belakang lalu mengucapkan Gong Xi Fa Cai. Setelah itu orang tua memberikan angpao. Angpao adalah amplop berwarna merah yang berisi uang. Lalu, bersama-sama membakar petasan atau kembang api yang berwarna merah dan keemasan. Ini merupakan simbol kegembiraan karena rejekinya ”meledak”. Ada pula yang memanggil barongsai, sebagai tanda untuk mengundang rejeki dan menolak bala. Barongsai merupakan seekor naga yang berwarna merah dan keemasan yang dimainkan dua sampai delapan pemain. Perayaan Imlek ini adalah penggambaran harapan-harapan masyarakat Tionghoa seperti keselamatan, kemakmuran dan kesejahteraan. Selain itu, perayaan Imlek merupakan sebuah introspeksi diri terhadap apa yang telah dilakukan pada tahun-tahun yang lalu. Perayaan Imlek juga mempunyai makna spiritual yang perlu digali dari pengalaman kehidupan dan dunia makna yang berkembang di antara etnis Tionghoa. Dalam perjalanan Universitas Sumatera Utara waktu, Imlek juga dirayakan oleh masyarakat etnis Tionghoa yang tersebar di seluru dunia. Adapun makna spiritual yang terkandung di dalam perayaan Imlek, adalah: a. Kasih sebagai faktor pemersatu kehidupan. Imlek memperlihatkan pengalaman perjumpaan etnis Tionghoa dengan kenyataan kehidupan yang ada di sekitarnya. Bagi masyarakat Tionghoa, kenyataan di dunia ini disatukan, disemangati, ditumbuhkan oleh kasih. Karena itu, mereka menemukan dan menggunakan berbagai macam barang, tanaman, atau binatang yang ada di lingkungan mereka untuk menunjukkan pengalaman kasih yang menghidupkan. Mereka mengungkapkan harapan kehidupan yang lebih berkualitas dengan menggunakan obyek-obyek tersebut. b. Perayaan pengalaman kasih yang membahagiakan dan terbagikan kepada sesama. Bagi masyarakat Tionghoa, kasih yang membahagiakan diterima dari kemurahan alam. Oleh sebab itu, masyarakat Tionghoa harus belajar bermurah hati kepada sesama. Kasih yang membahagiakan itu dinikmati dalam kebersamaan dengan orang lain, dalam semangat solider kepada sesama, terutama yang lemah, miskin, dan papah. Dalam perayaan Imlek, dibagikan kepada anak-anak, orang-orang miskin, sederhana, dan papah, hal-hal yang dapat membahagiakan mereka: uang, makanan, hadiah, atau berbagai bentuk bantuan yang lain. Dengan berbagi kebahagiaan, kasih yang berlimpah diharapkan dapat semakin membuat kehidupan memberikan kebahagiaan lebih besar lagi. c. Pengalaman kasih dimulai dari keluarga. Inti kasih tidak terletak dalam banyaknya kata-kata, tetapi dalam tindakan untuk saling memberikan diri kepada orang yang dikasihi. Kemampuan mengasihi disadari oleh masyarakat Tionghoa, berawal di dalam keluarga. Pusat perayaan Imlek terletak pada kesediaan seluruh anggota keluarga untuk berkumpul bersama, meninggalkan kepentingan diri, dan berbagi pengalaman kasih dalam keluarga. Puncak perayaan diungkapkan dengan kesediaan makan bersama, saling menghormati, bercerita pengalaman hidup yang Universitas Sumatera Utara membahagiakan, mengampuni, berbagi rezeki, menyampaikan salam berupa doa atau harapan untuk hidup lebih baik lagi, dan sebagainya. d. Keempat, Perayaan kebebasan yang inklusif. Kesederhanaan alam pikiran tidak banyak memberi tempat pada rumitnya aturan yang harus ditaati. Pada dasarnya Imlek tidak memiliki aturan baku. Seandainya ada, peraturan itu amat umum, tidak menyertakan hukuman bagi pelanggarnya. Dengan demikian, dunia tidak mengenal adanya model tunggal perayaan Imlek. Setiap pribadi, keluarga, atau kelompok masyarakat apa pun, diizinkan merayakan Imlek dengan segala kemampuan, keterbatasan, latar belakang, simbol, dan sistem pemaknaan masing-masing. Kebebasan seperti ini menjadikan Imlek perayaan yang inklusif karena tidak mengeliminasi siapa pun untuk tidak diizinkan merayakannya. Di Indonesia, selama tahun 1965-1998, perayaan tahun baru Imlek dilarang dirayakan di depan umum. Dengan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967, rezim Orde Baru di bawah pemerintahan Presiden Soeharto, melarang segala hal yang berbau Tionghoa, diantaranya Imlek. Masyarakat Tionghoa di Indonesia kembali mendapatkan kebebasan merayakan tahun baru Imlek pada tahun 2000 ketika Presiden Abdurrahman Wahid mencabut Inpres Nomor 141967. Kemudian Presiden Megawati Soekarno Putri menindaklanjutinya dengan mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 192002 tertanggal 9 April 2002 yang meresmikan Imlek sebagai hari libur nasional. Mulai 2003, Imlek resmi dinyatakan sebagai salah satu hari libur nasional. Universitas Sumatera Utara

2.2 Landasan Teori