Teori Tanggung Jawab Pengangkut dalam Hukum Pengangkutan
1929 adalah apabila kejadian dalam pesawat udara yang menyebabkan kerugian tersebut harus merupakan kejadian yang luar biasa unusual atau tidak dapat
diperkirakan sebelumnya unexpected.
36
Sejak dunia penerbangan mulai berkembang, terlebih setelah penerbangan sipil berkembang melintasi batas-batas negara, para ahli hukum di berbagai negara telah
menyadari akan adanya berbagai masalah yang kompleks mengenai tanggung jawab pengangkut.
37
Seiring dengan hal tersebut, para ahli hukum memandang bahwa akan terjadi perselisihan hukum conflict of laws yang tidak mungkin dapat dihindari.
38
Lahirnya Konvensi Warsawa pada tahun 1929 dimaksudkan untuk menghindari terjadinya berbagai permasalahan tersebut dengan mengadakan suatu rezim hukum
yang seragam terutama tentang tanggung jawab pengangkut udara. Konvensi Warsawa atau dengan nama resmi Convention for the Unification of Certain Rules
Relating to International Carriage by Air ditandatangani di Warsawa pada tanggal 12 Oktober 1929 dan mulai berlaku sejak tanggal 13 Februari 1933.
39
Konvensi ini merupakan perjanjian pertama di bidang Hukum Udara Perdata dan merupakan salah
satu perjanjian tertua dan paling berhasil dalam menyeragamkan suatu bidang tertentu
36
Otto Kahn Freund, 1965, The Law of Carriage by Inland Transport 4th edition, Stevens, London, h. 718.
37
E. Saefullah Wiradipradja, op.cit, h. 54.
38
Ibid.
39
Ibid.
dalam hukum perdata. Hingga saat ini Konvensi Warsawa telah diratifikasi oleh kurang lebih 130 negara.
40
Namun kenyataan ini tidak berlangsung lama, pasca Perang Dunia II, semakin banyak negara yang menginginkan Konvensi Warsawa untuk diubah demi memenuhi
perkembangan jaman.
41
Oleh karena itu, dimulai dari tahun 1955 konvensi ini kemudian telah diubah beberapa kali. Perubahan pertama diadakan dengan
munculnya Protocol The Hague 1955, kedua melalui Protocol Guatemala City 1971, sampai 4 empat Protocol Montreal 1975. Di samping itu telah dibuat pula suatu
konvensi tambahan yang ditandatangani di Guadalajara pada tahun 1961. Tujuan utama dari protokol-protokol tersebut adalah mengubah batas-batas
maksimum tanggung jawab pengangkut dan prinsip tanggung jawab pengangkut udara karena dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan jaman.
42
Sedangkan perubahan-perubahan lain dilakukan dalam rangka penyesuaian dengan tujuan perubahan tersebut.
43
Dalam hal pengangkutan penumpang, Pasal17 Konvensi Warsawa 1929 menyatakan sebagai berikut:
“The carrier shall be liable for damage sustained in the event of death, wounding or any other bodily injury by passenger if the accident which caused
40
Ibid.
41
Ibid, h. 55
42
Ibid.
43
Ibid.
the damage so sustained took place on board the aircraft or in the course of any of the operations of embarking or disembarking.
” Dari ketentuan pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa ketentuan yang harus
dipenuhi pengangkut untuk dapat dimintakan pertanggungjawaban harus memenuhi beberapa syarat yaitu pertama kerugian harus disebabkan oleh suatu kecelakaan
accident, kedua kecelakaan tersebut harus terjadi dalam pesawat udara ...on board the aircraft atau kecelakaan tersebut harus terjadi pada waktu embarkasi atau
disembarkasi in the course of any of the operations of embarking or disembarking. Dalam praktek, terdapat kesulitan sehubungan dengan adanya persyaratan tersebut.
Kesulitan tersebut dikarenakan dalam Konvensi Warsawa 1929 tidak ada definisi tentang syarat-syarat di atas sehingga perlu ditafsirkan lebih lanjut melalui pendapat
para sarjana atau dari putusan pengadilan.
44
Beberapa masalah kontroversial dalam praktek hukum angkutan udara internasional setelah munculnya Konvensi Warsawa 1929 yaitu:
1. Kapan pengangkut harus bertanggung jawab.
Persoalan ini berhubungan dalam hal menentukan kapan pengangkut udara dapat diminta pertanggungjawabannya bilamana terjadi suatu kerugian
atau kecelakaan yang diderita oleh pengguna jasa angkutan.Dalam prakteknya terdapat banyak kesulitan dalam menentukan kapan pengangkut udara harus
diwajibkan untuk bertanggung jawab. Hal ini disebabkan karena dalam
44
Ibid, h. 57.
Konvensi Warsawa 1929 tidak dirumuskan secara jelas kapan dan dalam hal apa pengangkut udara bertanggung jawab baik dalam hal pengangkutan
penumpang bagasi tercatat dan kargo atau dalam hal kelambatan. Oleh karena itu tidak adanya ketentuan yang jelas dalam Konvensi, alhasil dalam praktek
penafsirannya diserahkan pada pengadilan yang menangani perkara tersebut atau pada pendapat para ahli doktrin.
45
2. Jenis kerugian yang dapat diberikan santunan oleh pengangkut.
Berdasarkan Pasal 17 Konvensi Warsawa 1929, santunan dapat diberikan atas kerugian yang diderita penumpang apabila penumpang
meninggal dunia, mengalami luka wounding atau mengalami penderitaan fisik lainnya bila peristiwa tersebut terjadi di dalam pesawat udara pada saat
embarkasi atau disembarkasi.
46
3. Tanggung jawab pengangkut dalam hal kelambatan
Konvensi Warsawa
1929 menentukan
bahwa pengangkutan
bertanggung jawab atas kerugian yang menimpa penumpang, bagasi atau kargo akbat adanya kelambatan selama dalam pengangkutan udara. Adanya
ketentuan tentang kemungkinan para pengguna jasa angkutan memperoleh ganti rugi yang diakibatkan oleh keterlambatan pihak pengangkut didasari
oleh pemikiran bahwa kecepatan merupakan unsur utama dalam
45
Ibid, h. 55.
46
Ibid h. 84.
pengangkutan udara.
47
Lebih lanjut menurut E.M. Lopez menyatakan bahwa faktor waktu merupakan faktor yang terpenting sebagai bahan pertimbangan
bagi para pengguna jasa angkutan untuk memilih angkutan udara dibanding dengan alat angkutan tradisional lainnya seperti angkutan darat atau angkutan
laut.
48
4. Batas-batas tanggung jawab pengangkut udara
Konversi Warsawa 1929 memberikan batasan mengenai tanggung jawab pengangkut hingga jumlah maksimum tertentu. Hanya saja dalam hal-
hal yang khusus, batas tersebut dapat dilampaui. Namun sebaliknya dalam keadaan apapun jumlah yang telah ditetapkan tidak dapat dikurangi.
49
5. Pembebasan tanggung jawab pengangkut udara
Seperti yang telah diketahui, Konversi Warsawa 1929 menganut prinsip tanggung jawab berdasarkan atas praduga rebuttable presumption of
liability principle yang mana beban pembuktian terhadap suatu perkara beralih dari pihak penggugat ke pihak tergugat. Dengan demikian,
kemungkinan atas terjadinya pembebasan tanggung jawab pengangkut atas kerugian yang diderita penumpang atau barang dalam suatu peristiwa
kecelakaan bisa saja terjadi sepanjang pengangkut dapat membuktikan bahwa pihaknya tidak bersalah di hadapan persidangan. Pembebasan kewajiban
47
Ibid, h. 105
48
E. M. Lopez, 1976, Air Carrier’s Liability in Cases of Delay, h. 109
49
E. Saefullah Wiradipradja, op.cit, h. 115.
pengangkut untuk bertanggung jawab ini dapat diterapkan dalam hal pengangkutan penumpang maupun pengangkutan kargo atau bagasi.
50
Perbuatan hukum rechtshandeling atau kejadian hukum rechtsfeit merupakan perbuatan dan tingkah laku subyek hukum yang membawa akibat hukum,
karena hukum mempunyai kekuatan mengikat bagi subyek hukum.
51
Menurut Van Apeldoorn, peristiwa hukum adalah peristiwa yang berdasarkan hukum menimbulkan
atau menghapuskan hak.
52
Hubungan hukum rechtsbetrekkingen merupakan hubungan antara dua atau lebih subyek hukum. Hubungan ini bisa berupa ikatan antara individu dengan
individu lainnya, antara individu dengan masyarakat atau antara masyarakat yang satu dengan masyarakat lainnya yang pada akhirnya akan menimbulkan suatu hak dan
kewajiban.
53