Teori Pertanggungjawaban Negara Landasan Teoritis

Dalam hukum internasional publik, sesuatu dapat dimintakan pertanggungjawaban apabila sesuatu itu berkedudukan sebagai subyek hukum internasional. Secara teoritis, menurut hukum internasional yang dapat dikatakan sebagai subyek hukum internasional hanyalah negara saja. 27 Boer Mauna menyatakan bahwa negara merupakan subjek utama hukum internasional. Ia juga menambahkan bahwa hukum internasional adalah hukum yang mengatur hak-hak dan kewajiban negara. 28 Berbeda halnya dengan Friedmann, menurutnya beberapa tahun silam telah terjadi perubahan struktur dan perkembangan dimensi-dimensi baru hukum internasional. Perubahan serta perkembangan tersebut adalah sebagai akibat dari anggota masyarakat bangsa-bangsa bekerjasama untuk mencapai tujuan-tujuan kesejahteraan internasional. 29 Walaupun mengalami perubahan dan perkembangan, hingga saat ini, negara- negara tetaplah merupakan pelaku utama dalam hukum internasional. Artinya hingga saat ini negara masih tetap menikmati kepribadian hukum internasional international legal personality yang penuh. 30 Oleh karena itu, negara-negara dapat menciptakan 27 Mochtar Kusumaatmadja, 1990, Pengantar Hukum Intenasional, Bina Cipta, Jakarta, h.68. 28 Boer Mauna, 2011, op.cit, h. 17. 29 Friedmann, 1964, The Changing Structure of International Law, Columbia University Press and Stevens Sons Ltd, h. 67- 68. Dikutip dari I Dewa Gede Palguna, 2008, “Tanggung Jawab Negara dan Individu”, disampaikan dalam acara Penataran Hukum Humaniter Internasional dan Hak Asasi Manusia bagi Perwira Kostrad, bertempat di Markas Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat KOSTRAD, h. 1, diakses pada tanggal 17 Nopember 2014, 08.30 PM. 30 Jeffrey L. Dunoff, et.al., 2006, International Law: Norms, Actors, Process, A Problem-oriented Approach, Aspen Publishers, New York, h. 111. dan menjadi subyek langsung dari kewajiban-kewajiban internasional. 31 Namun seiring dengan perkembangan dewasa ini,yang telah diterima sebagai subjek hukum internasional selain negara adalah Tahta Suci Vatikan, Palang Merah Internasional, organisasi internasional, orang perorangan individu, dan pihak dalam sengketa belligerent. 32 Secara umum dikatakan, negara bertanggung jawab dalam hukum internasional untuk perbuatan atau tindakan yang bertentangan dengan kewajiban internasional negara itu. International Law Commission ILC telah membahas persoalan tanggung jawab negara ini sejak tahun 1956 namun baru pada tahun 2001 berhasil merumuskan Rancangan Pasal-pasal tentang Tanggung Jawab Negara karena Perbuatan yang Dipersalahkan menurut Hukum Internasional Draft Articles on Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts yang kemudian diedarkan oleh Majelis Umum PBB melalui Resolusi ARES5683. Hukum internasional tentang tanggung jawab negara adalah hukum internasional yang bersumber pada hukum kebiasaan internasional. Hukum internasional tentang tanggung jawab negara ini awalnyaberkembang melalui praktik negara-negara dan putusan-putusan pengadilan internasional. ILC menerima seluruh Artikel secara aklamasi. Pengadilan-pengadilan internasional bahkan telah sejak lama 31 I Dewa Gede Palguna, 2008, “Tanggung Jawab Negara dan Individu”, disampaikan dalam acara Penataran Hukum Humaniter Internasional dan Hak Asasi Manusia bagi Perwira Kostrad, bertempat di Markas Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat KOSTRAD, h. 1, diakses pada tanggal 17 Nopember 2014, 08.30 PM. 32 Mochtar Kusumaatmadja, op.cit, h. 89-105. mengutip dan menyetujui rancangan Artikel yang dibuat oleh ILC. Sehingga walaupun rancangan Artikel tidak menjelma sebagai sebuah konvensi, namun dapat dipastikan bahwa rancangan tersebut akan tetap berpengaruh besar pada pengadilan- pengadilan internasional. 33 Oleh karena itu, sesuai dengan ketentuan Pasal 38 Ayat 1 Statuta Mahkamah Internasional The Statute of International Court of Justice, praktik demikian akan semakin memperkuat kedudukan hukum kebiasaan internasional yang mengatur tentang pertanggungjawaban negara sebagai sumber primer hukum internasional. 34

1.7.3 Teori Tanggung Jawab Pengangkut dalam Hukum Pengangkutan

Udara Internasional Teori ini digunakan sebagai landasan teori karena langsung berkenaan dengan masalah yang hendak dianalisis yaitu apakah pihak Malaysia Airlines dapat dimintakan pertanggungjawaban untuk membayar kompensasi baik dalam bentuk materiil maupun imateriil, atas kerugian yang diderita para penumpang meskipun kerugian itu timbul bukan karena kecelakaan biasa melainkan karena penembakan. Dalam pengangkutan udara internasional, suatu accident merupakan syarat pertama untuk dapat diberlakukannya ketentuan-ketentuan konvensi. 35 Suatu kejadian agar dapat dikualifikasikan sebagai accident menurut Pasal 17 Konvensi Warsawa 33 I Dewa Gede Palguna, op.cit, h. 3. 34 Ibid. 35 Ibid. 1929 adalah apabila kejadian dalam pesawat udara yang menyebabkan kerugian tersebut harus merupakan kejadian yang luar biasa unusual atau tidak dapat diperkirakan sebelumnya unexpected. 36 Sejak dunia penerbangan mulai berkembang, terlebih setelah penerbangan sipil berkembang melintasi batas-batas negara, para ahli hukum di berbagai negara telah menyadari akan adanya berbagai masalah yang kompleks mengenai tanggung jawab pengangkut. 37 Seiring dengan hal tersebut, para ahli hukum memandang bahwa akan terjadi perselisihan hukum conflict of laws yang tidak mungkin dapat dihindari. 38 Lahirnya Konvensi Warsawa pada tahun 1929 dimaksudkan untuk menghindari terjadinya berbagai permasalahan tersebut dengan mengadakan suatu rezim hukum yang seragam terutama tentang tanggung jawab pengangkut udara. Konvensi Warsawa atau dengan nama resmi Convention for the Unification of Certain Rules Relating to International Carriage by Air ditandatangani di Warsawa pada tanggal 12 Oktober 1929 dan mulai berlaku sejak tanggal 13 Februari 1933. 39 Konvensi ini merupakan perjanjian pertama di bidang Hukum Udara Perdata dan merupakan salah satu perjanjian tertua dan paling berhasil dalam menyeragamkan suatu bidang tertentu 36 Otto Kahn Freund, 1965, The Law of Carriage by Inland Transport 4th edition, Stevens, London, h. 718. 37 E. Saefullah Wiradipradja, op.cit, h. 54. 38 Ibid. 39 Ibid.