Hakikat Novel Tema Tabel 1 Aktivitas Kegiatan Pembelajaran Scientific. Kegiatan

2.2.2 Hakikat Novel

Novel seperti halnya bentuk prosa cerita yang lain, sering memiliki struktur yang kompleks dan biasanya dibangun dari unsur-unsur seperti latar, perwatakan, cerita, teknik cerita, bahasa, tema Rahmanto, 1988:70. Novel merupakan bentuk karya sastra yang sekaligus disebut fiksi, yang berarti sebuah karya prosa fiksi yang panjangnya cukupan, tidak terlalu panjang, namun juga tidak terlalu pendek. Oleh karena itu, novel dapat mengemukakan sesuatu secara bebas, menyajikan sesuatu secara lebih banyak, lebih rinci, lebih detail, dan lebih banyak melibatkan berbagai permasalahan yang lebih kompleks Nurgiyantoro, 2005:11. Novel adalah suatu bentuk karya sastra yang berbentuk prosa fiksi yang banyak mengungkapkan masalah-masalah kehidupan. Novel adalah suatu cerita fiksi yang melukiskan para tokoh gerak serta adegan kehidupan, representatif dalam suatu alur Tarigan, 2012:16. Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur intrinsik sebuah novel adalah unsur-unsur yang secara langsung turut serta membangun cerita. Unsur yang dimaksud untuk menyebut sebagian saja, misalnya peristiwa, cerita, plot, penokohan, tema, latar, sudut pandang penceritaan, bahasa atau gaya bahasa dan lain-lain Nurgiyantoro, 2005:23 Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra itu, tetapi tidak secara langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra. Atau, secara lebih khusus ia dapat dikatakan sebagai unsur-unsur yang mempengaruhi bangun cerita sebuah karya sastra, namun sendiri tidak ikut menjadi bagian di dalamnya Nurgiyantoro, 2005: 23-24. Unsur ekstrinsik meliputi psikologis dan kejiwaan, historis atau sejarah, dan unsur-unsur lain di luar teks atau naskah sastra.

2.2.3 Tema

Puncak dalam mempelajari novel sebenarnya menemukan kesimpulan dari seluruh analisis fakta-fakta dalam cerita yang telah dicerna. Kesimpulan itulah yang disebut sebagai tema Rahmanto, 1988: 75. Tema dalam sebuah novel hendaknya tidak langsung diberikan oleh guru. Mereka harus dibiarkan agar tumbuh kesadarannya, sebagai hasil pengalaman-pengalaman mereka sendiri dalam menggauli novel-novel tersebut lewat diskusi-diskusi yang terarah dan cermat. diskusi-diskusi harus dilaksanakan secara berkesinambungan berawal dari hal-hal yang mudah dan berlanjut mengarah ke hal-hal yang cukup sulit. Para sisiwa hendaknya telah memiliki konsep sederhana yang berhubungan dengan unsur yang membangun sebuah novel seperti perwatakan, cerita, sebab akibat, sebelum mendalami ke tingkat abstraksi yang lebih lanjut. Tema dapat digolongkan ke dalam beberapa kategori, yaitu penggolongan dikhotomis yang bersifat tradisional dan non tradisional, penggolangan dilihat dari pengalaman jiwa menurut Shipley. Tema tradisional dimaksudkan sebagai tema yang menunjuk pada tema yang hanya “itu-itu”saja, dalam arti, ia telah lama dipergunakan dan dapat ditemukan dalam berbagai cerita, termasuk cerita lama. Pernyataan-pernyataan tema yang dapat dipandang sebagai bersifat tradisional itu, misalnya: kebenaran dan keadilan mengalahkan kejahatan, tindak kejahatan walau ditutup-tutupi akan terbongkar juga, tindak kebenaran atau kejahatan masing- masing akan memetik hasilnya Jawa: becik ketitik ala ketara, cinta yang sejati menuntut pengorbanan, kawan sejati adalah kawan di masa duka, setelah menderita orang baru mengingat Tuhan, atau seperti pepatah-pantun berakit- rakit ke hulu, berenang-renang ketepian. Pada umumnya tema-tema tradisional merupakan tema yang digemari orang dengan status sosial apapun, di manapun dan kapan pun. Hal itu disebabkan pada dasarnya setiap orang cinta akan kebenaran dan membenci sesuatu yang sebaliknya Nurgiyantoro, 1995: 77-78. Selain hal-hal yang bersifat tradisional, tema sebuah karya mungkin saja mengangkat sesuatu yang tidak lazim, katakan sesuatu yang bersifat nontradisional. Karena sifatnya yang nontradisional, tema yang demikian, mungkin tidak sesuai dengan harapan pembaca, bersifat melawan arus, mengejutkan bahkan boleh jadi mengesalkan, megecewakan atau berbagai reaksi efektif yang lain Nurgiyantoro, 1995: 79. Selain itu, Shipley dalam Nurgiyantoro 1995:80 mengartikan tema sebagai subjek wacana, topik umum, atau masalah utama yang dituangkan ke dalam cerita. Shipley membedakan tema-tema karya satra ke dalam lima tingkatan yaitu: a. Tema Tingkat Fisik Tema karya sastra pada tingkat ini lebih banyak menyaran dan atau ditunjukkan oleh banyaknya aktivitas fisik daripada kejiwaan. Ia lebih menekankan mobilitas fisik daripada konflik kejiwaan tokoh cerita yang bersangkutan. b. Tema Tingkat Organik Tema karya sastra tingkat ini lebih banyak menyangkut dan atau mempersoalkan masalah seksualitas—suatu aktivitas yang hanya dapat dilakukan oleh makhluk hidup. Berbagai persoalan kehidupan seksual manusia mendapat penekanan dalam novel dengan tema tingkat ini, khususnya kehidupan seksual yang bersifat menyimpang, misalnya berupa penyelewengan dan pengkhianatan suami-istri, atau skandal-skandal seksual yang lain. c. Tema Tingkat Sosial Tema karya sastra tingkat ini, manusia sebagai makhluk sosial. Kehidupan bermasyarakat, yang merupakan tempat aksi-interaksinya manusia dengan sesama dan dengan lingkungan alam, mengandung banyak permasalahan, konflik dan lain-lain yang menjadi objek pencarian tema. Masalah- masalah sosial itu antara lain berupa masalah ekonomi, politik, pendidikan, kebudayaan, perjuangan, cinta kasih, propaganda, hubungan atasan-bawahan, dan berbagai masalah dan hubungan sosial lainnya yang biasanya muncul dalam karya yang berisi kritik sosial. d. Tema Tingkat Egoik Tema karya sastra tingkat ini, manusia sebagai individu. Di samping sebagai makhluk sosial, manusia sekaligus juga sebagai makhluk individu yang senantiasa “menuntut” pengakuan atas hak individualitasnya. Dalam PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI kedudukannya sebagai makhluk individu, manusia pun mempunyai banyak permasalahan dan konflik, misalnya yang berwujud reaksi manusia terhadap masalah-masalah sosial yang dihadapinya. Masalah individualitas itu antara lain berupa masalah egoisitas, martabat, harga diri atau sifat dan sikap tertentu manusia lainnya, yang pada umumnya lebih bersifat batin dan dirasakan oleh yang bersangkutan. e. Tema tingkat divine Tema karya sastra tingkat ini, manusia sebagai makhluk tingkat tinggi, yang belum tentu setiap manusia mengalami dan atau mencapainya. Masalah yang menonjol dalam tema tingkat ini adalah masalah hubungan manusia dengan Sang Pencipta, masalah religiositas, atau berbagai masalah yang bersifat filosofis lainnya seperti pandangan hidup, visi dan keyakinan. Dalam usaha menemukan dan menafsirkan tema sebuah novel, secara lebih khusus dan rinci, Stanton 1965: 22-23 dalam Nurgiyantoro, 1995: 86-87 ada sejumlah kriteria yang dapat diikuti seperti ditunjukkan sebagai berikut. Pertama, penafsiran tema sebuah novel hendaknya mempertimbangkan tiap detil cerita yang menonjol. Kedua, penafsiran tema sebuah novel hendaknya tidak bersifat bertentangan dengan tiap detil cerita. Ketiga, penafsiran tema sebuah novel hendaknya tidak mendasarkan diri pada bukti-bukti yang tidak dinyatakan baik secara langsung maupun tak langsung dalam novel yang bersangkutan. Keempat, PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI penafsiran tema sebuah novel haruslah mendasarkan diri pada bukti-bukti yang secara langsung ada dan atau yang disarankan.

2.2.4 Amanat