5
Teknik Pengumpulan Data
Dalam penulisan Tugas Akhir ini penulis menggunakan tiga teknik pengumpulan data. Pertama, observasipengamatan partisipatif yang berdasarkan
dari pengalaman langsung dan fakta di lapangan, dimana penulis secara aktif terlibat langsung kegiatan yang dianggap perlu untuk diamati, diantaranya
mengikuti ibadah dan Pendalaman Alkitab PA yang didalamnya ada doktrin- doktrin
agama yang
akan disampaikan
dalam khotbah.
Kedua, interviewwawancara yang bertujuan untuk mendapat keterangan dari masalah
yang diteliti dengan percakapan tatap muka, guna mendapat informasi yang lebih akurat dan terperinci untuk memperkuat data-data tentang objek yang diteliti,
adapun bentuk wawancara yang digunakan adalah wawancara yang terpimpin yaitu wawancara yang terarah dalam mengumpulkan data-data yang relevan.
15
Ketiga, dokumenter yang merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu, baik itu berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang.
16
Dalam hal ini Gereja JAGI memiliki beberapa koleksi buku-buku yang dijadikan sebagai bacaan bagi publik untuk memperkenalkan ajaran Tauhid sendiri.
1. 4. Sistematika Penulisan
Bagian pertama, pendahuluan yang didalamnya hendak diungkapkan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian, teknik
pengumpulan data dan sistematika penulisan yang digunakan. Bagian kedua, berisi pemahaman Tuhan menurut ajaran Trinitas dalam kekristenan yang
meliputi pemahaman Tuhan, konsep pribadi yang tritunggal dan pokok-pokok ajaran Trinitas. Bagian ketiga, berisi tentang pemahaman-pemahaman dalam
ajaran Tauhid meliputi Allah, Yesus dan Roh Kudus. Bagian keempat, merupakan Kajian Kritis Teologis terhadap Ajaran Tauhid. Bagian kelima, adalah penutup
yang berisi kesimpulan yang dilakukan terhadap Kajian Kritis Teologis, serta berisi saran dan harapan penulis.
15
Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat,Jakarta:Gramedia, 1983, 20.
16
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan RD, Bandung : Alfabeta, 2011, 240.
6
2. Pemahaman Tuhan menurut ajaran Kekristenan
2. 1. Sejarah pemahaman Tuhan dalam Kekristenan
Sejarah Kekristenan dimulai perkembangannya dari ajaran Yahudi, sehingga pemahaman tentang Tuhan yang berkembang dalam Kekristenan di
adopsi sebagian besar dari ajaran agama Yahudi. Hal ini dibuktikan dengan adanya teks-teks kitab Yahudi yang dimuat dalam Alkitab sehingga dari
pemahaman iman Yudaisme yang seperti ini, Bernhard Lohse kemudian berpendapat bahwa Kekristenan mewarisi monoteisme Yahudi.
17
Dengan demikian monoteisme inilah yang masih sama dalam ajaran agama Yahudi
maupun Kristen dengan versi yang berbeda. Kemunculan Yesus adalah sebuah fenomena yang membawa sebuah
perubahan yang sangat besar terhadap orang-orang Yahudi. Akan tetapi berhasil diredam oleh pemimpin religius-politik bangsa Yahudi dengan menyalibkan
Yesus di kayu salib. Setelah Yesus hilang dari panggung sejarah, mereka yang dahulu menjadi pengikut Yesus mulai memikirkan, mengkonseptualkan dan
membahasakan Yesus dari pengalaman iman mereka dengan Yesus,
18
dalam bentuk karangan-karangan Kristen.
Seiring berjalannya waktu kekristenan mulai berkembang pesat, dan ada begitu banyak tulisan-tulisan yang menuliskan tentang ajaran-ajaran tentang
Yesus dan surat-surat dari rasul-rasul Yesus, yang menyebabkan banyak pertikaian dalam pemahaman iman khususnya dari dua mazhab yaitu, mazhab
Aleksandria dengan mazhab Anthiokia. Hal tersebut mengakibatkan sekitar tahun 325 Kaisar Konstantinus yang memprihatinkan kesatuan negara mengumpulkan
semua uskup untuk mengadakan suatu sinode menyeluruh di kota Nicea konsili Nicea untuk mencoba secara konseptual dan linguistik mengungkapkan secara
tegas iman kepercayaan tentang Yesus Kristus.
19
Konsili Nicea ini menghasilkan suatu penegasan dogmatis yang meringkaskan dan memadatkan dalam suatu syahadat, iman percaya yang bersifat
trinitaris. Terdiri atas tiga butir yakni: yang pertama mengenai Allah Bapa, yang
17
Bernhard Lohse, Pengantar Sejarah Dogma Kristen Jakarta: Gunung Mulia, 1999, 47.
18
Cletus Groenen, OFM, Sejarah Dogma Kristologi Yogyakarta: Kanisius, 2009, 17.
19
Cletus Groenen, Sejarah Dogma Kristologi, 129-130.
7 kedua mengenai Tuhan Yesus Kristus dan yang ketiga mengenai Roh Kudus.
20
Pasca konsili Nicea, pertikaian masih terjadi antara Athanasius dengan pengikut- pengikut Arius tentang rumusan Anak yang menyerupai Bapa dan tidak
menyerupai Bapa, yang pada akhirnya dalam konsili Konstantinopel pertama tahun 381 memutuskan bahwa Anak itu homo-usios dengan Bapa. Selain itu
konsili Konstantinopel pertama juga memutuskan tentang Roh Kudus juga sezat dengan konsep Bapa, menurut ajaran Athanasius.
21
Pasca konsili Konstantinopel pertama, pertikaian masih terjadi antara Cyrillus dengan Nestorius tentang kodrat physis Yesus. Menurut Nestorius,
Yesus memiliki dua kodrat dengan masing-masing rupa-Nya. Dalam Yesus Kristus kedua kodrat serta rupanya bergabung synapheia dan mendapat satu
rupa yaitu rupa Kristus.
22
Sedangkan Cyrillus menekankan kesatuan Yesus Kristus, dimana Ia hanya satu subjek. Dan yang satu itu ialah FirmanAnak
Allah pra-existen, yang sehakikat dengan Bapa.
23
Hingga pada akhirnya perkara ini dibawa ke Roma, kepada uskup Caelestinus I, didalam Sinode ini Caelestinus I
lebih memihak kepada Cyrillus yang jauh lebih lihai dalam mempresentasikan perkaranya dari pada Nestorius. Sehingga Caelestinus menugaskan Cyrillus untuk
melaksanakan keputusan sinode tersebut dan memecat Nestorius. Kemudian Nestorius meminta pada kaisar Theodosius II untuk mengadakan sebuah konsili.
Konsili Efesus tahun 431, pertama mengumumkan gelar Maria sebagai Bunda Allah, kedua menyatakan sesat terhadap Nestorius dan ajarannya.
24
Pasca konsili Efesus, pertikaian terjadi disebabkan oleh Dioscurus yang membantu Eutyches untuk mengakui monophysitsme ajaran satu tabiat sebagai
ajaran ortodoks dalam “sinode penyamun”
25
tahun 449 di Efesus, Akan tetapi uskup Roma yakni Leo I tidak setuju dengan putusan itu.
26
Setelah kaisar Theodosius meninggal dan digantikan Marcianus situasi berubah, kaisar
memutuskan mengadakan konsili lagi. Konsili ini diselenggarakan di kota
20
Cletus Groenen, Sejarah Dogma Kristologi, 131-132.
21
H. Berkhof, Sejarah Gereja, Jakarta: Gunung Mulia, 1993, 55.
22
Cletus Groenen, Sejarah Dogma Kristologi, 149.
23
Cletus Groenen, Sejarah Dogma Kristologi, 151.
24
Cletus Groenen, Sejarah Dogma Kristologi, 156.
25
Sinode penyamun adalah sinode yang pada waktu itu terbentuk di Efesus yang diselenggarakan oleh Dioscorus dan di dukung oleh Kaisar Theodosius II.
26
H. Berkhof, Sejarah Gereja, 58.
8 Chalcedon pada tahun 451 yang memutuskan untuk mencabut semua keputusan
dan tindakan “sinode penyamun” di Efesus. Disamping itu konsili Chalcedon juga menyusun sebuah syahadat yang baru.
27
Pasca konsili Chalcedon, pertikaian kembali terjadi oleh karena penolakkan tidak dapat menerima keputusan dari konsili Chalcedon dimana
karya-karya Thedorus, Theodoretus dan Ibas dinyatakan menyeleweng dan orang- orangnya dikutuk sebagai “bidaah”.
28
Hingga pada
akhirnya kaisar
menyelenggarakan sebuah konsili Konstantinopel kedua tahun 553 yang mengutuk Origenes, Thedorus, Thedoretus dan Ibas. Kemudian pada tahun 554
mengeluarkan “Constitutum” baru, yang mendamaikan kutuk konsili
Konstatinopel kedua dengan pendirian konsili Chalcedon terhadap Thedoretus dan Ibas.
29
Pasca konsili Konstantinopel kedua, pertikaian kembali terjadi oleh karena perlawan terhadap keputusan konsili Chalcedon dan keputusan dalam konsili
Konstantinopel kedua dianggap gagal bagi kaum monophysit. Kaisar Heraklius bermaksud membereskan masalah ini, di dukung oleh Sergius yang kemudian
menuliskan sepucuk surat kepada Honorius uskup Roma yang berisi rumusan yang dapat mendamaikan monophysit dengan konsili Chalcedon dan Honorius
menyetujui rumusan tersebut. Hingga pada akhirnya rumusan ini digunakan oleh kaisar Heraklius sebagai dekret dan menjadi undang-undang negara. Akan tetapi
dekret tersebut tidak dapat diterima oleh pendukung Chalcedon yang datang dari Sophronius dan Maximus Confessor, akan tetapi kaisar Konstans II pengganti
Heraklius tetap melaksanakan dekret Heraklius melalui dekret baru Typos. Atas permintaan Maximus Confessor, Martinus menyelenggarakan sinode uskup barat
di Roma di Gereja Lateran yang mengulang syahadat konsili Chalcedon. Kaisar Konstantinus IV Pogonatus pengganti kaisar Konstans II dengan dukungan Uskup
Roma Donus kemudian Agatho menyelenggarakan konsili Konstantinopel ketiga pada tahun 680681. Konsili ini mengecam monotheletisme yang merupakan versi
baru monophysitisme. Disamping itu konsili ini menyetujui surat uskup Roma,
27
Cletus Groenen, Sejarah Dogma Kristologi, 165.
28
Cletus Groenen, Sejarah Dogma Kristologi, 169.
29
Cletus Groenen, Sejarah Dogma Kristologi, 170.
9 Agatho dan surat sinode Roma, yang merangkumkan pendirian Gereja di kawasan
barat dan senada dengan keterangan sinode Lateran.
30
Konsili Konstantinopel ketiga adalah konsili terakhir yang dengan ini menentukan bagaimana umat Kristen, kesetiannya pada awal, memikirkan dan
membahasakan imannya kepada Yesus Kristus. Dengan syahadat-syahadat yang dirumuskan konsili-
konsili itu diberikan semacam “tata bahasa iman” kepada umat.
31
Sehingga dapat dikatakan bahwa pemahaman Tuhan dalam kekristenan tertuang dalam sebuah pengakuan iman atau syahadat, yang didalamnya
terkandung doktrin tritunggal.
2. 2. DoktrinTritunggal