Keputusan DPR-RI, Nomor 17DPR-RI77-78, tentang Peraturan Tata Tertib DPR-RI, yang

penyusunan Rancang Undang-Undang APBN berikutnya. BPK yang dapat dinamakan lembaga konstitusional yang bersifat inspektif diatur lebih lanjut dalam pasal 10 Ketetapan MPR Nomor IIIMPR?1978 yang menetapkan hal-hal berikut : 1 BPK adalah badan yang memeriksa tanggungjawab tentang keuangan negara, yang dalam pelaksanaan tugasnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah, tetapi tidak berdiri di atas pemerintah ; 2 BPK memberikan semua pelaksanaan APBN ; 3 Hasil pemeriksaan BPK diberitahukan kepada DPR, cara-cara pemberitahuan itu lebih lanjut ditentukan bersama oleh pimpinan BPK dengan pimpinan DPR dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan Undang-Undang yang berlaku. Selanjutnya susunan dan kedudukan BPK diatur dalam UU Nomor 5 tahun 1973 b Pengawasan atas perpajakan control of taxation ; pasal 23 ayat 2 menetapkan bahwa segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan Undang-Undang. Dengan demikian segala tindakan yang menempatkan beban kepada rakyat sebagi pajak dan lain-lainnya, harus ditetapkan dengan Undang-Undang yaitu dengan persetujuan DPR. Bertentangan dengan ketentuan ini adalah berlawanan dengan Undang-Undang dan karenanya tidak sah. c Pengawasan atas tindakan-tindakan pemerintah di bidang eksekutif control of executive ; Pengawasan ini dapat berlangsung dengan adanya beberapa macam hak dari anggota- anggota DPR seperti termuat dalam pasal 32 Undang-Undang No.16 tahun 1969 dan diperjelas lagi dalam pasal 8 dan 9 Peraturan Tata Tertib DPR. 14 Hal-hal tersebut adalah : a Meminta keterangan interpelasi ; b Mengadakan penyelidikan angket ; c Mengajukan pertanyaan bagi masing-masing anggota ; d Mengadakan perubahan amandemen ; e Mengajukan pernyataan pendapat statement ; f Mengajukanmenganjurkan seseorang jika ditentukan oleh sesuatu perundang-undangan. ____________

14. Keputusan DPR-RI, Nomor 17DPR-RI77-78, tentang Peraturan Tata Tertib DPR-RI, yang

diperbaharui dengan keputusan DPR-RI No. 10DPR-RIIII82-83. Perlu juga dikemukakan disini bahwa Peraturan Tata Tertib DPR tersebut juga mengatur tata cara pengambilan keputusan pasal 136 sd 145 yang pada pokoknya tidak berbeda dengan tata ca ra pengambilan keputusan dalam MPR , yaitu bahwa “ pengambilan keputusan asasnya diusahakan sejauh mungkin dengan musyawarah mencapai mufakat dan apabila ini tidak mungkin maka keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak” pasal 136 ayat 2 dan 3. Pengawasan oleh DPR ini mempunyai arti yang sangat penting, mengingat bahwa DPR mengusulkan untuk diadakan Sidang Istimewa MPR gunan meminta pertanggungjawaban Presiden. Pengawasan ini janganlah ditafsirkan sebagai oposisi, yaitu suatu kultur yang lazimnya berkembang dalam sistem demokrasi liberal atau demokrasi parlementer. Demokrasi Pancasila tidak mengenal oposisi melainkan pengawasan sesuai dengan ungkapan adagium “ democratie is gecontrolladeerde ventrouwen. “ Kultur oposisi yang lazim berkembang di dalam demokrasi liberal, lebih-lebih yang menganut sistem yang banyak partai multi party system, sifatnya sangat individualistis. Oposisi dilakukan atas dasar kepentingan masing-masing partai yang satu sama lain tentunya berbeda dalam demokrasi liberal, program pemerintah disusun dan ditetapkan berlandaskan dan berisikan program dari sesuatu partai yang menang dalam pemilihan umum. Keadaan ini akan segera mendapat oposisi dari partai lain semenjak partai yang menang tadi memegang tampuk pimpinan pemerintahan. Partai-partai yang tidak ikut duduk dalam pemerintahan segera melakukan oposisi dengan bertitik tolak dari program-program dan kepentingan- kepentingan partai yang bersangkutan. Jadi disini sejak semua sudah ada pertentanganperlawanan program dari satubeberapa partai yang tidak duduk dalam pemerintahan, sesuai dengan istilah oposisi yang berasal dari opposite yang artinya berlawanan. Dalam sistem demokrasi yang demikian itu tidak mengherankan kalau pemerintahannya tidak stabil dan sering kali berganti. Dalam demokrasi Pancasila tidak dikenal oposisi seperti diuraikan di atas, melainkan hanya pengawasan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada. Hal ini sesuai dengan latar belakang kejiwaan dan cita-cita kenegaraan yang terkandung di dalamnya ialah kekeluargaan. Pengawasan ini akan sangat berarti apabila dihubungkan dengan prinsip-prinsip mekanisme demokrasi Pancasila yang lainnya. 10. Bukan Sekulerisme dan juga buka ClerikalismeTheokrasi Di atas telah dikemukakan bahwa bila kerakyatan dari Pancasila tidak terlepas dari sila Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berarti negara demokrasi Pancasia tidak menganut paham sekulerisme dan juga tidak menganut paham clerikalisme atau Theokrasi. 15 Pasal 29 ayat 1, UUD 1945 menyatakan bahwa “ Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa “ sedangkan ayat 2 menyatakan bahwa “ Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dalam dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. “ Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa demokrasi Pancasila tidak menghendaki paham sekulerisme, dimana negara dan pemerintahannya memalingkan muka dari soal-soal keagamaan, tetapi sebaliknya juga tidak menghendaki paham clearikalisme, yaitu fanatisme agama yang dogmatis. Negara dan UUDnya menjamin bahwa warga negara dapat menganut agama yang diingini, serta mendorong terlaksananya dan berkembangnya hidup keagamaan yang baik. Pemerintah dan penyelenggara negara lain-lainnya diwajibkan untuk memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur. Adanya Departemen Agama dalam jajaran eksekutif kiranya dapat merupakan salah satu pertanda dari apa yang diuraikan di atas, dimana Departeme demikian tidak terdapat dalam sistem demokrasi seperti di Perancis atau Amerika Serikat. Prinsip-prinsip seperti diuraikan di atas pada dasarnya sejalan dan senafas dengan sistem pemerintahan negara menurut UUD 1945, seperti diuraikan dalam penjelasan umum UUD 1945 tersebut, dengan kunci-kunci pokok sebagai berikut : 1. Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum adalah sama dengan prinsip ketiga ; 2. Sistem konstitusional sama dengan prinsip keempat ; 3. Kekuasaan negara yang tertinggi di tangan MPR sama dengan prinsip Supremasi MPR, pri nsip kelima dan pemerintahan yang bertanggungjawab, prinsip keenam ; 4. Presiden ialah penyelenggara pemerintahan negara yang tertinggi di bawah Majelis, sama dengan prinsip keenam dan kedelapan, yaitu pemerintahan Presidensial ; 5. Presiden tidak bertanggungjawab kepada DPR, sama dengan prinsip pemerintahan Presidensial sekaligus menunjukkan adanya prinsip ketujuh, yaitu pemerintahan berdasarkan perwakilan dan prinsip kesembilan, pemerintahan yang diawasi parlemen ; 6. Menteri negara ialah pembantu Presiden ; Menteri negara tidak bertanggungjawab kepada DPR, adalah mempertegas prinsip Presidensial, prinsip kedelapan ; 7. Kekuasaan kepala negara tidak tak terbatas , pada dasarnya mengandung kesamaan de- ____________ 15. Lihat juga uraian Menteri Agama, Prof. DR. H.A. Mukti Ali, Pembinaan Kehidupan Rohani dalam Rangka Pembangunan Bangsa, Naskah ceramah pada KRA-X, Lemhanas, 1977, pp. 4-5 ngan keseluruhan prinsip-prinsip tersebut di atas yaitu prinsip ketiga sd prinsip kesembilan. Adapun prinsip pertama, kedua dan kesepuluh merupakan prinsip yang dijabarkan dari pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 yang juga menjiwai sistem pemerintahan negara dimaksud. Demikianlah prinsip-prinsip mekanisme demokrasi Pancasila menurut UUD 1945 yang bertalian dengan pelaksanaannya pada lembaga-lembaga konstitusional di tingkat pusat.

b. Mekanisme pada Lembaga-Lembaga Pemerintah di Daerah