Profesi Guru sebagai Panggilan Jiwa

55 BAB IV FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PROFESIONALISME GURU

4.1 Profesi Guru sebagai Panggilan Jiwa

Berbagai teori yang dikemukakan ahli manajemen sumberdaya manusia, menyatakan orang yang secara sadar dan bebas memilih profesi tertentu berhak disebut sebagai manusia profesional Hans, 2006. Lebih lanjut Hans 2006 menyatakan “Sebenarnya semua orang mempunyai darma, panggilan dan kewajiban suci dalam hidup ini, baik sebagai anggota keluarga, warga negara, warga dunia, dan hamba Allah”. Secara subyektif, rasa terpanggil datang dari hati sebagai tanggapan atas panggilan Tuhan, panggilan Ibu Pertiwi, bangsa dan negara, atau panggilan dari situasi khusus, misalnya kedamaian, kekeluargaan, keadilan, kemanusiaan atau kebenaran. Menurut Filsuf Kant Danim, 2002, kesadaran akan darma ini disebutnya sebagai kesadaran moral yang pada gilirannya melahirkan kehendak Kant itulah kebaikan tertinggi, budi paling luhur yang diterjemahkannya sebagai tugas paling suci. Pemahaman dan penghayatan bahwa profesi adalah panggilan suci, sekaligus menjadikan bukti bahwa manusia memang merupakan mahluk sosial, yang oleh karena kesadaran moralnya mampu memberi tanggapan dinamis atas fakta moral dari luar dirinya dalam bentuk panggilan jiwa untuk melaksanakan pekerjaan tersebut. Seterusnya Hans 2006 menyatakan bahwa apabila rasa terpanggil itu cukup kuat, orang akan bekerja dengan motivasi kuat, yaitu motivasi superior yang unggul dibandingkan dengan motivasi yang cuma sebatas mencari uang saja. Ia akan menghayati pekerjaan tersebut sebagai tugas suci dengan misi yang bersifat transkenden. Berkaitan dengan profesionalisme ini ada dua pokok yang menarik perhatian dari keterangan Encyclopedia-nya Parsons mengenai profesionalisme itu. Pertama, manusia profesional tidak dapat digolongkan 56 sebagai kelompok kapitalis atau kelompok kaum buruh. Juga tidak dapat dimasukkan sebagai kelompok administrator atau birokrat. Kedua, manusia profesional adalah kelompok tersendiri yang bertugas memutar roda organisasi, dengan leadership status. Jelasnya manusia profesional merupakan lapisan kepemimpinan dalam memutar roda organisasi itu. Kepemimpinan di segala tingkat, mulai dari tingkat atas melalui pemimpin menengah sampai kepada pemimpin tingkat bawah. Dalam perkembangan, profesionalisme mengandung beberapa unsur, yaitu unsur keahlian dan unsur panggilan, unsur kecakapan teknik dan kematangan etik, unsur akal dan moral. Kesemua itu merupakan kebulatan dari unsur kepemimpinan. Jadi, jika berbicara tentang profesionalisme tidak dapat dilepaskan dari masalah kepemimpinan dalam arti luas Purwanto, 2002. Kemampuan dan pengalaman merupakan guru yang terbaik. Tanpa kesanggupan untuk menarik pelajaran dari pengalamannya, seseorang tidak akan mengalami proses kemajuan dan pematangan dalam pekerjaan. Orang yang sudah puas dengan perolehan tanda lulus atau gelar sarjana dan tidak meneruskan proses belajarnya, akan mengalami kemunduran dalam dunia yang dinamis ini dan akan tertinggal dari yang lain. Anggapan yang menyatakan profesionalisme dapat diharapkan muncul sekedar anjuran, adalah tidak benar. Untuk itu perlu dikemukakan beberapa ciri profesionalisme sebagai berikut: 1 Menghendaki sifat mengejar kesempurnaan hasil perfect results, sehingga dituntut untuk selalu mencari peningkatan mutu. 2 Memerlukan kesungguhan dan ketelitian kerja yang hanya dapat diperoleh melalui pengalaman dan kebiasaan. 3 Menuntut ketekunan dan ketabahan, yaitu sifat tak mudah puas atau putus asa sampai hasil tercapai. 4 Memerlukan integritas tinggi yang tidak tergoyahkan oleh keadaan terpaksa atau godaan iman seperti harta dan kenikmatan hidup. 5 Memerlukan adanya kebulatan pikiran dan perbuatan, sehingga terjaga efektifitas kerja yang tinggi Whitty, 2006. 57 Menurut Stoltz 2005 “manusia profesional bagaikan seorang pendaki gunung climber”. Lebih lanjut Stoltz 2005 menyatakan bahwa seorang pendaki gunung selalu menganggap bahwa sukses itu berada di puncak gunung, yang untuk mencapainya dibutuhkan kerja keras, perjuangan, motivasi, dan tidak mudah menyerah. Selain itu pendaki gunung seumur hidupnya membaktikan diri pada pendakian, tanpa menghiraukan latar belakang, keuntungan atau kerugian, nasib buruk atau nasib baik. Seorang climber memikirkan kemungkinan dan tidak pernah membiarkan umur, jenis kelamin, ras, cacat fisik atau mental, dan hambatan lain dalam menghadapi pendakiannya. Dengan prinsip seperti inilah, maka seseorang mampu mencapai kesuksesan, Faqi 2005 menawar 10 kunci yang dilakukan untuk mencapai sukses, yaitu: 1 motivasi sebagai penggerak utama, 2 sumberdaya diri, 3 keahlian, 4 perencanaan untuk menuju jalan kesuksesan, 5 tindakan sebagai jalan menuju kekuatan, 6 proyeksi menuju jalan kenyataan, 7 komitmen, 8 fleksibelitas, 9 kesabaran, dan 10 kedisiplinan. Disamping itu untuk mencapai sukses diperlukan etos kerja untuk menjadi seorang yang profesional. Hans 2006 menyatakan ada delapan etos kerja keprofesionalan yang berfungsi sebagai navigator menuju kesuksesan. Kedelapan etos kerja profesional tersebut berupa anggapan kerja adalah: 1 rahmat, 2 amanah, 3 panggilan, 4 aktualisasi, 5 ibadah, 6 seni, 7 kehormatan, 8 pelayanan. Kegiatan pengembangan sumberdaya guru dilakukan dalam bentuk pendidikan dan latihan yang kegiatannya merupakan suatu siklus yang harus dilakukan secara terus-menerus. Hal ini dilakukan karena organisasi pendidikan terus berkembang sebagai salah satu bentuk antisipasi perubahan yang terjadi di luar pendidikan tinggi. Oleh karena itu seperti dikatakan oleh Sudarmayanti 2001 kemampuan sumberdaya guru yang dimiliki organisasi terus-menerus ditingkatkan seirama dengan kemajuan dan perkembangan pendidikan tinggi. 58 Pengembangan profesional guru di sekolah berhubungan dengan produktivitas kerjanya yang berprinsip bahwa “Kerja hari ini harus lebih baik dari kemarin dan hasil hari esok harus lebih baik dari hari ini”. Sikap seperti ini akan mendorong seorang guru menjadi lebih dinamis, kreatif, inovatif, dan terbuka serta kritis dalam mencari perbaikan dan peningkatan mutu. Produktivitas kerja yang tinggi ditentukan oleh unjuk kerja atau prestasi kerja yang tinggi. Sedangkan unjuk kerja sangat tergantung pada motivasi kerja dan proses manajemen yang ditentukan oleh kondisi sosial, iklim kerja, dan kebutuhan-kebutuhan lainnya. Robbins 2001 menjelaskan bahwa “an organization is productive if it achieves its goals, and does so by tranferring inputs to outputs at the lowest cost. As such, productivity implies a concern for both effectiveness and efficiency”. Berdasarkan pendapat tersebut produktivitas organisasi harus menekankan pada efektifitas dan efisiensi. Kedua hal tersebut sangat ditentukan oleh kemampuan sumberdaya manusia yang berkualitas. Saat ini telah berkembang kesadaran bahwa sumberdaya manusia bukan sematamata sebagai alat yang menghasilkan jasa produksi, tetapi dipandang sebagai aset organisasi yang harus selalu ditingkatkan kualitasnya melalui upaya menciptakan lingkungan kerja yang kondusif yang dapat menghasilkan prestasi. Mengacu kepada kunci kesuksesan dan etos kerja profesional, maka ada beberapa faktor yang diperkirakan dapat membentuk seorang guru menjadi profesional. Dari deskripsi teori yang telah dikemukakan di atas, variabel yang turut mempengaruhi derajat profesionalisme bagi seseorang yang menjalani profesi guru, adalah: 1 panggilan jiwa yang diimplementasikan dalam bentuk pengabdian, 2 keinginan belajar untuk mengembangkan diri, 3 motivasi berprestasi, 4 kepakaran dalam bidang pengabdian masyarakat, 5 kemandirian dalam menjalani profesi, 6 penguasaan ICT, dan 7 kepemimpinan sekolah. Dari variabel tersebut, maka guru profesional akan memberikan dampak kepada peningkatan mutu hasil belajar siswa. 59

4.2 Panggilan Jiwa untuk Memasuki Profesi Guru