Terpanggil Menjadi Guru BOOK Umbu Tagela Orientasi ke dalam profesi keguruan Bab IV

62 Lebih lanjut Purwanto 2002 menyatakan pengabdian diri berarti lebih mengutamakan kepentingan orang banyak. Misalnya, profesi dalam bidang hukum adalah untuk kepentingan kliennya bila berhadapan dengan pengadilan, profesi kedokteran adalah untuk kepentingan pasien agar cepat sembuh penyakitnya, profesi kependidikan adalah untuk kepentingan siswanya, profesi pertanian adalah untuk meningkatkan produksi pertanian agar masyarakat lebih sejahtera dalam bidang pangan. Dengan demikian, pengabdian yang diberikan oleh profesi tersebut harus sesuai dengan bidang pekerjaan tertentu.

4.3 Terpanggil Menjadi Guru

Memilih profesi guru berarti terpanggil untuk melakukan pengabdian pada pekerjaan di bidang pendidikan. Seorang yang memasuki profesi sebagai tenaga pengajar berarti mau mengabdikan dirinya sebagai pelayanan kepada masyarakat, karena masyarakat bagian dari medan pelayanan. Sampai di sini Hans 2006 menegaskan bahwa kata darma, panggilan, dan profesi bermakna sejajar, yaitu tugas suci yang harus dilaksanakan pada tingkat personal. Tuntutan untuk mengabdikan diri kepada masyarakat, yang dalam hal ini adalah masyarakat yang belajar di lingkungan pendidikan lebih disebabkan oleh keinginan untuk mendarma-baktikan segenap kemampuan sebagai anggota sebuah profesi. Stoltz 2005 menyatakan jauh di dalam diri tiap individu terdapat kerinduan yang mendalam untuk menjalani kehidupan yang benar, yang agung, dan memberi sumbangan nyata dan sungguh merasa penting, serta untuk membuat perbedaan nyata. Mungkin saja individu tersebut meragukan dirinya sendiri dan kemampuannya melakukan hal tersebut, tetapi ia ingin mengetahui keyakinannya yang mendalam bahwa ia dapat menjalani kehidupan seperti itu. Tiap individu memiliki potensi di dalam dirinya, yang merupakan hak dimilikinya sejak lahir berupa anugerah yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa kepada manusia. 63 Satu kekuatan paling ampuh bagi individu yang terpanggil akan tugasnya adalah kesediaannya melaksanakan tugas tersebut betapapun beratnya. Seperti misalnya seorang laskar yang mau berangkat ke medan pertempuran, karena merasa terpanggil melaksanakan tugas tersebut. Individu yang terpanggil jiwanya tidak memperhitungkan untung atau rugi yang akan didapatkannya. Semuanya dilaksanakan dengan semangat yang berkobar-kobar, sebagai wujud dari pemberian darma baktinya kepada tugas tersebut. Menurut Anoraga Suyati 1995 yang dimaksud dengan bakat adalah “kemampuan dasar yang menentukan sejauhmana kesuksesan individu memperoleh keahlian atau pengetahuan tertentu apabila individu diberi pelatihan secara khusus”. Selain itu ada juga orang memiliki kemampuan tanpa melalui pelatihan, inilah yang disebut dengan bakat. Sebagaimana dinyatakan oleh Stoltz 2005 bahwa memang tidak diragukan lagi, dalam kehidupan ini ada orang-orang lebih berbakat dibandingkan dengan yang lain. Ada yang dianugerahi kecerdasan luar biasa, bakat khusus, jasmani yang sangat kuat, keluarga yang penuh kasih sayang, masyarakat yang kokoh dan sumberdaya yang tidak terbatas. Sementara ada juga yang sangat kekurangan. Di dalam bekerja, baik di rumah maupun di kantor diperlukan bakat yang sesuai dengan pekerjaan yang dilakukan. Keterlibatan individu dalam pekerjaan yang mendayagunakan bakat dan mengobarkan semangat hidup muncul dari kebutuhan, sehingga individu tersebut merasa terdorong oleh nuraninya untuk memenuhi kebutuhan. Di situlah letak suara panggilan jiwa individu yang mengarah kepada kepuasan batinnya. Tiap organisasi yang melibatkan orang untuk melaksanakan tugasnya dituntut memiliki komitmen. Personil yang terlibat aktif dalam suatu kegiatan, harus sanggup membuat keputusan untuk dirinya sendiri. Inilah yang dinamakan komitmen. Sahertian 2000 mengartikan komitmen sebagai “kecenderungan dalam diri seseorang untuk merasa terlibat aktif dengan penuh rasa tanggung jawab”. 64 Personil yang telah memiliki komitmen harus sanggup memilih satu dari beberapa alternatif yang dianggapnya baik. Sebelumnya Nawawi 2003 menyatakan komitmen adalah “suatu keputusan atau perjanjian seseorang dengan dirinya sendiri, untuk melakukan atau tidak melakukan, berhenti atau meneruskan perbuatan atau kegiatan”. Selanjutnya Nawawi 200 menyatakan, “komitmen merupakan penetapan di dalam diri seorang untuk menerima atau menolak satu atau lebih tujuan dan menuntun perbuatan atau kegiatan”. Selain itu orang yang telah menetapkan komitmen untuk dirinya akan sanggup bekerja keras. Hal ini dilakukan karena adanya rasa konsekuen dengan apa yang ia ucapkan. Clickman dalam Sahertian 2000 mengatakan “komitmen lebih luas dari kepedulian, sebab dalam pengertian komitmen tercakup arti usaha dan dorongan serta waktu yang cukup banyak.” Arikunto 1996 menyatakan “komitmen bukan sekedar keterlibatan saja. Komitmen adalah kesediaan seseorang untuk terlibat aktif dalam suatu kegiatan dengan tanggung jawab yang tinggi”. Pada dasarnya, komitmen dimiliki oleh semua orang yang terlibat dalam kegiatan organisasi. Robbins 2001 mengatakan “semua orang secara alamiah memiliki komitmen.” Namun komitmen tiap orang tidak pernah sama. Ada orang tingkat komitmennya rendah dan ada pula yang tingkat komitmennya tinggi. Hal ini ditentukan oleh perkembangan dan proses kejiwaan yang bersifat alamiah. Castetter 1996 juga menyatakan komitmen seseorang itu dapat bertambah atau berkurang. Bertambah dan berkurangnya komitmen seseorang terhadap tugasnya sangat dipengaruhi oleh sikap. Pendapat Sherly yang dikutip oleh Arikunto 1996 bahwa “sikap orang beralih atau berganti sesuai dengan perkembangannya. Sikap seseorang sewaktu ia masih muda tidak akan sama setelah ia berusia lanjut”. Sebagai pengajar, guru harus lebih tertuju pada tugas merencanakan dan melakukan pembelajaran. Dalam hal ini dituntut komitmen yang tinggi dari tiap guru untuk melaksanakan tugas yang dibebankan kepadanya. Amstrong dalam Sudjana 1999 mengatakan bahwa guru sebagai manusia mempunyai tugas dan tanggung jawab pembelajaran, tanggung jawab dalam memberikan 65 bimbingan, tanggung jawab dalam mengembangkan profesi, tanggung jawab dalam mengembangkan kurikulum, dan tanggung jawab membina hubungan dengan masyarakat. Pada lembaga pendidikan, komitmen seorang guru tidak saja pada saat mengajar di kelas. Tetapi diperlihatkan saat menentukan supervisi pembelajaran. Law Glover 2000 menyatakan “tingkat komitmen guru di Sekolah yang perlu diperhatikan adalah pada saat menentukan supervisi pembelajaran”. Supervisi pembelajaran yang sudah ditentukan secara matang dirasakan tidak akan ada gunanya apabila para guru tidak memiliki komitmen dengan apa yang dibuatnya. Komitmen yang ada dalam diri seorang guru merupakan modal utama dalam mengabdi pada lembaga pendidikan. Sebagai pengajar dan pendidik, guru harus mampu memberi bimbingan kepada siswa, termasuk membantu memecahkan masalah yang dihadapi oleh siswa. Di samping sebagai pendidik, guru juga diwajibkan memberi penilaian dan mentransfer ilmu pengetahuan. Semua ini akan dapat berhasil apabila ada komitmen yang tinggi dalam diri guru untuk mengabdikan dirinya kepada tugas. Seorang guru yang memiliki komitmen melaksanakan tugasnya dituntut memiliki loyalitas yang tinggi, baik kepada pimpinan maupun kepada organisasi profesinya. Sudjana 1999 mengatakan “orang yang memiliki komitmen tinggi biasanya menunjukkan loyalitas dan kemampuan profesionalnya. Sudjana 1999 menambahkan “Seorang bawahan yang loyalitasnya tinggi kepada atasan atau lembaganya, biasanya menunjukkan kepatuhan, rasa hormat kesetiaan serta disiplin yang sangat tinggi”. Kesetiaan bukan ditunjukkan dengan sanggup bertahan di dalam suatu lembaga dan sanggup tidak pindah ke lembaga lain. Hal ini dijelaskan oleh Robbins 2001 “Apabila ada orang pindah dari suatu organisasi ke organisasi lain belum tentu loyalitasnya rendah, atau tidak memiliki komitmen yang tidak dapat diandalkan.” Kesediaan menerima komitmen datangnya dari dalam diri seseorang. Kemudian sifat ini dipengaruhi oleh keadaan lingkungan di sekitarnya. Seringkali orang yang memiliki komitmen tinggi tidak menunjukkan kepada 66 orang lain secara terbuka. Karena komitmen merupakan perjanjian seseorang dengan dirinya sendiri untuk melaksanakan tugas sebaik-baiknya. Akan tetapi menurut Sudjana 1999 “Komitmen yang ditunjukkan lebih baik daripada tidak ditunjukkan.” Selanjutnya Ouchi yang dikutip oleh Robbins 2001 menyatakan “Meskipun bukan sesutu yang negatif, banyak orang menghindar dari komitmen.” Karena komitmen membuat seorang menjadi terikat. Dalam organisasi pendidikan seperti sekolah, diperkirakan semua guru memiliki komitmen, karena tiap guru memiliki tanggung jawab. Tanggung jawab dan tugas yang dipikul oleh guru dapat terlaksana dengan baik apabila guru mempunyai komitmen tinggi terhadap semua tugas yang dibebankan kepadanya. Bafadal Fallon 2007 menyatakan “Guru yang kurang memiliki komitmen biasanya bekerja semata-mata memandang dirinya sendiri, dan kurang berusaha mengembangkan diri”. Arikunto 1996 juga menyatakan: “Guru yang tidak memiliki komitmen tampaknya hanya bertindak atas dasar keperluan diri sendiri, dan hanya melakukan pekerjaan yang menjadi kewajibannya saja, dia tidak akan mencoba berusaha meningkatkan hasil pekerjaan.” Seterusnya Sahertian 2000 menyatakan bahwa “Guru yang kurang memiliki komitmen juga kurang memiliki kepedulian terhadap tugas, kebutuhan para siswanya, teman sejawat ataupun atasan langsung. Guru yang memiliki komitmen biasanya memiliki perhatian kepada siswanya, sesama guru dan kepada tugas pokoknya yaitu mengajar”. Meskipun guru memiliki komitmen, tetapi tingkat komitmen pada tiap guru tidak akan sama. Menurut Sherly dalam Sahertian 2000 “Guru yang berusia muda mempunyai semangat serta rencana hidup yang lebih bergairah daripada guru yang berusia di atas setengah abad”. Selanjutnya Sherly menyatakan “Guru yunior berambisi dalam meniti karirnya. Sedang guru senior semangat dalam meniti karirnya sudah mulai kurang. Ini disebabkan guru yang sudah tua sudah tidak mampu membuat komitmen dalam menjalankan tugas”. Sedangkan bagi guru yang berusia muda, tiap saat dituntut meningkatkan komitmen dan kepeduliannya terhadap tiap perubahan tugas dan profesinya. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Full dalam Sahertian 67 2000 disimpulkan bahwa guru yunior bertugas lebih banyak mempedulikan kelangsungan hidup profesinya. Dari berbagai hasil penelitian yang dikutip oleh Sahertian 2000 dinyatakan bahwa “Guru yang memiliki komitmen tinggi ditentukan oleh pengaruh internal yang ada pada guru itu sendiri. Selain itu komitmen seseorang kepada tugasnya ditentukan pula oleh pemahaman terhadap konsep yang dimilikinya”. Para guru yang memiliki pemahaman konseptual tinggi terhadap masalah kependidikan, akan memilih hubungan lebih positif dengan siswanya maupun dengan rekan sejawat dan pimpinan. Seseorang yang terpanggil jiwanya mempunyai perasaan puas dengan pelaksanaan tugas yang sudah dikerjakannya. Orang yang terpanggil jiwanya selalu menganggap bahwa pekerjaan adalah ibadah, diwujudkan dalam cinta terhadap pekerjaan atau mencintai melalui bekerja Gibran, 2000. Ibadah yang diwujudkan dalam bentuk kasih sayang kepada sesama, termasuk atasan, rekan sekerja, bawahan, dan pelanggan. Hans 2006 menyatakan bahwa “kerja memang ibadah, atau bisa juga sebentuk ibadah”. Agama mengajar agar manusia berbuat kebajikan sebesar-besarnya dan menjauhi kemungkaran sebisanya. Intinya, kita turut berkarya membangun yang baik, benar, dan adil sebanyak-banyaknya. Hans 2006 menyatakan “Kerja sebagai ibadah sesungguhnya adalah tindakan memberi atau membaktikan the act of giving kepada Tuhan yang kita abadikan.” Hakikat dari ibadah adalah memberi. Meskipun ada ungkapan “lebih bahagia memberi daripada menerima”, tetapi secara umum menerima lebih disukai daripada memberi. Kebanyakan orang lebih suka berpikir “Apa yang bisa kudapat untuk diriku?” Mengapa demikian? Menurut Hans 2006 karena hakikat memberi belum dipahami dengan benar dan mendalam. Dalam The Art of Loving Fromm, 1976 dinyatakan bahwa memberi adalah ekspresi tertinggi potensi kemanusiaan individu. Dalam tindak memberi sesungguhnya individu sedang mengalami kekuatan, kekayaan, dan kemampuannya. Pengalaman puncak dan vitalitas tertinggi tersebut akan memenuhi seluruh jagad hati individu dengan sukacita dan rasa bahagia. Disitulah individu merasakan kelimpahan. Tatkala memberi, in spending our 68 ability, individu mengalami hidup sehidup-hidupnya sehingga individu mengalami sukacita dan kebahagiaan otentik. Memberi lebih membahagiakan daripada menerima bukan karena individu kita kekurangan, tetapi karena dalam tindak memberi itulah terletak ekspresi kehidupan yang paling dinamis Fromm, 1976.

4.4 Belajar untuk Mengembangkan Diri