Epidemiologi Infeksi Soil Transmitted Helminth Imunologi Infeksi Soil Transmitted Helminth

2.2. Epidemiologi Infeksi Soil Transmitted Helminth

Infeksi STH merupakan penyakit yang dikaitkan dengan kemiskinan, menimbulkan penderitaan dan kematian, juga menyebabkan kemiskinan yang berkelanjutan akibat gangguan kemampuan kognitif anak, berkurangnya kapasitas dan produktifitas kerja orang dewasa. 12 Infeksi STH paling sering terjadi di daerah tropis dan subtropis dari negara-negara yang sedang berkembang dengan ketersediaan air bersih dan sanitasi yang kurang. 13 Prevalensi infeksi STH di Sumatera Utara pada tahun 1995 adalah 57 sampai 90. 14 Sedangkan berdasarkan spesiesnya maka prevalensi di Sumatera Utara 46 sampai 75 untuk ascariasis, 65 untuk trichuriasis, dan 20 untuk infeksi cacing tambang. A. lumbricoides dijumpai di seluruh dunia dan diperkirakan 1.3 milyar orang pernah terinfeksi cacing ini, tidak jarang dijumpai infeksi campuran dengan cacing lain terutama T. trichiura. Prevalensi tertinggi ascariasis di daerah tropis dijumpai pada kelompok usia 3 sampai 8 tahun. 15 11 Usia yang paling rentan untuk mendapat infeksi T. trichiura adalah 5 sampai 15 tahun.

2.3. Imunologi Infeksi Soil Transmitted Helminth

16 Berbagai Protozoa dan cacing berbeda dalam ukuran, struktur, sifat biokimiawi, siklus hidup dan patogenitasnya. Hal ini menimbulkan respons imun spesifik yang berbeda pula. Infeksi cacing biasanya kronis dan menimbulkan rangsangan antigen persisten yang akan meningkatkan kadar imunoglobulin dalam sirkulasi dan pembentukan kompleks imun. Antigen Universitas Sumatera Utara yang dilepas parasit diduga berfungsi sebagai mitogen poliklonal sel B yang T independen. 6 Hipersensitifitas yang diperantarai IgE merupakan mekanisme imun utama dalam mengatasi infeksi cacing. Pertahanan terhadap kebanyakan infeksi cacing diperankan oleh aktivasi sel Th2. Cacing merangsang subset Th2 sel CD4+ yang melepas IL-4 dan IL-5, IL-4 selanjutnya merangsang produksi IgE dan IL-5 merangsang perkembangan dan aktivasi eosinofil. IgE yang berikatan dengan permukaan cacing diikat eosinofil. Selanjutnya eosinofil diaktifkan dan mensekresi granul enzim yang menghancurkan parasit. 17 18,19 Eosinofil lebih efektif dibanding leukosit lain oleh karena eosinofil mengandung granul yang lebih toksik dibanding enzim proteolitik dan ROI reactive oxygen intermediate yang diproduksi neutrofil dan makrofag. Cacing dan ekstrak cacing dapat merangsang produksi IgE yang nonspesifik. Reaksi imunologi yang ditimbulkannya diduga dapat mencegah menempelnya cacing pada mukosa saluran cerna. 18 Universitas Sumatera Utara makrofag . Gambar 1. Pengeluaran cacing dari lumen saluran cerna. Cacing biasanya terlalu besar untuk fagositosis. Degranulasi sel mastbasofil yang IgE dependen menghasilkan produksi histamin yang menimbulkan spasme usus tempat cacing hidup. Eosinofil menempel pada cacing melalui IgGIgA dan melepaskan protein kationik, MBP myelin basic protein dan neurotoksin. PMN dan makrofag menempel melalui IgAIgG dan melepas superoksida, oksida nitrit, dan enzim yang membunuh cacing. 18 Infeksi parasit secara khusus merangsang sejumlah mekanisme pertahanan, baik yang diperantarai antibodi maupun yang diperantarai sel, dan respons yang paling efektif tergantung jenis parasit dan stadium infeksi. 18 Antibodi dan sitokin yang diproduksi sebagai respons terhadap antigen parasit memperkuat aktifitas antiparasit dari makrofag, neutrofil, dan 20 cacing Sel mast Basofil Histamin Eosinofil spasme Protein kationik, MBP, neurotoksin PMN IgE IgAIgG IgAIgG Superoksida, oksida nitrit Universitas Sumatera Utara eosinofil. Eosinofil diduga berkembang sebagai pertahanan terhadap parasit di jaringan yang terlalu besar untuk difagositosis, dan reaksi sel mast yang tergantung IgE untuk melokalisir eosinofil dekat parasit dan memperkuat fungsi antiparasit. IgE pada infeksi cacing bisa menimbulkan efek berat pada pejamu akibat pelepasan mediator dari sel mast. Meskipun dari berbagai penelitian cross-sectional terlihat adanya perkembangan imunitas terhadap A. lumbricoides, tetapi respons antibodi humoral tidak mempunyai peranan untuk menekan infeksi. Adanya antibodi terhadap antigen Ascaris dewasa dan larva, merupakan refleksi dari intensitas infeksi dan tidak memberikan dampak perlindungan terhadap infeksi. 20 11 Infeksi STH menimbulkan respons imun pada manusia khas berupa kadar IgE yang meningkat, eosinofilia, dan peningkatan produksi sitokin Th2 oleh lekosit darah perifer sebagai respons terhadap rangsangan antigen parasit. 21-23 Paparan awal parasit berhubungan dengan meningkatnya respons inflamasi alergi terhadap parasit, sementara pada infeksi jangka panjang dan infeksi berulang respons inflamasi menjadi lebih terkendali. Infeksi kronis memiliki efek regulasi yang kuat pada respons inflamasi antiparasit, berhubungan dengan respons Th2 yang telah bermodifikasi yang selain memungkinkan parasit tetap hidup juga memberikan perlindungan dari penyakit imun bagi pejamu. 21 Ketahanan hidup STH pada infeksi kronis dimungkinkan dengan adanya mekanisme imunoregulasi, termasuk sel T regulatori T reg yang mampu mensekresi sitokin imunosupressan seperti Universitas Sumatera Utara IL-10 danatau TGF- β, menghasilkan suasana antiinflamasi. 19,22,24 Respons antibodi terhadap berbagai stadium A. lumbricoides tidak berpengaruh besar baik pada derajat infeksi yang baru terjadi maupun pada intensitas infeksi ulangan. 25 Regulasi imunitas pejamu oleh infeksi kronis STH tidak hanya mempengaruhi respons terhadap antigen parasit tetapi juga terhadap antigen eksogenus lainnya seperti antigen vaksin dan alergen udara, efek tersebut dapat menjelaskan terjadinya gangguan imunogenitas vaksin dan penurunan prevalensi penyakit alergi di daerah pedesaan negara tropis.

2.4. Hubungan Infeksi Soil Transmitted Helminth dan Penyakit atopi