Tingkat pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan pendapatan di Koridor Ekonomi Sumatera

4.3. Tingkat pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan pendapatan di Koridor Ekonomi Sumatera

  4.3.1. Pertumbuhan Ekonomi Selama periode sebelum otonomi daerah semua provinsi yang berada di

  KES memiliki pertumbuhan ekonomi yang positif. Provinsi yang memiliki pertumbuhan ekonomi yang tinggi pada periode ini yaitu Provinsi Riau sebesar 5,63 persen. Sedangkan yang paling rendah pertumbuhan ekonominya adalah Provinsi Aceh. Menarik untuk diperhatikan pada kedua provinsi ini yang merupakan provinsi yang kaya sumberdaya alam tetapi memiliki pertumbuhan ekonomi yang berbeda pada periode ini. Hal ini bisa karena pada periode tersebut kedua provinsi tersebut mengalami penurunan hasil produksi tambang dan penggalian, hanya saja penurunan sektor ini di Provinsi Riau hanya sebesar 13,57 persen sedangkan di Provinsi Aceh sebesar 31,81 persen. Selain itu juga sektor industri tumbuh sebesar 20,14 persen di Provinsi Riau, sedangkan sektor industri Aceh hanya tumbuh sebesar 14,19 persen. Secara keseluruhan pertumbuhan ekonomi KES selama periode ini yaitu sebesar 3,67 persen.

  Tabel 4.37. Pertumbuhan Ekonomi Provinsi di KES pada Masa Sebelum Otonomi

  Daerah (persen)

  Sumatera Utara

  Sumatera Barat

  Sumatera Selatan

  Sumber: BPS, data diolah

  Dan adanya krisis moneter yang melanda Indonesia pada tahun 1997 – 1999 membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia secara keseluruhan mengalami pertumbuhan yang negatif. Ternyata pada level regional, provinsi yang berada di KES pada tahun 1998 secara keseluruhan mengalami pertumbuhan ekonomi yang negatif. Pada tahun 1998, pertumbuhan ekonomi yang paling negatif terjadi di Provinsi Riau 10,15 persen dari tahun sebelumnya. Sedangkan Provinsi yang berada di KES yang pertumbuhan ekonominya masih positif pada tahun 1998 yaitu Provinsi Lampung. Menarik untuk diperhatikan perbedaan pertumbuhan ekonomi antara kedua provinsi ini. Apabila dilihat dari struktur ekonominya, Provinsi Riau hampir 50 persen PDRB daerahnya dikontribusi oleh sektor pertambangan dan penggalian Dan adanya krisis moneter yang melanda Indonesia pada tahun 1997 – 1999 membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia secara keseluruhan mengalami pertumbuhan yang negatif. Ternyata pada level regional, provinsi yang berada di KES pada tahun 1998 secara keseluruhan mengalami pertumbuhan ekonomi yang negatif. Pada tahun 1998, pertumbuhan ekonomi yang paling negatif terjadi di Provinsi Riau 10,15 persen dari tahun sebelumnya. Sedangkan Provinsi yang berada di KES yang pertumbuhan ekonominya masih positif pada tahun 1998 yaitu Provinsi Lampung. Menarik untuk diperhatikan perbedaan pertumbuhan ekonomi antara kedua provinsi ini. Apabila dilihat dari struktur ekonominya, Provinsi Riau hampir 50 persen PDRB daerahnya dikontribusi oleh sektor pertambangan dan penggalian

  Pada masa krisis moneter sektor ekonomi yang pertumbuhannya positif hanya sektor pertanian karena sektor ini dukungan subsektor perkebunan, kehutanan dan perikanan yang produksinya terus meningkat serta pengaruh dari pertumbuhan ekspornya (Tambunan, 2001). Secara keseluruhan pertumbuhan ekonomi di KES selama masa krisis (1997 – 1999) mengalami penurunan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,42 persen.Kemudian pertumbuhan ekonomi rata- rata selama 13 tahun otonomi daerah di semua provinsi yang berada di KES mengalami pertumbuhan ekonomi yang positif. Pertumbuhan ekonomi tertinggi selama periode ini yaitu Provinsi Banten yaitu sebesar 6,50 persen. Sedangkan Provinsi yang paling rendah pertumbuhan ekonominya selama periode ini adalah Provinsi Aceh yaitu hanya sebesar 0,61. Secara keseluruhan rata-rata pertumbuhan ekonomi di KES selama periode ini tumbuh sebesar 4,80 persen.

  Tabel 4.38. Pertumbuhan Ekonomi Provinsi-provinsi di KES pada Masa Otonomi

  Daerah (persen)

  Sumber: BPS, data diolah

  Keterangan:

  1. Provinsi Aceh 2. Provinsi Sumatera Utara 3. Provinsi Sumatera Barat 4. Provinsi Riau 5. Provinsi Jambi 6. Provinsi Sumatera Selatan 7. Provinsi Bengkulu 8. Provinsi Lampung 9. Provinsi Kepulauan Bangka Belitung

  10. Provinsi Kepulauan Riau 11. Provinsi Banten

  Provinsi Banten yang baru terbentuk pada tahun 2000 memiliki pertumbuhan ekonomi yang paling tinggi disebabkan karena berbasiskan sektor industri yang didukung dengan peningkatan sektor-sektor lainnya seperti perdagangan. Bisa dilihat dari Tabel 4.39. yang menunjukkan kontribusi sektor industri di provinsi ini pada tahun 2000 mencapai 52,45 persen, kemudian selama periode ini sektor perdagangan selama tahun 2000 – 2013 tumbuh sebesar 21 persen. Hal ini berbanding terbalik dengan Provinsi Aceh yang sektor perdagangannya cenderung meningkat juga tetapi kontribusi sektor industrinya setiap tahun cenderung menurun, selama periode ini menurun sekitar 57,76 persen dari 21,60 persen hanya menjadi 6,03 persen. Tabel 4.39. Kontribusi Sektor Industri dan Perdagangan Provinsi Banten dan Aceh

  (persen) Provinsi

  Sektor Industri

  Sektor Perdagangan

  Sumber: BPS, data diolah

  Faktor lain yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi kedua provinsi tersebut yaitu ekspor dan impornya. Bisa dilihat pada Tabel 4.40. Provinsi Aceh pada tahun 2007 volume ekspor dan impornya masing-masing sebesar 0,78 persen dan 0,15 persen. Sedangkan Provinsi Banten pada tahun yang sama volume ekspor dan impornya masing-masing sebesar 27,69 persen dan 45,58 persen. Keterbukaan ekonomi suatu daerah berpengaruh terhadap modal atau investasi asing langsung (PMA) maupun tidak langsung (pembelian saham), perdangangan (terutama ekspor) yang berdampak positif terhadap pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, namun sangat rentan terhadap perubahan kondisi ekonomi eksternal (Tambunan, 2012).

  Tabel 4.40. Ekspor dan Impor menurut Provinsi di KES tahun 2007 ( dari PDRB)

  Sumatera Utara

  Sumatera Barat

  Sumatera Selatan

  Bangka Belitung

  Sumber: Tambunan, 2012

  Fenomena krisis ekonomi yang melanda Indonesia tidak hanya terjadi pada masa orde baru saja, tetapi pada masa otonomi daerah juga terjadi krisis ekonomi global pada tahun 2008 – 2009 namun tidak berdampak signifikan terhadap perekonomian di Indonesia. Bisa dilihat dari Tabel 4.38. pertumbuhan ekonomi di tingkat provinsi yang berada di KES selama masih positif berbeda dengan pada saat krisis moneter pada masa orde baru yang hampir seluruh provinsi di KES mengalami pertumbuhan ekonomi yang negatif. Kondisi yang lebih baik ini disebabkan karena perbankan nasional jauh lebih baik dari pada masa orde baru dan keberhasilan pemerintah dalam merespon krisis tersebut dengan menjaga stabilitas nilai tukar rupiah serta menambah pengeluaran pemerintah. Selain itu juga kondisi ekonomi indonesia lebih baik disebabkan karena komoditas ekspor dari Indonesia lebih beragam dibandingkan pada saat krisis moneter 1998 (Tambunan, 2012).

  Hasil Uji Tren Pertumbuhan Ekonomi

  Sebelum otonomi daerah, penurunan pertumbuhan ekonomi yang signifikan hanya terjadi di Provinsi Bengkulu dan Lampung dan tidak ada provinsi yang mengalami peningkatan pertumbuhan ekonomi yang signifikan. Provinsi Bengkulu memiliki nilai signifikansi t sebesar 0,043, artinya variabel waktu berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Nilai koefisiennya sebesar -1,565 yang berarti bahwa setiap tahun pertumbuhan ekonomi Provinsi Bengkulu berkurang sebanyak 1,56 persen. Dan Provinsi Lampung memiliki nilai signifikansi t sebesar 0,048, yang juga berarti variabel waktu berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Provinsi Lampung. Nilai koefisiennya sebesar -3,011 yang berarti bahwa setiap tahun pertumbuhan ekonomi Provinsi Lampung berkurang sebanyak 3,011 persen. Kemudian untuk pertumbuhan ekonomi KES tidan mengalami perubahan.

  Setalah otonomi daerah, tidak ada provinsi yang mengalami penurunan pertumbuhan ekonomi yang signifikan tetapi ada dua provinsi yang mengalami peningkatan pertumbuhan ekonomi yang signfikan yaitu Provinsi Sumatera Barat dan Jambi. Provinsi Sumatera Barat dan Jambi memiliki nilai signifikansi t sebesar 0,05 dan 0,030 yang berarti variabel waktu berpengaruh signifikan terhadap variabel pertumbuhan ekonomi. Nilai koefisien untuk Provinsi Sumatera Barat dan Jambi yaitu sebesar 0,146 dan 0,210, artinya setiap tahun pertumbuhan ekonomi di Sumatera Barat meningkat sebesar 0,146 persen dan 0,210 persen untuk Provinsi Jambi. Dan pertumbuhan ekonomi KES tidak mengalami perubahan.

  Tabel 4.41. Hasil Uji Tren Pertumbuhan Ekonomi Sebelum dan Setelah Otonomi

  Daerah.

  Provinsi

  Sebelum Otonomi

  Setelah Otonomi

  Nilai Koefisien

  Signifikansi

  Nilai Koefisien

  Sumatera Utara

  Sumatera Barat

  Sumatera Selatan

  Bangka Belitung

  Kepulauan Riau

  Sumber: Hasil Analisis Keterangan: Signifikan pada α = 5

  4.3.2. Ketimpangan Pendapatan Pada periode sebelum otonomi daerah ketimpangan Pendapatan di seluruh

  provinsi di KES tergolong dalam ketimpangan tinggi (CVw > 0,35) kecuali Provinsi Jambi dan Lampung yang tergolong dalam ketimpangan sedang yaitu sebesar 0,257 dan 0,210 yang berarti bahwa tingkat pemerataan di kedua provinsi tersebut mencapai 74,3 persen dan 79 persen. Provinsi yang kaya sumber daya alam seperti provinsi Aceh dan Riau memiliki tingkat ketimpangan tertinggi sebesar 0,945 dan 0,786 yang berarti bahwa tingkat pemerataan pada kedua provinsi tersebut tidak mencapai 30 persen. Beberapa hasil studi empiris sebelumnya menyatakan bahwa ketika sektor pertambangan dan penggalian dikeluarkan dari perhitungan Indeks Williamson, ketimpangan pendapatan menjadi meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa sektor tersebut yang berkontribusi besar dalam meningkatkan ketimpangan. Secara keseluruhan pada periode ini, ketimpangan pendapatan di KES yaitu sebesar 0,895 yang berarti tingkat pembangunan di KES sebesar 10,5 persen.

  Tabel 4.42. Ketimpangan Pendapatan Sebelum Otonomi Daerah

  Sumber: Hasil Analisis

  Kemudian setelah otonomi daerah lahir sebagai bentuk dari kegagalan dari sistem pemerintah yang sentralistis. Karena pemerintahan yang sentralistis menyebabkan proses pembangunan daerah menjadi tidak efisien dan ketimpangan wilayah menjadi meningkat serta menimbulkan ketidakadilan dalam pembangian alokasi sumberdaya nasional terutama dana pembangunan (Sjafrizal, 2008).

  Jadi secara ekspilisit, otonomi daerah bertujuan untuk meningkatkan pemerataan pembangunan yang pada masa sebelumnya belum tercapai. Dan tampaknya setelah lebih dari 13 tahun lahirnya otonomi daerah telah membuahkan hasil jika dilihat dari tingkat ketimpangan pendapatan pada setiap provinsi di KES.

  Jika dilihat dari hasil analisis Indeks Williamson setelah otonomi daerah, terlihat bahwa angka ketimpangan pendapatan di beberapa daerah cenderung menurun meskipun di masih di kategorikan sebagai ketimpangan tinggi. Provinsi yang baru terbentuk pada masa otonomi daerah yaitu Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dan Banten, memiliki tingkat ketimpangan yang paling tinggi yaitu masing- masing sebesar 0,70 dan 0,89 yang berarti tingkat pemerataan pembangunan di kedua provinsi itu hanya sebesar 30 persen dan 11 persen.

  Bahkan Provinsi Banten selama periode ini tingkat ketimpangannya cenderung meningkat. Berbeda dengan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang cenderung menurun. Hal ini bisa disebabkan karena di Provinsi Banten sektor ekonomi yang paling besar kontribusinya adalah sektor industri yang rata-rata setiap tahunnya berkontribusi sekitar 50 persen dalam PDRB daerahnya. Sedangkan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang berkontribusi besar dalam PDRB daerahnya adalah sektor pertanian yang rata-rata setiap tahunnya berkontribusi sekitar 35 persen sedangkan sektor industri tidak sampai lima persen.

  Kemudian Provinsi yang dikategorikan ketimpangan rendah selama periode ini yaitu Provinsi Lampung di mana tingkat ketimpang pendapatannya hanya 0,18 yang berarti tingkat pemerataannya mencapai 82 pesen.

  Tabel 4.43. Ketimpangan Pendapatan (CVw) pada Masa Otonomi Daerah

  Sumber: Hasil Analisis

  Keterangan:

  1. Provinsi Aceh 2. Provinsi Sumatera Utara 3. Provinsi Sumatera Barat 4. Provinsi Riau 5. Provinsi Jambi 6. Provinsi Sumatera Selatan 7. Provinsi Bengkulu 8. Provinsi Lampung 9. Provinsi Kepulauan Bangka Belitung

  10. Provinsi Kepulauan Riau 11. Provinsi Banten

  Peningkatan ketimpangan pendapatan di beberapa provinsi seiiring dengan peningkatan kontribusi sektor industri pengolahan. Penyebab terjadi ketimpangan pendapatan adalah sektor industri dan jasa (Etharina, 2004). Di mana kontribusi sektor Industri di Provinsi Jambi pada tahun 1993 sebesar 13,88 persen menjadi 15,44 persen.

  Kemudian terjadinya penurunan ketimpangan pendapatan di beberapa provinsi diikuti dengan semakin berkurangnya hasil pertambangan dan penggalian di daerah tersebut. Selama periode ini kontribusi sektor pertambangan dan penggalian pada Provinsi Aceh pada tahun 1993 sebesar 51,24 persen menjadi 44,23 persen pada tahun 1996 yang berarti kontribusinya berkurang sekitar 20 persen, Provinsi Sumatera Utara pada tahun 1993 sebesar 2,52 persen menjadi 1,96 persen berarti berkurang sekitar 55 persen.

  Tabel 4.44. Kontribusi Sektor Pertambangan dan Penggalian dalam PDRB Daerah

  (persen) Provinsi

  Sumatera Utara

  Sumber: BPS, data diolah

  Menjadi perhatian selama periode sebelum otonomi daerah, Indonesia sempat mengalami krisis moneter yaitu pada tahun 1997 – 1999. Krisis moneter tentu sedikit banyaknya akan berpengaruh terhadap ketimpangan pendapatan di daerah. Pada tataran wilayah Indonesia, terjadinya krisis moneter yang melanda Indonesia pada masa ini sangat merugikan perekonomian Indonesia terutama sektor ekonomi perkotaan. Sehingga banyak tenaga kerja di perkotaan yang mendapatkan pemutusan hubungan kerja yang berakibat pada meningkatkan migrasi dari perkotaan ke pedasaan. Bahkan pada masa krisis ekonomi pertumbuhan ekonomi di Indonesia negatif. Namun, sebenarnya ketimpangan pendapatan antarwilayah di Indonesia pada masa krisis mengalami penurunan drastis tetapi ketimpangan di dalam wilayah semakin meningkat karena disumbang ketimpangan antarkabupaten (Agusta, 2014).

  Kemudian pada tataran regional dari hasil analisis dengan menggunakan Indeks Williamson pada masa krisis di KES, sebenarnya hampir semua daerah masih tergolong dalam ketimpangan tinggi (CVw > 3,5), tetap hanya Provinsi Jambi dan Lampung yang tergolong ketimpangan sedang yaitu sebesar 0,28 dan 0,22 yang berarti tingkat pemeratan di kedua provinsi tersebut masing-masinng sebesar 0,72 persen dan 78 persen, tetapi sebenarnya ketimpangan pendapatan di kedua daerah tersebut meningkat jika dibandingkan pada masa sebelum krisis moneter. Secara keseluruhan pada masa krisis moneter ketimpangan pendapatan di KES tergolong ketimpangan tinggi yaitu 0,92 yang berarti tingkat pemerataan hanya 8 persen. Tabel 4.45. Ketimpangan Pendapatan (CVw) pada Masa Krisis

  Sumatera Utara

  Sumatera Barat

  Sumatera Selatan

  Sumber: Hasil Analisis

  Selama masa krisis ini ada beberapa provinsi yang mengalami penurunan ketimpangan pendapatan namun ada juga beberapa provinsi seperti provinsi Jambi, Sumatera Selatan dan Bengkulu yang mengalami peningkatan. Provinsi Jambi selama periode ini mengalami peningkatan ketimpangan rata-rata sebesar 6,46 persen. Provinsi Sumatera Selatan mengalami peningkatan ketimpangan rata-rata sebesar 1,25 persen, dan Provinsi Bengkulu hanya mengalami peningkatan ketimpangan rata-rata sebesar 0,56 persen.

  Tabel 4.46. Laju Pertumbuhan Ketimpangan Pendapatan pada Masa Krisis (persen)

  Sumatera Utara

  Sumatera Barat

  Sumatera Selatan

  Sumber: Hasil Analisis Hasil Uji Tren Ketimpangan Pendapatan

  Sebelum otonomi daerah, penurunan ketimpangan pendapatan yang signifikan hanya di Provinsi Aceh dan Sumatera Utara. Provinsi Aceh memiliki nilai signifikansi t sebesar 0,000 dan Sumatera Utara sebesar 0,0001, yang berarti variabel waktu berpengaruh signifkan terhadap variabel ketimpangan pendapatan. Nilai Koefisien untuk Provinsi Aceh dan Sumatera Utara sebesar -0,041 dan -0,021, yang berarti bahwa setiap tahun ketimpangan pendapatan di Provinsi Aceh berkurang sebesar 0,0041 persen dan di Provinsi Sumatera Utara berkurang sebesar 0,021 persen. Kemudian peningkatan ketimpangan pendapatan yang signifikan hanya terjadi di Provinsi Jambi. Provinsi Jambi memiliki nilai signfikansi t sebesar 0,016 persen, yang berarti variabel waktu juga berpengaruh signfikan terhadap ketimpangan pendapatan di Provinsi Jambi. Dan nilai koefisiennya sebesar 0,010 persen yang berarti bahwa setiap tahun ketimpangan pendapatan di Provinsi Jambi meningkat sebesar 0,010 persen. Sedangkan untuk ketimpangan pendapatan di KES tidak mengalami perubahan.

  Setelah otonomi daerah, provinsi yang mengalami penurunan ketimpangan pendapatan yang signifikan yaitu Provinsi Aceh, Sumatera Barat, Riau, Kepulauan Bangka Belitung, dan Kepulauan Riau. Provinsi Aceh, Sumatera Barat dan Riau Setelah otonomi daerah, provinsi yang mengalami penurunan ketimpangan pendapatan yang signifikan yaitu Provinsi Aceh, Sumatera Barat, Riau, Kepulauan Bangka Belitung, dan Kepulauan Riau. Provinsi Aceh, Sumatera Barat dan Riau

  Provinsi yang mengalami peningkatan ketimpangan pendapat signifikan yaitu Provinsi Sumatera Utara, Jambi, Bengkulu, dan Banten. Provinsi Sumatera Utara memiliki nilai signfikansi t sebesar 0,000, sedangkan Provinsi Jambi, Bengkulu dan Banten memiliki nilai signifkansi t yang sama yaitu sebesar 0,001. Kemudian nilai koefisien untuk Provinsi Sumatera Utara sebesar 0,009 yang berarti setiap tahun ketimpangan pendapatan meningkat sebesar 0,009 persen. Provinsi Jambi dan Bengkulu memiliki nilai koefisien yang sama yaitu sebesar 0,003 yang berarti setiap tahun ketimpangan pendapatan meningkat sebesar 0,003 persen. Dan Banten memiliki nilai koefisien sebesar 0,017 yang berarti setiap tahun ketimpangan pendapatan meninngkat sebesar 0,017 persen.

  Ketimpangan pendapatan KES selama periode ini mengalami penurunan yang signifkan. KES memiliki nilai signifikansi t sebesar 0,000 yang berarti variabel waktu berpengaruh signifikan terhadap variabel ketimpangan pendapatan di KES. Dan nilai koefisiennya sebesar -0,011 yang berarti setiap tahun ketimpangan pendapatan menurun sebesar 0,011 persen di KES.

  Tabel 4.47. Hasil Uji Tren Ketimpangan Pendapatan Sebelum dan Setelah Otonomi

  Daerah Tahun 1993 – 1996.

  Provinsi

  Sebelum Otonomi Daerah

  Setelah Otonomi Daerah

  Nilai Koefisien

  Signifikansi

  Nilai Koefisien Signifikansi

  Sumatera Utara

  Sumatera Barat

  Sumatera Selatan

  Bangka Belitung

  Kepulauan Riau

  Sumber: Hasil Analisis Keterangan: signifikan pada α = 5

  Signifikan pada α = 1

  Meskipun dengan pemberian wewenang kapada masing-masing daerah untuk mengatur dan mengelola daerahnya sendiri pada masa otonomi daerah masih ada kemungkinan peningkatan ketimpangan pendapatan dibeberapa daerah sebagai akibat otonomi daerah. Menurut Agusta (2014) indikasi peningkatan ketimpangan pendapatan pada masa otonomi daerah disebabkan oleh:

  a. Pembagian keuangan negara untuk daerah mempertimbangkan kontribusi daerah dalam GDP

  b. Dana bagi hasil juga lebih menguntungkan daerah-daerah sentra bisnis

  c. Kerjasama antar daerah belum terjalin kuat

  d. Pungutan tinggi yang menghambat laju migrasi

  e. Pembatasan atau tarif bea masuk yang tinggi

  f. DAU (Dana Alokasi Umum) tidak diarahkan unntuk isu-isu strategis ketimpangan

  g. Tidak semua pemerintah daerah mencarikan DAK.(Dana Alokasi Khusus).

  Sehingga tidak heran apabila di beberapa daerah seperti di Provinsi Sumatera Utara, Jambi, Bengku dan Banten ketimpangan pendapatan malah meningkat. Namun apabila dilihat secara keseluruhan ketimpangan pendapatan di KES selama 13 tahun otonomi daerah ketimpangan pendapatan menurun 4,07 persen.

  Peningkatan ketimpangan pendapatan setelah otonomi daerah disebabkan karena daerah mendapatkan keuntungan berlebih dari hasil eksploitasi sumberdaya alam di wilayahnya (Agusta, 2014). Bisa dilihat untuk kasus peningkatan ketimpangan pendapatan di Provinsi Jambi, Sumatera Selatan dan Bengkulu di mana pada periode ini kontribusi sektor pertambangan dan penggalian terus meningkat sedangkan di provinsi-provinsi lainnya justru kontribusi sektor tersebut mengalami penurunan.

  Pada tahun 1997 kontribusi sektor pertambangan dan penggalian di Provinsi Jambi hanya 6,62 persen meningkat menjadi 10,72 persen artinya meningkat sekitar

  62 persen, sedangkan di provinsi Sumatera Selatan hanya sebesar 9 persen. Kemudian di Provinsi Bengkulu meningkat menjadi 16 persen selama kurun waktu tahun 1997 – 1999. Di mana peningkatan kontribusi sektor pertambangan dan 62 persen, sedangkan di provinsi Sumatera Selatan hanya sebesar 9 persen. Kemudian di Provinsi Bengkulu meningkat menjadi 16 persen selama kurun waktu tahun 1997 – 1999. Di mana peningkatan kontribusi sektor pertambangan dan

  Sedangkan kontribusi sektor pertambangan dan penggalian selama kurun waktu tahun 1997 – 1999 di Provinsi Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau dan Lampung mengalami penurunan yang diiringi dengan penurunan tingkat ketimpangan pendapatan di daerah tersebut.

  Tabel 4.48. Kontribusi Sektor Pertambangan dan Penggalian di masing-masing

  Provinsi selama Masa Krisis (persen) Provinsi

  Sumatera Utara

  Sumatera Barat

  Sumatera Selatan

  Sumber: BPS, data diolah

  Meskipun di beberapa daerah provinsi yang berada di KES mengalami peningkatan maupun penurunan ketimpangan pendapatan, secara keseluruhan ketimpangan pendapatan di KES selama masa krisis moneter mengalami penurunan sebesar 1,40 (lihat Tabel 4.46.). Hal ini disebabkan karena hasil eksploitasi sumberdaya alam di beberapa provinsi mengalami penurunan yang bisa dilihat dari angka kontribusi sektor pertambangan dan penggalian.

  4.3.3 Klasifikasi Daerah Berdasarkan Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan

  Pendapatan

  4.3.3.1. Sebelum Otonomi Daerah Berdasarkan trend pertumbuhan ekonomi yang menunjukkan terjadi tren peningkatan pertumbuhan ekonomi sebelum otonomi daerah terjadi di Provinsi Jambi, Bengkulu, dan Lampung. Sedangkan tren penurunan pertumbuhan ekonomi terjadi di Provinsi Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, dan Sumatera Selatan.

  Kemudian ketimpangan pendapatan yang menunjukkan tren peningkatan terjadi di Provinsi Jambi, Bengkul dan Lampung. Dan tren penurunan ketimpangan pendapatan terjadi di Provinsi Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, dan Sumatera Selatan. Pada Tabel 4.49. maka dapat diklasifikasikan daerah tersebut sebagai berikut:

  Tabel 4.49. Klasifikasi Daerah berdasarkan Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan

  Pendapatan sebelum Otonomi Daerah

  Kuadran II

  Kuadran I

  Kuadran IV

  Kuadran III

  Aceh

  Jambi

  Sumatera Utara

  Sumatera Selatan

  Keterangan: - Kuadran I : Pertumbuhan Ekonomi naik dan Ketimpangan Pendapatan naik - Kuadran II : Pertumbuhan Ekonomi turun dan Ketimpangan Pendapatan naik - Kuadran III : Pertumbuhan Ekonomi naik dan Ketimpangan Pendapatan turun - Kuadran IV : Pertumbuhan Ekonomi turun dan Ketimpangan Pendapatan turun

  4.3.3.2 Setelah Otonomi Daerah Otonomi daerah pada tahun 2000 membuat perubahan klasifikasi daerah

  berdasarkan tren pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan pendapatan. Setelah otonomi daerah ada beberapa provinsi yang masuk dalam kuadran I dan kuadran II di mana sebelum otonomi daerah tidak ada provinsi yang berada pada dua kuadran ini. Pada Tabel 4.50. provinsi yang mengalami trend peningkatan pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan pendapatan yaitu Provinsi Sumatera Utara, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, dan Banten. Sedangkan hanya Provinsi Lampung yang mengalmai tren penurunan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan ketimpangan pendapatan. Dan provinsi yang mengalami tren peningkatan pertumbuhan ekonomi dan penurunan ketimpangan pendapatan yaitu Provinsi Aceh, Sumatera Barat, Riau dan Kepulauan Riau. Kemudian hanya satu provinsi yang mengalami tren penurunan pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan pendapatan yaitu Kepulauan Bangka Belitung.

  Tabel 4.50. Klasifikasi Daerah berdasarkan Pertumbuhan Ekonomi dan

  Ketimpangan Pendapatan setelah Otonomi Daerah

  Kuadran II

  Kuadran I

  Lampung

   Sumatera Utara  Jambi

   Sumatera Selatan  Bengkulu  Banten

  Kuadran IV

  Kuadran III

  Kepulauan Bangka Belitung

   Aceh  Sumatera Barat  Riau  Kepulauan Riau

  Keterangan: - Kuadran I : Pertumbuhan Ekonomi naik dan Ketimpangan Pendapatan naik

  - Kuadran II : Pertumbuhan Ekonomi turun dan Ketimpangan Pendapatan naik - Kuadran III : Pertumbuhan Ekonomi naik dan Ketimpangan Pendapatan turun - Kuadran IV : Pertumbuhan Ekonomi turun dan Ketimpangan Pendapatan turun