TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI
PROGRAM MP3EI
Sektor
Ekonomi
Strategis
Koridor Ekonomi Sumatrera: - Sektor Pertanian - Sektor industri
Kewenangan Daerah OTONOMI DAERAH
2.4. Rumusan Hipotesis
1. Diduga terjadi peningkatan pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan pendapatan selama kurun waktu tahun 1993 – 2013.
2. Terjadi trade off antara pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan pendapatan di Koridor Ekonomi Sumatera.
3. Sektor pertanian berkontribusi paling kecil dalam ketimpangan pendapatan di Koridor Ekonomi Sumatera.
BAB III METODE PENELITIAN
3.1. Metode Dasar Penelitian
Penelitian ini akan menggunakan metode deskriptif. Metode ini bertujuan untuk menggambarkan secara sistematis fakta-fakta atau karakterisktik populasi atau bidang tertentu secara faktual dan cermat (Soewadji, 2012). Metode deskriptif digunakan untuk memberikan suatu gambaran umum mengenai kondisi ketimpangan pendapatan dan variabel-variabel pembangunan dari tahun 1993 – 2013. Pada penelitian ini, periode waktu tersebut akan dibahas menjadi dua periode waktu yaitu sebelum otonomi daerah (dari tahun 1993 sampai tahun 1999) dan setelah otonomi daerah (dari tahun 2000 sampai tahun 2013).
Variabel-variabel yang ingin dijelaskan dalam penelitian ini adalah PDRB, jumlah penduduk, jumlah tenaga kerja per lapangan kerja utama dan sektor-sektor ekonomi.
3.2. Daerah Penelitian
Penelitian ini akan mengamati kondisi ketimpangan pendapatan di Koridor Ekonomi Sumatera. Berdasarkan pembagian menurut Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, koridor ekonomi Sumatera terdiri dari Provinsi Aceh, Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Bengkulu, Lampung, Kepulauan Bangka Belitung, Kepulauan Riau dan Banten.
3.3. Teknik Pengumpulan Data dan Jenis Data
3.3.1. Cara Pengumpulan Data
Cara pengumpulan data yang dilakukan adalah dengan cara dokumentasi, menurut Soewadji (2012) teknik ini merupakan cara mencari data atau informasi yang bersumber dari buku-buku, catatan-catatan, transkrip, surat kabar, majalah, prasasti dan lain-lain. Data-data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data berupa hasil pencatatan dari instansi pemerintah, misalnya Badan Pusat Statistik Indonesia, serta instansi lain yang terkait dengan penelitian ini.
3.3.2 Jenis Data
Basis penelitian ini secara keseluruhan menggunakan data sekunder. Data sekunder yang diperlukan dalam penelitian ini antara lain (1) PDRB Atas Dasar Harga Konstan (ADHK) Menurut Lapangan Usaha; (2) Jumlah penduduk; (3) Jumlah tenaga kerja per sektor ekonomi setiap provinsi di Koridor Ekonomi Sumatera; serta data lain yang berguna bagi penelitian ini. Data sekunder yang digunakan adalah data dari seluruh provinsi di Koridor Ekonomi Sumatera pada rentang waktu 1993 – 2013. Data yang digunakan adalah data time series (runut waktu)
3.4. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional
Untuk memberikan kesamaan pemahaman terhadap variabel independen dan dependen dalam penelitian ketimpangan pendapatan ini, maka diperlukan suatu definisi operasional variabel sebagai berikut:
a. PDRB adalah nilai tambah bruto dari sejumlah produksi yang dihasilkan oleh seluruh sektor ekonomi suatu daerah dalam periode tertentu (biasanya satu tahun) tanpa memperhatikan kepemilikan faktor produksi yang dinyatakan dalam rupiah. Data PDRB yang digunakan dalam penelitian ini adalah data PDRB Atas Dasar Harga Konstan (ADHK) tahun 2000 periode 1993 – 2013.
b. Jumlah Penduduk banyaknya penduduk di suatu daerah (jiwa)
c. Jumlah Tenaga kerja adalah jumlah orang yang memiliki pekerjaaan utama, dinyatakan dalam satuan orang.
d. Pertumbuhan Ekonomi adalah laju kenaikan nilai PDRB pada tiap tahun yang terjadi di Koridor Ekonomi Sumatera. Parameter yang digunakan untuk mengukur laju pertumbuhan ekonomi adalah persentase.
e. PDRB per kapita Sektor Pertanian. Peternakan, Kehutanan dan Perikanan merupakan nilai PDRB sektor Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan dibagi dengan jumlah penduduk yang bekerja pada sektor tersebut, dinyatakan dalam satuan Rupiahkapitatahun.
f. PDRB per kapita Sektor Industri merupakan nilai PDRB sektor Pertambangan dan Penggalian, Sektor Industri Pengolahan, Sektor Listrik, Gas, dan Air Bersih dibagi dengan jumlah penduduk yang bekerja di sektor tersebut, dinyatakan dalam satuan Rupiahkapitatahun.
g. PDRB per kapita Sektor Jasa merupakan nilai PDRB Sektor Perdagangan, restoran, dan hotel, Sektor Pengangkutan dan Komunikasi, Sektor Keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, serta Sektor Pemerintahan g. PDRB per kapita Sektor Jasa merupakan nilai PDRB Sektor Perdagangan, restoran, dan hotel, Sektor Pengangkutan dan Komunikasi, Sektor Keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, serta Sektor Pemerintahan
3.4.1. Batasan Penelitian
1. Indikator pendapatan yang digunakan dalam penelitian ini baik dalam mengukur pendapatan per kapita, pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan pendapatan menggunakan PDRB.
2. Tujuan penelitian keempat menganalisis data dari tahun 2002 – 2013.
3. Alat ukur ketimpangan pendapatan yang digunakan yaitu Indeks Williamson.
3.5. Metode Analisis Data
3.5.1 Mengidentifikasi karakteristik dari wilayah provinsi di Koridor Ekonomi Sumatera.
Untuk menganalisis karakteristik wilayah provinsi yang berada di Koridor Ekonomi Sumatera yaitu dengan menggunakan analisi Tipologi Klassen (Sjafrizal, 2009):
Tabel 3.1. Analisis Klasifikasi Tipologi Klassen
Pendapatan Per kapita (Y)
Pertumbuhan PDRB (r)
Kuadran I
Kuadran II
r i >r
Daerah Maju
Daerah maju tapi tertekan
Kuadran III
Kuadran IV
r i Daerah Daerah Relatif Tertinggal Berkembang Di mana: r i = Laju pertumbuhan PDRB Provinsi i r = Laju pertumbuhan PDRB Koridor Ekomi Sumatera Y i = PDRB per kapita Provinsi i Y = PDRB per kapita Koridor Ekonomi Sumatera 3.5.2 Mengetahui Tingkat Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan
Pendapatandi Koridor Ekonomi Sumatera
3.5.2.1. Pertumbuhan Ekonomi Untuk mengetahui tingkat pertumbuhan ekonomi di Koridor Ekonomi
Sumatera maka dapat menggunakan rumus sebagai berikut:
− −1
× 100
−1
Di mana :
Y
= Tingkat Pertumbuhan PDRB PDRB t = PDRB Provinsi i Tahun t PDRB t-1 = PDRB Provinsi i Sebelum Tahun t
Dan juga untuk melihat pertumbuhan ekonomi selama periode penelitian apakah terjadi peningkatan atau penurunan yang signifikan perlu dilakukan uji secara statistik. Uji statistik yang digunakan yaitu uji trend di mana variabel waktu menjadi variabel independen dan petumbuhan ekonomi menjadi variabel dependen. Persamaan uji tren pertumbuhan ekonomi sebagai berikut:
ln = + +
Di mana :
Y = Pertumbuhan Ekonomi α = Konstanta β = Slope t = Waktu
Pengujian yang dilakukan pada analisis trend tersebut dengan menggunakan uji t (individual test). Uji t digunakan untuk menguji pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen.
Hipotesis yang di uji:
Ho
: Peningkatan pertumbuhan ekonomi tidak signifikan di KES.
H 1 : Peningkatan pertumbuhan ekonomi signifikan di KES.
Kriteria pengujian:
Jika nilai t sig < α, maka Ho ditolak Jika nilai t sig > α, maka Ho diterima
3.5.2.2. Ketimpangan Pendapatan Untuk mengetahui tingkat ketimpangan pendapatan pada koridor ekonomi
Sumatera yaitu dengan menggunakan Indeks Williamson, dapat menggunakan rumus di bawah ini:
∑
( − ) 2 (
√ =1
Di mana:
Vw
= Indeks Williamson y i = PDRB per kapita daerah i
y
= PDRB per kapita rata-rata seluruh daerah
f i = Jumlah penduduk daerah i
n
= Jumlah penduduk seluruh daerah
Kriteria dalam perhitungan Indeks Williamson ini yaitu jika Indeks Williamson menunjukkan (Arsyad, 2010):
1) Angka 0,0 sampai 0,2 maka ketimpangan rendah.
2) Angka 0,21 sampai 0,35 maka ketimpangan sedang.
3) Angka > 0,35 maka ketimpangan tinggi. Untuk melihat ketimpangan pendapatan selama periode penelitian apakah
terjadi peningkatan atau penurunan yang signifikan perlu dilakukan uji secara statistik. Uji statistik yang digunakan yaitu uji trend di mana variabel waktu menjadi variabel independen dan ketimpangan pendapatan menjadi variabel dependen. Persamaan uji tren ketimpangan pendapatan sebagai berikut: terjadi peningkatan atau penurunan yang signifikan perlu dilakukan uji secara statistik. Uji statistik yang digunakan yaitu uji trend di mana variabel waktu menjadi variabel independen dan ketimpangan pendapatan menjadi variabel dependen. Persamaan uji tren ketimpangan pendapatan sebagai berikut:
Di mana :
Y = Ketimpangan Pendapatan α = Konstanta β = Slope t = Waktu
Pengujian yang dilakukan pada analisis trend tersebut dengan menggunakan uji t (individual test). Uji t digunakan untuk menguji pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen.
Hipotesis yang di uji:
Ho
: Peningkatan ketimpangan pendapatan tidak signifikan di KES.
H 1 : Peningkatan Ketimpangan pendapatan signifikan di KES.
Kriteria pengujian:
Jika nilai t sig < α, maka Ho ditolak Jika nilai t sig > α, maka Ho diterima
3.5.2.3. Klasifikasi Daerah berdasarkan Tren Pertumbuhan Ekonomi dan
Ketimpangan Pendapatan
Setelah diketahui apakah tren pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan pendapatan, kemudian dilakukan pengklasifikasin daerah berdasarkan tren pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan pendapatan. Pengklasifikasian daerah menjadi empat kuadran yaitu:
1. Kuadran I merupakan daerah yang memiliki tren peningkatan pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan pendapatan.
2. Kuadran II merupakan daerah yang memiliki tren penurunan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan ketimpangan pendapatan.
3. Kuadran III merupakan daerah yang memiliki tren peningkatan pertumbuhan ekonomi dan penurunan ketimpangan pendapatan.
4. Kuadran IV merupakan daerah yang memiliki tren penurunan pertumbuhan ekonomi dan penurunan ketimpangan pendapatan.
3.5.3 Mengetahui apakah terjadi trade off antara pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan pendapatan di Koridor Ekonomi Sumatera.
Untuk mengetahui trade-off antara pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan, alat analisis yang digunakan adalah analisis Korelasi Pearson. Di mana rumus Korelasi Pearson sebagai berikut:
∑ =1 − ∑ =1 ∑ =1
r=
√ ∑ 2 2 2
=1 − {∑ =1 } √ ∑ =1 −{∑
Di mana,
r
= Nilai Korelasi
X = Pertumbuhan Ekonomi
Y
= Indeks Williamson
Hipotesis yang di uji:
Ho
: Tidak ada hubungan positif signifkan antara pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan pendapatan di KES.
H 1 : Ada hubungan positif signifikan antara pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan pendapatan di KES.
Kriteria pengujian:
Jika nilai t sig < α, maka Ho ditolak Jika nilai t sig > α, maka Ho diterima
Terdapatnya hubungan antar variabel bisa dilihat pada tingkat signifikasinya. Di mana keeratan hubungan dinyatakan dalam koefisien korelasi. Kriteria kekuatan hubungan antara dua variabel sebagai berikut (Setiawan, 2013):
Tabel 3.2. Interpretasi Keeratan Hubungan
Nilai Koefisien Korelasi
Interpretasi
0 Tidak ada korelasi
0,01 – 0,20
Sangat lemah
Sangat Kuat
1 Sempurna
Lebih jauh dalam Santoso (1999) menyetakan bahwa tanda korelasi juga berpengaruh pada penafsiran hasil, di mana tanda negatif (-) pada output menunjukkan adanya hubungan arah yang berlawanan, sedangkan tanda positif (+) menunjukkan hubungan yang searah. Kemudian perlu dilakukan uji signifikansi untuk menjelaskan hubungan kedua variabel. Jika nilai probabilitas lebih dari 0,05 maka Ho diterima artinya tidak ada hubungan antara dua variabel. Sedangkan jika nilai probabilitas kurang dari 0,05 maka Ho ditolak artinya ada hubngan antara dua variabel.
3.5.4 Menganalisis Kontribusi Sektor Ekonomi Strategis terhadap Ketimpangan Pendapatan di Koridor Ekonomi Sumatera.
Dalam analisis ini PDRB dibagi menjadi tiga sektor berdasarkan pembagian World Bank yaitu sektor pertanian, sektor industri, dan sektor jasa (Anwar dalam Etharina, 2004):
1. Sektor Pertanian, meliputi:
a. Pertanian: Tanaman bahan makanan dan perkebunan
b. Peternakan
c. Kehutanan
d. Perikanan
2. Sektor Industri, meliputi:
a. Pertambangan dan Penggalian
b. Industri Pengolahan
c. Listrik, Gas dan Air Bersih
d. Bangunan
3. Sektor Jasa, meliputi:
a. Perdagangan, restoran dan hotel
b. Pengangkutan dan komunikasi
c. Keuangan, persewaan dan jasa perusahaan
d. Pemerintahan umum dan jasa kemasyarakatan
Kemudian alat analisis yang digunakan untuk mengetahui sektor mana yang memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap ketimpangan di Koridor Ekonomi Sumatera yaitu dengan menggunakan koefisien variasi tertimbang (weighted coefficient of variation) yag dikemukakan oleh Williamson sehingga dikenal dengan koefisien Williamson.. Formula Weight Coefficient of Variation (CV w ) sebagai berikut (Akita dan Lukman,1995):
1 = √∑( − Ῡ) 2
Di mana:
P i = Jumlah Penduduk daerah i P = Jumlah Penduduk Koridor Ekonomi Sumatera Y i = Pendapatan per kapita daerah i Ῡ = Pendapatan Koridor Ekonomi Sumatera per kapita
∑ =1
n = Jumlah Provinsi Penelitian ini menggunakan PDRB sebagai subtitusi dari pendapatan. PDRB
merupakan jumlah dari PDRB sektoral, kuadrat CV w dapat didekomposisi sebagai berikut:
2 2 2 =∑
+ ∑ (,)
Di mana:
Z j = Pangsa sektor j dalam PDRB Koridor Ekonomi
Sumatera
CV wj = Koefisien variasi tertimbang dari sektor j
1 = √∑ ( − Ῡ ) 2
COV w(j,k)
= Koefisien variasi tertimbang antara sektor j dan sektor k
∑ =1 ( − Ῡ )( − Ῡ )
Ῡ j , Ῡ k = PDRB KE Sumatera per kapita dari sektor j dan k Y ji ,Y ki = PDRB per kapita sektor j dan k di daerah i
m
= Jumlah sektor
Jika perekonomian dibagi menjadi tiga sektor, maka persamaan (2) menjadi:
Persamaan ini membantu untuk menghitung sektor mana yang memberikan kontribusi pada CV w dari PDRB per kapita. Dalam persamaan ini dapat pula dilihat (covariation) antar sektor-sektor yang memberikan kontribusi pada CV w . Sektor pertanian dinotasikan dengan angka satu (1), sektor industri (2) dan sektor jasa (3).
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Gambaran Umum dan Perekonomian Daerah
4.1.1. Provinsi Aceh
4.1.1.1. Keadaan geografis dan administratif Provinsi Aceh berada di bagian barat Indonesia, terletak pada garis 01º 58’ 37,2” – 0,6º 04’ 33,6” Lintang Utara dan 94º 57’ 57,6” – 98º 17’ 13,2” Bujur Timur, sebelah Utara dan Timur berbatasan dengan Selat Malaka, sebelah Selatan dengan Provinsi Sumatera Utara, dan sebelah barat berbatasan dengan Samudera Indonesia.
Provinsi Aceh memiliki luas 5.677.081 ha, dengan luas hutan 2.270.080 ha, lahan perkebunan rakyat seluas 800.401 ha, dan lahan industri seluas 3.928 ha. Pemerintah Aceh secara administratif saat ini terdiri dari 18 Kabupaten dan lima kota yaitu: Tabel 4.1 Kabupaten dan Kota di Provinsi Aceh tahun 2013
KabupatenKota
Luas (km 2 )
KabupatenKota
Luas (km 2 )
Simeuleu
Gayo Lues
Aceh Singkil
Aceh Tamiang
Aceh Selatan
Nagan Raya
Aceh Tenggara
Aceh Jaya
Aceh Timur
Bener Meriah
Aceh Tengah
Pidie Jaya
Aceh Barat
Banda Aceh
Aceh Besar
Aceh Utara
Aceh Barat Daya
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2014
Sampai saat ini pemerintah Aceh telah mengalami beberapa kali pemekaran, dari 10 Kabupatenkota pada tahun 1998, berkembang menjadi 12 KabupatenKota pada tahun 1999. Pada saat itu KabupatenKota yang dilakukan pemekaran yaitu Kabupaten Bireuen (pemekaran dari Kabupaten Aceh Utara) dan Kabupaten Simeulue (pemekaran dari Kabupaten Aceh Barat).
Kemudian terjadi lagi pemekaran pada tahun 2001 yang terbentuk dua Kota yaitu Kota Langsa (pemekaran dari Kabupaten Aceh Timur) dan Kota Lhokseumawe (pemekaran dari Kabupaten Aceh Utara). Pada tahun 2002 terbentuk beberapa Kabupaten baru yaitu Kabupaten Nagan Raya (pemekaran dari Kabupaten Aceh Barat), Kabupaten Aceh Jaya (pemekaran dari Kabupaten Aceh Barat), Kabupaten Aceh Barat Daya (pemekaran dari Kabupaten Aceh Selatan), Kabupaten Gayo Lues (pemekaran dari Kabupaten Aceh Tenggara), Kabupaten Aceh Tamiang (pemekaran dari Kabupaten Aceh Timur). Dan pada tahun 2003 terbentuk satu Kabupaten yaitu Kabupaten Bener Meriah (pemekaran dari Kabupaten Aceh Tengah). Kemudian pada tahun 2007 terbentuk satu Kabupaten dan satu Kota yaitu Kabupaten Pidie Jaya (pemekaran dari Kabupaten Pidie) dan Kota Subulussalam (pemekaran dari Kabupaten Aceh Singkil).
4.1.1.2. Penduduk dan Ketenagakerjaan
Jumlah penduduk di Provinsi Aceh pada tahun 2010 sebanyak 4.494.410 yang terdiri dari 2.249.000 laki-laki dan 2.245.500 perempuan. Jumlah penduduk terbanyak yaitu berada di Kabupaten Aceh Utara sebanyak 529.751 orang dan yang paling sedikit jumlah penduduknya berada di Kota Sabang dengan jumlah penduduk sebanyak 30.653 orang.
Kemudian kepadatan penduduk di Provinsi Aceh mencapai 79 jiwakm 2 .
Kepadatan penduduk antar daerah di masing-masing daerah tingkat II sangat bervariasi. Daerah terpadat yaitu Kota Banda Aceh dengan rata-rata perkilometer wilayahnya dihuni oleh sekitar 3.978 jiwa. Lalu diikuti oleh Kota Lhokseumawe yaitu
sebesar 1.116 jiwakm 2 . Sedangkan daerah yang paling jarang penduduknya yaitu
Kabupaten Aceh Jaya hanya 20 jiwakm 2 .
Tabel 4.2. Jumlah Penduduk Provinsi Aceh menurut KabupatenKota tahun 2010
KabupatenKota
Jumlah Penduduk
Kepadatan Penduduk (JiwaKm 2 )
Aceh Singkil
Aceh Selatan
Aceh Tenggara
Aceh Timur
Aceh Tengah
Aceh Barat
Aceh Besar
Aceh Utara
Aceh Barat Daya
Gayo Lues
Aceh Tamiang
Nagan Raya
Aceh Jaya
Bener Meriah
Pidie Jaya
Banda Aceh
Provinsi Aceh
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2011
Di Provinsi Aceh, sektor pertanian merupakan sektor paling banyak menyerap tenaga kerja. Hal ini mengindikasikan bahwa sektor pertanian merupakan sektor yang dominan dalam perekonomian dangan secara nyata menyerap tenaga kerja yang besar. Tidak hanya pada tahun 2013, pada tahun-tahun sebelumnya sektor pertanian yang banyak menyerap tenaga kerja di Provinsi Aceh. Bisa dilihat pada Gambar 4.1. tahun 2013, sektor pertanian menyerap tenaga kerja sebesar 46,53 persen, diikuti dengan Sektor Jasa-jasa sebesar 20,72 persen dan Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran sebesar 17,06 persen.
Pertanian Pertambangan dan Penggalian
46.53 Listrik. Air dan Gas
Bangunan 17.06 Perdagangan. Hotel dan Restoran
Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan. Persewaan dan Jasa
Perusahaan 5.84 0.26 0.75 Jasa-jasa
Gambar 4.1. Persentase Penduduk Provinsi Aceh Berumur 15 Tahun Keatas yang
Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan Utama tahun 2013
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2014
4.1.1.3. Struktur Ekonomi Perekonomian Provinsi Aceh di dominasi oleh tiga sektor ekonomi yaitu Sektor Pertanian, Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran dan Sektor Jasa-jasa. Selama tahun 2009 – 2013, sektor pertanian rata-rata menyumbang sebesar 28,99 persen dalam PDRB Provinsi Aceh. Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran rata- rata menyumbang sebesar 20,34 persen. Sedangkan Sektor Jasa-jasa menyumbang rata-rata sebesar 18,20 persen.
Tabel 4.3. Distribusi PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Lapangan
Usaha Provinsi Aceh Tahun 2009 – 2013 (persen)
Tahun
No
Sektor Ekonomi
2 Pertambangan dan Penggalian
4 Listrik, Air dan Gas
6 Perdagangan, Hotel dan Restoran
7 Pengangkutan dan Komunikasi
8 Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2014
4.1.2. Provinsi Sumatera Utara
4.1.2.1. Keadaan Geografis dan Administratif Provinsi Sumatera Utara berada di bagian barat Indonesia, terletak pada garis 01º - 04º Lintang Utara dan 98º - 100º Bujur Timur, sebelah Utara berbatasan dengan Provinsi Aceh, sebelah Timur dengan Negara Malaysia di Selat Malaka, di sebelah Selatan berbatasan dengan Provinsi Riau dan Sumatera Barat, dan sebelah Barat berbatasan dengan Samudera Hindia.
Provinsi Sumatera Utara memiliki luas 71.680,68 km 2 , Sebagian besar
berada di daratan Pulau Sumatera dan sebagian kecil berada di Pulau Nias, Pulau- pulau Batu, serta beberapa pulau kecil, baik di bagian barat mapun bagian timur Pulau Sumatera.
Berdasarkan luas daerah menurut kabupatenkota di Sumatera Utara, luas daerah terbesar adalah Kabupaten Mandailing Natal sekitar 9,23 persen dari total luas Sumatera Utara, diikuti kabupaten Langkat 8,74 persen, kemudian Kabupaten Simalungun sekitar 6,12 persen. Sedangkan luas terkecil yaitu Kota Sibolga dengan luas sekitar 0,02 persen dari total luas wilayah Sumatera Utara.
Pemerintah Sumatera Utara secara administratif saat ini terdiri dari 18 Kabupaten dan lima Kota yaitu: Tabel 4.4. Kabupaten dan Kota di Provinsi Sumatera Utara tahun 2013
KabupatenKota
Luas (Km 2 )
KabupatenKota
Luas (Km 2 )
Nias
Serdang Bedagai
Mandailing Natal
Batu Bara
Tapanuli Selatan
Padang Lawas Utara
Tapanuli Tengah
Padang Lawas
Tapanuli Utara
Labuhanbatu Selatan
Toba Samosir
Labuhanbatu Utara
Nias Utara
Nias Barat
Deli Serdang
Tebing Tinggi
Nias Selatan
Padang Sidimpuan
Pakpak Bharat
Gunung Sitoli
Sumber: Badan Pusat Statistik. 2014
Sampai saat ini pemerintah Sumatera Utara telah mengalami beberapa kali pemekaran, dari 11 Kabupaten dan enam kota pada tahun 1998, berkembang menjadi 25 Kabupaten dan delapan kota pada saat ini. Pada tahun 1999, terbentuk Kabupaten Toba Samosir (pemekaran dari Kabupaten Tapanuli Utara) dan Kabupaten Mandailing Natal (pemekaran dari Kabupaten Tapanuli Selatan).
Pada tahun 2003, terbentuk lima Kabupaten baru yaitu Kabupaten Pakpak Bharat (pemekaran dari Kabupaten Dairi), Kabupaten Serdang Bedagai (pemekaran dari Kabupaten Deli Serdang), Kabupaten Nias Selatan (pemekaran dari Kabupaten Nias), Kabupaten Humbang Hasundutan (pemekaran dari Kabupaten Tapanuli Utara) dan Kabupaten Samosir (pemekaran dari Kabupaten Toba Samosir). Pada tahun 2007, terbentuk tiga kabupaten baru yaitu Kabupaten Batubara (pemekaran dari Kabupaten Asahan), Kabupaten Padang Lawas (pemekaran dari Kabupaten Tapanuli Selatan), dan Kabupaten Padang Lawas Utara (pemekaran dari Kabupaten Tapanuli Selatan).
Kemudian pada tahun 2008, terbentuk empat kabupaten baru yaitu Kabupaten Labuhanbatu Utara (pemekaran dari Kabupaten Labuhanbatu), Kabupaten Labuhanbatu Selatan (pemekaran dari Kabupaten Labuhanbatu), Kabupaten Nias Barat (pemekaran dari Kabupaten Nias), dan Kabupaten Nias Utara (pemekeran dari Kabupaten Nias), serta terbentu satu Kota baru yaitu Kota Gunung Sitoli (pemekaran dari Kabupaten Nias).
4.1.2.2. Penduduk dan Ketenagakerjaan
Jumlah penduduk di Provinsi Sumatera Utara pada tahun 2010 sebanyak 12.982.204 yang terdiri dari 6.483.354 laki-laki dan 6.498.850 perempuan. Jumlah penduduk terbanyak yaitu berada di Kota Medan sebanyak 2.097.610 orang dan yang paling sedikit jumlah penduduknya berada di Kabupaten Pakpak Bharat dengan jumlah penduduk sebanyak 40.505 orang.
Kemudian kepadatan penduduk di Provinsi Sumatera Utara mencapai 181
jiwakm 2 . Kepadatan penduduk antar daerah di masing-masing daerah tingkat II sangat bervariasi. Daerah terpadat yaitu Kota Medan dengan rata-rata perkilometer
wilayahnya dihuni oleh sekitar 7.913 jiwa. Lalu diikuti oleh Kota Sibolga yaitu sebesar
7.844 jiwakm 2 . Sedangkan daerah yang paling jarang penduduknya yaitu
Kabupaten Pakpak Bharat hanya 33 jiwakm 2 .
Tabel 4.5. Jumlah Penduduk Provinsi Sumatera Utara menurut KabupatenKota
Tahun 2010 KabupatenKota
Jumlah Penduduk
Kepadatan Penduduk (JiwaKm 2 )
Mandailing Natal
Tapanuli Selatan
Tapanuli Tengah
Tapanuli Utara
Toba Samosir
Deli Serdang
Nias Selatan
Pakpak Bharat
Serdang Bedagai
Batu Bara
Utara Padang Lawas
Selatan Labuhanbatu
Utara Nias Utara
Nias Barat
Tebing Tinggi
Sidimpuan Gunung Sitoli
Sumatera Utara
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2011
Di Provinsi Sumatera Utara, sektor pertanian merupakan sektor paling banyak menyerap tenaga kerja. Hal ini mengindikasikan bahwa sektor pertanian merupakan sektor yang dominan dalam perekonomian dangan secara nyata menyerap tenaga kerja yang besar. Tidak hanya pada tahun 2013, pada tahun-tahun sebelumnya sektor pertanian yang banyak menyerap tenaga kerja di Provinsi
Sumatera Utara. Bisa dilihat pada Gambar 4.2. tahun 2013, sektor pertanian menyerap tenaga kerja sebesar 43,45 persen, diikuti dengan Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran sebesar 18,94 persen dan Sektor Jasa-jasa sebesar 16,16 persen.
Pertanian Pertambangan dan Penggalian
2.17 16.16 Industri
43.45 Listrik. Air dan Gas Bangunan
Perdagangan. Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi 6.61 7.11 0.62 Keuangan. Persewaan dan Jasa
0.34 Perusahaan
Gambar 4.2. Persentase Penduduk Provinsi Sumatera Utara Berumur 15 Tahun
Keatas yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan Utama tahun 2013
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2014
4.1.2.3. Struktur Ekonomi Perekonomian Provinsi Sumatera Utara di dominasi oleh tiga sektor ekonomi yaitu Sektor Pertanian, Sektor Industri, dan Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran Selama tahun 2009 – 2013, sektor pertanian rata-rata menyumbang sebesar 23,19 persen dalam PDRB Provinsi Sumatera Utara. Sektor Industri rata-rata menyumbang sebesar 21,16 persen. Sedangkan Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran rata-rata menyumbang sebesar 18,74 persen.
Tabel 4.6. Distribusi PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Lapangan
Usaha Provinsi Sumatera Utara Tahun 2009 – 2013 (persen)
No
Sektor Ekonomi
2 Pertambangan dan Penggalian
4 Listrik, Air dan Gas
6 Perdagangan, Hotel dan Restoran
7 Pengangkutan dan Komunikasi
8 Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2014
4.1.3. Provinsi Sumatera Barat
4.1.3.1. Keadaan Geografis dan Administratif Daerah Pemerintah Sumatera Barat terletak di sebelah barat pulau Sumatera
dengan luas daerah sekitar 42,2 ribu Km 2 . Letak geografis provinsi Sumatera Barat terletak antara 0 0 54’ Lintang Utara dan 3 0 30’ Lintang Selatan serta 98 0 36’ dan 101 0
53’ Bujur Timur. Provinsi Sumatera Barat ini dibatasi oleh Samudera Indonesia di sebelah Barat, Provinsi Sumatera Utara di sebelah Utara, Provinsi Riau di sebelah Timur dan Provinsi Jambi di sebelah Selatan. Letak geografis Pemerintah Sumatera Barat dikelilingi oleh daratan kecuali di sebelah Barat yang berbatasan dengan Samudera Indonesia, sehingga membuat provinsi ini bisa melakukan hubungan kegiatan ekonomi yang mudah dengan provinsi Sumatera Utara, Riau dan Jambi yang mengelilinginya Tabel 4.7. Kabupaten dan Kota di Provinsi Sumatera Barat tahun 2013
KabupatenKota
Luas (Km 2 ) KabupatenKota
Luas (Km 2 )
Kepulauan Mentawai
Pesisir Selatan
Pasaman barat
Tanah Datar
Sawah Lunto
Padang Pariaman
Padang panjang
Solok Selatan
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2014
Sampai saat ini Pemerintah Sumatera Barat dengan ibukota Padang ini telah mengalami beberapa kali pemekaran, dari 14 KabupatenKota pada tahun 1998 berkembang menjadi 15 KabupatenKota pada tahun 1999. Pada saat itu KabupatenKota yang dilakukan pemekaran yaitu: Kabupaten Kepulauan Mentawai (pemekaran dari Kabupaten Padang Pariaman pada tahun 1999). Kemudian pada tahun 2003 bertambah menjadi 18 KabupatenKota dengan Kabupaten Baru tersebut adalah Kabupaten Dharmasraya, Solok Selatan dan Pasaman Barat. Pada tahun 2007, berkembang lagi menjadi 19 Kabupaten. Kota dengan munculnya Kota Sawahlunto (pemekaran dari Kabupaten Sijunjung).
4.1.3.2. Penduduk dan Ketenagakerjaan Jumlah penduduk di Provinsi Sumatera Barat pada tahun 2010 sebanyak 4.846.909, yang terdiri dari 2.404.377 laki-laki dan 2.442.532 perempuan. Jumlah penduduk terbanyak yaitu berada di Kota Padang sebanyak 833.562 dan yang paling sedikit jumlah penduduknya berada di Padang Panjang dengan jumlah penduduk 4.1.3.2. Penduduk dan Ketenagakerjaan Jumlah penduduk di Provinsi Sumatera Barat pada tahun 2010 sebanyak 4.846.909, yang terdiri dari 2.404.377 laki-laki dan 2.442.532 perempuan. Jumlah penduduk terbanyak yaitu berada di Kota Padang sebanyak 833.562 dan yang paling sedikit jumlah penduduknya berada di Padang Panjang dengan jumlah penduduk
114,59 orangkm 2 .
Kepadatan penduduk antar daerah di masing-masing daerah tingkat II sangat bervariasi. Daerah terpadat adalah Kota Bukittinggi dengan rata-rata per kilometer wilayahnya dihuni oleh sekitar 4.410 jiwa. Lalu Kota Payakumbuh, Kota Padang
Panjang dan Kota Padang masing-masing sebesar 2.043 jiwakm 2 , 1.452 jiwakm 2 ,
dan 1.199 jiwakm 2 . Sedangkan daerah yang paling jarang penduduknya adalah
Kabupaten Kepulauan Mentawai yaitu hanya 12 jiwakm 2 .
Tabel 4.8. Jumlah Penduduk Provinsi Sumatera Barat menurut KabupatenKota
tahun 2010
KabupatenKota
Jumlah Penduduk
Kepadatan Penduduk (JiwaKm 2 )
Kepulauan Mentawai
Pesisir Selatan
Tanah Datar
Padang Pariaman
Solok Selatan
Pasaman Barat
Padang Panjang
Sumatera Barat
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2011
Pada Gambar 4.3. terlihat bahwa sektor pertanian merupakan sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja. Hal tersebut mengindikasikan bahwa sektor pertanian merupakan sektor yang dominan dalam perekonomian, dan secara nyata mampu menyerap tenaga kerja yang besar. Tidak hanya pada tahun 2013 saja pada tahun sebelumnya sektor pertanian juga masih merupakan sektor yang paling Pada Gambar 4.3. terlihat bahwa sektor pertanian merupakan sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja. Hal tersebut mengindikasikan bahwa sektor pertanian merupakan sektor yang dominan dalam perekonomian, dan secara nyata mampu menyerap tenaga kerja yang besar. Tidak hanya pada tahun 2013 saja pada tahun sebelumnya sektor pertanian juga masih merupakan sektor yang paling
Pertanian 2.12 17.37 Pertambangan
4.83 39.34 Industri Pengolahan Listrik. Gas dan Air
22.99 Bangunan Perdagangan. Hotel dan Restoran
1.75 Angkutan. Pergudangan. Komunikasi
4.91 Keuangan. Asuransi. Usaha Persewaan 0.24 Bangunan. Tanah dan Jasa Perusahaan
Jasa-jasa
Gambar 4.3. Persentase Penduduk Provinsi Sumatera Barat Berumur 15 Tahun
Keatas yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan Utama tahun 2013
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2014
4.1.3.3. Struktur Ekonomi Perekonomian Provinsi Sumatera Barat di dominasi oleh tiga sektor ekonomi yaitu Sektor Pertanian, Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran dan Sektor Jasa- jasa. Selama tahun 2009 – 2013, sektor pertanian rata-rata menyumbang sebesar
23 persen dalam PDRB Provinsi Sumatera Utara. Dan Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran rata-rata menyumbang sebesar 18,15 persen. Sedangkan Sektor Jasa-jasa rata-rata menyumbang sebesar 16,93 persen.
Tabel 4.9. Distribusi PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Lapangan
Usaha Provinsi Sumatera Barat Tahun 2009 – 2013 (persen)
Tahun
No
Sektor Ekonomi
2 Pertambangan dan Penggalian
4 Listrik, Air dan Gas
6 Perdagangan, Hotel dan Restoran
7 Pengangkutan dan Komunikasi
8 Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2014
4.1.4. Provinsi Riau
4.1.4.1 Keadaan Geografis dan Administratif Provinsi Riau berada membentang dari lereng Bukit Barisan sampai dengan Selat Malaka, terletak pada garis 01º 05’ 00” Lintang Selatan – 0,2º 25’ 00” Lintang Utara dan 100º 00’ 00”– 105º 05’ 00” Bujur Timur. Provinsi Riau memiliki batas wilayah Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka dan Provinsi Sumatera Utara, Sebelah Selatan berbatasang dengan Provinsi Jambi dan Provinsi Sumatera Barat, Sebelah Timur berbatasan dengan Provinsi Kepulauan Riau dan Selat Malaka, dan Sebelah Barat berbatasan dengan Provinsi Sumatera Barat dan
Sumatera Utara. Provinsi Riau memiliki luas 87.023,66 km 2 . Pemerintah Riau secara
administratif saat ini terdiri dari 18 Kabupaten dan lima kota yaitu: Tabel 4.10. Kabupaten dan Kota di Provinsi Riau tahun 2013
KabupatenKota
Luas (Km 2 )
Kuantan Singingi
Indragiri Hulu
Indragiri Hilir
Rokan Hulu
Rokan Hilir
Kepulauan Meranti
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2014
Sampai saat ini pemerintah Riau telah mengalami beberapa kali pemekaran, dari lima kabupaten dan dua kota pada tahun 1998, berkembang menjadi 10 Kabupaten dan 2 Kota pada saat ini. Pada tahun 1999, terbentuk lima kabupaten baru dan satu kota baru yaitu Kabupaten Rokan Hilir (pemekaran dari Kabupaten Bengkalis), Kabupaten Siak (pemekaran dari Kabupaten Bengkalis), Kabupaten Kuantan Singingi (pemekaran dari Kabupaten Indragiri Hulu), Kabupaten Pelalawan (pemekaran dari Kabupaten Kampar), Kabupaten Rokan Hulu (pemekaran dari Kabupaten Kampar), dan Kota Dumai (pemekaran dari Kabupaten Bengkalis). Kemudian pada tahun 2008, terbentuk satu kabupaten baru yaitu Kabupaten Kepulauan Meranti (pemekaran dari Kabupaten Bengkalis).
4.1.4.2. Penduduk dan Ketenagakerjaan Jumlah penduduk di Provinsi Riau pada tahun 2010 sebanyak 5.538.367yang terdiri dari 2.853.168 laki-laki dan 2.685.199 perempuan. Jumlah penduduk terbanyak yaitu berada di Kota Pekanbaru sebanyak 897.767 orang dan yang paling 4.1.4.2. Penduduk dan Ketenagakerjaan Jumlah penduduk di Provinsi Riau pada tahun 2010 sebanyak 5.538.367yang terdiri dari 2.853.168 laki-laki dan 2.685.199 perempuan. Jumlah penduduk terbanyak yaitu berada di Kota Pekanbaru sebanyak 897.767 orang dan yang paling
Kemudian kepadatan penduduk di Provinsi Riau mencapai 63.64 jiwakm 2 .
Kepadatan penduduk antar daerah di masing-masing daerah tingkat II sangat bervariasi. Daerah terpadat yaitu Kota Pekanbaru dengan rata-rata perkilometer wilayahnya dihuni oleh sekitar 1.419,91 jiwa. Lalu diikuti oleh Kabuapten Dumai yaitu
sebesar 156,34 jiwakm 2 . Sedangkan daerah yang paling jarang penduduknya yaitu
Kabupaten Pelalawan hanya 23,66 jiwakm 2 .
Tabel 4.11. Jumlah Penduduk Provinsi Riau menurut KabupatenKota tahun 2010
KabupatenKota
Jumlah Penduduk
Kepadatan Penduduk (jiwaKm 2 )
Kuantan Singingi
Indragiri Hulu
Indragiri Hilir
Rokan Hulu
Rokan Hilir
Kepulauan Meranti
Provinsi Riau
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2011
Pada Gambar 4.4. terlihat bahwa sektor pertanian merupakan sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja. Hal tersebut mengindikasikan bahwa sektor pertanian merupakan sektor yang dominan dalam perekonomian, dan secara nyata mampu menyerap tenaga kerja yang besar. Tidak hanya pada tahun 2013 saja pada tahun sebelumnya sektor pertanian juga masih merupakan sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja dengan persentase sebesar 44,26 persen, disusul oleh Sektor Perdagangan sebesar 19,88 persen, dan Sektor Jasa-jasa 15,48 persen.
15.48 Pertanian 2.64 Pertambangan 3.69 44.26 Industri Pengolahan
Listrik. Gas dan Air
Gambar 4.4 Persentase Penduduk Provinsi Riau Berumur 15 Tahun Keatas yang
Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan Utama tahun 2013
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2014
4.1.4.3. Struktur Ekonomi Perekonomian Provinsi Riau di dominasi oleh tiga sektor ekonomi yaitu Sektor Pertambangan dan Penggalian, Sektor Pertanian, dan Sektor Industri. Selama tahun 2009 – 2013, Sektor Pertambangan dan Penggalian rata-rata menyumbang sebesar 47,06 persen dalam PDRB Provinsi Riau. Sektor Pertanian rata-rata menyumbang sebesar 17,02 persen. Sedangkan Sektor Industri menyumbang rata-rata sebesar 11,51 persen dalam PDRB Provinsi Riau.
Tabel 4.12. Distribusi PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Lapangan
Usaha Provinsi Riau Tahun 2009 – 2013 (persen)
Tahun
No
Sektor Ekonomi
2 Pertambangan dan Penggalian
4 Listrik, Air dan Gas
6 Perdagangan, Hotel dan Restoran
7 Pengangkutan dan Komunikasi
8 Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2014
4.1.5. Provinsi Jambi
4.1.5.1 Keadaan Geografis dan Administratif Provinsi Jambi berada di bagian barat Indonesia, terletak pada garis 0º 45’– 2º 45’ Lintang Selatan dan 101º 10’ – 104º 55’ Bujur Timur. Provinsi Jambi memiliki batas wilayah Sebelah Utara berbatasan dengan Provinsi Riau dan Provinsi Kepulauan Riau, Sebelah Timur berbatasan dengan Laut Cina Selatan, Sebelah Selatan dan Sebelah Barat berbatasan dengan Provinsi Sumatera Barat dan
Provinsi Bengkulu. Luas Wilayah Provinsi Jambi 53.435 Km 2 dengan luas daratan
50.160,05 Km 2 dan luas perairan sebesar 3.274,95 Km 2 .
Luas wilayah terbesar di Provinsi Jambi berada di Kabupaten Merangin sebesar 15,31 persen dari total luas wilayah Provinsi Jambi, diikuti dengan Kabupaten Tebo dan Kabupaten Sarolangun masing-masing sebesar 12,88 persen dan 12,33 persen. Sedangkan wilayah terkecil yaitu Kota Jambi yang hanya sebesar 0,41 persen dari total luas wilayah Provinsi Jambi.
Tabel 4.13. Kabupaten dan Kota di Provinsi Jambi tahun 2013
KabupatenKota
Luas (Km 2 )
Batang Hari
Muaro Jambi
Tanjung Jabung Timur
Tanjung Jabung Barat
Sungai Penuh
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2014
Sampai saat ini pemerintah Jambi telah mengalami beberapa kali pemekaran, dari lima kabupaten dan satu kota pada tahun 1998, berkembang menjadi sembilan kabupaten dan dua kota pada saat ini. Pada tahun 1999, terbentuk Kabupaten Mauro Jambi (pemekaran dari Kabupaten Batanghari), Kabupaten Sarolangun (pemekaran dari Kabupaten Sarolangun Bangko), Kabupaten Tanjung Jabung Timur (pemekaran dari Kabupaten Tanjung Jabung), dan Kabupaten Tebo (pemekaran dari Kabupaten Bungo Tebo). Kemudian pada tahun 2008, terbentuk Kota Sungai Penuh yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Kerinci.
4.1.5.2. Penduduk dan Ketenagakerjaan Jumlah penduduk di Provinsi Jambi pada tahun 2010 sebanyak 3.092.265 yang terdiri dari 1.581.110 laki-laki dan 1.511.155 perempuan. Jumlah penduduk terbanyak yaitu berada di Kota Jambi sebanyak 531.857 orang dan yang paling sedikit jumlah penduduknya berada di Kota Sungai Penuh dengan jumlah penduduk hanya sebanyak 82.293 orang.
Kemudian kepadatan penduduk di Provinsi Jambi mencapai 61,65 jiwakm2. Kepadatan penduduk antar daerah di masing-masing daerah tingkat II sangat bervariasi. Daerah terpadat yaitu Kota Jambi dengan rata-rata perkilometer wilayahnya dihuni oleh sekitar 2.588,99 jiwa. Lalu diikuti oleh Kota Sungai Penuh
yaitu sebesar 210,20 jiwakm 2 . Sedangkan daerah yang paling jarang penduduknya
yaitu Kabupaten Tanjung Jabung Timur hanya 37,69 jiwakm 2 .
Tabel 4.14. Jumlah Penduduk Provinsi Jambi menurut KabupatenKota tahun 2010
KabupatenKota
Jumlah Penduduk
Kepadatan Penduduk (JiwaKm 2 )
Batang Hari
Muaro Jambi
Tanjung Jabung Timur
Tanjung Jabung Barat
Sungai Penuh
Provinsi Jambi
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2011
Pada Gambar 4.5. terlihat bahwa Sektor Pertanian merupakan sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja di Provinsi Jambi. Hal tersebut mengindikasikan bahwa sektor pertanian merupakan sektor yang dominan dalam perekonomian, dan secara nyata mampu menyerap tenaga kerja yang besar. Tidak hanya pada tahun 2013 saja pada tahun sebelumnya sektor pertanian juga masih merupakan sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja dengan persentase sebesar 52,37 persen, disusul oleh Sektor Perdagangan sebesar 16,74 persen, dan Sektor Jasa-jasa sebesar 15,33 persen.
Pertanian Pertambangan
Industri Pengolahan
Listrik. Gas dan Air Bangunan
Perdagangan. Hotel dan Restoran Angkutan. Pergudangan. Komunikasi
4.34 Keuangan. Asuransi. Usaha Persewaan 0.11 3.8 1.91 Bangunan. Tanah dan Jasa Perusahaan
Gambar 4.5 Persentase Penduduk Provinsi Jambi Berumur 15 Tahun Keatas yang
Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan Utama tahun 2013
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2014
4.1.5.3. Struktur Ekonomi Perekonomian Provinsi Jambi di dominasi oleh tiga sektor ekonomi yaitu Sektor Pertanian, Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran, dan Sektor Industri. Selama tahun 2009 – 2013, Sektor Pertanian rata-rata menyumbang sebesar 35,7 persen dalam PDRB Provinsi Jambi. Sektor Perdagangan, Hotel dan restoran rata- 4.1.5.3. Struktur Ekonomi Perekonomian Provinsi Jambi di dominasi oleh tiga sektor ekonomi yaitu Sektor Pertanian, Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran, dan Sektor Industri. Selama tahun 2009 – 2013, Sektor Pertanian rata-rata menyumbang sebesar 35,7 persen dalam PDRB Provinsi Jambi. Sektor Perdagangan, Hotel dan restoran rata-
Tabel 4.15. Distribusi PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Lapangan
Usaha Provinsi Jambi Tahun 2009 – 2013 (persen)
Tahun
No
Sektor Ekonomi
2 Pertambangan dan Penggalian
4 Listrik, Air dan Gas
6 Perdagangan, Hotel dan Restoran
7 Pengangkutan dan Komunikasi
8 Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan
4.1.6. Provinsi Sumatera Selatan
4.1.6.1. Keadaan Geografis dan Administratif Provinsi Sumatera Selatan terletak pada garis 1º – 4º Lintang Selatan dan 102º – 106º Bujur Timur. Provinsi Sumatera Selatan memiliki batas wilayah Sebelah Utara berbatasan dengan Provinsi Jambi, Sebelah Selatan berbatasan dengan Provinsi Lampung, Sebelah Timur berbatasan dengan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, dan Sebelah Barat berbatasan dengan Provinsi Sumatera Barat. Luas Wilayah Provinsi Jambi 8.702.741 ha. Luas wilayah terbesar di Provinsi Sumatera Selatan berada di Kabupaten Ogan Komering Ilir sebesar 19,60 persen dari total luas wilayah Provinsi Sumatera Selatan, diikuti dengan Kabupaten Musi Banyuasin dan Kabupaten Banyuasin masing-masing sebesar 16,64 persen dan 13.95 persen. Sedangkan wilayah terkecil yaitu Kota Palembang yang hanya sebesar 0,43 persen dari total luas wilayah Provinsi Sumatera Selatan. Tabel 4.16. Kabupaten dan Kota di Provinsi Sumtera Selatan tahun 2013
KabupatenKota
Luas (Km 2 )
Ogan Komering Ulu
Ogan Komering Ilir
Muara Enim
Musi Rawas
Musi Banyuasin
OKU Selatan
OKU Ilir
Empat Lawang
Pagar Alam
Lubuk Linggau
Sumatera Selatan
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2014
Sampai saat ini pemerintah Sumatera Selatan telah mengalami beberapa kali pemekaran, dari 8 Kabupaten dan 2 Kota pada tahun 1998, berkembang menjadi 12 Kabupaten dan 4 Kota pada saat ini. Pada tahun 2001, terbentuk 3 Kota baru yaitu Kota Pagar Alam (pemekaran dari Kabupaten Lahat), Kota Prabumulih (pemekaran dari Kabupaten Muara Enim), dan Kota Lubuklinggau (pemekaran dari Kabupaten Musi Rawas). Pada Tahun 2002 terbentuk Kabupaten Banyuasin (pemekaran dari Kabupaten Musi Banyuasin).
Pada tahun 2003 terbentuk 3 Kabupaten, yaitu Kabupaten Ogan Ilir (pemekaran dari Kabupaten Ogan Komering Ilir), Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan (pemekaran dari Kabupaten Ogan Komering Ulu), dan Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur (pemekaran dari Kabupaten Ogan Komering Ulu).
Pada tahun 2007, terbentuk Kabupaten Empat Lawang (pemekaran dari Kabupaten Lahat). Dan pada tahun 2012, terbentuk Kabupaten Panukal Abab Lematang Ilir (pemekaran dari Kabupaten Muara Enim). Kemudian pada tahun 2013, terbetuk Kabupaten Musi Rawas Utara yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Musi Rawas.
4.1.6.2. Penduduk dan Ketenagakerjaan Jumlah penduduk di Provinsi Sumatera Selatan pada tahun 2010 sebanyak 7.450.394, yang terdiri dari 3.794.647 laki-laki dan 3.657.747 perempuan. Jumlah penduduk terbanyak yaitu berada di Kota Palembang sebanyak 1.455.284 dan yang paling sedikit jumlah penduduknya berada di Kabupaten Pagar Alam dengan jumlah penduduk sebanyak 126.181.
Kepadatan penduduk di Pemerintah Sumatera Selatan mencapai 85,62
orangkm 2 . Kepadatan penduduk antar daerah di masing-masing daerah tingkat II sangat bervariasi.
Daerah terpadat adalah Kota Palembang dengan rata-rata per kilometer wilayahnya dihuni oleh sekitar 3.890,82 jiwa. Lalu Kabupaten Lubuk Linnggau,
Prabumulih dan Pagar Alam masing-masing sebesar 479,53 jiwakm 2 , 384,19
jiwakm 2 , dan 217,87 jiwakm 2 . Sedangkan daerah yang paling jarang penduduknya
adalah Kabupaten Ogan Komering Ilir yaitu hanya 42,64 jiwakm 2 .
Tabel 4.17. Jumlah Penduduk Provinsi Sumatera Selatan menurut KabupatenKota
Tahun 2010
KabupatenKota
Jumlah Penduduk
Kepadatan Penduduk (JiwaKm 2 )
Ogan Komering Ulu
Ogan Komering Ilir
Muara Enim
Musi Rawas
Musi Banyuasin
OKU Selatan
OKU Timur
OKU Ilir
Empat Lawang
Pagar Alam
Lubuk Linggau
Sumatera Selatan
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2011
Pada Gambar 4.6. terlihat bahwa Sektor Pertanian merupakan sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja. Hal tersebut mengindikasikan bahwa sektor pertanian merupakan sektor yang dominan dalam perekonomian, dan secara nyata mampu menyerap tenaga kerja yang besar. Tidak hanya pada tahun 2013 saja pada tahun sebelumnya sektor pertanian juga masih merupakan sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja dengan persentase sebesar 54,69 persen, disusul oleh Sektor Perdagangan sebesar 15,47 persen, dan Sektor Jasa-jasa sebesar 13,48 persen.
Pertanian Pertambangan
Industri Pengolahan
Listrik. Gas dan Air Bangunan
54.69 Perdagangan. Hotel dan Restoran Angkutan. Pergudangan. Komunikasi
3.83 Keuangan. Asuransi. Usaha Persewaan
Bangunan. Tanah dan Jasa Perusahaan 4.89 Jasa-jasa
Gambar 4.6. Persentase Penduduk Provinsi Sumatera Selatan Berumur 15 Tahun
Keatas yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan Utama tahun 2013
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2014
4.1.6.3. Struktur Ekonomi Perekonomian Provinsi Sumatera Selatan di dominasi oleh tiga sektor ekonomi yaitu Sektor Pertambangan dan Penggalian, Sektor Pertanian dan Sektor Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran. Selama tahun 2009 – 2013, Sektor Pertambangan dan Penggalian rata-rata menyumbang sebesar 21,28 persen dalam PDRB Provinsi Sumatera Selatan. Sektor Pertanian rata-rata menyumbang 19,35 persen. Sedangkan Sektor Perdagangan, Hotel dan restoran rata-rata menyumbang sebesar 14,29 persen.
Tabel 4.18. Distribusi PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Lapangan
Usaha Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2009 – 2013 (persen)
No
Sektor Ekonomi
2 Pertambangan dan Penggalian
4 Listrik, Air dan Gas
6 Perdagangan, Hotel dan Restoran
7 Pengangkutan dan Komunikasi
8 Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2014
4.1.7. Provinsi Bengkulu
4.1.7.1. Keadaan Geografis dan Administratif Provinsi Bengkulu terletak di sebelah Barat pegunungan Bukit Barisan. Wilayah Provinsi Bengkulu memanjang dari perbatasan Provinsi Sumatera Barat sampai ke perbatasan Provinsi Lampung dan jaraknya lebih kurang 567 kilometer. Provinsi Bengkulu terletak di a ntara 2º 16’ Lintang Utara dan 3º 31’ Lintang Selatan dan antara 101º 01’ – 103º 41’ Bujur Timur.
Provinsi Bengkulu memiliki batas wilayah Sebelah Utara berbatasan dengan Provinsi Sumatera Barat, Sebelah Selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia dan Provinsi Lampung, Sebelah Timur berbatasan dengan Provinsi Jambi dan Provinsi Sumatera Selatan, dan Sebelah Barat berbatasan dengan Samudera Indonesia.
Luas Wilayah Provinsi Bengkulu 1.991.933 ha. Luas wilayah terbesar di Provinsi Bengkulu berada di Kabupaten Bengkulu Utara sebesar 21,71 persen dari total luas wilayah Provinsi Bengkulu, diikuti dengan Kabupaten Mukomuko dan
Kabupaten Seluma masing-masing sebesar 20,27 persen dan 12,05 persen. Sedangkan wilayah terkecil yaitu Kota Bengkulu yang hanya sebesar 0,76 persen dari total luas wilayah Provinsi Sumatera Selatan. Tabel 4.19. Kabupaten dan Kota di Provinsi Bengkulu tahun 2013
KabupatenKota
Luas (km 2 )
Bengkulu Selatan
Rejang Lebong
Bengkulu Utara
Bengkulu Tengah
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2014
Sampai saat ini pemerintah Bengkulu telah mengalami beberapa kali pemekaran, dari tiga kabupaten dan satu kota pada tahun 1998, berkembang menjadi sembilan Kabupaten dan satu Kota pada saat ini. Pada tahun 2003, terbentuk lima Kabupaten yaitu Kabupaten Kaur (pemekaran dari Kabupaten Bengkulu Selatan), Kabupaten Seluma (pemekaran dari Kabupaten Bengkulu Selatan), Kabupaten Mukomuko (pemekaran dari Kabupaten Bengkulu Utara), Kabupaten Kapahiang (pemekaran dari Kabupaten Rejang Lebong), dan Kabupaten Lebong (pemekaran darai Kabupaten Rejang Lebong). Kemudian pada tahun 2008, terbentuk Kabupaten Bengkulu Tengah yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Bengkulu Utara.
4.1.7.2. Penduduk dan Ketenagakerjaan Jumlah penduduk di Provinsi Bengkulu pada tahun 2010 sebanyak 1.715.518, yang terdiri dari 877.159 laki-laki dan 838.359 perempuan. Jumlah penduduk terbanyak yaitu berada di Kota Bengkulu sebanyak 308.544 dan yang paling sedikit jumlah penduduknya berada di Kabupaten Lebong dengan jumlah penduduk sebanyak 99.215 jiwa.
Kepadatan penduduk di Pemerintah Bengkulu mencapai 86,12 orangkm 2 .
Kepadatan penduduk antar daerah di masing-masing daerah tingkat II sangat bervariasi. Daerah terpadat adalah Kota Bengkulu dengan rata-rata per kilometer wilayahnya dihuni oleh sekitar 2.033,91 jiwa. Lalu Kabupaten Kapahiang, Rajang
Lebong dan Bengkulu Selatan masing-masing sebesar 187,77 jiwakm 2 ,
150,48jiwakm 2 , dan 120,51 jiwakm 2 . Sedangkan daerah yang paling jarang
penduduknya adalah Kabupaten Mukomuko yaitu hanya 38,58 jiwakm 2 .
Tabel 4.20. Jumlah Penduduk Provinsi Bengkulu menurut KabupatenKota tahun
2010 KabupatenKota
Jumlah Penduduk
Kepadatan Penduduk (jiwakm 2 )
Bengkulu Selatan
Rejang Lebong
Bengkulu Utara
Bengkulu Tengah
Kota Bengkulu
Provinsi Bengkulu
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2011
Pada Gambar 4.7. terlihat bahwa Sektor Pertanian merupakan sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja di Provinsi Bengkulu. Hal tersebut mengindikasikan bahwa sektor pertanian merupakan sektor yang dominan dalam perekonomian, dan secara nyata mampu menyerap tenaga kerja yang besar. Tidak hanya pada tahun 2013 saja,pada tahun sebelumnya sektor pertanian juga masih merupakan sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja dengan persentase sebesar 54,16 persen, disusul oleh Sektor Perdagangan sebesar 17,20 persen, dan Sektor Jasa-jasa sebesar 16,89 persen.
Pertanian Pertambangan
16.89 Industri Pengolahan
Listrik. Gas dan Air
17.2 Perdagangan. Hotel dan Restoran Angkutan. Pergudangan. Komunikasi
Keuangan. Asuransi. Usaha Persewaan Bangunan. Tanah dan Jasa Perusahaan
4.63 Jasa-jasa
Gambar 4.7. Persentase Penduduk Provinsi Bengkulu Berumur 15 Tahun Keatas
yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan Utama tahun 2013
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2014
4.1.7.3. Struktur Ekonomi Perekonomian Provinsi Bengkulu di dominasi oleh tiga sektor ekonomi yaitu Sektor Pertanian, Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran, dan Sektor Jasa-jasa. Selama tahun 2009 – 2013, Sektor Pertanian rata-rata menyumbang sebesar 37,60 persen dalam PDRB Provinsi Bengkulu. Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran rata-rata menyumbang 20,07 persen. Sedangkan Sektor Jasa rata-rata menyumbang sebesar 17,62 persen.
Tabel 4.21. Distribusi PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Lapangan
Usaha Provinsi Bengkulu Tahun 2009 – 2013 (persen)
Tahun
No
Sektor Ekonomi
2 Pertambangan dan Penggalian
4 Listrik, Air dan Gas
6 Perdagangan, Hotel dan Restoran
7 Pengangkutan dan Komunikasi
8 Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2014
4.1.8. Provinsi Lampung
4.1.8.1 Keadaan Geografis dan Administratif Provinsi Lampung terletak pada garis 103º 40’– 105º 50’ Bujur Timur dan 6º 45’ – 3º 45’ Lintang Selatan. Provinsi Lampung memiliki batas wilayah Sebelah Utara berbatasan dengan Provinsi Sumatera Selatan dan Provinsi Bengkulu, Sebelah Selatan berbatasan dengan Selat Sunda, Sebelah Timur berbatasan dengan Laut Jawa, Sebelah Selatan dan Sebelah Barat berbatasan dengan Samudera
Indonesia. Luas Wilayah Provinsi Lampung 34.623,80 Km 2 .
Luas wilayah terbesar di Provinsi Lampung berada di Kabupaten Lampung Timur sebesar 15,38 persen dari total luas wilayah Provinsi Lampung, diikuti dengan Kabupaten Way Kanan dan Kabupaten Lampung Tengah masing-masing sebesar 11,33 persen dan 10,98 persen. Sedangkan wilayah terkecil yaitu Kota Metro yang hanya sebesar 0,18 persen dari total luas wilayah Provinsi Jambi.
Tabel 4.22. Kabupaten dan Kota di Provinsi Lampung Tahun 2013
KabupatenKota
Luas (km 2 )
Lampung Barat
Lampung Selatan
Lampung Timur
Lampung Tengah
Lampung Utara
Way Kanan
Tulang Bawang
Tulang Bawang Barat
Pesisir Barat
Bandar Lampung
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2014
Sampai saat ini pemerintah Lampung telah mengalami beberapa kali pemekaran, dari enam Kabupaten dan satu Kota pada tahun 1998, berkembang menjadi 13 Kabupaten dan dua Kota pada saat ini. Pada tahun 1999, terbentuk Kabupaten Way Kanan (pemekaran dari Kabupaten Lampung Utara), Kabupaten Lampung Timur (pemekaran dari Kabupaten Lampung Tengah), dan Kota Metro (pemekaran dari Kabupaten Lampung Tengah). Pada tahun 2007, terbentuk Kabupaten Pesawaran yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Lampung Selatan. Pada Tahun 2008, terbentuk tiga Kabupaten yaitu Kabupaten Mesuji (pemekaran dari Kabupaten Tulang Bawang), Kabupaten Pringsewu (pemekaran dari Kabupaten Tanggamus) dan Kabupaten Tulang Bawang Barat (pemekaran dari Kabupaten Tulang Bawang). Kemudian pada tahun 2012 terbentuk Kabupaten Pesisir Barat yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Lampung Barat.
4.1.8.2. Penduduk dan Ketenagakerjaan Jumlah penduduk di Provinsi Lampung pada tahun 2010 sebanyak 7.608.405, yang terdiri dari 3.916.622 laki-laki dan 3.691.783 perempuan. Jumlah penduduk terbanyak yaitu berada di Kabupaten Lampung Tengah sebanyak 1.170.717 jiwa dan yang paling sedikit jumlah penduduknya berada di Kota Metro dengan jumlah penduduk sebanyak 145.471 jiwa. Kepadatan penduduk di
Pemerintah Lampung mencapai 215,61 orangkm 2 . Kepadatan penduduk antar
daerah di masing-masing daerah tingkat II sangat bervariasi. Daerah terpadat adalah Kota Bandar Lampung dengan rata-rata per kilometer wilayahnya dihuni oleh sekitar 4.569,86 jiwa. Lalu Kota Metro, Kabupaten Pringsewu dan Lampung Selatan
masing-masing sebesar 2.354,28 jiwakm 2 , 584,59 jiwakm 2 , dan 454,65 jiwakm 2 .
Sedangkan daerah yang paling jarang penduduknya adalah Kabupaten Lampung
Barat yaitu hanya 84,65 jiwakm 2 .
Tabel 4.23. Jumlah Penduduk Provinsi Lampung Menurut KabupatenKota tahun
KabupatenKota
Jumlah Penduduk
Kepadatan Penduduk (jiwakm 2 )
Lampung Barat
Lampung Selatan
Lampung Timur
Lampung Tengah
Lampung Utara
Way Kanan
Tulang Bawang
Tulang Bawang Barat
Bandar Lampung
Provinsi Lampung
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2011
Pada Gambar 4.8. terlihat bahwa Sektor Pertanian merupakan sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja di Provinsi Lampung. Hal tersebut mengindikasikan bahwa sektor pertanian merupakan sektor yang dominan dalam perekonomian, dan secara nyata mampu menyerap tenaga kerja yang besar. Tidak hanya pada tahun 2013 saja pada tahun sebelumnya sektor pertanian juga masih merupakan sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja dengan persentase sebesar 51,46 persen, disusul oleh Sektor Perdagangan sebesar 17,33 persen, dan Sektor Industri Pengolahan sebesar 8,39 persen.
Pertanian 1.53 Pertambangan
Industri Pengolahan Listrik. Gas dan Air
17.33 51.46 Bangunan
Perdagangan. Hotel dan Restoran Angkutan. Pergudangan. Komunikasi
Keuangan. Asuransi. Usaha Persewaan
0.4 Bangunan. Tanah dan Jasa Perusahaan
Gambar 4.8. Persentase Penduduk Provinsi Lampung Berumur 15 Tahun Keatas
yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan Utama tahun 2013
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2014
4.1.8.3. Struktur Ekonomi Perekonomian Provinsi Lampung didominasi oleh tiga sektor ekonomi yaitu Sektor Pertanian, Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran, dan Sektor Industri. Selama tahun 2009 – 2013, Sektor Pertanian rata-rata menyumbang sebesar 38,26 persen dalam PDRB Provinsi Lampung. Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran rata-rata menyumbang 15,78 persen. Sedangkan Sektor Industri rata-rata menyumbang sebesar 13,30 persen.
Tabel 4.24. Distribusi PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Lapangan
Usaha Provinsi Lampung Tahun 2009 – 2013 (persen)
Tahun
No
Sektor Ekonomi
2 Pertambangan dan Penggalian
4 Listrik, Air dan Gas
6 Perdagangan, Hotel dan Restoran
7 Pengangkutan dan Komunikasi
8 Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2014
4.1.9. Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
4.1.9.1. Keadaan Geografis dan Administratif Provinsi Kepulauan Bangka Belitung sebelumnya adalah bagian dari Sumatera Selatan, namun menjadi provinsi sendiri pada tahun 2000. Provinsi Kepulauan Bangka Belitung didirikan berdasarkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2000 Tentang Pembentukan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung tanggal 21 November 2000 yang terdiri dari Kabupaten Bangka, Kabupaten Belitung dan Kota Pangkalpinang.
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung terletak pada garis 0º 50’ – 4º 10’ Lintang dan 104º 50’– 109º 30’ Bujur Timur. Provinsi Kepulauan Bangka Belitung memiliki batas wilayah Sebelah Utara berbatasan dengan Laut Natuna, Sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Jawa, Sebelah Timur berbatasan dengan Selat Karimata dan Sebelah Barat berbatasan dengan Selat Bangka.
Luas Wilayah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung 81.725,23 Km 2 dengan luas daratan 16.424,23 Km 2 dan luas perairan sebesar 65.301 Km 2 . Luas wilayah
terbesar di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung berada di Kabupaten Bangka
Selatan sebesar 21,96 persen dari total luas wilayah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, diikuti dengan Kabupaten Banka dan Kabupaten Bangka Barat masing- masing sebesar 17,97 persen dan 17,17 persen. Sedangkan wilayah terkecil yaitu Kota Panngkal Pinang yang hanya sebesar 0,72 persen dari total luas wilayah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Tabel 4.25. Kabupaten dan Kota di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2013
KabupatenKota
Luas (km 2 )
Bangka Barat
Bangka Tengah
Bangka Selatan
Belitung Timur
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2014
Sampai saat ini pemerintah Bangka Belitung telah mengalami beberapa kali pemekaran, dari dua Kabupaten dan satu Kota pada tahun 2000, berkembang menjadi enam Kabupaten dan satu Kota pada saat ini. Pada tahun 2003, terbentuk Kabupaten Bangka Barat (pemekaran dari Kabupaten Bangka), Kabupaten Bangka Selatan (pemekaran dari Kabupaten Bangka), Kabupaten Bangka Tengah (pemekaran dari Kabupaten Bangka) dan Kabupaten Belitung Timur (pemekaran dari Kabupaten Belitung).
4.1.9.2. Penduduk dan Ketenagakerjaan Jumlah penduduk di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung pada tahun 2010 sebanyak 1.223.296, yang terdiri dari 635.094 laki-laki dan 588.202 perempuan. Jumlah penduduk terbanyak yaitu berada di Kabupaten Bangka sebanyak 277.204 jiwa dan yang paling sedikit jumlah penduduknya berada di Kabupaten Belitung Timur dengan jumlah penduduk sebanyak 106.463 jiwa.
Kepadatan penduduk di Pemerintah Kepulauan Bangka Belitung mencapai
74 orangkm 2 . Kepadatan penduduk antar daerah di masing-masing daerah tingkat
II sangat bervariasi. Daerah terpadat adalah Kota Pangkalpinang dengan rata-rata per kilometer wilayahnya dihuni oleh sekitar 1.471 jiwa. Lalu Kabupaten Bangka,
Kabupaten Bangka Barat dan Bangka Selatan masing-masing sebesar 94 jiwakm 2 ,
76 jiwakm 2 , dan 68 jiwakm 2 . Sedangkan daerah yang paling jarang penduduknya
adalah Kabupaten Belitung Timur yaitu hanya 41 jiwakm 2 .
Tabel 4.26. Jumlah Penduduk Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Menurut
KabupatenKota tahun 2010 KabupatenKota
Jumlah Penduduk
Kepadatan Penduduk (jiwakm2)
Bangka Barat
Bangka Tengah
Bangka Selatan
Belitung Timur
Provinsi Kepulauan
Bangka Belitung Sumber: Badan Pusat Statistik, 2011
Pada Gambar 4.9. terlihat bahwa Sektor Pertanian merupakan sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Hal tersebut mengindikasikan bahwa sektor pertanian merupakan sektor yang dominan dalam perekonomian, dan secara nyata mampu menyerap tenaga kerja yang besar. Tidak hanya pada tahun 2013 saja pada tahun sebelumnya sektor pertanian juga masih merupakan sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja dengan persentase sebesar 28,06 persen, disusul oleh Sektor Pertambangan sebesar 21,28 persen, dan Sektor Perdagangan sebesar 18,49 persen.
Pertanian Pertambangan
1.93 Industri Pengolahan 2.9 28.06 Listrik. Gas dan Air
Bangunan 18.49 Perdagangan. Hotel dan Restoran
Angkutan. Pergudangan. Komunikasi
Keuangan. Asuransi. Usaha Persewaan 6.06 Bangunan. Tanah dan Jasa Perusahaan
4.99 Jasa-jasa
Gambar 4.9. Persentase Penduduk Provinsi Bangka Belitung Berumur 15 Tahun
Keatas yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan Utama tahun 2013
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2014
4.1.9.3. Struktur Ekonomi Perekonomian Provinsi Kepulauan Bangka Belitung di dominasi oleh tiga sektor ekonomi yaitu Sektor Pertanian, Sektor Industri, dan Sektor Pertambangan 4.1.9.3. Struktur Ekonomi Perekonomian Provinsi Kepulauan Bangka Belitung di dominasi oleh tiga sektor ekonomi yaitu Sektor Pertanian, Sektor Industri, dan Sektor Pertambangan
Tabel 4.27. Distribusi PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Lapangan
Usaha Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2009 – 2013 (persen)
Tahun
No
Sektor Ekonomi
2 Pertambangan dan Penggalian
4 Listrik, Air dan Gas
6 Perdagangan, Hotel dan Restoran
7 Pengangkutan dan Komunikasi
8 Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2014
4.1.10. Provinsi Kepulauan Riau
4.1.10.1. Keadaan Geografis dan Administratif Kepulauan Riau merupakan provinsi baru hasil pemekaran dari provinsi Riau. Provinsi Kepulauan Riau terbentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 25 tahun 2002 merupakan provinsi ke-32 di Indonesia. Provinsi Kepulauan Kepulauan Riau terletak antara 0º 29’ Lintang Selatan dan dan 04º 40’ Lintang Utara serta 103º 22’ - 109º 4’ Bujur Timur.
Provinsi Kepulauan Riau memiliki batas wilayah Sebelah Utara berbatasan dengan Negara Vietnam dan Kamboja, Sebelah Selatan berbatasan dengan Provinsi Sumatera Selatan dan Jambi, Sebelah Barat berbatasan dengan Negara Malaysia dan Provinsi Riau, dan Sebelah Timur berbatasan dengan Negara Malaysia dan Provinsi Kalimantan Barat.
Luas Wilayah Provinsi Kepulauan Riau 427.608,38 Km 2 dengan luas daratan 10.595,41 Km 2 dan luas perairan sebesar 417.012,97 Km 2 . Luas wilayah terbesar di
Provinsi Kepulauan Riau berada di Kabupaten Natuna sebesar 26,56 persen dari total luas wilayah Provinsi Kepulauan Riau, diikuti dengan Kabupaten Lingga dan Kabupaten Bintan masing-masing sebesar 19,99 persen dan 16,42 persen.
Sedangkan wilayah terkecil yaitu Kota Tanjung Pinang yang hanya sebesar 2,26 persen dari total luas wilayah Provinsi Kepulauan Riau. Tabel 4.28. Kabupaten dan Kota di Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2013
KabupatenKota
Luas (km 2 )
Kepulauan Anambas
Tanjung Pinang
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2014
Pemekaran di Provinsi Kepulauan Riau terjadi pada tahun 2008 yaitu terbentuknya Kabupaten Kepulauan Anambas yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Natuna. Sebenarnya telah terjadi beberapa pemekaran Kabupaten namun pemekaran yang terjadi ketika Kepulauan Riau masih bergabung dalam Provinsi Riau. Seperti pada tahun 1999 terbentuknya Kabupaten Karimun (pemekaran dari Kabupaten Kepulauan Riau), Kabupaten Natuna (pemekaran dari Kabupaten Kepulauan Riau), dan Kota Batam (pemekaran dari Kabupaten Kepulauan Riau). Pada tahun 2001, terbentuk Kota Tanjung Pinang (pemekaran dari Kabupaten Kepulauan Riau). Dan pada tahun 2003, terbentuk Kabupaten Lingga (pemekaran dari Kabupaten Lingga).
4.1.10.2. Penduduk dan Ketenagakerjaan Jumlah penduduk di Provinsi Kepulauan Riau pada tahun 2010 sebanyak 1.692.816 jiwa. Jumlah penduduk terbanyak yaitu berada di Kota Batam sebanyak 954.450 jiwa dan yang paling sedikit jumlah penduduknya berada di Kabupaten Kepulauan Anambas dengan jumlah penduduk sebanyak 37.629 jiwa.
Kepadatan penduduk di Pemerintah Kepulauan Riau mencapai 159,79
orangkm 2 . Kepadatan penduduk antar daerah di masing-masing daerah tingkat II sangat bervariasi. Daerah terpadat adalah Kota Batam dengan rata-rata per kilometer wilayahnya dihuni oleh sekitar 607,79 jiwa. Lalu Kota Tanjung Pinang,
Kabupaten Karimun dan Bintan masing-masing sebesar 186,26 jiwakm 2 , 140,08
jiwakm 2 , dan 82,22 jiwakm 2 . Sedangkan daerah yang paling jarang penduduknya
adalah Kabupaten Natuna yaitu hanya 24,66 jiwakm 2 .
Tabel 4.29. Jumlah Penduduk Provinsi Kepulauan Riau Menurut KabupatenKota
Tahun 2010
KabupatenKota
Jumlah Penduduk
Kepadatan Penduduk (jiwakm 2 )
Kep.Anambas
Tanjung Pinang
Kepulauan Riau
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2011
Pada Gambar 4.10. terlihat bahwa Sektor Industri Pengolah merupakan sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja di Provinsi Kepulauan Riau. Hal tersebut mengindikasikan bahwa sektor ini merupakan sektor yang dominan dalam perekonomian, dan secara nyata mampu menyerap tenaga kerja yang besar. Tidak hanya pada tahun 2013 saja pada tahun sebelumnya sektor ini juga masih merupakan sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja dengan persentase sebesar 32,60 persen, disusul oleh Sektor Perdagangan sebesar 26,11 persen, dan Sektor Jasa-jasa sebesar 13,58 persen.
Pertanian 2.02 Pertambangan
Industri Pengolahan
6.32 Listrik. Gas dan Air
Bangunan 32.6 Perdagangan. Hotel dan Restoran
26.11 Angkutan. Pergudangan. Komunikasi Keuangan. Asuransi. Usaha Persewaan
7.46 Bangunan. Tanah dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa
Gambar 4.10. Persentase Penduduk Provinsi Kepulauan Riau Berumur 15 Tahun
Keatas yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan Utama tahun 2013
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2014
4.1.10.3. Struktur Ekonomi Perekonomian Provinsi Kepulauan Riau di dominasi oleh dua sektor ekonomi
yaitu Sektor Industri dan Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran. Selama tahun 2009 – 2013, Sektor Industri rata-rata menyumbang sebesar 50,54 persen dalam
PDRB Provinsi Kepulauan Riau. Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran rata-rata menyumbang 23,29 persen. Di Provinsi ini, Sektor Pertanian hanya berkontribusi rata-rata sebesar 4,23 persen dalam PDRB Provinsi Kepulauan Riau.
Tabel 4.30. Distribusi PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Lapangan
Usaha Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2009 – 2013 (persen)
No
Sektor Ekonomi
2 Pertambangan dan Penggalian
4 Listrik, Air dan Gas
6 Perdagangan, Hotel dan Restoran
7 Pengangkutan dan Komunikasi
8 Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2014
4.1.11. Provinsi Banten
4.1.11.1. Keadaan Geografis dan Administratif Provinsi Banten merupakan sebuah provinsi di Tatar Pasundan, serta wilayah paling barat di Pulau Jawa, Indonesia. Provinsi ini pernah menjadi bagian dari Provinsi Jawa Barat, namun menjadi wilayah pemekaran sejak tahun 2000, dengan keputusan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2000. Wilayah Provinsi Banten terletak antara 05º 07’ 40” sampai dengan 07º 01’ 01” Lintang Selatan dan antara 105º 01’ 11” sampai 106º 07’ 11” Bujur Timur.
Provinsi Banten memiliki batas wilayah Sebelah Utara berbatasan dengan Laut Jawa, Sebelah Selatan berbatasan dengan Samudera Hindia, Sebelah Barat berbatasan dengan Selat Sunda, dan Sebelah Timur berbatasan dengan Provinsi
DKI Jakarta dan Jawa barat. Luas wilayah Provinsi 9.662,92 Km 2 . Luas wilayah
terbesar di Provinsi Banten berada di Kabupaten Lebak sebesar 35,46 persen dari total luas wilayah Provinsi Banten. Sedangkan wilayah terkecil yaitu Kota Tangerang Selatan yang hanya sebesar 1,52 persen dari total luas wilayah Provinsi Banten. Tabel 4.31. Kabupaten dan Kota di Provinsi Kepulauan Banten Tahun 2013
KabupatenKota
Luas (km 2 )
Kota Tangerang
Tangerang Selatan
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2014
Pada tahun 2000, Provinsi Banten terdiri dari empat Kabupaten dan empat Kota, sampai saat ini terdapat empat Kabupaten dan empat Kota. Di Pemerintah Banten telah mengalami beberapa kali pemekaran sejak tahun 1999. Pada tahun 1999, terbentuknya Kota Cilegon (pemekaran dari Kabupaten Serang). Dan pada tahun 2007, terbentuk Kota Serang yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Serang. Kemudian pada tahun 2008, terbentuk Kota Tangerang Selatan yang merupakan Kabupaten Tangerang.
4.1.11.2. Penduduk dan Ketenagakerjaan Jumlah penduduk di Provinsi Banten pada tahun 2010 sebanyak 10.632.166 jiwa, yang terdiri dari 5.439.148 laki-laki dan 5.193.018 perempuan. Jumlah penduduk terbanyak yaitu berada di Kabupaten Tangerang sebanyak 2.834.376 jiwa dan yang paling sedikit jumlah penduduknya berada di Kabupaten Cilegon dengan jumlah penduduk sebanyak 374.559 jiwa.
Kepadatan penduduk di Pemerintah Banten mencapai 1.100 orangkm 2 .
Kepadatan penduduk antar daerah di masing-masing daerah tingkat II sangat bervariasi. Daerah terpadat adalah Kota Tangerang dengan rata-rata per kilometer wilayahnya dihuni oleh sekitar 111.685 jiwa. Lalu Tangerang Selatan, Kabupaten
Tangerang dan Kota Serang masing-masing sebesar 8.766 jiwakm 2 , 2.801
jiwakm 2 , dan 2.166 jiwakm 2 . Sedangkan daerah yang paling jarang penduduknya
adalah Kabupaten Lebak yaitu hanya 351 jiwakm 2 .
Tabel 4.32. Jumlah Penduduk Provinsi Kepulauan Banten Menurut KabupatenKota
Tahun 2010
KabupatenKota
Jumlah Penduduk
Kepadatan Penduduk (jiwakm 2 )
Kota Tangerang
Tangerang Selatan
Provinsi Banten
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2011
Pada Gambar 4.11. terlihat bahwa Sektor Industri Pengolah merupakan sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja di Provinsi Banten. Hal tersebut mengindikasikan bahwa sektor ini merupakan sektor yang dominan dalam perekonomian, dan secara nyata mampu menyerap tenaga kerja yang besar. Tidak hanya pada tahun 2013 saja pada tahun sebelumnya sektor ini juga masih merupakan sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja dengan persentase Pada Gambar 4.11. terlihat bahwa Sektor Industri Pengolah merupakan sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja di Provinsi Banten. Hal tersebut mengindikasikan bahwa sektor ini merupakan sektor yang dominan dalam perekonomian, dan secara nyata mampu menyerap tenaga kerja yang besar. Tidak hanya pada tahun 2013 saja pada tahun sebelumnya sektor ini juga masih merupakan sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja dengan persentase
Pertanian Pertambangan
Industri Pengolahan Listrik. Gas dan Air
25.91 Perdagangan. Hotel dan Restoran Angkutan. Pergudangan. Komunikasi
23.6 Keuangan. Asuransi. Usaha Persewaan Bangunan. Tanah dan Jasa Perusahaan 0.34 Jasa-jasa
Gambar 4.11. Persentase Penduduk Provinsi Banten Berumur 15 Tahun Keatas
yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan Utama tahun 2013
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2014
4.1.11.3. Struktur Ekonomi Perekonomian Provinsi Banten di dominasi oleh dua sektor ekonomi yaitu Sektor Industri dan Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran. Selama tahun 2009 – 2013, Sektor Industri rata-rata menyumbang sebesar 49,78 persen dalam PDRB Provinsi Banten. Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran rata-rata menyumbang 19,30 persen. Di Provinsi Baten, Sektor Pertanian hanya berkontribusi rata-rata sebesar 7,36 persen dalam PDRB Provinsi Banten.
Tabel 4.33. Distribusi PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Lapangan
Usaha Provinsi Banten Tahun 2009 – 2013 (persen)
Tahun
No
Sektor Ekonomi
2 Pertambangan dan Penggalian
4 Listrik, Air dan Gas
6 Perdagangan, Hotel dan Restoran
7 Pengangkutan dan Komunikasi
8 Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2014
4.2. Karakteristik Wilayah Provinsi di Koridor Ekonomi Sumatera
Pengklasifikasian wilayah dengan menggunakan tipologi klassen menggunakan indikator pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita wilayah. Sebelum mengkarakterstikan wilayah provinsi yang berada di KES, berikut pada Tabel 4.34. menunjukkan perbandingan pertumbuhan ekonomi provinsi yang berada di KES sebelum dan setelah otonomi daerah. Ada perubahan dalam pertumbuhan ekonomi, sebelum otonomi daerah pertumbuhan ekonomi tertinggi berada di Provinsi Riau. Namun setelah otonomi daerah, pertumbuhan ekonomi tertinggi yaitu Provinsi Banten. Yang tidak berubah yaitu Provinsi Aceh baik sebelum maupun setelah otonomi daerah merupakan provinsi yang memiliki pertumbuhan ekonom paling rendah. Tabel 4.34. Perbandingan Pertumbuhan Ekonomi Sebelum dan Setelah Otonomi
Daerah
Pertumbuhan Ekonomi
Kepulauan Riau
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Bangka Belitung
Sumatera Selatan
Sumatera Barat
Sumatera Selatan
Sumatera Utara
Pada Tabel 4.35. menunjukkan pendapatan per kapita sebelum dan setelah otonomi daerah. Sebelum otonomi daerah, pendapatan per kapita tertinggi yaitu Provinsi Riau dan terendah Provinsi Lampung. Setelah otonomi daerah, pendapatan per kapita tertinggi yaitu Provinsi Kepulauan Riau dan terendah Provinsi Bengkulu. Tabel 4.35. Perbandingan Pendapatan per Kapita Sebelum dan Setelah Otonomi
Daerah
Pendapatan Perkapita
Sebelum
Milyar Rupiah
Setelah
Milyar Rupiah
Riau
Kepulauan Riau
Sumatera Selatan
Sumatera Barat
Sumatera Utara
Sumatera Utara
Sumatera Selatan
Sumatera Barat
Bangka Belitung
Lampung
Bengkulu
Sebelum otonomi daerah (tahun 1993 – 1999) hanya ada delapan provinsi yang berada dalam KES yaitu Provinsi Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, dan Lampung. Dari Gambar 4.12. menunjukkan bagaimana klasifikasi pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita Provinsi sebelum dilakukan otonomi daerah: (a) Sebelum otonomi daerah, hanya ada satu kabupaten yang masuk ke dalam daerah Daerah Berkembang yaitu Provinsi Aceh. Dan hanya ada satu provinsi yang masuk dalam kategori Daerah Relatif Berkembang yaitu Provinsi Lampung. Kemudian juga hanya ada satu provinsi yang masuk dalam kategori Daerah Maju yaitu Provinsi Riau. (b) Kemudian ada lima provinsi yang masuk ke Daerah Maju Tapi Tertekan sebelum dilakukan pemekaran yaitu Provinsi Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Jambi dan Bengkulu.
Gambar 4.12. Hasil Tipologi Klassen Sebelum Otonomi Daerah
Setelah otonomi daerah (tahun 1993 – 1999) ada 11 provinsi yang berada dalam KES yaitu Provinsi Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, Kepulauan Bangka Belitung, Kepulauan Riau dan Banten.
Dari Gambar 4.13. tersebut menunjukkan bagaimana klasifikasi
pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita Provinsi sebelum dilakukan otonomi daerah: (a) Setelah otonomi daerah, hanya ada satu kabupaten yang masuk ke dalam daerah Maju yaitu Provinsi Kepulauan Riau. (b) Kemudian ada dua provinsi yang masuk ke Daerah Berkembang sebelum dilakukan pemekaran yaitu Provinsi
Riau dan Aceh. Dan ada delapan provinsi yang masuk dalam kategori Daerah Maju Tapi Tertekan yaitu Provinsi Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, Kepulauan Bangka Belitung dan Banten.
Gambar 4.13. Hasil Tipologi Klassen Setelah Otonomi Daerah
Untuk lebih jelas bagaimana perbandingan klasifikasi tipologi klassen sebelum dan setelah otonomi daerah bisa dilihat pada Tabel 4.36. sebelum otonomi daerah yang termasuk karakteristik daerah maju yaitu Provinsi Riau. Provinsi Aceh masuk dalam karakteristik daerah berkembang, dan Provinsi Lampung masuk karakteristik daerah tertinggal. Sedangkan provinsi lainnya masuk dalam karakteristik daerah maju tapi tertekan. Kemudian setelah otonomi daerah, yang masuk dalam karakteristik daerah maju yaitu Provinsi Kepulauan Riau, dan daerah berkembang tetap Provinsi Aceh. Sedangkan provinsi lainnya masuk dalam karakteristik daerah maju tapi tertekan. Kemudian setelah otonomi daerah tidak ada provinsi yang masuk dalam kategori daerah tertinggal.
Tabel 4.36. Perbandingan Tipologi Klassen Sebelum dan Setelah Otonomi Daerah
Klasifikasi
Sebelum Otonomi Daerah
Setelah Otonomi Daerah
Daerah Maju
Riau
Kepulauan Riau
Daerah Maju Tapi
Sumatera Utara, Sumatera
Sumatera Utara, Sumatera Barat,
Tertekan
Barat, Sumatera Selatan,
Sumatera Selatan, Jambi, Bengkulu,
Jambi, Bengkulu, Lampung
Lampung, Kepulauan Bangka Belitung
Daerah Berkembang
Aceh
Daerah Tertinggal
Lampung
4.3. Tingkat pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan pendapatan di Koridor Ekonomi Sumatera
4.3.1. Pertumbuhan Ekonomi Selama periode sebelum otonomi daerah semua provinsi yang berada di
KES memiliki pertumbuhan ekonomi yang positif. Provinsi yang memiliki pertumbuhan ekonomi yang tinggi pada periode ini yaitu Provinsi Riau sebesar 5,63 persen. Sedangkan yang paling rendah pertumbuhan ekonominya adalah Provinsi Aceh. Menarik untuk diperhatikan pada kedua provinsi ini yang merupakan provinsi yang kaya sumberdaya alam tetapi memiliki pertumbuhan ekonomi yang berbeda pada periode ini. Hal ini bisa karena pada periode tersebut kedua provinsi tersebut mengalami penurunan hasil produksi tambang dan penggalian, hanya saja penurunan sektor ini di Provinsi Riau hanya sebesar 13,57 persen sedangkan di Provinsi Aceh sebesar 31,81 persen. Selain itu juga sektor industri tumbuh sebesar 20,14 persen di Provinsi Riau, sedangkan sektor industri Aceh hanya tumbuh sebesar 14,19 persen. Secara keseluruhan pertumbuhan ekonomi KES selama periode ini yaitu sebesar 3,67 persen.
Tabel 4.37. Pertumbuhan Ekonomi Provinsi di KES pada Masa Sebelum Otonomi
Daerah (persen)
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Sumatera Selatan
Sumber: BPS, data diolah
Dan adanya krisis moneter yang melanda Indonesia pada tahun 1997 – 1999 membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia secara keseluruhan mengalami pertumbuhan yang negatif. Ternyata pada level regional, provinsi yang berada di KES pada tahun 1998 secara keseluruhan mengalami pertumbuhan ekonomi yang negatif. Pada tahun 1998, pertumbuhan ekonomi yang paling negatif terjadi di Provinsi Riau 10,15 persen dari tahun sebelumnya. Sedangkan Provinsi yang berada di KES yang pertumbuhan ekonominya masih positif pada tahun 1998 yaitu Provinsi Lampung. Menarik untuk diperhatikan perbedaan pertumbuhan ekonomi antara kedua provinsi ini. Apabila dilihat dari struktur ekonominya, Provinsi Riau hampir 50 persen PDRB daerahnya dikontribusi oleh sektor pertambangan dan penggalian Dan adanya krisis moneter yang melanda Indonesia pada tahun 1997 – 1999 membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia secara keseluruhan mengalami pertumbuhan yang negatif. Ternyata pada level regional, provinsi yang berada di KES pada tahun 1998 secara keseluruhan mengalami pertumbuhan ekonomi yang negatif. Pada tahun 1998, pertumbuhan ekonomi yang paling negatif terjadi di Provinsi Riau 10,15 persen dari tahun sebelumnya. Sedangkan Provinsi yang berada di KES yang pertumbuhan ekonominya masih positif pada tahun 1998 yaitu Provinsi Lampung. Menarik untuk diperhatikan perbedaan pertumbuhan ekonomi antara kedua provinsi ini. Apabila dilihat dari struktur ekonominya, Provinsi Riau hampir 50 persen PDRB daerahnya dikontribusi oleh sektor pertambangan dan penggalian
Pada masa krisis moneter sektor ekonomi yang pertumbuhannya positif hanya sektor pertanian karena sektor ini dukungan subsektor perkebunan, kehutanan dan perikanan yang produksinya terus meningkat serta pengaruh dari pertumbuhan ekspornya (Tambunan, 2001). Secara keseluruhan pertumbuhan ekonomi di KES selama masa krisis (1997 – 1999) mengalami penurunan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,42 persen.Kemudian pertumbuhan ekonomi rata- rata selama 13 tahun otonomi daerah di semua provinsi yang berada di KES mengalami pertumbuhan ekonomi yang positif. Pertumbuhan ekonomi tertinggi selama periode ini yaitu Provinsi Banten yaitu sebesar 6,50 persen. Sedangkan Provinsi yang paling rendah pertumbuhan ekonominya selama periode ini adalah Provinsi Aceh yaitu hanya sebesar 0,61. Secara keseluruhan rata-rata pertumbuhan ekonomi di KES selama periode ini tumbuh sebesar 4,80 persen.
Tabel 4.38. Pertumbuhan Ekonomi Provinsi-provinsi di KES pada Masa Otonomi
Daerah (persen)
Sumber: BPS, data diolah
Keterangan:
1. Provinsi Aceh 2. Provinsi Sumatera Utara 3. Provinsi Sumatera Barat 4. Provinsi Riau 5. Provinsi Jambi 6. Provinsi Sumatera Selatan 7. Provinsi Bengkulu 8. Provinsi Lampung 9. Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
10. Provinsi Kepulauan Riau 11. Provinsi Banten
Provinsi Banten yang baru terbentuk pada tahun 2000 memiliki pertumbuhan ekonomi yang paling tinggi disebabkan karena berbasiskan sektor industri yang didukung dengan peningkatan sektor-sektor lainnya seperti perdagangan. Bisa dilihat dari Tabel 4.39. yang menunjukkan kontribusi sektor industri di provinsi ini pada tahun 2000 mencapai 52,45 persen, kemudian selama periode ini sektor perdagangan selama tahun 2000 – 2013 tumbuh sebesar 21 persen. Hal ini berbanding terbalik dengan Provinsi Aceh yang sektor perdagangannya cenderung meningkat juga tetapi kontribusi sektor industrinya setiap tahun cenderung menurun, selama periode ini menurun sekitar 57,76 persen dari 21,60 persen hanya menjadi 6,03 persen. Tabel 4.39. Kontribusi Sektor Industri dan Perdagangan Provinsi Banten dan Aceh
(persen) Provinsi
Sektor Industri
Sektor Perdagangan
Sumber: BPS, data diolah
Faktor lain yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi kedua provinsi tersebut yaitu ekspor dan impornya. Bisa dilihat pada Tabel 4.40. Provinsi Aceh pada tahun 2007 volume ekspor dan impornya masing-masing sebesar 0,78 persen dan 0,15 persen. Sedangkan Provinsi Banten pada tahun yang sama volume ekspor dan impornya masing-masing sebesar 27,69 persen dan 45,58 persen. Keterbukaan ekonomi suatu daerah berpengaruh terhadap modal atau investasi asing langsung (PMA) maupun tidak langsung (pembelian saham), perdangangan (terutama ekspor) yang berdampak positif terhadap pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, namun sangat rentan terhadap perubahan kondisi ekonomi eksternal (Tambunan, 2012).
Tabel 4.40. Ekspor dan Impor menurut Provinsi di KES tahun 2007 ( dari PDRB)
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Sumatera Selatan
Bangka Belitung
Sumber: Tambunan, 2012
Fenomena krisis ekonomi yang melanda Indonesia tidak hanya terjadi pada masa orde baru saja, tetapi pada masa otonomi daerah juga terjadi krisis ekonomi global pada tahun 2008 – 2009 namun tidak berdampak signifikan terhadap perekonomian di Indonesia. Bisa dilihat dari Tabel 4.38. pertumbuhan ekonomi di tingkat provinsi yang berada di KES selama masih positif berbeda dengan pada saat krisis moneter pada masa orde baru yang hampir seluruh provinsi di KES mengalami pertumbuhan ekonomi yang negatif. Kondisi yang lebih baik ini disebabkan karena perbankan nasional jauh lebih baik dari pada masa orde baru dan keberhasilan pemerintah dalam merespon krisis tersebut dengan menjaga stabilitas nilai tukar rupiah serta menambah pengeluaran pemerintah. Selain itu juga kondisi ekonomi indonesia lebih baik disebabkan karena komoditas ekspor dari Indonesia lebih beragam dibandingkan pada saat krisis moneter 1998 (Tambunan, 2012).
Hasil Uji Tren Pertumbuhan Ekonomi
Sebelum otonomi daerah, penurunan pertumbuhan ekonomi yang signifikan hanya terjadi di Provinsi Bengkulu dan Lampung dan tidak ada provinsi yang mengalami peningkatan pertumbuhan ekonomi yang signifikan. Provinsi Bengkulu memiliki nilai signifikansi t sebesar 0,043, artinya variabel waktu berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Nilai koefisiennya sebesar -1,565 yang berarti bahwa setiap tahun pertumbuhan ekonomi Provinsi Bengkulu berkurang sebanyak 1,56 persen. Dan Provinsi Lampung memiliki nilai signifikansi t sebesar 0,048, yang juga berarti variabel waktu berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Provinsi Lampung. Nilai koefisiennya sebesar -3,011 yang berarti bahwa setiap tahun pertumbuhan ekonomi Provinsi Lampung berkurang sebanyak 3,011 persen. Kemudian untuk pertumbuhan ekonomi KES tidan mengalami perubahan.
Setalah otonomi daerah, tidak ada provinsi yang mengalami penurunan pertumbuhan ekonomi yang signifikan tetapi ada dua provinsi yang mengalami peningkatan pertumbuhan ekonomi yang signfikan yaitu Provinsi Sumatera Barat dan Jambi. Provinsi Sumatera Barat dan Jambi memiliki nilai signifikansi t sebesar 0,05 dan 0,030 yang berarti variabel waktu berpengaruh signifikan terhadap variabel pertumbuhan ekonomi. Nilai koefisien untuk Provinsi Sumatera Barat dan Jambi yaitu sebesar 0,146 dan 0,210, artinya setiap tahun pertumbuhan ekonomi di Sumatera Barat meningkat sebesar 0,146 persen dan 0,210 persen untuk Provinsi Jambi. Dan pertumbuhan ekonomi KES tidak mengalami perubahan.
Tabel 4.41. Hasil Uji Tren Pertumbuhan Ekonomi Sebelum dan Setelah Otonomi
Daerah.
Provinsi
Sebelum Otonomi
Setelah Otonomi
Nilai Koefisien
Signifikansi
Nilai Koefisien
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Sumatera Selatan
Bangka Belitung
Kepulauan Riau
Sumber: Hasil Analisis Keterangan: Signifikan pada α = 5
4.3.2. Ketimpangan Pendapatan Pada periode sebelum otonomi daerah ketimpangan Pendapatan di seluruh
provinsi di KES tergolong dalam ketimpangan tinggi (CVw > 0,35) kecuali Provinsi Jambi dan Lampung yang tergolong dalam ketimpangan sedang yaitu sebesar 0,257 dan 0,210 yang berarti bahwa tingkat pemerataan di kedua provinsi tersebut mencapai 74,3 persen dan 79 persen. Provinsi yang kaya sumber daya alam seperti provinsi Aceh dan Riau memiliki tingkat ketimpangan tertinggi sebesar 0,945 dan 0,786 yang berarti bahwa tingkat pemerataan pada kedua provinsi tersebut tidak mencapai 30 persen. Beberapa hasil studi empiris sebelumnya menyatakan bahwa ketika sektor pertambangan dan penggalian dikeluarkan dari perhitungan Indeks Williamson, ketimpangan pendapatan menjadi meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa sektor tersebut yang berkontribusi besar dalam meningkatkan ketimpangan. Secara keseluruhan pada periode ini, ketimpangan pendapatan di KES yaitu sebesar 0,895 yang berarti tingkat pembangunan di KES sebesar 10,5 persen.
Tabel 4.42. Ketimpangan Pendapatan Sebelum Otonomi Daerah
Sumber: Hasil Analisis
Kemudian setelah otonomi daerah lahir sebagai bentuk dari kegagalan dari sistem pemerintah yang sentralistis. Karena pemerintahan yang sentralistis menyebabkan proses pembangunan daerah menjadi tidak efisien dan ketimpangan wilayah menjadi meningkat serta menimbulkan ketidakadilan dalam pembangian alokasi sumberdaya nasional terutama dana pembangunan (Sjafrizal, 2008).
Jadi secara ekspilisit, otonomi daerah bertujuan untuk meningkatkan pemerataan pembangunan yang pada masa sebelumnya belum tercapai. Dan tampaknya setelah lebih dari 13 tahun lahirnya otonomi daerah telah membuahkan hasil jika dilihat dari tingkat ketimpangan pendapatan pada setiap provinsi di KES.
Jika dilihat dari hasil analisis Indeks Williamson setelah otonomi daerah, terlihat bahwa angka ketimpangan pendapatan di beberapa daerah cenderung menurun meskipun di masih di kategorikan sebagai ketimpangan tinggi. Provinsi yang baru terbentuk pada masa otonomi daerah yaitu Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dan Banten, memiliki tingkat ketimpangan yang paling tinggi yaitu masing- masing sebesar 0,70 dan 0,89 yang berarti tingkat pemerataan pembangunan di kedua provinsi itu hanya sebesar 30 persen dan 11 persen.
Bahkan Provinsi Banten selama periode ini tingkat ketimpangannya cenderung meningkat. Berbeda dengan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang cenderung menurun. Hal ini bisa disebabkan karena di Provinsi Banten sektor ekonomi yang paling besar kontribusinya adalah sektor industri yang rata-rata setiap tahunnya berkontribusi sekitar 50 persen dalam PDRB daerahnya. Sedangkan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang berkontribusi besar dalam PDRB daerahnya adalah sektor pertanian yang rata-rata setiap tahunnya berkontribusi sekitar 35 persen sedangkan sektor industri tidak sampai lima persen.
Kemudian Provinsi yang dikategorikan ketimpangan rendah selama periode ini yaitu Provinsi Lampung di mana tingkat ketimpang pendapatannya hanya 0,18 yang berarti tingkat pemerataannya mencapai 82 pesen.
Tabel 4.43. Ketimpangan Pendapatan (CVw) pada Masa Otonomi Daerah
Sumber: Hasil Analisis
Keterangan:
1. Provinsi Aceh 2. Provinsi Sumatera Utara 3. Provinsi Sumatera Barat 4. Provinsi Riau 5. Provinsi Jambi 6. Provinsi Sumatera Selatan 7. Provinsi Bengkulu 8. Provinsi Lampung 9. Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
10. Provinsi Kepulauan Riau 11. Provinsi Banten
Peningkatan ketimpangan pendapatan di beberapa provinsi seiiring dengan peningkatan kontribusi sektor industri pengolahan. Penyebab terjadi ketimpangan pendapatan adalah sektor industri dan jasa (Etharina, 2004). Di mana kontribusi sektor Industri di Provinsi Jambi pada tahun 1993 sebesar 13,88 persen menjadi 15,44 persen.
Kemudian terjadinya penurunan ketimpangan pendapatan di beberapa provinsi diikuti dengan semakin berkurangnya hasil pertambangan dan penggalian di daerah tersebut. Selama periode ini kontribusi sektor pertambangan dan penggalian pada Provinsi Aceh pada tahun 1993 sebesar 51,24 persen menjadi 44,23 persen pada tahun 1996 yang berarti kontribusinya berkurang sekitar 20 persen, Provinsi Sumatera Utara pada tahun 1993 sebesar 2,52 persen menjadi 1,96 persen berarti berkurang sekitar 55 persen.
Tabel 4.44. Kontribusi Sektor Pertambangan dan Penggalian dalam PDRB Daerah
(persen) Provinsi
Sumatera Utara
Sumber: BPS, data diolah
Menjadi perhatian selama periode sebelum otonomi daerah, Indonesia sempat mengalami krisis moneter yaitu pada tahun 1997 – 1999. Krisis moneter tentu sedikit banyaknya akan berpengaruh terhadap ketimpangan pendapatan di daerah. Pada tataran wilayah Indonesia, terjadinya krisis moneter yang melanda Indonesia pada masa ini sangat merugikan perekonomian Indonesia terutama sektor ekonomi perkotaan. Sehingga banyak tenaga kerja di perkotaan yang mendapatkan pemutusan hubungan kerja yang berakibat pada meningkatkan migrasi dari perkotaan ke pedasaan. Bahkan pada masa krisis ekonomi pertumbuhan ekonomi di Indonesia negatif. Namun, sebenarnya ketimpangan pendapatan antarwilayah di Indonesia pada masa krisis mengalami penurunan drastis tetapi ketimpangan di dalam wilayah semakin meningkat karena disumbang ketimpangan antarkabupaten (Agusta, 2014).
Kemudian pada tataran regional dari hasil analisis dengan menggunakan Indeks Williamson pada masa krisis di KES, sebenarnya hampir semua daerah masih tergolong dalam ketimpangan tinggi (CVw > 3,5), tetap hanya Provinsi Jambi dan Lampung yang tergolong ketimpangan sedang yaitu sebesar 0,28 dan 0,22 yang berarti tingkat pemeratan di kedua provinsi tersebut masing-masinng sebesar 0,72 persen dan 78 persen, tetapi sebenarnya ketimpangan pendapatan di kedua daerah tersebut meningkat jika dibandingkan pada masa sebelum krisis moneter. Secara keseluruhan pada masa krisis moneter ketimpangan pendapatan di KES tergolong ketimpangan tinggi yaitu 0,92 yang berarti tingkat pemerataan hanya 8 persen. Tabel 4.45. Ketimpangan Pendapatan (CVw) pada Masa Krisis
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Sumatera Selatan
Sumber: Hasil Analisis
Selama masa krisis ini ada beberapa provinsi yang mengalami penurunan ketimpangan pendapatan namun ada juga beberapa provinsi seperti provinsi Jambi, Sumatera Selatan dan Bengkulu yang mengalami peningkatan. Provinsi Jambi selama periode ini mengalami peningkatan ketimpangan rata-rata sebesar 6,46 persen. Provinsi Sumatera Selatan mengalami peningkatan ketimpangan rata-rata sebesar 1,25 persen, dan Provinsi Bengkulu hanya mengalami peningkatan ketimpangan rata-rata sebesar 0,56 persen.
Tabel 4.46. Laju Pertumbuhan Ketimpangan Pendapatan pada Masa Krisis (persen)
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Sumatera Selatan
Sumber: Hasil Analisis Hasil Uji Tren Ketimpangan Pendapatan
Sebelum otonomi daerah, penurunan ketimpangan pendapatan yang signifikan hanya di Provinsi Aceh dan Sumatera Utara. Provinsi Aceh memiliki nilai signifikansi t sebesar 0,000 dan Sumatera Utara sebesar 0,0001, yang berarti variabel waktu berpengaruh signifkan terhadap variabel ketimpangan pendapatan. Nilai Koefisien untuk Provinsi Aceh dan Sumatera Utara sebesar -0,041 dan -0,021, yang berarti bahwa setiap tahun ketimpangan pendapatan di Provinsi Aceh berkurang sebesar 0,0041 persen dan di Provinsi Sumatera Utara berkurang sebesar 0,021 persen. Kemudian peningkatan ketimpangan pendapatan yang signifikan hanya terjadi di Provinsi Jambi. Provinsi Jambi memiliki nilai signfikansi t sebesar 0,016 persen, yang berarti variabel waktu juga berpengaruh signfikan terhadap ketimpangan pendapatan di Provinsi Jambi. Dan nilai koefisiennya sebesar 0,010 persen yang berarti bahwa setiap tahun ketimpangan pendapatan di Provinsi Jambi meningkat sebesar 0,010 persen. Sedangkan untuk ketimpangan pendapatan di KES tidak mengalami perubahan.
Setelah otonomi daerah, provinsi yang mengalami penurunan ketimpangan pendapatan yang signifikan yaitu Provinsi Aceh, Sumatera Barat, Riau, Kepulauan Bangka Belitung, dan Kepulauan Riau. Provinsi Aceh, Sumatera Barat dan Riau Setelah otonomi daerah, provinsi yang mengalami penurunan ketimpangan pendapatan yang signifikan yaitu Provinsi Aceh, Sumatera Barat, Riau, Kepulauan Bangka Belitung, dan Kepulauan Riau. Provinsi Aceh, Sumatera Barat dan Riau
Provinsi yang mengalami peningkatan ketimpangan pendapat signifikan yaitu Provinsi Sumatera Utara, Jambi, Bengkulu, dan Banten. Provinsi Sumatera Utara memiliki nilai signfikansi t sebesar 0,000, sedangkan Provinsi Jambi, Bengkulu dan Banten memiliki nilai signifkansi t yang sama yaitu sebesar 0,001. Kemudian nilai koefisien untuk Provinsi Sumatera Utara sebesar 0,009 yang berarti setiap tahun ketimpangan pendapatan meningkat sebesar 0,009 persen. Provinsi Jambi dan Bengkulu memiliki nilai koefisien yang sama yaitu sebesar 0,003 yang berarti setiap tahun ketimpangan pendapatan meningkat sebesar 0,003 persen. Dan Banten memiliki nilai koefisien sebesar 0,017 yang berarti setiap tahun ketimpangan pendapatan meninngkat sebesar 0,017 persen.
Ketimpangan pendapatan KES selama periode ini mengalami penurunan yang signifkan. KES memiliki nilai signifikansi t sebesar 0,000 yang berarti variabel waktu berpengaruh signifikan terhadap variabel ketimpangan pendapatan di KES. Dan nilai koefisiennya sebesar -0,011 yang berarti setiap tahun ketimpangan pendapatan menurun sebesar 0,011 persen di KES.
Tabel 4.47. Hasil Uji Tren Ketimpangan Pendapatan Sebelum dan Setelah Otonomi
Daerah Tahun 1993 – 1996.
Provinsi
Sebelum Otonomi Daerah
Setelah Otonomi Daerah
Nilai Koefisien
Signifikansi
Nilai Koefisien Signifikansi
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Sumatera Selatan
Bangka Belitung
Kepulauan Riau
Sumber: Hasil Analisis Keterangan: signifikan pada α = 5
Signifikan pada α = 1
Meskipun dengan pemberian wewenang kapada masing-masing daerah untuk mengatur dan mengelola daerahnya sendiri pada masa otonomi daerah masih ada kemungkinan peningkatan ketimpangan pendapatan dibeberapa daerah sebagai akibat otonomi daerah. Menurut Agusta (2014) indikasi peningkatan ketimpangan pendapatan pada masa otonomi daerah disebabkan oleh:
a. Pembagian keuangan negara untuk daerah mempertimbangkan kontribusi daerah dalam GDP
b. Dana bagi hasil juga lebih menguntungkan daerah-daerah sentra bisnis
c. Kerjasama antar daerah belum terjalin kuat
d. Pungutan tinggi yang menghambat laju migrasi
e. Pembatasan atau tarif bea masuk yang tinggi
f. DAU (Dana Alokasi Umum) tidak diarahkan unntuk isu-isu strategis ketimpangan
g. Tidak semua pemerintah daerah mencarikan DAK.(Dana Alokasi Khusus).
Sehingga tidak heran apabila di beberapa daerah seperti di Provinsi Sumatera Utara, Jambi, Bengku dan Banten ketimpangan pendapatan malah meningkat. Namun apabila dilihat secara keseluruhan ketimpangan pendapatan di KES selama 13 tahun otonomi daerah ketimpangan pendapatan menurun 4,07 persen.
Peningkatan ketimpangan pendapatan setelah otonomi daerah disebabkan karena daerah mendapatkan keuntungan berlebih dari hasil eksploitasi sumberdaya alam di wilayahnya (Agusta, 2014). Bisa dilihat untuk kasus peningkatan ketimpangan pendapatan di Provinsi Jambi, Sumatera Selatan dan Bengkulu di mana pada periode ini kontribusi sektor pertambangan dan penggalian terus meningkat sedangkan di provinsi-provinsi lainnya justru kontribusi sektor tersebut mengalami penurunan.
Pada tahun 1997 kontribusi sektor pertambangan dan penggalian di Provinsi Jambi hanya 6,62 persen meningkat menjadi 10,72 persen artinya meningkat sekitar
62 persen, sedangkan di provinsi Sumatera Selatan hanya sebesar 9 persen. Kemudian di Provinsi Bengkulu meningkat menjadi 16 persen selama kurun waktu tahun 1997 – 1999. Di mana peningkatan kontribusi sektor pertambangan dan 62 persen, sedangkan di provinsi Sumatera Selatan hanya sebesar 9 persen. Kemudian di Provinsi Bengkulu meningkat menjadi 16 persen selama kurun waktu tahun 1997 – 1999. Di mana peningkatan kontribusi sektor pertambangan dan
Sedangkan kontribusi sektor pertambangan dan penggalian selama kurun waktu tahun 1997 – 1999 di Provinsi Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau dan Lampung mengalami penurunan yang diiringi dengan penurunan tingkat ketimpangan pendapatan di daerah tersebut.
Tabel 4.48. Kontribusi Sektor Pertambangan dan Penggalian di masing-masing
Provinsi selama Masa Krisis (persen) Provinsi
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Sumatera Selatan
Sumber: BPS, data diolah
Meskipun di beberapa daerah provinsi yang berada di KES mengalami peningkatan maupun penurunan ketimpangan pendapatan, secara keseluruhan ketimpangan pendapatan di KES selama masa krisis moneter mengalami penurunan sebesar 1,40 (lihat Tabel 4.46.). Hal ini disebabkan karena hasil eksploitasi sumberdaya alam di beberapa provinsi mengalami penurunan yang bisa dilihat dari angka kontribusi sektor pertambangan dan penggalian.
4.3.3 Klasifikasi Daerah Berdasarkan Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan
Pendapatan
4.3.3.1. Sebelum Otonomi Daerah Berdasarkan trend pertumbuhan ekonomi yang menunjukkan terjadi tren peningkatan pertumbuhan ekonomi sebelum otonomi daerah terjadi di Provinsi Jambi, Bengkulu, dan Lampung. Sedangkan tren penurunan pertumbuhan ekonomi terjadi di Provinsi Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, dan Sumatera Selatan.
Kemudian ketimpangan pendapatan yang menunjukkan tren peningkatan terjadi di Provinsi Jambi, Bengkul dan Lampung. Dan tren penurunan ketimpangan pendapatan terjadi di Provinsi Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, dan Sumatera Selatan. Pada Tabel 4.49. maka dapat diklasifikasikan daerah tersebut sebagai berikut:
Tabel 4.49. Klasifikasi Daerah berdasarkan Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan
Pendapatan sebelum Otonomi Daerah
Kuadran II
Kuadran I
Kuadran IV
Kuadran III
Aceh
Jambi
Sumatera Utara
Sumatera Selatan
Keterangan: - Kuadran I : Pertumbuhan Ekonomi naik dan Ketimpangan Pendapatan naik - Kuadran II : Pertumbuhan Ekonomi turun dan Ketimpangan Pendapatan naik - Kuadran III : Pertumbuhan Ekonomi naik dan Ketimpangan Pendapatan turun - Kuadran IV : Pertumbuhan Ekonomi turun dan Ketimpangan Pendapatan turun
4.3.3.2 Setelah Otonomi Daerah Otonomi daerah pada tahun 2000 membuat perubahan klasifikasi daerah
berdasarkan tren pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan pendapatan. Setelah otonomi daerah ada beberapa provinsi yang masuk dalam kuadran I dan kuadran II di mana sebelum otonomi daerah tidak ada provinsi yang berada pada dua kuadran ini. Pada Tabel 4.50. provinsi yang mengalami trend peningkatan pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan pendapatan yaitu Provinsi Sumatera Utara, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, dan Banten. Sedangkan hanya Provinsi Lampung yang mengalmai tren penurunan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan ketimpangan pendapatan. Dan provinsi yang mengalami tren peningkatan pertumbuhan ekonomi dan penurunan ketimpangan pendapatan yaitu Provinsi Aceh, Sumatera Barat, Riau dan Kepulauan Riau. Kemudian hanya satu provinsi yang mengalami tren penurunan pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan pendapatan yaitu Kepulauan Bangka Belitung.
Tabel 4.50. Klasifikasi Daerah berdasarkan Pertumbuhan Ekonomi dan
Ketimpangan Pendapatan setelah Otonomi Daerah
Kuadran II
Kuadran I
Lampung
Sumatera Utara Jambi
Sumatera Selatan Bengkulu Banten
Kuadran IV
Kuadran III
Kepulauan Bangka Belitung
Aceh Sumatera Barat Riau Kepulauan Riau
Keterangan: - Kuadran I : Pertumbuhan Ekonomi naik dan Ketimpangan Pendapatan naik
- Kuadran II : Pertumbuhan Ekonomi turun dan Ketimpangan Pendapatan naik - Kuadran III : Pertumbuhan Ekonomi naik dan Ketimpangan Pendapatan turun - Kuadran IV : Pertumbuhan Ekonomi turun dan Ketimpangan Pendapatan turun
4.4. Trade-off antara pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan pendapatan di
Koridor Ekonomi Sumatera
Hasil olah data pada Tabel 4.51. dengan menggunakan analisis Korelasi Pearson menunjukkan bahwa pada masing-masing provinsi yang berada di KES tidak terjadi trade-off antara ketimpangan pendapatan dan pertumbuan ekonomi dalam proses pembangunan. Bahkan tidak ada hubungan antara ketimpangan pendapatan dan pertumbuhan ekonomi. Hal ini bisa dilihat dari masing-masing nilai signifikansi t yang lebih besar dari pada nilai α (0,05) yang berarti tidak ada hubungan yang signifikan antara ketimpangan pendapatan dan pertumbuhan ekonomi. Sehingga pada kasus di KES tidak ditemukan pola hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan pendapatan.
Tabel 4.51. Hasil Analisis Korelasi Pearson masing-masing Provinsi
Provinsi
Pearson Correlation
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Sumatera Selatan
Bangka Belitung
Kepulauan Riau
Sumber: Hasil Analisis
Berdasarkan hasil beberapa studi empiris sebelumnya yang juga meneliti tentang hubungan ketimpangan pendapatan dan pertumbuhan ekonomi di wilayah Indonesia menemukan bahwa tidak terjadi trade-off antara pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan pendapatan bahkan tidak ada pola hubungan khusus antara keduanya untuk kasus di wilayah Indonesia. Studi-studi empiris yang melatarbelakangi terjadinya trade-off antara ketimpangan pendapatan dan pertumbuhan ekonomi adalah adanya Hipotesis Kuznets. Namun, hipotesis itu hanya tidak terbukti di NSB melainkan hanya terbukti di Negara Maju dengan tingkat Berdasarkan hasil beberapa studi empiris sebelumnya yang juga meneliti tentang hubungan ketimpangan pendapatan dan pertumbuhan ekonomi di wilayah Indonesia menemukan bahwa tidak terjadi trade-off antara pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan pendapatan bahkan tidak ada pola hubungan khusus antara keduanya untuk kasus di wilayah Indonesia. Studi-studi empiris yang melatarbelakangi terjadinya trade-off antara ketimpangan pendapatan dan pertumbuhan ekonomi adalah adanya Hipotesis Kuznets. Namun, hipotesis itu hanya tidak terbukti di NSB melainkan hanya terbukti di Negara Maju dengan tingkat
Tidak ditemukkan trade-off antara pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan pendapatan di Indonesia, hal ini menunjukkan bahwa program pembangunan pemerintah selama ini tidak hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi melainkan juga pada pemerataan pembangunan ekonomi. Banyak program pemerintah yang telah dilakukan dalam usaha pemerataan ekonomi seperti pengembangan perkebunan ke Sumatera dan Kalimantan, pendirian industry ke luar Jawa, nasionalisasi perusahaan, stabilisasi ekonomi, stabilisasi harga pangan, program khusus penanggulangan kemiskinan dan Dana Alokasi Khusus (Agusta, 2014).
4.5. Kontribusi sektor pertanian dalam ketimpangan pendapatan di Koridor
Ekonomi Sumatera
4.5.1. Ketimpangan Pendapatan dengan Analisis Koefisien Variasi Tertimbang Williamson
Hasil perhitungan koefisien variasi tertimbang (CVw) dari tahun 2002 sampai tahun 2013 berdasarkan harga konstan 2000. Tabel 4.52. menunjukkan CVw dengan migas dan tanpa migas. Dengan migas, pada tahun 2008 terjadi peningkatan indeks CVw yaitu sebesar 0,51 yang pada tahun sebelumnya hanya sebesar 0,48. Sedangkan tanpa migas, terjadi beberapa kali peningkatan indeks CVw yaitu pada tahun 2006, 2007 dan 2009. Kemudian ada beberapa kesimpulan yang bisa diambil dari tabel tersebut yaitu (1) Selama kurun waktu 2002 – 2013 baik dengan maupun tanpa migas, terlihat jelas bahwa terlihat jelas terjadi penurunan indeks CVw. Di tahun 2002 dengan migas, indeks CVw sebesar 0,53 kemudian terus turun sampai 0,44. Sedangkan tanpa migas dari 0,63 menjadi 0,35 (2) Apabila migas di perhitungkan Indeks CVw relatif lebih tinggi dibandingkan jika tanpa migas. Dan Hasil perhitungan koefisien variasi tertimbang (CVw) dari tahun 2002 sampai tahun 2013 berdasarkan harga konstan 2000. Tabel 4.52. menunjukkan CVw dengan migas dan tanpa migas. Dengan migas, pada tahun 2008 terjadi peningkatan indeks CVw yaitu sebesar 0,51 yang pada tahun sebelumnya hanya sebesar 0,48. Sedangkan tanpa migas, terjadi beberapa kali peningkatan indeks CVw yaitu pada tahun 2006, 2007 dan 2009. Kemudian ada beberapa kesimpulan yang bisa diambil dari tabel tersebut yaitu (1) Selama kurun waktu 2002 – 2013 baik dengan maupun tanpa migas, terlihat jelas bahwa terlihat jelas terjadi penurunan indeks CVw. Di tahun 2002 dengan migas, indeks CVw sebesar 0,53 kemudian terus turun sampai 0,44. Sedangkan tanpa migas dari 0,63 menjadi 0,35 (2) Apabila migas di perhitungkan Indeks CVw relatif lebih tinggi dibandingkan jika tanpa migas. Dan
Tabel 4.52. Koefisien Variasi Tertimbang
Koefisien Variasi Tertimbang (CVw)
Tahun
Dengan Migas
Tanpa Migas
4.5.2. Ketimpangan Pendapatan dengan Analisis Dekomposisi Sektoral Takahiro Akita mengembangkan lebih lanjut dari formula Indeks Williamson
dengan cara mendekomposisi pendapatan nasional sebagai penjumlahan nilai tambah sektoral menjadi per kapita sektoral. Nilai tambah PDRB dibagi menjadi tiga sektor, yaitu sektor pertanian, industri, dan jasa. Keunggulan dari formula dekomposisi sektoral ini, yaitu bisa mengetahui sektor mana yang menyebabkan ketimpangan pendapatan dan berapa besar peran masing-masing sektor terhadap indeks ketimpangan secara keseluruhan.
Untuk mengestimasi koefisien variasi tertimbang (CVw) untuk masing- masing sektor dan juga untuk menghitung koefisien kovariasi (COVw) antar sektor digunakan pendapatan per kapita sektoral. Pada Gambar 4.14. menunjukkan koefisien variasi untuk sektor pertanian relatif lebih kecil, hal ini berarti kedua sektor tersebut telah dikembangkan secara merata di KES. Sektor industri dan jasa memiliki nilai CVw yang relatif lebih tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa kedua sektor tersebut belum dikembangkan secara merata. Dan terlihat sektor pertanian cenderung mengalami penurunan. Sedangkan untuk sektor industri dan jasa tidak terlihat tren menurun atau meningkat, kedua sektor tersebut relatif stabil. Sektor industri berkisar 0,26 – 0,83 sedangkan sektor jasa berkisar 0,23 – 0,41.
Ketimpangan sektor pertanian
Ketimpangan sektor industri
Ketimpangan sektor jasa
Ketimpangan antara sektor pertanian dan industri
Ketimpangan antara sektor pertanian dan jasa
Ketimpangan antara sektor industri dan jasa
Ketimpangan pendapatan
Gambar 4.14. Koefisien Variasi dan Kovariasi dengan Migas
Ketimpangan sektor pertanian
Ketimpangan sektor industri
Ketimpangan sektor jasa
Ketimpangan antara sektor pertanian dan industri
Ketimpangan antara sektor pertanian dan jasa
Ketimpangan antara sektor industri dan jasa
Ketimpangan pendapatan
Gambar 4.15. Koefisien Variasi dan Kovariasi tanpa Migas
Hasil perhitungan koefisien kovariasi tertimbang (COVw) dapat memperlihatkan kondisi pembangunan regional selama ini. Dari ketiga nilai koefisien kovariasi tertimbang yaitu antara sektor pertanian dan industri (COV12), sektor pertanian dan jasa (COV13) dan sektor industri dan jasa (COV23) yang memiliki nilai koefisien kovariasi tertinggi yang relatif tinggi yaitu sektor industri dan jasa. Bernilai positif koefisien kovariasi tertimbang antara sektor industri dan jasa (COV23) Hasil perhitungan koefisien kovariasi tertimbang (COVw) dapat memperlihatkan kondisi pembangunan regional selama ini. Dari ketiga nilai koefisien kovariasi tertimbang yaitu antara sektor pertanian dan industri (COV12), sektor pertanian dan jasa (COV13) dan sektor industri dan jasa (COV23) yang memiliki nilai koefisien kovariasi tertinggi yang relatif tinggi yaitu sektor industri dan jasa. Bernilai positif koefisien kovariasi tertimbang antara sektor industri dan jasa (COV23)
Untuk kontribusi masing-masing sektor ekonomi dalam ketimpangan pembangunan selain menggunakan CVw dan COVw tetapi juga pada kontribusi sektor pertanian dalam PDRB. Gambar 4.16. dan 4.17. menunjukkan kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB. Pada Gambar 4.16. menunjukkan kontribusi sektor ekonomi dengan memperhitungkan migas. Dari grafik tersebut menunjukkan baik sektor pertanian maupun industri cenderung mengalami penurunan. Pada tahun 2002, sektor pertanian dan industri berkontribusi masing-masing sebesar 20,20 dan 50,70 persen kemudian menjadi sebesar 19,02 dan 41,15 persen pada tahun 2013. Berbeda dengan kontribusi sektor jasa yang setiap tahunnya mengalami peningkatan. Pada tahun 2002, sektor jasa berkontribusi sebesar 29,10 persen menjadi 39,84 persen pada tahun 2013.
Gambar 4.16. Kontribusi Sektoral terhadap PDRB dengan Migas (persen) Sumber: BPS, data diolah
Pada Gambar 4.17. tanpa memperhitungkan migas tidak banyak perbedaan dengan memperhitungkan migas. Di mana sektor pertanian dan industri cenderung mengalami penurunan sedangkan sektor jasa terus meningkat. Namun, sektor Pada Gambar 4.17. tanpa memperhitungkan migas tidak banyak perbedaan dengan memperhitungkan migas. Di mana sektor pertanian dan industri cenderung mengalami penurunan sedangkan sektor jasa terus meningkat. Namun, sektor
Gambar 4.17. Kontribusi Sektoral terhadap PDRB tanpa Migas (persen) Sumber: BPS, data diolah
Dengan menggunakan persamaan (3), diperoleh gambaran sektor mana yang menyebabkan ketimpangan pendapatan. Tabel 4.53. menunjukkan hasil analisis dekompisisi sektoral dengan migas. Selama tahun 2002 – 2013, sektor pertanian merupakan sektor yang paling kecil kontribusinya dalam ketimpangan. Sedangkan kontribusi paling besar disumbang oleh sektor industri.
Namun, kontribusi sektor pertanian dan industri cenderung relatif stabil. Kontribusi sektor pertanian berkisar 1,4 – 13,3 persen, dan sektor industri berkisar 32,7 – 67,9 persen. Namun, berbeda dengan sektor jasa yang cenderung mengalami peningkatan. Pada tahun 2002, sektor jasa hanya berkontribusi hanya sebesar 3,14 persen kemudian meningkat menjadi 18,08 persen pada tahun 2013.
Tabel 4.53. Kontribusi Sektoral terhadap Koefisien Variasi Tertimbang dengan Migas
SCOV23 Total
Keterangan:
SCV1 = Kontribusi CVw untuk sektor pertanian SCV2 = Kontribusi CVw untuk sektor industri SCV3 = Kontribusi CVw untuk sektor jasa SCOV12 = Kontribusi COVw antara sektor pertanian dan industri SCOV13 = Kontribusi COVw antara sektor pertanian dan jasa SCOV23 = Kontribusi COVw antara sektor industri dan jasa
Kemudian pada Tabel 4.54. tanpa memperhitungkan migas, sektor pertanian masih menjadi sektor yang paling kecil kontribusinya dalam ketimpangan dan sektor industri yang masih bertahan menjadi sektor paling besar kontribusinya. Kontribusi sektor pertanian relatif stabil yaitu berkisar 0,94 – 9,04 persen. Sedangkan kontribusi sektor industri cenderung mengalami peningkatan, pada tahun 2002 berkontribusi sebesar 15,52 persen kemudian menjadi 26,92 persen pada tahun 2013. Begitu juga dengan sektor jasa cenderung mengalami peningkatan. Pada tahun 2002, sektor jasa hanya berkontribusi sebesar 0,98 persen kemudian meningkat signifikan menjadi 14,88 persen pada tahun 2013.
Tabel 4.54. Kontribusi Sektoral terhadap Koefisien Variasi Tertimbang tanpa Migas
SCOV23 Total
SCV1 = Kontribusi CVw untuk sektor pertanian SCV2 = Kontribusi CVw untuk sektor industri SCV3 = Kontribusi CVw untuk sektor jasa SCOV12 = Kontribusi COVw antara sektor pertanian dan industri SCOV13 = Kontribusi COVw antara sektor pertanian dan jasa SCOV23 = Kontribusi COVw antara sektor industri dan jasa
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Dari hasil penelitian dengan menggunakan alat analisis tipologi klassen, indeks williamson, dan Korelasi Pearson di KES diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Setelah otonomi daerah hanya Provinsi Riau yang mengalami perubahan dalam tipologi klassen yang sebelum otonomi daerah Provinsi Riau masuk dalam kategori “Daerah Maju”, setelah otonomi daerah Provinsi Riau masuk dalam kategori “Daerah Berkembang”. Hal ini bisa terjadi karena setelah otonomi daerah, Provinsi Riau mengalami pemekaran wilayah dengan terbentuknya Provinsi Kepulauan Riau. Setelah otonomi daerah, Provinsi Kepulauan Riau yang masuk dalam kategori “Daerah Maju”. Provinsi-provinsi lainnya yang berada di KES seperti Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, dan Banten masuk dalam kategori “Daerah Maju Tapi Tertekan”, sedangkan Provinsi Aceh masuk dalam kategori “Daerah Berkembang” baik sebelum dan setelah adanya otonomi daerah.
2. Sebelum adanya otonomi daerah tidak ada provinsi yang mengalami peningkatan pertumbuhan ekonomi yang signifikan. Kemudian setelah adanya otonomi daerah pertumbuhan ekonomi di beberapa provinsi seperti Sumatera Barat dan Jambi mengelami peningkatan yang signifikan, dan tidak ada provinsi yang mengalami penurunan pertumbuhan ekonomi yang signifikan pada masa otonomi daerah. Ketimpangan pendapatan sebelum dan setelah otonomi daerah, terlihat angka ketimpangan pendapatan relatif rendah setelah otonomi daerah. Setelah otonomi daerah lebih banyak provinsi yang mengalami penurunan ketimpangan pendapatan yang signifikan dibandingkan sebelum otonomi daerah, yaitu Provinsi Aceh, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Riau, Kepulauan Bangka Belitung, dan Kepulauan Riau. Ketimpangan pendapatan KES mengalami penurunan yang signifikan.
3. Tidak terjadi trade-off antara ketimpangan pendapatan dan pertumbuhan ekonomi di masing-masing provinsi dan KES secara keseluruhan. Bahkan 3. Tidak terjadi trade-off antara ketimpangan pendapatan dan pertumbuhan ekonomi di masing-masing provinsi dan KES secara keseluruhan. Bahkan
4. Selama tahun 2002 – 2013 sektor pertanian merupakan sektor yang paling kecil kontribusinya dalam ketimpangan pendapatan di KES baik dengan memperhitungkan migas maupun tidak. Sedangkan sektor yang paling besar kontribusinya adalah sektor industri.
5.2. Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka saran yang bisa diberikan oleh penelitian adalah:
1. Pelaksanaan otonomi daerah harus terus dilanjutkan oleh pemerintah secara konsisten, karena terbukti dengan otonomi daerah ketimpangan pendapatan di beberapa daerah relatif menurun dan pertumbuhan ekonomi relatif lebih baik dibandingkan dengan sebelum otonomi daerah.
2. Tujuan program MP3EI untuk pemerataan pembangunan melalui pengembangan sektor ekonomi strategis dan khusus untuk KES dengan mengembangkan sektor pertanian dan industri untuk pemerataan pembangunan yang efektif, lebih baik pemerintah hanya berfokus untuk mengembangkan sektor pertanian saja karena berdasarkan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sektor ini merupakan sektor yang paling besar kontribusinya dalam pemerataan pembangunan.