BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Pengawet pada produk makanan atau minuman sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan di dalam industri makanan. Apalagi perkembangan zaman menuntut
produk makanan dan minuman yang serba praktis, tahan lama dan memiliki tampilan menarik. Solusi yang dilakukan industri pangan adalah menambahkan bahan
pengawet agar kualitas produk meningkat dan tahan lama. Kualitas makanan ditentukan oleh cita rasa, tekstur, warna dan nilai gizi.
Untuk meningkatkan kualitas mutu nilai pangan, pengawetan makanan bisa meningkatkan kualitas produk makanan. Seperti pada tujuan menambahkan pengawet
makanan adalah memperpanjang daya simpan dengan cara mencegah pertumbuhan mikroorganisme pembusuk. Banyak cara memperoleh pengawet makanan yang
ditempuh oleh berbagai pelaku industri makanan, namun atas dasar kepentingan ekonomi, dimana pengawet makanan yang dihasilkan adalah yang berbahan murah
sehingga dapat menekan biaya operasional industri makanan, namun tidak jarang pengawet makanan yang dipilih adalah yang berbahaya bagi kesehatan manusia.
Beberapa pengawet makanan yang alami yang dapat diperoleh dari bahan organik dapat dilakukan, dan tentunya aman bagi kesehatan konsumen, salahsatunya adalah
dengan asap cair. Pengembangan asap cair di Indonesia tentu sangat potensial, dikarenakan bahan dasar pembuatnya adalah limbah biomassa yang sebenarnya cukup
banyak di Indonesia. Asap cair adalah bahan pengawet yang diperoleh dari hasil kondensasi asap
pada proses pirolisis konstituen kayu seperti selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Kelompok senyawa kimia yang dihasilkan dalam pengasapan adalah fenol, kabonil,
Universitas Sumatera Utara
asam, furan, alkohol, ester, lakton, dan hidrokarbon polisiklik aromatik HPA. Dua senyawa dominan yang berperan sebagai bakteriostatik adalah fenol dan asam-asam
organik yang mampu mengontrol pertumbuhan bakteri. Fenol diperoleh dari hasil pirolisis lignin, sedangkan asam-asam organik dari hasil pirolisis selulosa dan
hemiselulosa Kartika, 2009. Lebih lanjut dikemukakan bahwa proses pirolisis untuk pembuatan asap cair
dapat memakai bahan baku berbagai macam jenis kayu, bongkol kelapa sawit, tempurung kelapa, sekam, ampas atau serbuk gergaji kayu dan lain sebagainya.
Selama pembakaran, komponen dari kayu akan mengalami pembakaran tidak sempurna menghasilkan berbagai macam senyawa antara lain fenol, karbonil, asam,
furan, alkohol, lakton, hidrokarbon, polisiklik aromatik dan lain sebagainya. Asap merupakan sistem kompleks yang terdiri dari fase cairan terdispersi dan medium gas
sebagai pendispersi. Reaksi–reaksi yang terjadi dalam proses pirolisis antara lain: dekomposisi konstituen polimer menjadi senyawa organik dengan berat molekul
rendah karena pengaruh panas yang meliputi reaksi oksidasi, polimerisasi dan kondensasi. Tranggono dkk dalam Mansur, 2009.
Sebagai negara agraris yang terletak di daerah tropis, Indonesia memiliki limbah industri yang berupa biomassa .Limbah biomassa ini cukup melimpah dan
sangat beraneka ragam yang berasal dari pertanian, pengolahan hutan maupun tanaman yang tumbuh liar. Limbah biomassa ini sebenarnya memiliki potensi yang
besar untuk diolah menjadi bahan bakar terbarukan, makanan, pakan ternak, bahan kimia antara maupun produk lain yang lebih bernilai jual.
Untuk dapat menggali potensi biomassa, diperlukan kemampuan untuk dapat mengekstraks karbohidrat, minyak, lignin, dan bahan-bahan lain yang terkandung
dalam yang terkandung dalam biomassa dan mengubahnya menjadi berbagai produk seperti bahan bakar maupun bahan kimia lain yang bernilai tinggi Holladay, 2007
Salah satu limbah biomassa yang menjadi fokus penelitian ini yang dikembangkan menjadi bahan baku pembuatan asap cair adalah cangkang kelapa
sawit. Cangkang kelapa sawit merupakan salah satu jenis limbah padat hasil samping
Universitas Sumatera Utara
dari industri pengolahan kelapa sawit, yang saat ini masih menimbulkan permasalahan bagi lingkungan hidup. Hal ini disebabkan karena limbah ini diproduksi dalam jumlah
besar dan sukar terdegradasi atau terurai secara alami di lingkungan. Cangkang kelapa sawit mengandung lignin 29,4, hemiselulosa 27,7, selulosa 26,6, air
8,0, komponen ekstraktif 4,2, abu 0,6. Oleh karena itu, limbah ini sangat berpotensi jika dikembangkan menjadi produk-produk yang bermanfaat dan memberi
nilai tambah dari aspek ekonomi serta ramah lingkungan. Prananta, 2009 Beberapa peneliti terkini mengenai asap cair telah maju dan berkembang lebih
jauh yaitu pemanfatan asap cair dalam berbagai keperluan. Salah satu pemanfatan dari asap cair yang menarik untuk dikaji adalah dalam pengawetan ikan, atau yang sering
disebut pengasapan ikan. Penemuan A. S. Pimentaa, B. R. Vitala, J. M. Bayonabr and R. Alzagab 29 Januari 1998 mengenai senyawa Hidrokarbon Polisiklik Aromatik
HPA dari bahan Eucalyptus Grandis yang menyimpulkan bahwa senyawa ini sangat dimungkinkan untuk dimanfaatkan sebagai energi alternatif. Selain itu F. Chinnici_,
N. Natali, U. Spinabelli, C. Riponi pada tanggal 9 November 2006 dari Departement Science University Degli Bologna, Italy, telah meneliti senyawa yang sama dari asap
cair menggunakan bahan baku kayu. Beberapa penelitian yang relevan tentang asap cair sebelumnya masih
menemukan senyawa-senyawa berbahaya seperti adanya tar dan PAH, misalnya pada penelitian Sri Sunarsih, dkk 2012 tentang Pengaruh Suhu, Waktu Dan Kadar Air
Pada Pembuatan Asap Cair Dari Limbah Padat Pati Aren Studi Kasus Pada Sentra Industri Sohun Dukuh Bendo, Daleman, Tulung, Klaten, dimana proses pirolisis
dalam penelitian tersebut berlangsung hingga suhu 400 C, dan masih ditemukannya
beberapa senyawa berbahaya seperti tar dan PAH, oleh karenanya pada penelitian selanjutnya penting melakukan pirolisis pada suhu dimana senyawa-senyawa
berbahaya tersebut tidak dijumpai lagi. Bertitik tolak dari yang telah dikemukakan di atas inilah, mendorong penulis
untuk melakukan studi tentang penelitian asap cair dari cangkang kelapa sawit dengan variasi suhu pirolisis dari 600 hingga 900
C yang diharapkan dapat menghasilkan asap
Universitas Sumatera Utara
cair yang memiliki zat antibakteri, antioksidan dan penahan citra rasa yang baik dan
juga dapat menghindarkan terbentuknya senyawa-senyawa berbahaya.
1.2. Permasalahan