Pembahasan Usulan Pemrakarsa UU Pengelolaan Ruang Udara Nasional

3.28 Pembahasan Usulan Pemrakarsa UU Pengelolaan Ruang Udara Nasional

Rapat dilaksanakan pada tanggal 17 Juni 2014 di SG-­‐5 untuk menindaklanjuti bilateral meeting antara Dit. Tata Ruang dan Pertanahan dengan Dit. Pertahanan dan Keamanan Bappenas terkait pembahasan hasil pertemuan UU Pengelolaan Ruang Udara Nasional yang mengusulkan pihak Kementerian Pertahanan sebagai pemrakarsa UU Pengelolaan Ruang Udara Nasional. Beberapa hal penting yang dibahas dalam rapat antara lain:

• Ruang udara mencakup banyak sektor dan banyak kepentingan. Perlu banyak regulasi untuk mengaturnya. Di negara lain pengaturan tentang ruang udara ini minimal mencakup tiga UU, yaitu: (1) Air space act; (2) Aviation act; dan (3) UU mengenai transportasi udara. Namun saat ini di Indonesia regulasi yang ada baru UU Penerbangan.

• Selain lalu lintas penerbangan sipil, masih terdapat kekosongan hukum untuk pengaturan aspek lain di ruang udara, khususnya dalam masalah pertahanan. Oleh

karena itu, dibutuhkan regulasi berupa UU. • Ada dua pilihan dalam mengatasi kekosongan pengaturan ruang udara: (1)

Mengamandemen UU No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan sehingga dapat mencakup kepentingan lain yang belum diatur; atau (2) Membuat UU baru seperti yang diamanatkan oleh UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Namun amandemen UU No. 1 Tahun 2009 dirasa kurang sesuai karena: – Aspek ruang udara yang belum diatur sangat banyak dan dikhawatirkan tidak akan

sesuai dengan prinsip UU Penerbangan yang menitikberatkan pengaturan pada penerbangan; dan

– Amandemen UU harus dilakukan oleh pihak yang membuat UU, dalam hal ini Kementerian Perhubungan. Dibutuhkan negosisasi sehingga Kementerian Perhubungan mau mengamandemen UU ini.

• Kementerian Pertahanan siap untuk menjadi leading sector dalam penyusunan UU Pengelolaan Ruang Udara, dengan catatan ada pembimbingan dari BKPRN dalam merumuskan substansi UU Pengelolaan Ruang Udara.

• Dalam perumusan substansi UU Pengelolaan Ruang Udara, dibutuhkan koordinasi lintas sektor sehingga dapat memenuhi kebutuhan bersama. Perlu pelibatan Kementerian PU, Kementerian Perhubungan, Kementerian Pertahanan, TNI AU, dan K/L lain.

• Untuk memudahkan penyusunan substansi UU Pengelolaan Ruang Udara Nasional, dapat dilakukan telaah terhadap Naskah Akademik RUU Pengelolaan Ruang Udara yang

pernah disusun oleh LAPAN pada tahun 2006. Namun, perlu diperhatikan beberapa kelemahan dari naskah akademik ini, diantaranya:

– Naskah akademik RUU Pengelolaan Ruang Udara Nasional memandang udara sebagai ‘benda’, bukan sebagai ‘ruang’. – Naskah akademik RUU Pengelolaan Ruang Udara Nasional masih mengacu kepada UU Penataan Ruang yang dulu yaitu UU No. 24 Tahun 2009. Perlu penyesuain dengan UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

– Substansi dalam naskah akademik RUU Pengelolaan Ruang Udara Nasional banyak yang berbenturan dengan UU Lingkungan Hidup. – Perlu penyesuaian dengan UU sektoral lain yang mengatur tentang ruang udara. – Perlu diperhatikan mengenai open sky policy yang akan diterapkan pada tahun

2015. – Kewenangan penyusunan dikembalikan oleh Direktorat Pertahanan dan Keamanan

Bappenas kepada sekretariat BKPRN untuk diproses lebih lanjut. Dari hasil rapat, rencana tindak lanjut yang akan dilaksanakan antara lain:

a. Perlu penyampaian Naskah Akademik RUU Pengelolaan Ruang Udara yang telah disusun oleh LAPAN pada tahun 2006 kepada pihak-­‐pihak yang terkait.

b. BKPRN akan mengawal proses penyusunan UU Pengelolaan Ruang Udara sampai turunnya amanat presiden yang menunjuk Kementerian Pertahanan sebagai

pemrakarsa UU Pengelolaan Ruang Udara dengan langkah-­‐langkah sebagai berikut: • Sekretariat BKPRN akan berdiskusi dengan Direktorat Analisa Peraturan

Perundang-­‐undangan Bappenas untuk membahas dan menetapkan langkah-­‐langkah penyusunan UU Pengelolaan Ruang Udara.

• Pembentukan tim-­‐tim untuk merumuskan substansi ruang udara yang cukup luas secara simultan dengan penyusunan izin prakarsa. • Setelah turun amanat presiden kepada Kementerian Pertahanan maka akan dilakukan rapat koordinasi tingkat eselon II untuk penetapan aspek penting yang akan menjadi isi bagi UU Pengelolaan Ruang Udara Nasional

• Pertemuan BKPRN tingkat eselon I untuk pengayaan isi UU yang akan disusun.

3.29 Training of Trainer (ToT) Perlindungan Sosial dalam Rangka Pengadaan Tanah dan Permukiman Kembali untuk Program Sumber Daya Air dan Energi

Kegiatan dilaksanakan pada tanggal 18-­‐19 Juni 2014 di Hotel Grand Sahid Jaya dan hotel JW Marriot dengan tujuan untuk (i) meningkatkan pengetahuan dan kesadaran tentang prinsip dan kebijakan pengadaan tanah serta pemukiman kembali di Indonesia; (ii) berbagi pengalaman dalam pelaksanaan pengadaan tanah dan pemukiman kembali; (iii) meningkatkan pengintegrasian prinsip dan kebijakan pengadaan tanah serta pemukiman kembali dalam proyek-­‐proyek ADB di Indonesia; (iv) peserta pelatihan dapat menjadi pelatih maupun narasumber terkait pengadaan tanah dan pemukiman kembali untuk bidang sumber daya air dan energi. Beberapa hal yang disampaikan dalam pelatihan tersebut meliputi:

• Pembahasan UU No. 2/2012 sudah melibatkan beberapa kementerian/lembaga dan mempertimbangkan berbagai peraturan yang terkait dengan tanah, sehingga seharusnya dalam pelaksanaannya harus memprioritaskan aturan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum dibanding aturan sektornya masing-­‐ masing.

• Pelaksanaan ganti rugi menurut UU No. 2/2012, tidak melihat status kepemilikan, tetapi lebih kepada apa yang ada di lahan tersebut (lahan, bangunan, tanaman, benda-­‐benda lain terkait tanah, dan kerugian lain yang bisa dihitung).

• Penilaian ganti kerugian atas tanah dilakukan berdasarkan tiga komponen utama yaitu: (i) aset: tanah, bangunan, tanaman sesuai dengan nilai pasar; (2) pengorbanan: biaya pindah, kehilangan sumber pendapatan, dsb; (3) premium: kompensasi tambahan karena adanya pengambilalihan hak atas tanah secara “paksa”, sebesar 10-­‐30% dari nilai ganti kerugian sebagai tambahan solasium.

• Pengadaan tanah yang berada di kawasan hutan lindung harus diputuskan oleh Gubernur apakah tidak ada lokasi alternatif lain yang sesuai, selain itu Gubernur harus memutuskan mana yang lebih penting apakah pembangunan kepentingan umum atau mempertahankan kawasan lindung.

• Pengadaan tanah skala kecil yang luasnya tidak lebih dari 5 (lima) hektar dapat dilakukan secara langsung oleh instansi yang memerlukan tanah dengan pemegang hak

atas tanah tanpa harus mengikuti tahapan-­‐tahapan sesuai ketentuan UU No. 2/2012 misalnya melalui jual-­‐beli langsung, tanah pengganti, dll. Pengadaan tanah skala kecil tersebut dilakukan dengan pertimbangan efisiensi dan efektifitas, dengan ketentuan tanah tersebut harus satu hamparan, dalam satu tahun anggaran dan sesuai dengan rencana tata ruang.

• Penentuan unit cost jasa penilai independen akan segera disusun oleh Masyarakat Profesi Penilai Independen (MAPPI) sehingga akan dapat menjadi acuan bagi instansi dalam penyusunan kerangka acuan kerja dalam pengadaan tenaga konsultansi tersebut.

• Perlindungan hukum bagi pelaksana dilapangan sudah diatur sesuai pembagian tugas dalam setiap tahapan penyelenggaraan pengadaan tanah.

Kegiatan ToT ini penting untuk memberikan bekal bagi peserta yang terkait dengan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum dengan berlakunya UU 2/2012 dan Perpres 71/2012 jo Perpres 40/2014. Diharapkan para peserta pelatihan dapat menjadi narasumber proses pengadaan tanah di wilayahnya masing-­‐masing.