1.2 Rumusan Masalah Rumusan Umum:
1.
Apakah ada hubungan antara DM Tipe II dengan BMS di RSUP HAM
Medan? Rumusan Khusus:
1. Berapakah prevalensi BMS pada penderita DM Tipe II di RSUP HAM
Medan? 2.
Apakah ada hubungan antara DM Tipe II terkontrol dengan BMS di RSUP HAM Medan?
3. Apakah ada hubungan antara DM Tipe II tidak terkontrol dengan BMS di
RSUP HAM Medan?
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan Umum:
1. Untuk mengetahui hubungan antara DM Tipe II dengan BMS di RSUP HAM
Medan. Tujuan Khusus:
1. Untuk mengetahui prevalensi BMS pada penderita DM Tipe II di RSUP
HAM Medan.
Universitas Sumatera Utara
2. Untuk mengetahui hubungan antara DM Tipe II terkontrol dengan BMS di
RSUP HAM Medan. 3.
Untuk mengetahui hubungan antara DM Tipe II tidak terkontrol dengan BMS di RSUP HAM.
1.4 Hipotesis
Hipotesis dari penelitian ini adalah:
1. Ada hubungan antara DM Tipe II dengan BMS di RSUP HAM.
2.
Ada hubungan antara DM Tipe II terkontrol dengan BMS di RSUP HAM.
3. Ada hubungan antara DM Tipe II tidak terkontrol dengan BMS di RSUP
HAM.
1.5 Manfaat Penelitian Manfaat Teoritis:
1. Hasil penelitian ini diharapkan memberi informasi kepada penderita DM
tentang hubungan antara BMS dan DM Tipe II. 2.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar bagi penelitian lebih lanjut tentang hubungan BMS dengan DM Tipe II.
Universitas Sumatera Utara
Manfaat Praktis:
1. Hasil penelitian ini dapat digunakan oleh dokter, dokter gigi dan tenaga medis
lain tentang usaha promotif dan preventif yang dapat dilakukan untuk mengatasi BMS pada penderita DM.
2. Hasil penelitian dapat menimbulkan kesadaran kepada penderita DM untuk
mengontrol kadar gula darahnya untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.
Universitas Sumatera Utara
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Diabetes Melitus
Diabetes melitus adalah penyakit yang diakibatkan oleh kekurangan insulin yang bersifat absolut dan relatif karena produksi insulin yang rendah dari pankreas
atau kurangnya reaksi jaringan perifer terhadap insulin.
1
Menurut American Diabetes Association ADA, DM merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.
15
2.1.1 Epidemiologi
Prevalensi DM untuk semua kelompok usia di seluruh dunia diperkirakan 2,8 pada tahun 2000 dan 4,4 pada tahun 2030. Jumlah penderita DM diperkirakan
meningkat dari 171 juta di tahun 2000 menjadi 366 juta pada tahun 2030.
16
Di negara berkembang, mayoritas penderita DM berusia 45-64 tahun, sedangkan di negara
maju, sebagian besar penderita DM berusia diatas 65 tahun. Diabetes melitus lebih sering terjadi pada perempuan dibandingkan laki-laki.
17
Sebagian besar DM adalah tipe II yang terjadi lebih dari 90 biasanya pada usia 40 tahun ke atas.
18
WHO memprediksi di Indonesia terjadi kenaikan jumlah pasien dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Laporan dari hasil
penelitian di berbagai daerah di Indonesia yang dilakukan pada tahun 1980
Universitas Sumatera Utara
menunjukkan prevalensi DM tipe II antara 0,8 di Tanah Toraja, sampai 6,1 di Manado.
Prevalensi DM Tipe II di Medan belum diketahui dengan pasti tetapi berdasarkan data 10 besar diagnosis penyakit di RSU Pirngadi Medan, pada Oktober
2009 kunjungan pasien rawat jalan sebanyak 1470 kunjungan, meningkat bila dibanding dengan jumlah kunjungan pasien rawat jalan di bulan September 2009,
yaitu sebanyak 1403.
19
2.1.2 Klasifikasi dan Gambaran Klinis
Klasifikasi yang dipakai di Indonesia sesuai dengan klasifikasi menurut American Diabetes Association ADA 2009 terbagi dalam empat kategori yaitu:
15
1. Diabetes Melitus Tipe I
Diabetes melitus Tipe I juga disebut juvenile-onset diabetes dan insulin- dependent diabetes mellitus IDDM. Diabetes Melitus Tipe I dianggap sebagai
penyakit autoimun, di mana sistem imun secara spesifik menyerang dan merusak sel beta pankreas penghasil insulin. Pasien DM Tipe I memiliki jumlah insulin yang
kurang, sehingga sel tubuh tidak dapat menyerap glukosa dan glukosa tetap berada dalam darah. Oleh karena itu, glukosa tidak dapat direabsorbsi, dan energi tidak dapat
digunakan sehingga mengakibatkan pasien merasa lelah dan lesu. Tubuh mulai menggunakan sumber energi lain seperti lemak dan protein, dimana proses ini
menghasilkan keton. Pasien mengalami kehilangan berat badan, walaupun terjadi peningkatan asupan makanan polifagia. Pada keadaan hiperglikemia, osmolaritas
darah dan urin akan meningkat menyebabkan pasien sering buang air kecil poliuria
Universitas Sumatera Utara
sehingga terjadinya dehidrasi dan rasa haus, dimana keadaan ini menyebabkan peningkatan asupan air polidipsia.
20
2. Diabetes Melitus Tipe II
Diabetes Melitus Tipe II juga disebut non-insulin-dependent diabetes mellitus NIDDM dan adult-onset diabetes.
20
Diabetes Melitus Tipe II terjadi karena ketidakmampuan tubuh dalam merespon dengan baik aksi insulin yang dihasilkan
oleh pankreas.
21
Pasien dengan DM Tipe II biasanya berusia lebih dari 40 tahun pada saat diagnosis, dan 80-90 mengalami obesitas. Pada DM Tipe II, diperkirakan
bahwa penurunan jumlah reseptor insulin berhubungan dengan hasil penyerapan glukosa yang tidak diabsorbsi oleh sel tubuh sehingga pasien menunjukkan resistensi
insulin karena kadar insulin serum biasanya dalam batas normal atau bahkan meningkat. Simtom pada DM Tipe II jauh lebih ringan jika dibandingkan pada DM
Tipe I. Ketoasidosis hampir tidak ditemukan pada pasien dengan DM Tipe II.
20
3. Diabetes Mellitus tipe lain Sekitar 1-2 dari kasus DM adalah dalam kategori ini. Etiologi DM tipe ini
adalah heterogen karena toleransi glukosa yang abnormal merupakan faktor pencetus sekunder atau kausal dengan cara yang masih belum jelas.
Diabetes melitus tipe ini dapat disebabkan oleh cacat genetik yang spesifik pada fungsi sel beta dan aktivitas
insulin, penyakit eksokrin pankreas, endokrinopati dan disfungsi pankreas yang diinduksi oleh obat-obatan, bahan kimia atau infeksi. Beberapa kelainan genetik
dapat berhubungan dengan DM tipe ini, antara lain sindrom Down dan sindrom Turner.
22
Universitas Sumatera Utara
4. Diabetes Gestasional Diabetes Gestasional adalah diabetes yang timbul selama kehamilan. Diabetes
Gestasional didefinisikan sebagai intoleransi glukosa yang terjadi atau pertama kali ditemukan pada saat kehamilan.
21,23
Sekitar 2-5 wanita hamil di Amerika Serikat mengalami peningkatan derajat hiperglikemia atau intoleransi glukosa selama
trisemester ketiga. Hal ini secara signifikan meningkatkan morbiditas dan kematian prenatal. Patofisiologi Diabetes Gestasional berhubungan dengan peningkatan
resistensi insulin. Insiden Diabetes Gestasional banyak ditemukan pada wanita hamil yang berusia lebih tua dan obesitas, dimana umur memiliki korelasi tertinggi dengan
kejadian Diabetes Gestasional. Kebanyakan pasien Diabetes Gestasional kembali ke keadaan normal setelah melahirkan, namun sekitar 30-50 wanita dengan riwayat
Diabetes Gestasional berisiko terkena DM Tipe II dalam waktu 10 tahun.
22
2.1.3 Manifestasi Oral
Hubungan antara DM dengan perubahan patologis dalam rongga mulut banyak dijelaskan dalam kepustakaan. Manifestasi oral pada pasien DM termasuk
gingivitis dan periodontitis, karies, BMS, xerostomia, lesi mukosa mulut seperti lichen planus, gangguan pengecapan dan kandidiasis.
24-27
Suatu penelitian menunjukkan 82,75 pasien DM mengalami periodontitis, 58,33 mengalami kandidiasis oral, 75 mengalami xerostomia, 32,5 mengalami
BMS, 53,33 mengalami gangguan pengecapan, 1,25 pasien mengalami lichen planus, dan 4,96 pasien mengalami karies.
12
Universitas Sumatera Utara
2.1.4 Diagnosis
Kriteria diagnosis DM dapat ditegakkan melalui 3 cara. Pertama, jika ditemukan gejala klasik DM berupa polifagia, poliuria, polidipsia, penurunan berat
badan yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya, dan pemeriksaan glukosa plasma sewaktu 200 mgdl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Kedua dengan
pemeriksaan glukosa plasma puasa 126 mgdL. Ketiga dengan Tes Toleransi Glukosa Oral TTGO.
19
Tabel 1. Kriteria Diagnosis DM
19
Cara Kriteria Diagnosis DM
1 Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mgdL 11,1 mmolL
Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memerhatikan waktu makan terakhir
Atau 2
Gejala klasik DM + kadar glukosa plasma puasa ≥ 126 mgdL 7,0 mmolL Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam.
Atau 3
Kadar glukosa plasma 2 jam pada TTGO ≥ 200 mgdL 11,1 mmolL TTGO dilakukan dengan standard WHO, menggunakan glukosa setara dengan
75 g glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air.
Universitas Sumatera Utara
2.2 Burning Mouth Syndrome BMS
The International Association for the Study of Pain mendefinisikan BMS sebagai nyeri minimal selama 4-6 bulan pada lidah atau mukosa oral lain tanpa ada
temuan klinis maupun laboratorium.
28,29
Istilah lain untuk BMS adalah stomatopyrosis, glossopyrosis, stomatodynia, glossodynia dan oral dysesthesia.
30-32
2.2.1 Epidemiologi
Beberapa literatur melaporkan prevalensi BMS pada populasi umum adalah 0,7-4,6.
33,34
Usia pasien BMS biasanya antara 55-60 tahun dan jarang terjadi pada usia dibawah 30 tahun. Burning mouth syndrome lebih sering terjadi pada perempuan
dibandingkan laki-laki dengan rasio 3:1-16:1. Burning mouth syndrome sering terjadi pada perempuan pasca menopause.
35,36
2.2.2 Etiologi
Meskipun hubungan sebab-akibat antara faktor etiologi dengan BMS belum ditetapkan secara universal, namun menurut para ahli etiologi BMS dianggap sebagai
multifaktorial yaitu BMS primer yang penyebabnya masih belum diketahui dan BMS sekunder yang meliputi faktor lokal, sistemik dan psikogenik.
37-40
1. Idiopatik Salah satu etiologi BMS adalah idiopatik. Etiologi BMS dikatakan idiopatik
apabila tidak dapat dikaitkan dengan faktor lokal, sistemik ataupun psikogenik.
29
Universitas Sumatera Utara
2. Faktor lokal a. Kontak alergi
Alergi terhadap bahan makanan dan gigi tiruan dapat menyebabkan terjadinya BMS. Kandungan dalam bahan gigi tiruan dapat menyebabkan alergi, antara lain
monomeric methyl metacrylate, epoxy resin, bisphenol A dan bahan akrilik dari merek tertentu. Rasa panas dan eritema yang menyebar pada mukosa yang berkontak
adalah karakteristik kontak alergi karena bahan gigi tiruan. Sebaliknya alergi yang berhubungan dengan makanan mempunyai karakteristik rasa panas menyeluruh yang
intermiten pada rongga mulut dan tanpa tanda inflamasi. Bahan yang diketahui merupakan alergen antara lain sorbic acid, nicotinic acid dan propylene glycol.
Sebagai tambahan pada suatu kasus yang dilaporkan, terjadi reaksi alergi terhadap tambalan amalgam yang mengandung merkuri. Diagnosis dapat ditegakkan dengan
hasil patch test yang positif dan hilangnya keluhan setelah penyingkiran alergen.
31,37,38
b. Gigitiruan Menurut beberapa penelitian kebanyakan dari pasien BMS adalah pengguna
gigitiruan.
34
Desain gigitiruan yang tidak tepat dapat menyebabkan sensasi terbakar karena peningkatan stres fungsional pada otot sirkum oral atau lingual.
38
Desain gigitiruan yang tidak tepat merupakan penyebab terjadinya BMS pada sekitar 50
pasien.
36
Universitas Sumatera Utara
c. Kandidiasis Beberapa penelitian menyatakan bahwa kandidiasis merupakan faktor
penyebab BMS. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Nasri dkk 2007 pada 66 orang pasien BMS sebanyak 39 59 orang positif Kandida pada tes mikrobiologi
sedangkan pada pemeriksaan klinis tidak satu orang pun memiliki tanda Kandidiasis. Kandida dapat menyebabkan BMS melalu invasi pada mukosa dan menyebabkan
hipersensitif dengan memproduksi toksin Kandida.
9,39
d. Xerostomia Prevalensi xerostomia pada pasien BMS adalah diantara 34-60.
38
Menurut Gorsky dkk 1987, Grushka dkk 1987, Berghdahl dkk 1999 cit Scala 2003 46-
67 dari pasien BMS memiliki keluhan xerostomia.
40
Menurut penelitian yang telah dilakukan oleh Nasri dkk 2007 pada 66 orang pasien BMS sebanyak 36 54
orang memiliki keluhan xerostomia.
39
Keluhan rasa panas kemugkinan berkaitan dengan kurangnya saliva xerostomia, kelainan fungsi kelenjar saliva dan perubahan
keseimbangan cairan atau elektrolit.
36
e. Kebiasaan parafungsional Beberapa penelitian melaporkan bahwa ditemukan kebiasaan buruk pada
pasien dengan BMS.
40
Kebiasaan buruk seperti menghisap bibir dan menjulurkan lidah dapat menyebabkan BMS.
42
Selain itu kebiasaan buruk lainnya seperti menggigit bibir dan pipi, bruxism, grinding dan bernafas melalui mulut juga dapat
mengakibatkan BMS. Beberapa penelitian membuktikan adanya perubahan
neurologis pada BMS, dikatakan bahwa kebiasaan parafungsional dapat
Universitas Sumatera Utara
mengakibatkan perubahan neuropatik yang pada akhirnya menimbulkan gejala BMS.
40,41
3. Faktor sistemik a. Defisiensi vitamin dan mineral
Kekurangan nutrisi dinyatakan sebagai penyebab BMS pada 2-33 pasien. Peran dari vitamin B kompleks dalam etiologi BMS masih belum jelas.
37
Beberapa pasien BMS menunjukkan kekurangan vitamin B1, B2 dan B6 dalam serum darah.
Namun penurunan tingkat vitamin B12 dalam serum darah adalah penemuan yang paling umum.
Terapi pengganti vitamin B1, B2, dan B6 efektif dalam mengobati 88 pasien BMS.
40
Rasa panas pada pasien dengan defisiensi dapat terjadi karena perubahan permeabilitas mukosa, perubahan pada aliran darah, atau akibat neuropati.
Defisiensi asam folat yang berperan dalam metabolisma DNA dan RNA dapat menyebabkan rasa panas dalam mulut. Defisiensi asam folat dan vitamin B12 dapat
menyebabkan kerusakan pada sel saraf sehingga menimbulkan rasa sakit dan terbakar pada rongga mulut.
42,43
b. Diabetes melitus DM Korelasi antara DM dan BMS masih menjadi kontroversi. Beberapa penelitian
menyatakan bahwa DM Tipe II memainkan peran dalam terjadinya BMS sedangkan beberapa penelitian lain melaporkan tidak ada hubungan antara dua kondisi
tersebut.
40
Beberapa penelitian menyatakan adanya hubungan antara DM dan BMS, karena sindrom ini ditemukan pada 2-10 pasien DM.
42
Menurut penelitian yang telah dilakukan oleh Nasri dkk pada 66 orang pasien BMS sebanyak 4 orang 7
mengalami DM.
39
Alasan yang mendukung terjadinya BMS pada pasien DM adalah
Universitas Sumatera Utara
kurangnya insulin pada penderita DM mengganggu proses katabolik dalam mukosa mulut sehingga menyebabkan resistensi jaringan terhadap gesekan normal menjadi
berkurang. Kemungkinan lain adalah adanya xerostomia dan infeksi kandida yang merupakan keadaan yang sering menyertai pasien DM.
40
c. Perubahan hormon menopause Menurut penelitian yang telah dilakukan pada 66 orang pasien BMS sebanyak
52 92 orang dari pasien adalah perempuan pasca menopause, dimana kadar hormon estrogen pada pasien ini adalah 13 pgml berbanding kadar hormon
estrogen normal 50-400 pgml.
44
Pada penelitian lain dilaporkan bahwa 26 pasien menopause mengalami gejala oral, dimana sepertiga dari mereka mengalami BMS.
38
Penelitian pada perempuan yang datang ke klinik kesehatan menunjukkan bahwa 90 gejala BMS dialami pada masa peri maupun pasca menopause. Mereka
melaporkan nyeri dimulai dari 3 tahun sebelumnya dan berlanjut menjadi 12 tahun setelah menopause. Pada menopause terjadi penurunan hormon estrogen. Hal ini akan
mengakibatkan perubahan intensitas pada indera pengecap yang terdapat pada rongga mulut yang akan menimbulkan peningkatan intensitas yang berdampak pada nyeri
dan sensasi terbakar.
40,42,45
d. Efek samping obat –obatan
Pada penelitian yang melibatkan pasien BMS dan kelompok kontrol, diamati bahwa 87,5 pasien BMS menggunakan satu atau lebih obat, dimana 44 adalah
obat psikotropika, 25 adalah obat gangguan pencernaan, 25 adalah obat gangguan pernapasan, dan 6 adalah vitamin.
42
Obat-obatan berperan secara tidak langsung
Universitas Sumatera Utara
mengurangi aliran saliva dengan mengubah keseimbangan cairan dan elektrolit, atau mempengaruhi aliran darah ke kelenjar saliva.
39
e. Trigeminal Neuralgia Trigeminal Neuralgia ditandai dengan rasa sakit yang singkat, biasanya pada
orang berusia lebih dari 50 tahun, terutama melibatkan daerah mandibula, kadang- kadang menyebabkan hipoestesia atau parestesia lidah. Trigeminal Neuralgia dapat
disebabkan oleh kompresi neoplasma, malformasi pembuluh darah, ensefalopati, siringomielia, trauma atau setelah ekstraksi gigi.
41
Menurut penelitian yang telah dilakukan oleh Nasri dkk 2007 pada 66 orang pasien BMS sebanyak 2 orang yaitu
3 mengalami Trigeminal Neuralgia.
39
4. Faktor psikogenik Beberapa penelitian dalam literatur psikiatri mengaitkan kecemasan dan
depresi dengan simptom BMS. Gangguan kejiwaan dapat dikaitkan dengan lebih dari 50 kasus BMS. Kecemasan, depresi dan somatisasi merupakan masalah psikologis
yang paling umum pada pasien BMS. Pasien dengan BMS memiliki status sosial yang rendah dan tingkat kecemasan yang tinggi bila dibandingkan dengan kelompok
kontrol. Disamping itu, BMS juga dapat merubah individu secara psikologis dan mengurangi kualitas hidup pasien.
42
Universitas Sumatera Utara
2.2.3 Gambaran Klinis dan Klasifikasi
Simtom pada BMS adalah timbulnya rasa nyeri, disgeusia dan xerostomia. Rasa nyeri, rasa terbakar, panas atau mati rasa merupakan simtom utama dari BMS.
Disgeusia terjadi pada hampir 70 kasus dan dapat berbentuk rasa yang menetap di mulut atau perubahan persepsi rasa. Perubahan rasa dapat berupa bisa pahit, metalik,
atau campuran. Xerostomia sering ditemukan pada pasien BMS. Menurut penelitian, 46-67 pasien BMS memiliki keluhan xerostomia.
40,44
Burning mouth syndrome dibagi dalam 3 jenis berdasarkan variasi gejala. BMS Tipe I 35 memiliki gejala nyeri setiap hari yang tidak muncul pada pagi
hari, meningkat sepanjang hari, memuncak pada sore hari. Faktor nonpsikiatrik dihubungkan dengan BMS Tipe I. Tipe II 55 ditandai dengan nyeri yang konstan
disepanjang hari. Faktor ansietas kronik dihubungkan dengan BMS tipe II. Tipe III 10 nyeri hilang timbul dengan adanya interval bebas nyeri, dan nyeri timbul pada
tempat yang tidak lazim seperti mukosa mulut, dasar mulut dan tenggorokan. Faktor alergi pengawet makanan atau makanan dihubungkan dengan BMS Tipe III.
45,46
2.2.4 Diagnosis
Diagnosis BMS dapat dilakukan dengan anamnesis, tinjauan riwayat medis, pemeriksaan rongga mulut dan pemeriksaan penunjang untuk mengidentifikasi
sumber BMS. Pada anamnesis ditanyakan mengenai rasa nyeri dan terbakar, durasi rasa nyeri, kapan terjadinya nyeri dan riwayat kesehatan pasien. Pemeriksaan rongga
mulut pada pasien BMS tidak ditemukan adanya lesi klinis dalam rongga mulut. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan darah untuk
Universitas Sumatera Utara
melihat apakah ada infeksi, defisiensi nutrisi, dan penyakit yang berhubungan dengan BMS seperti DM dan penyakit tiroid, serta tes elergi untuk bahan gigi tiruan,
makanan dan elemen lain. Pemeriksaan kandida dengan hapusan juga dapat dilakukan untuk memeriksa kandidiasis oral yang mungkin menyebabkan rasa
terbakar.
8,29
2.2.5 Penatalaksanaan
Edukasi merupakan satu hal yang penting dalam menjaga kesehatan pasien. Pada edukasi dijelaskan apakah itu BMS, bagaimana bisa terjadi dan prognosis
apabila tidak diobati. Informasi, edukasi dan motivasi perlu diberikan kepada pasien agar mereka sadar pentingnya menjaga kesehatan.
47
Dokter gigi turut memainkan peran penting bersama tim medis lainnya dalam membantu pasien mengontrol kadar gula darah dengan benar dengan mengobati
infeksi oral dan menginstruksi pasien supaya rajin sikat gigi dan lebih menjaga kesehatan rongga mulut. Selain itu, pasien diinstruksikan agar menjaga pola makan
dengan diet ketat dan mengontrol kadar gula darah sehingga berada pada batas normal atau mendekati normal. Pasien juga diinstruksikan agar tidak merokok dan
menghindari faktor resiko yang memperburuk komplikasi vaskular. Pasien juga harus mengontrol kadar gula darah dan memeriksa kondisi rongga mulut ke dokter gigi.
48
Tidak ada satu cara yang pasti untuk mengobati BMS. Pengobatan tergantung pada tanda dan simtom, serta kondisi atau penyakit yang mendasari yang mungkin
menyebabkan BMS.
8
Universitas Sumatera Utara
Terdapat beberapa jenis obat yang biasa digunakan dalam pengobatan BMS yaitu klonazepam, lidokain, kapsaikin topikal, doksepin topikal, nortriptilin,
amitriptilin, paroksetin, sestralin, amisulprid, levosulprid, gabapentin dan asam alfa lipoat.
49
Penggunaan obat-obatan seperti benzodiazepin, antidepresan trisiklik dan antikonvulsan dalam dosis yang rendah dapat membantu mengurangi atau
menghilangkan simtom setelah beberapa minggu atau bulan. Obat-obatan ini berpotensi menimbulkan efek samping seperti xerostomia. Konsultasi dengan dokter
diperlukan karena obat-obatan ini berpotensi menyebabkan kecanduan dan ketergantungan.
14
2.3 Hubungan antara DM dengan BMS
Hubungan antara BMS dengan DM Tipe II masih terdapat perbedaan.
10
Akan tetapi menurut beberapa penelitian DM Tipe II memainkan peran dalam terjadinya
BMS. BMS pada pasien DM bisa diakibatkan karena berkurangnya produksi saliva. Keadaan ini biasanya diikuti dengan gejala rasa haus, lidah terasa kering, keluhan
perih, panas seperti terbakar, dan perubahan pengecapan rasa.
11
Diabetes melitus merupakan faktor predisposisi terjadinya oral kandidiasis yang menyebabkan iritasi mukosa sehingga menimbulkan BMS. Selain itu, paparan
yang terus-menerus terhadap glukosa dapat menyebabkan deteriorasi ujung saraf. Sirkulasi yang buruk akibat DM menyebabkan menurunnya ambang nyeri dan dapat
dengan mudah mengganggu fungsi di ujung cabang v2 atau v3 dari saraf trigeminal sehingga menimbulkan sensasi terbakar.
50
Universitas Sumatera Utara
Pada pasien BMS, beberapa faktor dapat berhubungan secara sinergis. Pada pasien DM tidak terkontrol, xerostomia dan kandidiasis dapat menyebabkan simptom
yang berhubungan dengan BMS. Pada kondisi ini, perbaikan kontrol glikemik adalah sangat penting untuk mengurangi gejala yang timbul.
14
Universitas Sumatera Utara
2.4 Kerangka Teori
Diabetes Melitus
Tipe I Diabetes Melitus Tipe
II Diabetes Melitus Tipe
Lain Diabetes
Gestasional
Manifestasi Diabetes Melitus
Manifestasi Oral Manifestasi Klinis
Karies Xerostomia
Poliuria Polidipsia
Polifagia
Lesi mukosa
mulut Gangguan
pengecapan Kandidiasis
Burning Mouth Syndrome BMS
Periodontitis dan gingivitis
Universitas Sumatera Utara
2.5 Kerangka Konsep