1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Memiliki kehidupan yang layak dan sejahtera merupakan harapan hidup dari semua masyarakat. Sejahtera dalam segi pendapatan, pendidikan, kesehatan,
serta faktor-faktor lain. Kehidupan yang layak dan sejahtera memiliki arti masyarakat dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, tanpa menopang pada
kehidupan orang lain. Kelayakan hidup masyarakat dapat dilihat dari perkembangan pembangunan ekonomi yang digunakan sebagai salah satu faktor
pencapaian tujuan suatu negara. Ketika kebijakan kependudukan diletakkan dalam konteks pembangunan,
mensejahterakan masyarakat tidak hanya terbatas untuk masa sekarang, akan tetapi juga harus mampu menjamin bahwa kesejahteraan masyarakat juga akan
berkesinambungan untuk generasi mendatang. Dalam nilai universal, penduduk merupakan pelaku dan sasaran pembangunan sekaligus yang menikmati hasil
pembangunan. Awalnya, kebijakan kependudukan population policies memang secara
sempit diartikan sebagai pengendalian fertilitas fertility control. Pengertian ini kurang tepat, sebab kebijakan kependudukan sebenarnya tidak semata-mata
mengendalikan fertilitas, melainkan lebih luas dari itu. Di samping pengelolaan kuantitas penduduk melalui pengaturan kehamilan dan kelahiran program
keluarga berencana, kebijakan kependudukan juga termasuk kebijakan kesehatan yang pada akhirnya bertujuan untuk mengurangi tingkat kematian mortalitas
2
khususnya kematian ibu dan anak. Dan termasuk pula kebijakan pengarahan mobilitas penduduk melalui program transmigrasi guna pembangunan wilayah.
Dalam mencakup tiga topik fertilitas, mortalitas dan migrasi, kebijakan kependudukan juga mengarah pada aspek fundamental dari kesejahteraan manusia
seperti meningkatkan status wanita, memperluas kesempatan memperoleh pendidikan dan pendapatan, serta meningkatkan status kesehatan.
Kebijakan kependudukan yang dijalankan pemerintah Indonesia saat ini merupakan implementasi dari arah kebijakan yang telah dirumuskan dalam
GBHN 1999-2004. Arah kebijakan di bidang kependudukan seperti yang tercantum dalam GBHN bidang kesehatan dan kesejahteraan sosial adalah,
“meningkatkan kualitas penduduk melalui pengendalian kelahiran, memperkecil angka kematian, dan peningkatan kualitas program keluarga berencana”.
Kebijakan perkembangan kependudukan termasuk keluarga berencana di Indonesia sebenarnya telah memilik dasar yang kuat. Hal itu salah satunya dapat
diamati bagaimana GBHN menegaskan bahwa penduduk merupakan subjek dan objek pembangunan. Dalam istilah lain landasan dari kebijakan kependudukan di
Indonesia bertumpu pada “people centered development”. Dalam Propenas 2000- 2004 juga ditegaskan mengenai pentingnya sektor kependudukan dalam proses
pembangunan. Sumatera Utara sendiri merupakan Provinsi keempat dengan jumlah
penduduk terbesar di Indonesia setelah Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah BPS. Menurut hasil pencacahan lengkap Sensus Penduduk SP 1990, penduduk
berjumlah 10,26 juta jiwa. Kemudian dari hasil SP2000, jumlah penduduk
3
Sumatera Utara sebesar 11,51 juta jiwa. Selanjutnya dari hasil Sensus Penduduk 2010 jumlah penduduk Sumatera Utara 12.982.204 jiwa.
Sumber: BPS Provinsi Sumatera Utara
Gambar 1.1 Jumlah Penduduk Sumatera Utara juta jiwa 1961-2013
Berdasarkan SP tersebut, penduduk di Sumatera Utara selalu meningkat sehingga dapat mempengaruhi jumlah, komposisi dan distribusi penduduk yang
akhirnya berpengaruh pada aspek ekonomi, sosial, politik, budaya, pertahanan dan keamanan.
Secara umum penurunan angka pertumbuhan penduduk di Sumatera Utara tidak lepas dari keberhasilan menekan angka kelahiran. Hasil Sensus Penduduk
tahun 1990 memperlihatkan bahwa angka tersebut telah menurun, yaitu menjadi 4,29 anak per wanita. Angka ini kemudian turun menjadi 3,01 anak per wanita
pada Sensus Penduduk 2010. Perubahan tersebut menunjukkan bahwa penurunan angka fertilitas berlangsung secara konsisten.
4
Sumber: BKKBN Provsu, 2014
Gambar 1.2 TFR Nasional dan Provinsi Sumatera Utara 1971-2010
Variabel lain yaitu kematian menunjukkan bahwa angka kematian bayi di Sumatera Utara menurun secara konsisten. Hasil Sensus Penduduk tahun 1990
juga memperlihatkan penurunan kematian bayi yaitu 61 per 1000 lahir hidup. Kemudian pada Sensus Penduduk tahun 2000 memperlihatkan penurunan angka
kematian bayi yang cukup signifikan yaitu menjadi 44 per 1000 lahir hidup, dan akhirnya mengalami penurunan menjadi 25 per 1000 lahir hidup pada tahun 2010.
Sumber: BKKBN Provsu, 2014
Gambar 1.3 IMR Nasional dan Provinsi Sumatera Utara 1971-2010
5
Namun jika ditinjau dari arus perpindahan penduduk yang bersifat internal di Provinsi Sumatera Utara, maka yang menjadi daerah sasaran dalam aktivitas
perpindahan penduduk antar kabupatenkota adalah daerah perkotaan, sehingga daerah perkotaan ini bisa dikatakan menjadi primadona masuknya arus migrasi.
Lebih spesifik lagi, daerah tersebut paling diminati dan menjadi incaran para migran adalah kota Medan yang merupakan ibukota provinsi Sumatera Utara.
Keadaan tersebut tentunya mempengaruhi persebaran penduduk. Persebaran penduduk ini kemudian sangat berpengaruh pada pola
pemukiman suatu daerah yang dipengaruhi pula oleh iklim, letak dan bentuk datarantanah, kesuburan tanah, sumber alam, sosial budaya, dan teknologi. Oleh
karena itu pemerintah pun melakukan transmigrasi guna mengatur redistribusi penduduk.
Transmigrasi merupakan program dimana pemerintah berusaha merelokasikan penduduk ke daerah pedesaan tertentu dengan sasaran untuk
pembangunan yang merata, keseimbangan penyebaran penduduk dan lain halnya yang dianggap penting oleh pemerintah.
Maka berdasarkan uraian diatas, maka peneliti tertarik untuk meneliti sejauh manakah pengaruh kebijakan kependudukan dengan topik fertilitas,
mortalitas dan transmigrasi terhadap indeks pembangunan manusia di Sumatera
Utara. Sehingga dari hal ini penulis menulis skripsi dengan judul “Analisis Pengaruh Fertilitas, Mortalitas, dan Transmigrasi Binaan Terhadap Indeks
Pembangunan Manusia Sumatera Utara”.
6
1.2 Perumusan Masalah