Hubungan Kejadian Hipertrofi Ventrikel Kiri dengan Riwayat Hipertensi pada Pasien Gagal Jantung Kongestif Tahun 2009 di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan

(1)

HUBUNGAN KEJADIAN HIPERTROFI VENTRIKEL KIRI DENGAN RIWAYAT HIPERTENSI PADA PASIEN GAGAL JANTUNG KONGESTIF TAHUN 2009 DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT H. ADAM

MALIK MEDAN

Oleh :

DEZA ANGGRAINI 070100158

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2010


(2)

HUBUNGAN KEJADIAN HIPERTROFI VENTRIKEL KIRI DENGAN RIWAYAT HIPERTENSI PADA PASIEN GAGAL JANTUNG KONGESTIF TAHUN 2009 DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT H. ADAM

MALIK MEDAN

Karya Tulis Ilmiah Ini Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Kelulusan Sarjana Kedokteran

Oleh :

DEZA ANGGRAINI 070100158

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2010


(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Hubungan Kejadian Hipertrofi Ventrikel Kiri dengan Riwayat Hipertensi pada Pasien Gagal Jantung Kongestif Tahun 2009 di Rumah Sakit Umum

Pusat H. Adam Malik Medan

NAMA : DEZA ANGGRAINI NIM : 070100158

Pembimbing Penguji I

(dr. Lita Feriyawati, M.Kes) (dr. Alfred C Satyo, M.Sc, MHPE,Sp.F(K)) NIP. 19700208 200112 2 001 NIP. 19450920 198003 1 001

Penguji II

(dr. Dina Keumala Sari, M.Gizi, Sp.GK) NIP. 19731221 200312 2 001

Medan, 13 Desember 2010 Dekan

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

(Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH) NIP. 19540220 198011 1 001


(4)

ABSTRAK

Perkembangan hipertensi menuju gagal jantung kongestif umumnya diawali dengan hipertrofi ventrikel kiri sebagai kompensasi terhadap peningkatan tekanan darah sistemik, yang pada akhirnya justru meningkatkan kerja jantung dan menyebabkan gagal jantung. Prevalensi hipertensi terus mengalami peningkatan yang merupakan konsekuensi dari peningkatan jumlah populasi usia tua dan obesitas. Sementara itu, dalam 20 tahun terakhir, angka kematian karena serangan jantung dan stroke yang disebabkan oleh hipertensi mengalami penurunan namun dua efek hipertensi lainnya yaitu penyakit ginjal kronis dan gagal jantung justru meningkat. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kejadian hipertrofi ventrikel kiri pada pasien gagal jantung kongestif dengan riwayat hipertensi pasien.

Penelitian ini bersifat analitik dengan rancangan penelitian cross sectional. Populasi penelitian adalah pasien rawat inap gagal jantung kongestif usia 45 tahun keatas selama tahun 2009 di RSUP H. Adam Malik Medan. Sampel penelitian dipilih dengan menggunakan teknik simple random sampling yaitu sebanyak 85. Pengambilan data menggunakan rekam medis. Uji statistik yang digunakan adalah Chi Square dengan interval kepercayaan 90%. Analisa data menggunakan program komputer SPSS.

Pasien rawat inap gagal jantung kongestif usia 45 tahun keatas di RSUP H. Adam Malik tahun 2009 yang positif mengalami hipertrofi ventrikel kiri dan memiliki riwayat hipertensi dijumpai sebanyak 50,6%. Dari hasil uji Chi Square diperoleh adanya hubungan yang signifikan secara statistik antara kejadian hipertrofi ventrikel kiri dengan riwayat hipertensi pada pasien gagal jantung kongestif (p = 0,0001 < p = 0,1).


(5)

ABSTRACT

The development of hypertension to congestive heart failure is generally preceded by left ventricular hypertrophy as a compensation for increased systemic blood pressure, which in turn would increase the work of the heart and cause heart failure. The prevalence of hypertension continues to increase as a consequence of an increasing number of an aging and obesity population. Meanwhile, in the last 20 years, mortality due to heart attacks and strokes caused by hypertension has decreased. However, two other hypertensive caused diseases such as chronic kidney disease and heart failure has increased. Therefore, this study aims to correlate the incident of left ventricular hypertrophy with a history of hypertension in patients with congestive heart failure.

This research is an analytical study with a cross sectional research design. The population used for this study are patients hospitalized for congestive heart failure aged 45 years and older during the year 2009 in H. Adam Malik hospital. Samples were selected using the simple random sampling technique and the sample required were as many as 85. Data was retrieved using medical records. The statistical test used was Chi-Square with a 90% confidence interval. Data was analyzed using the SPSS programme.

Patients aged 45 years and above who were hospitalized for congestive heart failure in H. Adam Malik hospital during the year 2009 with a positive left ventricular hypertrophy and a history of hypertension was 59,6%. The Chi-Square test results showed a significant relationship (p = 0,0001 < p = 0,1) between the incidence of left ventricular hypertrophy with a history of hypertension in patients with congestive heart failure.

Keywords: Hypertension, Left Ventricular Hypertrophy, Congestive Heart Failure.


(6)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, syukur yang luar biasa atas segala nikmat dan karunia Allah SWT. Dengan nikmat dan izin-Nyalah penulis memiliki kesehatan, kemudahan, kesempatan, dan semangat untuk terus berusaha menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.

Karya tulis ilmiah ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan sarjana kedokteran. Penulis sangat menyadari bahwa masih ada kekurangan, untuk itu mohon kiranya memberi masukan yang konstruktif demi perbaikan di masa mendatang.

Banyak pihak yang telah membantu sehingga karya tulis ilmiah ini dapat diselesaikan. Ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:

1. Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH.

2. Dosen Pembimbing, dr. Lita Feriyawati, M.Kes yang telah bersedia meluangkan waktu ditengah kesibukan untuk memberikan bimbingan dalam penyusunan karya tulis ilmiah ini.

3. Dosen Penguji I, dr. Alfred C Satyo, M.Sc, MHPE, Sp.F(K) dan Dosen Penguji II, dr. Dina Keumala Sari, M.Gizi, Sp.GK untuk setiap kritik dan saran yang membangun.

4. Dosen pembimbing Akademik, dr. Delyuzar, Sp.PA(K) yang telah membimbing selama menempuh pendidikan.

5. Semua pihak RSUP H. Adam Malik Medan yang telah membantu kelancaran dan terlaksananya penelitian ini.

6. Yang tercinta Ayahanda Masrul M dan Ibunda Jurmiati, A.Ma.Pd yang selalu menjadi alasan untuk menggapai cita. Terima kasih yang tak terkira untuk setiap do’a, cinta kasih, dukungan, dan kepercayaan yang senantiasa mengiringi setiap jalan yang ditempuh. Papa yang mengajarkan kejujuran dan makna hidup sebagai makhluk sosial. Mama yang melatih diri untuk menjaga amanah kepercayaan, mengajarkan ketegaran, dan selalu menjadi orang


(7)

pertama yang menguatkan hati ketika airmata tak lagi mampu meredam pahitnya kegagalan.

7. Kakanda satu-satunya dr. Defi Cynthia Dewi dan suami, Sertu Widodo Kurniawan, S.Kom, atas semua dukungan yang penuh ketulusan. Kakak yang selalu menjadi teladan dan guru kehidupan yang membuat penulis sekarang bisa berdiri dalam sebuah kenyataan yang dulu hanya berupa angan-angan. Sosok yang tak hentinya memberi semangat ketika hidup terasa berat dan keluh kesah membenamkan angan. Berharap dan terus berusaha untuk selalu menjadi adik kebanggaannya.

8. Semua teman-teman, khususnya Eva Rahmadani, Nur Akmal Hayati, Mia Endang Sopiana, Dewi Pertiwi Maha, Ovia Vincentia, Eva sonatalia, dan Sondang Napitupulu yang telah membantu dan memberikan semangat dalam menyiapkan karya tulis ilmiah ini.

9. Semua pihak yang telah membantu baik secara moril maupun materil dalam proses penelitian dan penyusunan karya tulis ini yang tak bisa disebutkan satu persatu.

Demikianlah kata pengantar ini penulis sampaikan. Semoga karya tulis ini dapat memberikan manfaat untuk bidang kedokteran dan kesehatan masyarakat.

Medan, Desember 2010


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN PERSETUJUAN ... i

ABSTRAK ... ii

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR... ix

DAFTAR SINGKATAN... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 3

1.3. Tujuan Penelitian ... 3

1.4. Manfaat Penelitian ... 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1. Anatomi Jantung ... 5

2.2. Curah Jantung... 8

2.3. Aliran Darah dan Tekanan Darah ... 11

2.4. Hipertensi ... 12

2.5. Hipertrofi Ventrikel Kiri ... 16

2.6. Hubungan Hipertensi, Hipertrofi Ventrikel Kiri, dan Gagal Jantung ... 23

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ... 26

3.1. Kerangka Konsep Penelitian ... 26

3.2. Definisi Operasional ... 26

3.3. Hipotesa ... 27

BAB 4 METODE PENELITIAN ... 28

4.1. Rancangan Penelitian ... 28

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 28

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian ... 28

4.4. Teknik Pengumpulan Data ... 30


(9)

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 31

5.1. Hasil Penelitian ... 31

5.2. Pembahasan ... 36

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 45

Kesimpulan ... 45

Saran... 46

DAFTAR PUSTAKA ... 48 LAMPIRAN


(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

2.1. Klasifikasi Tekanan Darah Menurut JNC7 ... 12

2.2. Kriteria Sokolow- Lyon Untuk Diagnosa HVK pada EKG ... 22

5.1. Distribusi Frekuensi Karakteristik Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin... 31

5.2. Distribusi Frekuensi Karakteristik Sampel Berdasarkan Umur ... 32

5.3. Distribusi Frekuensi Etiologi Gagal Jantung Kongestif Sampel ... 33

5.4. Distribusi Frekuensi Jenis Pemeriksaan HVK Sampel ... 34

5.5. Distribusi Frekue nsi Riwayat Hipertensi Sampel ... 34

5.6. Distribusi Frekuensi Kejadian HVK Sampel... 35

5.7. Tabulasi Silang Kejadian HVK dengan Riwayat Hipertensi Sampel ... 35


(11)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1 Skema Patofisiologi HVK pada Hipertensi ... 17 3.1 Kerangka Konsep Penelitian ... 28


(12)

DAFTAR SINGKATAN

AHH Angka Harapan Hidup BPS Badan Pusat Statistik BSA Body Surface Area CAD Coronary Artery Disease

CDC Centres of Disease Control & Prevention CPC Cardio Pulmonary Chronic

CTR Cardio Thoracis Ratio EKG Elektrokardiografi

HHD Hypertension Heart Disease HVK Hipertrofi Ventrikel Kiri

JNC 7 The Seventh Report of the Joint National Committe on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure

LVID Left Ventricle Internal Dimension LVMI Left Vntricle Mass Index

NHANES National Health and Nutrition Examination Survey PVR Peripheral Vascular Resistance

RWT Relative Wall Thickness SWT Septal Wall Thickne


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Daftar Riwayat Hidup

Lampiran 2 Surat Persetujuan Komisi Etik Tentang Pelaksanaan Penelitian Bidang Kesehata

Lampiran 3 Surat Izin Penelitian dari Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Lampiran 4 Surat Izin Penelitian dari Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan

Lampiran 5 Lembar Observasi Lampiran 6 Data Induk Penelitian


(14)

ABSTRAK

Perkembangan hipertensi menuju gagal jantung kongestif umumnya diawali dengan hipertrofi ventrikel kiri sebagai kompensasi terhadap peningkatan tekanan darah sistemik, yang pada akhirnya justru meningkatkan kerja jantung dan menyebabkan gagal jantung. Prevalensi hipertensi terus mengalami peningkatan yang merupakan konsekuensi dari peningkatan jumlah populasi usia tua dan obesitas. Sementara itu, dalam 20 tahun terakhir, angka kematian karena serangan jantung dan stroke yang disebabkan oleh hipertensi mengalami penurunan namun dua efek hipertensi lainnya yaitu penyakit ginjal kronis dan gagal jantung justru meningkat. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kejadian hipertrofi ventrikel kiri pada pasien gagal jantung kongestif dengan riwayat hipertensi pasien.

Penelitian ini bersifat analitik dengan rancangan penelitian cross sectional. Populasi penelitian adalah pasien rawat inap gagal jantung kongestif usia 45 tahun keatas selama tahun 2009 di RSUP H. Adam Malik Medan. Sampel penelitian dipilih dengan menggunakan teknik simple random sampling yaitu sebanyak 85. Pengambilan data menggunakan rekam medis. Uji statistik yang digunakan adalah Chi Square dengan interval kepercayaan 90%. Analisa data menggunakan program komputer SPSS.

Pasien rawat inap gagal jantung kongestif usia 45 tahun keatas di RSUP H. Adam Malik tahun 2009 yang positif mengalami hipertrofi ventrikel kiri dan memiliki riwayat hipertensi dijumpai sebanyak 50,6%. Dari hasil uji Chi Square diperoleh adanya hubungan yang signifikan secara statistik antara kejadian hipertrofi ventrikel kiri dengan riwayat hipertensi pada pasien gagal jantung kongestif (p = 0,0001 < p = 0,1).


(15)

ABSTRACT

The development of hypertension to congestive heart failure is generally preceded by left ventricular hypertrophy as a compensation for increased systemic blood pressure, which in turn would increase the work of the heart and cause heart failure. The prevalence of hypertension continues to increase as a consequence of an increasing number of an aging and obesity population. Meanwhile, in the last 20 years, mortality due to heart attacks and strokes caused by hypertension has decreased. However, two other hypertensive caused diseases such as chronic kidney disease and heart failure has increased. Therefore, this study aims to correlate the incident of left ventricular hypertrophy with a history of hypertension in patients with congestive heart failure.

This research is an analytical study with a cross sectional research design. The population used for this study are patients hospitalized for congestive heart failure aged 45 years and older during the year 2009 in H. Adam Malik hospital. Samples were selected using the simple random sampling technique and the sample required were as many as 85. Data was retrieved using medical records. The statistical test used was Chi-Square with a 90% confidence interval. Data was analyzed using the SPSS programme.

Patients aged 45 years and above who were hospitalized for congestive heart failure in H. Adam Malik hospital during the year 2009 with a positive left ventricular hypertrophy and a history of hypertension was 59,6%. The Chi-Square test results showed a significant relationship (p = 0,0001 < p = 0,1) between the incidence of left ventricular hypertrophy with a history of hypertension in patients with congestive heart failure.

Keywords: Hypertension, Left Ventricular Hypertrophy, Congestive Heart Failure.


(16)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Hipertensi berperan besar dalam perkembangan penyakit jantung yang merupakan penyebab utama kematian di seluruh dunia (Tenant, 2003). Angka kejadian hipertensi di dunia sebagaimana yang dihimpun & dilaporkan oleh Kearney et al. (2005) dalam Lumbantobing (2008) ialah sekitar 26% pada orang dewasa, dengan berbagai perbedaan antar-negara. Di Amerika Serikat, berdasarkan data NHANES (National Health and Nutrition Examination Survey) terdapat 28,7% penderita hipertensi (Kotchen, 2008) yang meningkat dari 50 juta ditahun 1990 menjadi 65 juta di tahun 2000 (Fields et al., 2004) dalam Kaplan (2006). Hal ini didukung dengan data terakhir yang dipublikasikan CDC (Centers of Disease Control &

Prevention) bahwa ada peningkatan 3,6% penderita hipertensi dari periode

1999-2002 (Pickering, 2008). Peningkatan prevalensi hipertensi ini merupakan konsekuensi dari peningkatan jumlah populasi usia tua dan obesitas. Sementara di Indonesia sendiri, data dari penelitian di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Kota Medan tahun 2003 terdapat 14,1% kejadian hipertensi pada pasien yang dirawat inap (Sianturi, 2008).

Dalam perjalanannya, hipertensi dapat mengakibatkan gangguan pada jantung, otak, ginjal, dan mata melalui dua mekanisme yang berhubungan yaitu efek dari peningkatan tekanan arteri (pada struktur dan fungsi jantung & arteri) dan efek dalam percepatan perkembangan aterosklerosis. Dalam kurun 20 tahun terakhir, angka kematian karena serangan jantung & stroke yang disebabkan oleh hipertensi mengalami penurunan. Akan tetapi, dua efek hipertensi lainnya yaitu gagal jantung & penyakit ginjal kronis justru meningkat (Pickering, 2008). Hal ini dapat dicegah bila hipertensi diobati karena dengan pengobatan yang adekuat akan menurunkan kejadian stroke 35 – 40%, penyakit jantung koroner 20 – 25%, dan gagal jantung


(17)

kongestif diatas 50% (Pickering, 2008). Bahkan menurut Carlberg (2009), pengontrolan tekanan darah sistolik yang ketat (< 130 mmHg) bila dibandingkan dengan pengontrolan tekanan darah sistolik yang biasa (< 140mmHg) menunjukkan penurunan kejadian Hipertrofi Ventrikel Kiri (HVK). Meskipun terapi antihipertensi telah nyata mampu menurunkan risiko penyakit jantung dan renal, sebagian besar populasi hipertensi adalah tidak diobati atau pengobatan yang diterima inadekuat (Kotchen, 2008). Di AS hanya 53% penderita hipertensi yang mengonsumsi obat antihipertensi dan hanya 29% darinya yang dipantau pada nilai ambang (Pickering, 2008). Dalam Fisher (2005), individu yang mengalami hipertensi ringan tanpa adanya bukti kerusakan organ, jika tidak diobati selama tujuh hingga sepuluh tahun berisiko tinggi mengalami komplikasi yaitu sekitar 30 % terbukti mengalami aterosklerosis dan lebih dari 50% akan mengalami kerusakan organ yang berhubungan dengan hipertensi itu sendiri, seperti kardiomegali, gagal jantung kongestif, retinopati, masalah serebrovaskular, dan/atau insufisiensi ginjal. Jadi, walaupun ringan, hipertensi merupakan penyakit yang progresif & letal jika tidak diobati.

Seperti yang telah dikemukakan di atas, efek hipertensi berupa gagal jantung mengalami peningkatan. Perkembangan ini umumnya diawali dengan Hipertrofi Ventrikel Kiri (HVK) yang memberikan gambaran pembesaran anatomi jantung (kardiomegali). Pada 50% hipertensi sedang dan hampir pada semua penderita yang dirawat karena hipertensi berat dijumpai HVK melalui pemeriksaan ekokardiografi (Efendi, 2003) dan hipertensi sendiri terbukti mendahului gagal jantung pada 91% kasus gagal jantung (Francis et al., 2008). Adanya peningkatan tekanan darah sistemik yang terjadi pada hipertensi, maka resistensi terhadap pemompaan darah dari ventrikel kiri juga meningkat; sehingga beban kerja jantung bertambah & akibatnya sebagai kompensasi ventrikel kiri akan mengalami hipertrofi untuk meningkatkan kekuatan kontraksi. Adanya HVK berhubungan dengan peningkatan risiko penyakit karena hipertrofi ini dapat menyebabkan/ mempermudah berbagai


(18)

macam komplikasi jantung akibat hipertensi seperti aritmia ventrikel, iskemia miokard, mati mendadak, dan terutama gagal jantung kongestif (Massie, 2002). Diagnosa HVK dapat ditelusuri dengan riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, EKG, radiologi, dan ekokardiografi (Efendi, 2003).

Melihat kondisi dan data-data yang dikemukakan di atas, yaitu meningkatnya prevalensi hipertensi sementara masih banyaknya pasien hipertensi yang belum mendapat pengobatan maupun yang sudah diobati tetapi tekanan darahnya belum mencapai target, HVK yang terdeteksi pada sebagian besar pasien hipertensi, dan komplikasi gagal jantung yang terus mengalami peningkatan, peneliti tertarik untuk mengetahui ada tidaknya hubungan kejadian HVK (merupakan komplikasi awal hipertensi terhadap jantung) berdasarkan hasil pemeriksaan yang telah dilakukan baik dengan radiografi, elektrokardiografi, ataupun ekokardigrafi dengan riwayat hipertensi pada pasien rawat inap gagal jantung kongestif selama tahun 2009 di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan.

1.2. Rumusan Masalah

Apakah terdapat hubungan antara kejadian hipertrofi ventrikel kiri dengan riwayat hipertensi pada pasien gagal jantung kongestif?

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan antara kejadian hipertrofi ventrikel kiri dengan riwayat hipertensi pada pasien gagal jantung kongestif tahun 2009 di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan.

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui distribusi proporsi pasien gagal jantung kongestif usia 45 tahun keatas berdasarkan jenis kelamin dan kelompok umur .


(19)

2. Untuk mengetahui etiologi/ penyebab gagal jantung kongestif pada pasien usia 45 tahun keatas.

3. Untuk mengetahui jenis pemeriksaan yang digunakan untuk mendiagnosis hipertrofi ventrikel kiri pada pasien gagal jantung kongestif .

4. Untuk mengetahui prevalensi pasien gagal jantung kongestif usia 45 tahun keatas yang mempunyai riwayat hipertensi.

5. Untuk mengetahui prevalensi pasien gagal jantung kongestif usia 45 tahun keatas yang mengalami hipertrofi ventrikel kiri.

1.4. Manfaat Penelitian

1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi petugas kesehatan khususnya di RSUP H. Adam Malik, dalam mengambil langkah-langkah untuk mencegah/menurunkan kejadian hipertrofi ventrikel kiri pada pasien hipertensi sehingga mengurangi angka kejadian gagal jantung kongestif yang dipicu oleh hipertensi.

2. Memberikan data untuk penelitian selanjutnya yang lebih mendalam.

3. Meningkatkan wawasan dan pengetahuan pembaca KTI ini dan peneliti sendiri tentang hipertensi dan komplikasinya pada jantung.


(20)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Jantung

Jantung terletak dalam ruang mediastinum rongga dada, yaitu di antara paru (Debeasi, 2006). Memiliki panjang kira-kira 12 cm (5 in.), lebar 9 cm (3,5 in.), dan tebal 6 cm (2,5 in.), dengan massa 250 g pada wanita dewasa dan 300 g pada pria dewasa. Dua pertiga massa jantung berada di sebelah kanan dari garis tengah tubuh. Dasar jantung adalah permukaan posteriornya yang dibentuk oleh atrium jantung, terutama atrium kiri. Sedangkan bagian ujung jantung (apeks) dibentuk oleh ujung ventrikel kiri. Membran pembungkus jantung disebut perikardium yang menjaga jantung untuk tetap berada pada posisinya di mediastinum. Perikardium terdiri dari dua bagian: perikardium fibrosa dan perikardium serosa (Tortora, 2009). Perikardium fibrosa terletak paling superfisial dan tidak dapt meregang (Malouf et al., 2008). Sedangkan perikardium serosa, lapisan paling dalam, lebih tipis dan terdiri dari dua lapisan. Lapisan paling luar adalah lapisan parietal yang menyatu dengan perikardium fibrosa dan melekat ke depan pada sternum, ke belakang pada kolumna vertebralis, dan ke bawah pada diafragma. Perlekaatan ini menyebabkan jantung terletak stabil di tempatnya (Debeasi, 2006). Lapisan sebelah dalam adalah lapisan viseral yang juga disebut epikardium, lapisan ini menempel dengan kuat pada seluruh permukaan jantung. Diantara lapisan parietal dan viseral perikardium serosa ini terdapat sebuah ruangan yang disebut rongga perikardium yang berisi cairan perikardium yang tipis, cairan ini berfungsi untuk mengurangi gesekan antara lapisan viseral dan parietal ketika jantung bergerak (Tortora, 2009).

Dinding jantung sendiri terdiri dari tiga lapisan: epikardium (lapisan paling luar), miokardium (lapisan bagian tengah), dan endokardium (lapisan paling dalam). Seperti yang telah disebutkan di atas, lapisan epikardium merupakan lapisan viseral perikardium serosa, yang disusun oleh mesotelium dan jaringan ikat lunak sehingga


(21)

tekstur permukaan luar jantung terlihat lunak dan licin. Miokardium merupakan jaringan otot jantung yang membentuk 95 % jantung dan bertanggung jawab untuk pemompaan jantung. Meskipun menyerupai otot rangka, otot jantung ini bekerja involunter seperti otot polos dan seratnya tersusun melingkari jantung. Lapisan terdalam dinding jantung, endokardium, merupakan lapisan tipis endotelium yang menutupi lapisan tipis jaringan ikat dan membungkus katup jantung (Tortora, 2009).

Jantung memiliki empat ruangan, dua ruangan penerima di bagian superior adalah atrium (kanan & kiri) dan dua ruangan pemompa di bagian inferior adalah ventrikel (kanan & kiri). Pada permukaan anterior dari masing-masing atrium terdapat struktur seperti kantong yang mengkerut yang disebut aurikel yang akan meningkatkan kapasitas atrium untuk dapat menanpung volume darah dalam jumlah besar. Di permukaan jantung juga dijumpai sulcus, yang berisi pembuluh darah koroner dan lemak. Masing-masing sulkus ini menandai batas eksternal antara dua ruangan jantung. Sulkus koronarius, memberi batas eksternal antara atrium dan ventrikel. Sulkus interventrikular anterior membatasi ventrikel kanan dan kiri, berlanjut ke sulkus interventrikular posterior antara ventrikel dan posterior jantung (Tortora, 2009). Atrium secara anatomi terpisah dari ruangan jantung sebelah bawah (ventrikel) oleh suatu anulus fibrosus yaitu tempat terletaknya keempat katup jantung dan tempat melekatnya katup maupun otot (Debeasi, 2006).

Atrium kanan membentuk bagian kanan dari jantung dan menerima darah dari tiga vena: vena cava superior, vena kava inferior, dan sinus koronarius. Atrium kanan ini memiliki ketebalan sekitar 2 – 3 mm (0,08 – 0,12 in.). Dinding posterior dan anteriornya sangat berbeda, dinding posteriornya licin/ halus; dinding anteriornya kasar karena adanya bubungan otot yang disebut pectinate muscle. Antara atrium kanan dan kiri ada sekat tipis yaitu interatrial septum sedangkan aliran darah dari atrium kanan ke ventrikel kanan melewati sebuah katup yang disebut katup trikuspid


(22)

atau katup atrioventrikular kanan yang disusun oleh jaringan ikat padat dan dilapisi oleh endokardium (Tortora, 2009).

Atrium kiri membentuk basis/ dasar jantung dan memiliki ketebalan yang sama dengan atrium kanan(Tortora, 2009). Menerima darah dari paru-paru melalui empat vena pulmonalis dimana orifisiumnya terletak di posterolateral (vena pulmonalis kiri) dan posteromedial (vena pulmonalis kanan). Berbeda dengan dinding atrium kanan, dinding atrium kiri tidak memiliki pectinate musle dan cristae terminal (Malouf et al., 2008) sehingga dinding posterior dan juga anteriornya licin/halus (Tortora, 2009). Darah memasuki ventrikel kiri melalui katup bikuspid / mitral/

atrioventrikular kiri.

Ventrikel kanan membentuk pemukaan anterior jantung dengan ketebalan sekitar 4 – 5 mm (0,16 – 0,2 in.) dan bagian dalamnya dijumpai bubungan-bubungan yang dibentuk oleh peninggian serat otot jantung yang disebut trabeculae carneae (Tortora, 2009). Pada masing- masing daun katup menempel chordae tendinae, yang berfungsi untuk menopang daun katup dalam berkoaptasi. Setiap berkas chorda ini terdiri dari beberapa serabut yang fleksibel. Chorda ini berpangkal pada muskulus

papilaris (bagian endokardium yang menonjol) yang berhubungan langsung dengan

dinding ventrikel berfungsi untuk menyangga chorda. Ventrikel kanan dan kiri dipisahkan oleh septum interventrikular dan darah dari sini akan dipompakan ke paru-paru melalui katup pulmonary (Tortora, 2009).

Ventrikel kiri membentuk bagian apeks dari jantung dan memiliki ketebalan sekitar 10 – 15 mm (0,4 – 0,6 in.) dimana lebih tebal pada daerah basis dan lebih tipis pada daerah apeks dengan perbedaan kira-kira 1 – 2 mm. Sama dengan ventrikel kanan, ventrikel kiri mempunyai trabeculae carneae dan chordae tendinae yang menempel pada muskulus papilaris. Darah dari ventrikel kiri ini akan melewati katup aorta ke


(23)

memperdarahi jantung yang merupakan cabang dari ascending aorta. Karena ventrikel memompakan darah dengan tekanan tinggi maka dinding mereka lebih tebal dibanding dinding atrium. Meskipun ventrikel kanan dan kiri bekerja sebagai dua pompa terpisah yang bersamaan mengeluarkan darah dengan volume yang sama, ventrikel kanan memiliki beban kerja yang lebih kecil. Ia memompakan darah dalam jarak yang pendek ke paru-paru pada tekanan yang rendah dan resistensi terhadap aliran darah yang kecil. Ventrikel kiri memompakan darah dalam jarak yang panjang ke seluruh bagian tubuh dengan tekanan yang tinggi dan resistensi terhadap aliran darah yang besar. Jadi, kerja ventrikel kiri lebih keras dibanding ventrikel kanan untuk memelihara aliran darah pada tingkat yang sama. Untuk perbedaan fungsional inilah secara anatomi dinding ventrikel kiri lebih tebal dibanding ventrikel kanan (Tortora, 2009), normalnya ventrikel kiri memiliki ketebalan kira-kira tiga kali ketebalan ventrikel kanan (Malouf et al., 2008). Perbedaan antomi lainnya, lumen/ ruang ventrikel kiri berbentuk sirkular sedangkan lumen ventrikel kanan berbentuk seperti bulan sabit (Tortora, 2009) hal ini terjadi karena septum intraventrikular menonjol ke arah kanan. Orifisium katup mitral juga berbeda dengan katup trikuspid, orifisium katup mitral berbentuk elips sedangkan orifisium katup trikuspid berbentuk segitiga (Malouf et al., 2008).

2.2. Curah Jantung

Curah jantung adalah volume darah yang dipompakan dari ventrikel kiri (atau ventrikel kanan) ke aorta (atau ke pulmonal) per menit. Curah jantung sama dengan

stroke volume (volume darah yang dipompakan ventrikel tiap satu kali kontraksi)

dikali heart rate (jumlah denyut jantung per menit). Stroke volume pria dewasa rata-rata 70 ml/denyut jantung, dan heart rate-nya rata-rata-rata-rata 75 denyut jantung/menit. Jadi rata-rata curah jantung adalah 5,25 L/menit (Tortora, 2009).


(24)

Jantung yang sehat akan memompakan darah yang masuk ke ventrikel selama diastolik. Jika darah kembali ke jantung dalam jumlah yang banyak selama diastol, maka akan banyak pula nantinya darah yang akan dipompakan pada saat sistol. Dalam keadaan istirahat, volume sekuncup berkisar 50 – 60% dari volume diastolik akhir karena 40 – 50% darah akan tinggal di ventrikel setelah tiap kali kontraksi (volume sistolik akhir). Ada tiga faktor yang mempengaruhi volume sekuncup dan menjamin kalau ventrikel kiri dan kanan memompakan darah dalam volume yang sama: preload (beban awal), afterload (beban akhir), dan kontraktilitas jantung (Tortora, 2009).

a. Beban Awal

Beban awal (preload) adalah derajat peregangan serabut miokardium segera sebelum kontraksi. Peregangan serabut miokardium bergantung pada volume darah yang meregangkan ventrikel pada akhir-diastolik. Aliran balik vena ke jantung menentukan volume akhir-diastolik ventrikel. Peningkatan aliran balik vena meningkatkan volume akhir-diastolik ventrikel, yang kemudian memperkuat peregangan serabut miokardium (Debeasi, 2006).

Mekanisme Frank-Starling menyatakan bahwa dalam batas fisiologis, semakin besar

peregangan serabut miokardium pada akhir-diastolik, semakin besar kekuatan kontraksi pada saat sistolik. Peregangan serabut miokardium pada akhir-diastolik menyebabkan tumpang tindih antara miofilamen aktin dan miosin, memperkuat hubungan jembatan penghubung pada saat sistolik. Hubungan jembatan penghubung dan kekuatan kontraksi paling tinggi bila panjang sarkomer antara 2,0 dan 2,4 μm. Bila panjang sarkomer kurang dari 2,0 μm terjadi penurunan kekuatan kontraksi karena dibandingkan dengan tumpang tindih aktin-miosin, begitu banyak aktin yang tumpang tindih dengan filamen aktin yang berdekatan di dalam sarkomer. Bila panjang sarkomer lebih dari 2,4 μm penurunan daya kontraksi juga terjadi, hal ini karena filamen aktin dan miosin teregang menjauh satu sama lain, sekali lagi


(25)

membatasi jumlah ikatan jembatan silang. Jadi, pertambahan beban awal akan meningkatkan kekuatan kontraksi sampai batas tertentu, dan dengan demikian juga akan meningkatkan volume darah yang dikeluarkan dari ventrikel ( Debeasi, 2006).

b. Beban Akhir

Dalam Tortora (2009), pengeluaran darah dari jantung dimulai jika tekanan di ventrikel kanan melebihi tekanan di trunkus pulmonal (sekitar 20 mmHg), dan jika tekanan di ventrikel kiri melebihi tekanan di aorta (sekitar 80 mmHg). Beban akhir adalah tegangan serabut miokardium yang harus terbentuk untuk kontraksi dan pemopaan darah (Debeasi, 2006). Peningkatan beban akhir akan menyebabkan penurunan volume sekuncup sehingga volume akhir-sistolik akan meningkat. Beban akhir yang meningkat dapat disebabkan karena peningkatan tekanan darah dan penyempitan lumen arteri (Tortora, 2009).

c. Kontraktilitas

Kontraktilitas merupakan perubahan kekuatan kontraksi yang terbentuk yang terjadi tanpa tergantung perubahan pada panjang serabut miokardium. Kekuatan kontraksi ini berkaitan dengan konsentrasi ion Ca++ bebas intrasel dimana kontraksi miokardium secara langsung sebanding dengan jumlah kalsium intrasel. Rangsangan simpatetik, hormon (seperti epinefrin dan norepinefrin), dan agen- agen inotropik positif akan meningkatkan pelepasan kalsium intrasel sehingga akan meningkatkan kekuatan kontraksi dan pada akhirnya meningkatkan volume sekuncup serta curah jantung ( Debeasi, 2006).

2.2.2. Pengaturan Frekuensi Denyut Jantung (Heart Rate)

Frekuensi jantung sebagian besar berada di bawah pengaturan ekstrinsik sistem saraf otonom; serabut saraf simpatis mempersyarafi nodus SA dan AV, mempengaruhi kecepatan dan frekuensi hantaran impuls. Stimulasi serabut parasimpatis akan mengurangi frekuensi denyut jantung ,sedangkan stimulasi simpatis akan


(26)

mempercepat denyut jantung ( Debeasi, 2006). Hormon seperti epinefrin, norepinefrin, dan tiroid selain mempengaruhi kotraktilitas jantung juga mempengaruhi frekuensi denyut jantung. Begitu juga beberapa kation seperti K+, Ca2+, dan Na+. Peningkatan kadar K+ atau Na+ darah akan menurunkan denyut jantung dan kontraktilitas jantung karena peningkatan Na+ akan memblok aliran Ca2+ selama potensial aksi sehingga kekuatan kontraksi akan menurun, sedangkan K+ yang meningkat akan memblok pembangkitan potensial aksi. Peningkatan Ca2+ interstisial akan mempercepat denyut jantung dan kekuatannya (Tortora, 2009).

2.3. Aliran Darah dan Tekanan Darah

Aliran darah adalah volume darah yang mengalir ke jaringan dalam mL/ menit (Tortora, 2009). Aliran darah melalui pembuluh darah bergantung pada dua variabel yang saling berlawanan: perbedaan tekanan antara kedua ujung pembuluh darah dan resistensi terhadap aliran darah. Hukum Ohm dapat menjelaskan dengan baik mengenai hubungan kedua variabel ini dengan aliran darah: Q = ΔP ÷ R ( Q = aliran darah, ΔP = perbedaan tekanan, dan R = resistensi). Aliran darah meningkat karena terdapat perbedaan tekanan antara kedua ujung pembuluh darah; sebaliknya, aliran darah menurun karena terjadi peningkatan resistensi. Resistensi merupakan obstruksi aliran darah. Resistensi berkaitan erat dan berbanding terbalik dengan ukuran lumen pembuluh darah dimana sedikit perubahan lumen pembuluh darah menyebabkan perubahan besar dalam resistensi. Faktor lain yang dapat mempengaruhi resistensi adalah panjang pembuluh darah dan viskositas darah. Namun demikian, pengaruhnya secara normal tidak bermakna karena biasanya bersifat konstan ( Debeasi, 2006).

Kontraksi ventrikel akan menghasilkan tekanan darah, kekuatan tekanan hidrostatik oleh darah terhadap dinding pembuluh darah. Tekanan darah tinggi pada aorta dan arteri sistemik besar; dalam keadaan istirahat, dewasa muda, tekanan darah meningkat menjadi 110 mmHg selama sistol (kontraksi ventrikel) dan turun menjadi


(27)

70 mmHg selama diastol (relaksasi ventrikel). Ada dikenal tekanan darah sistolik dan diastolik. Tekanan darah sistolik adalah tekanan darah tertinggi yang dicapai dalam arteri selama sistol dan tekanan darah diastolik adalah tekanan arteri terendah selama diastolik (Tortora, 2009). Tekanan darah ditentukan oleh curah jantung, volume darah, dan total peripheral vascular resistance (PVR). Peningkatan tekanan darah hanya terjadi karena peningkatan curah jantung, peningkatan total resistensi vaskular perifer, atau kombinasi keduanya (Mayet, 2003).

2.4. Hipertensi 2.4.1. Definisi

Hipertensi didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg, tekanan diastolik ≥ 90 mmHg, atau sedang mengonsumsi obat antihipertensi (Pickering, 2008).

2.4.2. Klasifikasi

Menurut The Seventh Report of The Joint National Committe on Prevention,

Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC 7) klasifikasi

tekanan darah pada orang dewasa terbagi menjadi kelompok normal, prahipertensi, hipertensi derajat 1, dan hipertensi derajat 2. Masih ada beberapa klasifikasi dan pedoman penanganan hipertensi lain, tetapi umumnya digunakan JNC 7 (Yogiantoro, 2007).


(28)

Tabel 2.1. Klasifikasi Tekanan Darah Menurut JNC 7 Klasifikasi Tekanan

Darah

Tekanan Darah Sistolik (mmHg)

Tekanan Darah Diastolik (mmHg) Normal < 120 < 80

Prehipertensi 120 – 139 80 – 89 Hipertensi derajat 1 140 – 159 90 – 99 Hipertensi derajat 2 ≥ 160 ≥ 100

Sumber: The Seventh Report of The Joint National Committe on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC 7), 2003

2.4.3. Etiologi dan Patofisiologi

Berdasarkan etiologinya, hipertensi dibagi atas hipertensi primer/ esensial dan hipertensi skunder. Dikatakan hipertensi primer bila penyebab timbulnya hipertensi tidak diketahui, dan hipertensi jenis ini dijumpai pada 95 % kasus hipertensi. Hal ini dibuktikan pada beberapa penelitian menurut Kaplan (2006) dalam Lumbantobing (2008) yaitu penelitian yang dilakukan Gifford (1969), Berglund et al. (1976), Rudnick et al. (1977), Danielson (1981), dan Sinclair et al. (1987) memberikan hasil dimana hipertensi esensial menjadi penyebab pada 89- 95 % penderita hipertensi. Mengenai patofisiologi hipertensi masih banyak terdapat ketidakpastian. Beberapa mekanisme fisiologis terlibat dalam mempertahankan tekanan darah yang normal, dan gangguan pada mekanisme ini dapat menyebabkan terjadinya hipertensi esensial. Mungkin banyak faktor yang saling berkaitan ikut berperan dalam terjadinya peningkatan tekanan darah, dan faktor-faktor ini dapat berbeda pada masing-masing pasien. Menurut Davies (1983) dalam Lumbantobing (2008), dari hasil penelitian pada penduduk desa dan kota didapatkan bahwa faktor herediter (turunan) juga ada peranannya, bersifat poligenik, disamping pengaruh faktor lingkungan. Serta menurut Beevers (2001) dalam Lumbantobing (2008), faktor yang telah banyak diteliti ialah: asupan- garam, obesitas, resistensi terhadap insulin,


(29)

sistem renin-angiotensin dan sistem saraf simpatis. Selama beberapa tahun terakhir faktor-faktor lain dievaluasi, termasuk faktor genetik, disfungsi endotelial (yang bermanifestasi pada perubahan endotelin dan oksida nitrogen) I, berat badan lahir yang rendah dan nutrisi intrauterin dan anomali neovaskular.

Beberapa mekanisme yang terlibat dalam hipertensi esensial: a. Curah Jantung dan Tahanan Perifer

Mempertahankan tekanan darah yang normal bergantung kepada keseimbangan antara curah jantung dan tahanan vaskular perifer. Sebagian besar pasien dengan hipertensi esensial mempunyai curah jantung yang normal, namun tahanan- perifernya meningkat. Seperti yang sudah dijelaskan di atas, tahanan perifer ditentukan oleh arteriola kecil, yang dindingnya mengandung sel otot polos dimana kontraksi pada sel otot polos ini diduga berkaitan dengan peningkatan konsentrasi kalsium intraseluler. Adanya konstriksi otot polos yang berlangsung lama diduga menginduksi perubahan struktural dengan penebalan dinding pembuluh darah arteriol, mungkin dimediasi oleh angiotensin, dan dapat mengakibatkan peningkatan tahanan perifer yang irreversible (Lumbantobing, 2008).

b. Sistem Renin-Angiotensin

Renin disekresi dari aparat juxtaglomerular ginjal sebagai jawaban terhadap kurangnya perfusi glomerular atau kurang asupan garam. Ia juga dilepas sebagai jawaban terhadap stimulasi dari sistem saraf simpatis. Renin bertanggung jawab mengkonversi substrat renin (angiotensinogen) menjadi angiotensin II di paru- paru oleh angiotensin converting enzyme (ACE). Angiotensi II ialah vasokonstriktor yang kuat dan mengakibatkan peningkatan tekanan darah. Di samping itu ia menstimulasi pelepasan aldosteron dari zona glomerulosa kelenjer adrenal, yang mengakibatkan peningkatan lagi tekanan darah yang berkaitan dengan retensi garam dan air (Lumbantobing, 2008).


(30)

c. Sistem Saraf Otonom

Stimulasi sistem saraf otonom dapat menyebabkan konstriksi arteriol dan dilatasi arteriol. Jadi sistem saraf otonom mempunyai peranan yang penting dalam mempertahankan tekanan darah yang normal. Ia juga mempunya peranan penting dalam memediasi perubahan yang berlangsung singkat pada tekanan darah sebagai jawaban terhadap stres dan kerja fisik (Lumbantobing, 2008).

d. Disfungsi Endotel

Sel endotel mampu memproduksi zat vasoaktif yang kuat, termasuk molekul vasodilator oksida nitrogen dan peptida vasokonstriktor endotelin. Diduga disfungsi endotelium berperan pada hipertensi esensial (Lumbantobing, 2008).

e. Zat Vasoaktif

Banyak sistem vasoaktif lain yang mekanismenya mempengaruhi transportasi garam dan tonus vaskular yang terlibat dalam mempertahankan tekanan darah yang normal.

Bradikinin adalah vasodilator kuat yang dapat diinaktivasi oleh ACE. Endotelin

yang merupakan vasokonstriktor endotelial vaskular kuat, yang dapat meningkatkan tekanan darah yang sensitif garam serta mengaktivasi sistem renin- angiotensin lokal. Peptida atrium natriuretik (atrial natriuretik peptide/ ANP) yang merupakan hormon yang diproduksi atrium jantung bila terdapat peningkatan volume darah dengan efek meningkatkan ekskresi garam dan air dari ginjal, bila ada gangguan pada sistem ini dapat mengakibatkan retensi cairan dan hipertensi (Lumbantobing, 2008).

f. Hiperkoagulobilitas

Dalam Lumbantobing (2008), pasien dengan hipertensi menunjukkan abnormalitas pada dinding pembuluh darah (disfungsi endotel atau rusaknya endotel), konstituen darah (faktor hemostatik dengan tingkat yang abnormal, aktivasi trombosit dan fibrinolisis) dan aliran darah (viskositas dan cadangan aliran). Sedangkan hipertensi


(31)

sekunder merupakan hipertensi yang diketahui penyebab yang spesifik dan kira-kira dijumpai pada 5 % pasien dengan hipertensi. Penyebab hipertensi sekunder yang paling umum adalah penyakit ginjal dan juga dijumpai pada penggunaan estrogen, hipertensi vaskular ginjal, hiperaldosteron, koarktasio aorta, hipertensi yang berhubungan dengan kehamilan, dan sebagainya (Massie, 2002).

2.4.4. Hipertensi yang Tidak Diobati

Dalam perjalanannya, hipertensi dapat mengakibatkan gangguan pada jantung, otak, dan ginjal. Namun dengan pengobatan, akan menurunkan kejadian stroke 35 – 40 %, penyakit jantung koroner 20 – 25 %, dan gagal jantung kongestif diatas 50 % (Pickering, 2008). Bahkan menurut Carlberg (2009), pengontrolan tekanan darah sistolik yang ketat (< 130 mmHg) bila dibandingkan dengan pengontrolan tekanan darah sistolik yang biasa (< 140mmHg) menunjukkan penurunan kejadian hipertrofi ventrikel kiri yang merupakan salah satu komplikasi hipertensi. Akan tetapi, faktanya pengobatan & pengontrolan tekanan darah masih rendah. Di AS hanya 53% penderita hipertensi yang mengonsumsi obat antihipertensi (Pickering, 2008) dan menurut Lumbantobing (2008), hanya 29% yang dipantau pada nilai ambang (terkontrol) . Jerman yang memiliki prevalensi hipertensi yang tinggi (55%) hanya 26 % yang melakukan pengobatan (Pickering, 2008). Menurut Lumbantobing (2008), hipertensi yang terkontrol hanya 17% di Kanada, 10% di lima negara eropa (Inggris, Jerman, Italia, Spanyol, Swedia) dan menurut Pickering (2008), di daerah perkotaan China hanya 4% sedangkan Mesir 8%.

Dikatakan hipertensi yang tidak diobati bila penderita mengetahui kalau dirinya menderita hipertensi tetapi mereka tidak mengonsumsi obat antihipertensi, sedangkan hipertensi dikatakan tidak terkontrol bila penderita mengetahui kalau dirinya menderita hipertensi, mengonsumsi obat antihipertensi tetapi tekanan sistolik ≥140 mmHg dan tekanan diastolik ≥ 90mmHg (Hyman, 2001). Banyak faktor yang menyebabkan pasien hipertensi yang tidak terkontrol, kebanyakan penderita lalai


(32)

dengan pengobatannya karena hipertensi umumnya tidak menyebabkan gangguan, tidak menyebabkan kurang nyaman, malah tidak jarang pasien merasa kurang nyaman bila ia minum obat antihipertensi (Lumbantobing, 2008). Menurut Fisher (2003), individu yang mengalami hipertensi ringan tanpa adanya bukti kerusakan organ, jika tidak diobati selama tujuh hingga 10 tahun akan berisiko tinggi mengalami komplikasi yaitu sekitar 30 % terbukti mengalami aterosklerosis dan lebih dari 50% akan mengalami kerusakan organ yang berhubungan dengan hipertensi itu sendiri, seperti kardiomegali, gagal jantung kongestif, retinopati, masalah serebrovaskular, dan/atau insufisiensi ginjal. Jadi, walaupun ringan, hipertensi merupakan penyakit yang progresif & letal jika tidak diobati.

2.5. Hipertrofi Ventrikel Kiri

2.5.1. Epidemiologi Hipertensi dan Hipertrofi Ventrikel Kiri

Pada penelitian yang dilakukan Efendi (2003), dari 36 penderita hipertensi terdapat lebih dari 50% sudah mempunyai komplikasi hipertrofi ventrikel kiri dari pemeriksaan ekokardiografi. Jenis hipertrofi yang terbanyak adalah konsentris (90%), sedangkan sisanya adalah hipertrofi tipe eksentris (10%). Penelitian sebelumnnya, Savage et al., dalam skala penting yang lebih luas mendapatkan lebih kurang 50% HVK dari 243 penderita hipertensi ringan dan sedang. Sedangkan Campus et al., dari 61 penderita hipertensi melaporkan sebanyak 52% hipertrofi konsentris dan 26 % tipe hipertrofi eksentris dan lainnya tipe ireguler. Di Medan, Haroen et al. (1990) mendapatkan 76% dengan hipertrofi tipe konsentris dan 20 % dengan hipertrofi eksentris dan sisanya tipe ireguler dari 50 penderita hipertensi ringan dan sedang (Efendi, 2003).

2.5.2. Patofisiologi Hipertrofi Ventrikel Kiri pada Hipertensi

Jantung yang mendapatkan tambahan beban hemodinamik akan mengalami kompensasi melalui proses: mekanisme kompensasi Frank Starling, meningkatkan massa otot jantung dan aktifasi mekanisme neurohormonal baik sistem simpatis


(33)

maupun melalui hormon renin angiotensin (Efendi, 2003). Akan tetapi, menurut Alfakih et al. (2004) dalam Kaplan (2006), hipertrofi jantung dalam respon terhadap beban tambahan tidak merupakan patologis pada tiga keadaan: maturasi pada bayi dan anak, kehamilan, dan latihan yang berat.

HVK pada hipertensi sebenarnya merupakan fenomena yang kompleks, dimana tidak hanya melibatkan faktor hemodinamik seperti : beban tekanan, volume, denyut jantung yang berlebihan dan peningkatan kontraktilitas dan tahanan perifer, tetapi juga faktor non hemodinamik seperti usia, kelamin, ras, obesitas, aktifitas fisik, kadar elektrolit dan hormonal (Efendi, 2003).

Gambar 2.1. Skema Patofisiologi HVK pada Hipertensi

Sumber: Korelasi Dispersi QT dengan Hipertrofi Ventrikel Kiri pada Penderita Hipertensi, 2003.

HVK dimulai dengan peningkatan kontraktilitas miokard yang dipengaruhi oleh sistem saraf adrenergik sebagai respond neurohumoral, kemudian diikuti dengan


(34)

peningkatan aliran darah balik vena karena vasokonstriksi di pembuluh darah perifer dan retensi cairan oleh ginjal. Bertambahnya volume darah dalam vaskuler akan meningkatkan beban kerja jantung, kontraksi otot jantung akan menurun karena suplai aliran darah yang menurun dari aliran koroner akibat arteriosklerosis dan berkurangnya cadangan aliran pembuluh darah koroner. Proses perubahan di atas terjadi secara simultan dalam perjalanan penyakit hipertensi dalam mewujudkan terjadinya payah jantung. Pada hipertensi ringan curah jantung mulai meningkat, frekuensi denyut jantung dan kontraktilitas bertambah sedangkan tahanan perifer masih normal. Peningkatan curah jantung oleh proses autoregulasi ini, yang menurut Lumbantobing (2008), berkaitan dengan overaktivitas simpatis, akan menimbulkan peningkatan tonus pembuluh darah perifer (Efendi, 2003), yang dalam Lumbantobing (2008), terjadi sebagai usaha kompensasi untuk mencegah agar peningkatan tekanan (karena curah jantung yang meningkat tadi) tidak disebarluaskan ke jaringan pembuluh darah kapiler, yang akan dapat mengganggu homeostasis sel secara substansial. Bila berlangsung lama maka konstriksi otot polos pembuluh darah perifer ini akan menginduksi perubahan struktural dengan penebalan dinding pembuluh darah arteriol yang akan mengakibatkan peningkatan tahanan perifer yang irreversibel (Lumbantobing, 2008) sehingga pada akhirnya kerja jantung menjadi bertambah berat.

Supaya volume sekuncup tetap stabil, peningkatan beban tekan ini akan meningkatkan tegangan dinding (stres dinding). Sehingga untuk mengurangi tegangan dinding ini, sesuai dengan Persamaan Laplace, terjadi peningkatan ketebalan dinding jantung sebagai kompensasi yang dikenal dengan hipertrofi konsentris yang ditandai dengan sintesis sarkomer-sarkomer baru yang berjalan sejajar dengan sarkomer lama yang menyebabkan peningkatan tebal dinding tanpa adanya dilatasi ruang untuk membantu memelihara kekuatan kontraksi ventrikel. Ciri hipertrofi konsentris ini berupa penebalan dinding otot jantung, pertambahan massa jantung, volume akhir-diastol masih normal atau sedikit meningkat, dan rasio


(35)

massa terhadap volume meningkat. Hipertrofi konsentris ini akan berlanjut dengan hipertrofi eksentrik sebagai respon terhadap beban volume yang ditandai dengan sintesis sarkomer-sarkomer baru secara seri dengan sarkomer lama yang membuat radius ruang ventrikel membesar. Ciri hipertrofi eksentrik ini berupa penambahan massa dan volume jantung tetapi ketebalan dinding tidak berubah (Efendi, 2003).

Hipertrofi dan dilatasi jantung ini membutuhkan suplai darah yang lebih banyak dan seperti yang sudah dibahas terdahulu, miokardium yang terlalu teregang justru akan menyebabkan kekuatan kontraksi menurun, hal ini mengakibatkan suplai darah tidak mampu menyetarakan massa otot jantung yang meningkat sehingga akan berujung pada komplikasi jantung lainnya seperti penyakit infark miokardium yang diakhiri dengan gagal jantung. Jadi, dapat dilihat bahwa HVK yang disebabkan oleh hipertensi akan mempermudah berbagai macam komplikasi jantung akibat hipertensi, termasuk gagal jantung kongestif, aritmia ventrikel, iskemi miokard dan mati mendadak (Massie, 2002).

2.5.3. Perubahan Otot Jantung pada HVK

Pada awal hipertrofi belum tampak dengan pemeriksaan radiologi, tetapi pada EKG sudah terlihat peningkatan voltase pada setiap sandapan. Berat otot jantung pada awalnya relatif tidak bertambah (normal 0,6 – 0,65 % dari berat badan). Hipertrofi yang telah melewati massa kritis (berat otot jantung > 500g) ditandai dengan penebalan dinding ventrikel ( lebih dari 1,2 cm). Peningkatan massa otot ini lebih banyak berupa hipertrofi dibanding hiperplasia sehingga mengurangi kapasitas aliran koroner karena kurangnya densitas pembuluh koroner. Secara mikroskopis diameter serat miokard menebal > 20 mm (normal 5 – 12 mm) karena peningkatan sarkoplasma dan miofibril. Sering terdapat perubahan degeneratif seperti vakuolisasi dari serat fibril. Secara ultrastruktur terlihat peningkatan jumlah mitokondria, akumulasi glikogen, peningkatan aparatus golgi dan jumlah miofibril (Efendi, 2003).


(36)

2.5.4. Diagnosa Hipertrofi Ventrikel Kiri

Penilaian anatomi dan fungsional jantung perlu pada penderita hipertensi dengan tujuan bukan hanya untuk sekedar identifikasi faktor resiko tetapi dapat menjadi pedoman untuk memberikan terapi hipertensi pada tujuan yang lebih terarah. Pemeriksaan HVK ini dilakukan untuk mengantisipasi meningkatnya angka kematian karena gagal jantung akibat hipertensi seperti yang sudah dikemukakan pada pendahuluan. Untuk itu, Dalam tahun terakhir ini usaha untuk mendeteksi HVK lebih pro aktif dilaksanakan, mengingat besarnya resiko HVK terhadap gagal jantung karena kalau sudah terdapat HVK berarti pederita sudah mengalami perjalanan hipertensi yang lama baik ringan ataupun berat. Jadi, penting diketahui dengan hipertensi ringan pun masih terdapat kemungkinan munculnya HVK (Efendi, 2003).

a. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik dapat dicurigai HVK dengan palpasi, didapatkan posisi apeks jantung yang melebar dan sedikit turun kebawah, dan kadang-kadang disertai dengan pulsasi apeks yang kuat angkat dan berlangsung lama bilamana penderita dalam posisi berbaring dan miring ke kiri. Namun pada HVK yang ringan hanya sedikit yang dapat diperoleh dari pemeriksaan fisik (Efendi, 2003).

b. Radiologi

Menurut Purwohudoyo (2005), dari segi radiologi, cara yang mudah untuk mengukur jantung apakah membesar atau tidak, adalah dengan membandingkan lebar jantung (A + B) dan lebar dada (C) pada foto toraks PA (cardio-thoracis ratio

= CTR). CTR = (A+ B) ÷ C, (A = jarak jantung kanan terjauh dari garis tengah

vertebratorakalis imajiner, B = jarak jantung kiri terjauh dari garis tengah vertebratorakalis imajiner, C = garis imajiner yang menyinggung kupula diafragma kanan). Normalnya, 35% ≤ CTR ≤ 50% dan dikatakan jantung membesar (kardiomegali) bila CTR ≥ 50%. Pembesaran yang berasal dari ventrikel kiri


(37)

dimanifestasikan dengan ekstensi ke arah inferior kiri dan posterior dari batas kiri bawah jantung. Pembesaran jantung yang terlihat dengan radiologi menandakan HVK sudah dalam tahap lanjut (Efendi, 2003).

c. Elektrokardiografi

Elektrokardiografi dapat mendeteksi HVK berdasarkan pembesaran ventrikel baik karena pertambahan tebal otot, dilatasi ruang ventrikel atau keduanya. Hipertrofi ventrikel kiri dengan EKG lebih sensitif dibanding dengan radiologi. Pertambahan voltase pada HVK disebabkan oleh pertambahan jumlah atau ukuran serabut otot. Banyak kriteria yang digunakan untuk menentukan HVK dengan menggunakan EKG, namun biasanya digunakan kriteria Romhilt-Estes atau Sokolow-Lyon (Efendi, 2003).

Tabel 2.2. Kriteria Sokolow- Lyon Untuk Diagnosa HVK pada EKG A. Kriteria sadapan anggota badan

RI + SIII > 25 mm RaVL > 11 mm RaVF > 20 mm B. Kriteria sadapan dada

SVI + RV5 atau RV6 > 35 mm R terbesar + S terbesar > 45 mm RV5 atau RV6 > 26 mm

Sumber: Korelasi Dispersi QT dengan Hipertrofi Ventrikel Kiri pada Penderita Hipertensi, 2003.

d. Ekokardigrafi

Ekokardiografi merupakan baku emas dalam menentukan diagnosa HVK. Menggunakan 2 macam teknik pemeriksaan, yaitu teknik 2 dimensi dan teknik M


(38)

mode, sesuai dengan kesepakatan atau protokol dari american Society of Echocardiography. Teknik ekokardiografi ditentukan berdasarkan gelombang suara

berfrekuensi tinggi ( ultrasound) yang melalui struktur intrakardiak. Pantulan yang terjadi ditangkap dan diperagakan pada sebuah oscilloscope, sehingga ukuran atrium kiri, ventrikel kiri, ventrikel kanan dan aorta dapat ditemukan, demikian pula ketebalan dan pergerakan ventrikel kiri dan septum interventrikuler. Pada M mode, suatu sinar tunggal terbatas dari ultrasound diarahkan menuju jantung dari sela iga IV dan V di perbatasan parasternal kiri. Bayangan yang dihasilkan oleh pantulan ultrasound direkam pada kertas yang bergerak dengan kecepatan 50 mm/detik. Pada ekokardiografi 2 dimensi bermanfaat untuk menggambarkan hubungan struktural yang kompleks, terutama pandangan jantung dari parasternal kiri dan posisi apeks ( four chamber view). Waktu penggambaran struktural intrakardiak lebih sulit dilakukan dengan teknik ini dari pada dengan teknik M mode (Efendi, 2003).

Pengukuran dimensi internal ventrikel kiri ( Left Ventricle Internal Dimension,

LVID), tebal septum interventrikuler ( interventicular Septal Wall Thickness, SWT)

dan tebal dinding posterior ( Posterior Wall Thickness, PWT) diperoleh dari diagram M-mode yang diambil dari posisi mid ventricular short-axis view pada sela iga IV dan V di parasternalis kiri. LVIDd diambil antara sisi kiri septum interventrikuler dan endokardium posterior ventrikel kiri pada akhir diastolis. Sesuai metode Devereux didapatkan rumus pengukuran Left Vntricle Mass Index/ LVMI ( g/m2) sebagai Berikut:

LVMI = (1,04 [ (SWT + PWT+LVID)3 – (LVID)3] – 14)/BSA

BSA = Body surface area ( luas permukaan tubuh), didapat dengan rumus: BSA= (0,0001) (71,84) (Wt 0,425 xHt 0,725 ).

Wt = Berat badan dalam kg, Ht = tinggi badan dalam cm (standar Dubois). Dikategorikan LVH kalau LVMI >108 g/m2 untuk wanita dan LVMI >131 g/m2 untuk pria (Efendi, 2003). Sedangkan menurut Kim et al. (2008), dikatakan HVK bila LVMI > 95 g/ m2 pada wanita dan > 115 g/m2 pada pria. Dalam Efendi (2003),


(39)

klasifikasi lebih jauh dari HVK berdasarkan tebal relatif dinding otot jantung ( RWT

= Relative wall thickness) sesuai dengan criteria American Society ofEchocardiography dibedakan atas hipertrofi konsentrik jika RWT lebih dari 0,45

dan hipertrofi eksentrik jika RWT kurang dari 0,45. RWT diperoleh dari rumus berikut :

RWT = [ (2xPWT)/LVIDd ]

2.6. Hubungan Hipertensi, Hipertrofi Ventrikel Kiri, dan Gagal Jantung

Perkembangan yang terlihat pada penyakit jantung merupakan suatu rangkaian kesatuan yang dimulai dengan faktor risiko seperti diabetes melitus, hipertensi, dislipidemia, merokok, dan obesitas yang mempredisposisi/ mempengaruhi seseorang terhadap perkembangan aterosklerosis dan/ atau hipertrofi ventrikel kiri (Wright et al., 2008). Gagal jantung yang merupakan tahap akhir dari seluruh penyakit jantung didefinisikan sebagai kondisi dimana jantung tidak lagi dapat memompakan cukup darah ke jaringan tubuh (Mariyono, 2007). Penyebab gagal jantung diklasifikasikan dalam 6 kategori: (1) kegagalan karena abnormalitas miokardium seperti kardiomiopati; (2) kegagalan yang diawali karena kelebihan kerja eksternal seperti pada hipertensi; (3) abnormalitas katup; (4) abnormalitas ritme jantung; (5) abnormalitas perikardium atau efusi perikardium; dan (6) cacat jantung kongenital (Francis et al., 2008). Sedangkan Ghanie (2007) mengklasifikasikan penyebab gagal jantung sebagai disfungsi miokard, endokard, perikardium, pembuluh darah besar, aritmia, kelainan katup, dan gangguan irama. Di Eropa dan Amerika disfungsi miokard paling sering terjadi akibat penyakit jantung koroner yang biasanya akibat infark miokard, disusul hipertensi dan diabetes, sedangkan di Indonesia belum ada data yang pasti, sementara data rumah sakit di Palembang menunjukkan hipertensi sebagai penyebab terbanyak, disusul penyakit jantung koroner dan katup (Ghanie, 2007).


(40)

Meski penyakit jantung koroner menempati urutan pertama di Eropa dan Amerika sebagai penyebab gagal jantung, namun hipertensi tetap menjadi faktor risiko mayor terjadinya gagal jantung karena hipertensi juga pemicu terjadinya penyakit jantung koroner. Hipertensi dapat menyebabkan penyakit pada struktur jantung dan gagal jantung melalui 2 cara, yang pertama dengan memicu terjadinya hipertrofi ventrikel kiri dengan tujuan untuk memelihara fraksi ejeksi namun akhirnya menimbulkan gagal jantung dan kedua menyebabkan penyakit arteri koroner yang memicu infark miokard sehingga terjadi penurunan fraksi ejeksi dan pada akhirnya menyebabkan gagal jantung juga (Abraham et al., 2008).

Berdasarkan informasi dari Framingham Study didapatkan bahwa hipertensi mendahului onset gagal jantung pada 91% kasus, dimana peningkatan level tekanan darah sistolik dan/ atau diastolik merupakan faktor risiko besar untuk perkembangan gagal jantung (Francis et al., 2008). Risiko gagal jantung meningkat dua kali lebih tinggi pada pria hipertensif dibanding normotensif dan tiga kali lebih tinggi pada wanita hipertensif daripada normotensif (Pickering, 2008).

Perkembangan hipertensi menjadi gagal jantung yang didahului oleh hipertrofi ventrikel kiri seperti yang telah dijelaskan sebelumnya terjadi bila hipertrofi yang terjadi telah diluar batas fisiologis peningkatan kontraksi jantung maka kontraksi jantung justru akan berkurang/melemah, ditambah dengan peningkatan kebutuhan oksigen otot jantung karena hipertrofi menyebabkan pertambahan massa otot jantung. Jadi, respon kompensatorik sirkulasi yang pada awalnya memberikan keuntungan dalam mempertahankan curah jantung, pada akhirnya justru meningkatkan kerja jantung dan menyebabkan gagal jantung (O’donnel, 2006).

Hipertrofi ventrikel kiri bukanlah suatu penyakit tetapi merupakan petanda penyakit yang melibatkan jantung (Khouzam et al., 2010). HVK sendiri merupakan faktor risiko yng kuat pada gagal jantung yang bisa terjadi bersamaan dengan penyakit


(41)

aterosklerosis arteri koroner yang juga dapat dipicu oleh hipertensi (Francis et al., 2008). Adanya penyakit aterosklerosis arteri koroner ini akan menyebabkan perkembangan terjadinya iskemia miokardia dan/ atau infark miokardiak yang dapat menyebabkan aritmia dan jika seseorang selamat dari serangan infark, akan terjadi

remodelling jantung yang mempredisposisi pembesaran jantung dan gagal jantung

(Wright et al., 2008). Mariyono (2007) juga menyebutkan bahwa ekokardiografi yang menunjukkan hipertrofi ventrikel kiri berhubungan kuat dengan perkembangan gagal jantung.


(42)

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep Penelitian

Variabel Independen Variabel Dependen

Gambar 3.1. Kerangka Konsep Penelitian

3.2. Definisi Operasional 3.2.1. Hipertensi

Hipertensi merupakan peningkatan tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg, tekanan diastolik ≥ 90 mmHg, atau sedang mengonsumsi obat antihipertensi. Hipertensi diukur dengan pemeriksaan tekanan darah, dikatakan hipertensi bila hasil pemeriksaannya ≥ 140/ 90 mmHg. Dalam penelitian ini, ada tidaknya hipertensi diukur menggunakan rekam medis pasien dengan skala pengukuran nominal.

3.2.2. Hipertrofi Ventrikel Kiri

Hipertrofi ventrikel kiri menunjukan adanya penambahan massa otot jantung ventrikel kiri. Hipertrofi ini dapat diukur dengan menggunakan foto toraks posisi PA (postero-anterior), elektrokardiogram, atau dengan ekokordiogram (gold standart). Pada foto toraks posisi PA, pengukuran dilakukan dengan menghitung CTR (

cardio-thoracis ratio). Dikatakan kardiomegali (pembesaran jantung) bila hasil

pengukurannya lebih dari 50% dan pembesaran yang berasal dari ventrikel kiri dimanifestasikan dengan ekstensi ke arah inferior kiri dan posterior dari batas kiri bawah jantung. Jika menggunakan EKG, adanya HVK dapat dinilai dengan

Riwayat Hipertensi

Hipertrofi Ventrikel Kiri pada Pasien Gagal Jantung


(43)

beberapa kriteria, jadi dalam penelitian ini cara dan hasil pengukuran tergantung pada kriteria yang digunakan di RSUP H. Adam Malik. Sedangkan bila pengukuran HVK menggunakan ekokardiografi dilakukan dengan menentukan indeks massa ventrikel kiri (left ventricle mass index/ LVMI) yang > 131 gr/m2 pada pria dan > 108 gr/m2 pada wanita. Seperti halnya hipertensi, ada tidaknya HVK diukur menggunakan rekam medis pasien dengan skala pengukuran nominal.

3.2.3. Gagal Jantung

Gagal jantung didefinisikan sebagai suatu kondisi dimana jantung tidak lagi dapat memompakan cukup darah ke jaringan tubuh. Dikatakan gagal jantung kongestif bila gagal jantung tersebut telah menyebabkan kongesti sirkulasi (retensi cairan). Penentuan gagal jantung dapat dibuat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan jasmani, EKG/foto toraks, ekokardiografi-Doppler dan kateterisasi. Pada penelitian ini, rekam medis pasien gagal jantung digunakan sebagai populasi penelitian untuk menilai ada tidaknya hipertrofi ventrikel kiri dan riwayat hipertensi serta sekaligus menilai etiologi gagal jantung kongestif yang diukur menggunakan rekam medis dengan skala pengukuran nominal.

3.3. Hipotesa

Hipotesa untuk penelitian ini adalah ada hubungan antara kejadian hipertrofi ventrikel kiri dengan riwayat hipertensi pada pasien gagal jantung kongestif.


(44)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1. Rancangan Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analitik dengan rancangan penelitian cross sectional (potong lintang) yaitu dengan melakukan pengamatan terhadap kejadian hipertrofi ventrikel kiri pada pasien gagal jantung dan menilai hubungannya dengan adanya riwayat hipertensi. Desain cross sectional adalah suatu desain penelitian dimana pengumpulan data atau variabel yang akan diteliti berupa variabel dependen dan independen dinilai secara simultan pada satu saat yang dalam penelitian ini melalui rekam medis (tidak ada dimensi waktu dalam pengukuran kedua variabel).

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan. Tempat ini dipilih karena merupakan rumah sakit pendidikan dan rujukan di Medan serta mudah dijangkau. Penelitian dilakukan pada bulan September sampai dengan Oktober 2010.

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian 4.3.1. Populasi

Populasi penelitian adalah pasien rawat inap yang mengalami gagal jantung kongestif usia 45 tahun keatas selama tahun 2009 di RSUP H. Adam Malik Medan. Usia 45 tahun keatas merupakan usia rata-rata mulai dijumpainya komplikasi hipertensi. Berdasarkan data dari Bagian Rekam Medis RSUP H. Adam Malik pada tahun 2009, pasien rawat inap gagal jantung kongestif usia 45 tahun keatas berjumlah 565 orang.


(45)

4.3.2. Besar Sampel

Besar sampel sebanyak 85 orang yang dihitung dengan menggunakan rumus besar sampel untuk populasi lebih kecil dari 10.000 (Notoatmodjo, 2002), yaitu:

n = N 1 + N (d2) n = besar sampel

N= jumlah populasi, yaitu 565 orang

d = tingkat kepercayaan yang diinginkan, yaitu 10% n = 565

1 + 565 (0,12) n = 84, 96 ≈ 85 orang

4.3.3. Teknik Pengambilan Sampel

Sampel penelitian dipilih dengan menggunakan teknik probability sampling/

random sample dengan jenis simple random sampling. Pada metode ini, dihitung

terlebih dahulu jumlah subjek dalam populasi yang akan dipilih sampelnya (sebanyak 565 orang pada penelitian ini). Tiap subjek dalam populasi diberi nomor, dan dipilih sebagian dari mereka sebanyak sampel yang diperlukan berdasarkan perhitungan rumus (dalam penelitian ini 85 orang) secara acak dengan bantuan tabel angka random. Jenis pengambilan sampel ini dipilih karena tiap subjek dalam populasi mempunyai kesempatan yang sama untuk terpilih atau tidak terpilih sebagai sampel penelitian sehingga sampel yang dipilih diharapkan dapat mewakili populasi atau dapat digeneralisasikan ke populasi, dan dengan simple random sampling, pengacakan pemilihan sampel lebih mudah diaplikasikan karena menggunakan bantuan tabel angka random.


(46)

4.3.4. Kriteria Inklusi dan Eksklusi

a. Kriteria inklusi penelitian ini adalah semua rekam medis pasien rawat inap gagal jantung kongestif usia 45 tahun ke atas selama tahun 2009 di RSUP H. Adam Malik Medan.

b. Kriteria eksklusi penelitian ini adalah rekam medis pasien rawat inap gagal jantung usia 45 tahun ke atas selama tahun 2009 di RSUP H. Adam Malik yang tidak dijumpai hasil pemeriksaan HVK dan yang tidak ditemukan data ada tidaknya riwayat hipertensi atau hasil beberapakali pengukuran tekanan darahnya.

4.4. Teknik Pengumpulan Data

Data yang digunakan pada penelitian ini hanya data sekunder yaitu rekam medis pasien gagal jantung kongestif yang menjalani rawat inap usia 45 tahun keatas tahun 2009 di RSUP H. Adam Malik. Data ini diperoleh dari bagian Rekam Medis RSUP H. Adam Malik Medan. Kemudian data yang ingin diteliti yaitu jenis kelamin, usia, etiologi gagal jantung kongestif, jenis pemeriksaan hipertrofi ventrikel kiri, riwayat hipertensi, dan kejadian hipertrofi ventrikel kiri dicatat pada lembar observasi penelitian.

4.5. Pengolahan dan Analisa Data

Data diolah dengan menggunakan program komputer SPSS for windows 17 yang disajikan dalam bentuk tabel dengan perhitungan distribusi frekuensi dan dianalisa dengan uji chi-square untuk melihat hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen.


(47)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

Penelitian ini berlangsung di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik yang beralamat di Jalan Bunga Lau no. 17 Kecamatan Medan Tuntungan Kotamadya Medan Provinsi Sumatera Utara. Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik merupakan rumah sakit kelas A sesuai dengan SK Menkes No. 335/Menkes/SK/VII/1990 dan sesuai dengan SK Menkes No. 502/Menkes /SK/IX/1991, RSUP H. Adam Malik juga sebagai pusat rujukan wilayah Pembangunan A yang meliputi Provinsi Sumatera Utara, Nangroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat dan Riau. Penelitian ini dilakukan di sub bagian rekam medis Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik.

5.1.2. Hasil Analisa Deskriptif

5.1.2.1. Deskripsi Karakteristik Sampel

Penelitian dilakukan pada 85 rekam medis pasien rawat inap gagal jantung kongestif usia 45 tahun keatas selama tahun 2009 di RSUP H. Adam Malik. Karakteristik yang diamati terhadap sampel adalah jenis kelamin dan umur.

Tabel 5.1. Distribusi Frekuensi Karakteristik Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin Jumlah (orang) % Frekuensi Laki- laki 50 58,8 % Perempuan 35 41,2 % Jumlah 85 100


(48)

Berdasarkan tabel 5.1 dapat diketahui bahwa sampel yang berjenis kelamin laki- laki ada sebanyak 50 (58,8%) orang dan sampel yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 35 (41,2%) orang.

Dalam melakukan pengamatan terhadap umur, pada penelitian ini umur sampel dibagi menjadi beberapa kelompok yang menurut Budiarto (2001) dihitung berdasarkan rumus Sturges:

m = 1 + 3,3 log n

m = jumlah kelompok n = jumlah pengamatan.

Sedangkan untuk menentukan interval kelompoknya digunakan rumus:

i = R/m

R = rentang antara nilai terbesar dan nilai terkecil.

Dengan menggunakan rumus di atas, umur sampel di bagi atas 8 kelompok dengan interval masing-masing kelompok adalah 5 tahun.

Tabel 5.2. Distribusi Frekuensi Karakteristik Sampel Berdasarkan Umur Kelompok Umur (tahun) Jumlah (orang) % Frekuensi 45 – 49 16 18,8 50 – 54 16 18,8 55 – 59 16 18,8 60 – 64 12 14,1 65 – 69 10 11,8 70 – 74 7 8,2 75 – 79 6 7,1 80 – 84 2 2,4 Jumlah 85 100


(49)

Dari tabel 5.2 di atas dapat diketahui bahwa jumlah sampel mayoritas berusia 45 – 59 tahun yang terdiri dari 3 kelompok yaitu 45 – 49 tahun, 50 – 54 tahun, dan 55 – 59 tahun dengan masing-masing berjumlah 16 (18,8%) orang. Sedangkan yang berusia diatas 80 tahun hanya 2 (2,4%) orang.

5.1.2.2. Etiologi Gagal Jantung Kongestif

Dari pengamatan 85 rekam medis sampel, didapati kebanyakan sampel memiliki etiologi/ penyebab gagal jantung kongestif yang lebih dari satu. Sehubungan dengan etiologi yang ingin diamati pada penelitian ini adalah penyakit jantung hipertensi (Hypertension Heart Disease) dan penyakit jantung koroner (Coronary Artery

Disease), maka etiologi gagal jantung kongestif sampel dikelompokkan menjadi: a)

HHD dengan atau tanpa penyakit lain selain CAD, b) HHD & CAD dengan atau tanpa penyakit lain, c) CAD dengan atau tanpa penyakit lain selain HHD, dan d) penyakit lain selain HHD & CAD.

Tabel 5.3. Distribusi Frekuensi Etiologi Gagal Jantung Kongestif Sampel Etiologi Jumlah (orang) % Frekuensi a) HHD dengan atau tanpa penyakit 25 29,4 %

lain selain CAD

b) HHD & CAD dengan atau 32 37,6 % tanpa penyakit lain

c) CAD dengan atau tanpa penyakit 22 25,9 % lain selain HHD

d) Penyakit lain selain HHD & CAD 6 7,1 % Jumlah 85 100

Dari tabel 5.3 di atas, diketahui bahwa etiologi gagal jantung terbanyak merupakan pasien yang menderita HHD & CAD yaitu sebanyak 32 (37,6%) orang, yang


(50)

menderita HHD tanpa CAD ada 25 (29,4%) orang, dan yang menderita CAD tanpa HHD 22 (25,9%) orang. Sementara itu hanya 6 (7,1%) orang pasien gagal jantung kongestif yang tidak menderita HHD & CAD.

5.1.2.3. Jenis pemeriksaan Hipertrofi Ventrikel Kiri

Ada 3 jenis pemeriksaan pada pasien gagal jantung kongestif yang dapat menunjukkan ada tidaknya hipertrofi ventrikel kiri (HVK), yaitu melalui foto toraks, EKG, dan ekokardiografi. Dari 85 sampel, ada yang melakukan ketiga pemeriksaan tersebut, ada 2 saja diantara ketiganya atau hanya EKG saja.

Tabel 5.4. Distribusi Frekuensi Jenis Pemeriksaan Hipertrofi Ventrikel Kiri Sampel

Jenis Pemeriksaan Jumlah (orang) % Frekuensi EKG, ekokardiografi, Foto Toraks 31 36,5 EKG & Foto Toraks 29 34,1 Ekokardiografi & Foto Toraks 4 4,7 EKG & ekokardiografi 7 8,2 EKG 14 16,5 Jumlah 85 100

Berdasarkan tabel 5.4 di atas, terlihat bahwa 31 (36,5%) orang melakukan ketiga pemeriksaan (EKG, ekokardiografi, dan foto toraks) dan juga terlihat bahwa pemeriksaan EKG lebih sering digunakan dibanding pemeriksaan ekokardiografi terhadap pasien gagal jantung.

5.1.2.4. Riwayat Hipertensi

Riwayat hipertensi sampel dilihat dari riwayat penyakit sampel dan/ atau dari hasil beberapa kali pengukuran tekanan darahnya yang tertulis dalam rekam medisnya.


(51)

Tabel 5.5. Distribusi Frekuensi Riwayat Hipertensi Sampel

Riwayat Hipertensi Jumlah (orang) % Frekuensi Ada 64 75,3 Tidak ada 21 24,7 Jumlah 85 100

Dari tabel 5.5 dijumpai sebanyak 64 (75,3%) orang dari 85 orang mempunyai riwayat hipertensi dan hanya 21 (24,7%) orang yang tidak mempunyai riwayat hipertensi.

5.1.2.5. Kejadian Hipertrofi Vntrikel Kiri

Tabel 5.6. Distribusi Frekuensi Kejadian Hipertrofi Ventrikel Kiri pada Sampel

Hipertrofi Ventrikel Kiri Jumlah (orang) % Frekuensi Positif 43 50,6 Negatif 42 49,4 Jumlah 85 100

Berdasarkan tabel 5.6 di atas, dari semua pasien gagal jantung (85 orang) yang menunjukkan kejadian HVK ada 43 (50,6%) orang dan sisanya yaitu 42 (49,4%) orang tidak mengalami hipertrofi ventrikel kiri.


(52)

5.1.3. Analisa Statistik Hubungan Kejadian Hipertrofi Ventrikel Kiri dengan Riwayat Hipertensi

Tabel 5.7. Tabulasi Silang Kejadian Hipertrofi Ventrikel kiri dengan Riwayat Hipertensi pada Sampel

Tabulasi silang kejadian hipertrofi ventrikel kiri dengan riwayat hipertensi pada tabel 5.6 di atas menunjukkan bahwa semua sampel yang positif hipertrofi ventrikel kiri (43 orang) memiliki riwayat hipertensi.

Dari hasil analisis hubungan variabel kejadian hipertrofi ventrikel kiri dengan riwayat hipertensi melalui uji chi-square dengan CI (Confidence Interval) 90% diperoleh p value/ nilai signifikansi adalah 0,0001 (p = 0,0001 < p = 0,1). Hal ini menunjukkan bahwa Ho ditolak, yang berarti ada hubungan yang bermakna secara statistik diantara kedua variabel tersebut yaitu ada hubungan antara kejadian hipertrofi ventrikel kiri dengan riwayat hipertensi pada pasien gagal jantung kongestif.

5.2. Pembahasan

5.2.1. Karakterisrik Sampel

Hasil penelitian terhadap karakteristik sampel berdasarkan jenis kelamin sesuai tabel 5.1 terlihat bahwa kelompok sampel terbanyak adalah yang berjenis kelamin

laki-Kejadian HVK Total

Positif Negatif Riwayat

Hipertensi

Ada 43 21 64 Tidak Ada 0 21 21 Total 43 42 85


(53)

laki, yaitu sebanyak 50 (58,8%) orang sedangkan yang berjenis kelamin perempuan hanya 35 (41,2%) orang. Dalam beberapa penelitian insiden gagal jantung per 1000 populasi per tahunnya, yaitu penelitian yang dilakukan Cowie et al. (1995 – 1996) di London, Framingham (1950 – 1999) di USA, dan Rochester (1979 – 2000) di USA dalam Cowie (2008), gagal jantung selalu dijumpai lebih banyak pada laki- laki dibanding perempuan disetiap tingkat usia. Hal ini juga didukung oleh data EURO-

HF Survey tahun 2000 – 2001, bahwa 53% dari pasien gagal jantung yang di rumah

sakit adalah laki- laki (Cowie, 2008).

Hasil penelitian terhadap karakteristik sampel berdasarkan kelompok umur sesuai dengan tabel 5.2, ternyata sampel terbanyak berada pada kelompok umur 45 – 59 tahun, yaitu 48 orang yang terdiri dari 3 kelompok yaitu usia 45 – 49 tahun, 50 – 54 tahun, dan 55 – 59 tahun dengan masing-masing berjumlah 16 (18,8%) orang dan sisanya 37 orang berusia diatas 60 tahun atau lansia karena berdasarkan Undang-Undang No. 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia, yang dimaksud dengan lanjut usia adalah penduduk yang telah mencapai usia 60 tahun keatas. Dari tabel juga dapat kita lihat bahwa jumlah sampel semakin sedikit seiring pertambahan usia lansia yaitu: 12 (14,1%) orang berusia 60 – 64 tahun; 10 (11,8%) orang berusia 65 – 69 tahun; 7 (8,2%) orang pada usia 70 – 74 tahun; 6 (7,1%) orang pada usia 75 – 79 tahun; dan hanya 2 (2,4%) orang yang berusia 80 tahun keatas. Hasil penelitian ini berbeda dengan teori bahwa prevalensi gagal jantung meningkat seiring dengan bertambahnya usia: 0,7 % pada usia 45 – 54 tahun;1,3 % pada usia 55 – 64 tahun; 1,5 % pada usia 65 – 74 tahun; dan 8,4% pada usia 75 tahun ke atas (Cowie, 2008). Hal ini berkaitan dengan usia harapan hidup yang berbeda antara negara maju dengan negara berkembang dalam hal ini Indonesia sementara data epidemiologi dan prevalensi terutama berasal dari negara maju. Menurut Laksono (2009), insiden penyakit gagal jantung makin meningkat sejalan dengan meningkatnya usia harapan hidup penduduk. Berdasarkan Badan Pusat Statistik (2008), Angka Harapan Hidup (AHH) adalah perkiraan banyak tahun yang dapat ditempuh oleh seseorang selama


(54)

hidup (secara rata-rata). Dari pertengahan tahun 1997 sampai tahun 1999, AHH Indonesia mengalami peningkatan sebesar 1,8 tahun menjadi 66,2 tahun. Namun pada tahun 2002 AHH tidak menunjukkan peningkatan dan baru tiga tahun kemudian yaitu pada tahun 2005 mulai meningkat menjadi 68,1 tahun. Selanjutnya selama dua tahun berturut-turut AHH Indonesia naik menjadi 68,5 pada tahun 2006 dan 68,7 pada tahun 2007 dengan angka 68,4 tahun di provinsi Sumatera Utara (BPS, 2008). Dan berdasarkan data dari ASEAN (2007) dalam Badan Pusat Statistik (2008), AHH Indonesia masih tertinggal dari negara ASEAN lainnya seperti Malaysia, Filipina, dan Thailand apalagi jika dibanding dengan negara-negara maju.

Usia harapan hidup di negara maju seperti Eropa dan Amerika jauh lebih tinggi daripada Indonesia, tercatat pada tahun 2000 saja usia harapan hidup di negara- negara Eropa berkisar 72 tahun dan di US sekitar 70 tahun, bahkan di Jepang yang menduduki peringkat teratas, berada pada usia 74,5 tahun (WHO, 2000) yang tentunya sekarang sudah jauh meningkat. Usia harapan hidup yang tinggi di negara-negara maju ini menyebabkan populasi lansianya juga tinggi sehingga lebih banyak dijumpai penderita gagal jantung hidup pada usia lanjut di negara maju dibanding negara berkembang seperti Indonesia.

5.2.2. Etiologi Gagal Jantung Kongestif

Dari hasil penelitian berdasarkan tabel 5.3, gagal jantung kongestif dijumpai paling banyak pada pasien yang menderita HHD & CAD yaitu 32 (37%) orang, kemudian sebanyak 25 (29,4%) orang penderita HHD tanpa CAD, dan 22 (25,9%) orang penderita CAD tanpa HHD serta hanya 6 (7,1%) orang yang bukan penderita CAD dan HHD. Keenam orang ini, 4 diantaranya penderita penyakit katup jantung, 1 orang kardiomiopati dilatasi, dan 1 orang CPC (Cardio Pulmonary Chronic). Di Eropa dan Amerika, gagal jantung karena disfungsi miokard lebih sering terjadi akibat penyakit jantung koroner, disusul hipertensi dan diabetes. Sedang di Indonesia belum ada data yang pasti, sementara data rumah sakit di Palembang


(55)

menunjukkan hipertensi sebagai penyebab terbanyak, disusul penyakit jantung koroner dan katup (Ghanie, 2007).

Hal ini sesuai dengan hasil penelitian bahwa gagal jantung disebabkan paling banyak oleh HHD, disusul CAD meski dengan perbedaan yang kecil, dan dengan angka sedikit penyakit katup jantung (4 orang). Hal mencolok yang terlihat adalah sebanyak 32 (37%) orang pasien gagal jantung mengalami HHD dan CAD. Hal ini mengindikasikan adanya hubungan antara HHD dengan CAD. Penyakit jantung akibat insufisiensi aliran darah koroner dapat dibagi menjadi 3 jenis yang hampir serupa: penyakit jantung arteriosklerotik, angina pektoris, dan infark miokardium yang ketiganya ini dapat dipicu oleh hipertensi. Peningkatan tekanan darah sistemik pada hipertensi akan menimbulkan peningkatan resistensi terhadap pemompaan darah dari ventrikel kiri, sehingga beban kerja jantung bertambah, akibatnya terjadi hipertrofi ventrikel kiri untuk meningkatkan kekuatan kontraksi. Kemampuan ventrikel untuk mempertahankan curah jantung dengan hipertrofi kompensasi dapat terlampaui sehingga kebutuhan oksigen yang melebihi kapasitas suplai pembuluh koroner ini menyebabkan iskemia miokardium dan dimulailah CAD. Dan tekanan darah yang tinggi secara kronis juga dapat menimbulkan gaya regang atau potong yang merobek lapisan endotel arteri dan arteriol. Gaya regang terutama timbul di tempat-tempat arteri bercabang atau membelok: khas untuk arteri koroner, aorta, dan arteri-arteri serebrum. Dengan robeknya lapisan endotel, timbul kerusakan berulang sehingga terjadi siklus peradangan, penimbunan sel darah putih dan trombosit, serta pembentukan bekuan berupa plak atreosklerosis. Setiap trombus yang terbentuk dapat terlepas dari arteri sehingga menjadi embolus di bagian hilir yang bermanifestasi sebagai infark miokardium (Santoso, 2005). HHD sendiri bisa langsung menyebabkan gagal jantung tanpa memicu CAD karena penurunan kekuatan kontraksi akibat miokardium yang terlalu teregang, seperti yang djumpai pada penelitian, 25 (29,4%) orang adalah penderita HHD tanpa CAD. Sedangkan


(56)

gagal jantung yang murni disebabkan CAD tanpa HHD dijumpai pada 22 (25,9%) orang.

Jadi, dari hasil penelitian ini dapat dilihat meski CAD memegang peranan penting dalam etiologi gagal jantung, keberadaan hipertensi terutama di negara berkembang seperti Indonesia tetap berhubungan erat dengan kejadian gagal jantung sesuai dengan pendapat Cowie (2008), bahwa hipertensi berhubungan dengan peningkatan risiko gagal jantung meskipun risiko relatifnya lebih rendah dibanding infark miokardium (CAD) namun karena prevalensi hipertensi lebih tinggi daripada infark miokardium, proporsi kejadian gagal jantung pada masyarakat yang dihubungkan dengan hipertensi lebih tinggi. Dan juga perlu disadari bahwa hipertensi sebagai penyebab gagal jantung seringkali tidak dikenali, sebagian karena ketika gagal jantung berkembang, disfungsi ventrikel kiri yang terjadi tidak bisa menunjukkan adanya tekanan darah tinggi, sehingga etiologi gagal jantung menjadi tidak jelas (Riaz, 2010).

5.2.3. Jenis Pemeriksaan Hipertrofi Ventrikel Kiri

Dapat dilihat pada tabel 5.3 bahwa sebanyak 31 (36,5%) orang pasien gagal jantung positif mengalami hipertrofi ventrikel kiri yang didiagnosa dengan EKG, ekokardiografi, dan foto toraks. Sedangkan melalui EKG dan foto toraks, didapati positif hipertrofi ventrikel kiri sebanyak 29 (34,1%) orang dan sebanyak 14 (16,5%) orang hanya melalui pemeriksaan EKG saja. Sementara dengan menggunakan ekokardiografi & EKG sebanyak 7 (8,2%) orang dan dengan ekokardiografi & foto toraks hanya 4 (4,7%) orang. Di sini terlihat bahwa di RSUP H. Adam Malik, diagnosa hipertrofi ventrikel kiri banyak ditegakkan dengan pemeriksaan EKG. Padahal meskipun pemeriksaan dengan EKG lebih sensitif daripada foto toraks, dalam menentukan diagnosa hipertrofi ventrikel kiri, ekokardiografi merupakan pemeriksaan baku emas (Efendi, 2003). Hal ini terbukti dalam data Framingham


(1)

5 = EKG saja

* Riwayat Hipertensi 1 = ada riwayat hipertensi 2 = tidak ada riwayat hipertensi

* Kejadian HVK 1 = positif 2 = negatif


(2)

A. Distribusi Karakteristik Sampel

Statistics

Jenis Kelamin

N Valid 85

Missing 0

Jenis Kelamin

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid laki-laki 50 58.8 58.8 58.8

perempuan 35 41.2 41.2 100.0

Total 85 100.0 100.0

Statistics

Usia

N Valid 85

Missing 0

Usia

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid 45-49 tahun 16 18.8 18.8 18.8

50-54 tahun 16 18.8 18.8 37.6

55-59 tahun 16 18.8 18.8 56.5

60-64 tahun 12 14.1 14.1 70.6

65-69 tahun 10 11.8 11.8 82.4

70-74 tahun 7 8.2 8.2 90.6

75-79 tahun 6 7.1 7.1 97.6

80-84 tahun 2 2.4 2.4 100.0


(3)

B. Distribusi Etiologi Gagal Jantung Kongestif

Statistics

Etiologi Gagal Jantung Kongestif

N Valid 85

Missing 0

Etiologi Gagal Jantung Kongestif

Frequency Percent

Valid Percent

Cumulative Percent Valid HHD dg atau tanpa peny.lain

selain CAD

25 29.4 29.4 29.4

HHD dan CAD dg atau tanpa peny.lain

32 37.6 37.6 67.1

CAD dg atau tanpa peny.lain selain HHD

22 25.9 25.9 92.9

penyakit lain selain HHD dan CAD

6 7.1 7.1 100.0

Total 85 100.0 100.0

C. Distribusi Jenis Pemeriksaan HVK Statistics

Jenis Pemeriksaan

N Valid 85


(4)

Jenis Pemeriksaan

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent Valid EKG,ekokardiografi,dan

Foto toraks

31 36.5 36.5 36.5

EKG dan foto toraks 29 34.1 34.1 70.6

Ekokardiografi dan foto toraks

4 4.7 4.7 75.3

EKG dan ekokardiografi 7 8.2 8.2 83.5

EKG saja 14 16.5 16.5 100.0

Total 85 100.0 100.0

D. Distribusi Riwayat Hipertensi

Statistics

Riwayat Hipertensi

N Valid 85

Missi ng

0

Riwayat Hipertensi

Frequency Percent

Valid Percent

Cumulative Percent

Valid ada 64 75.3 75.3 75.3

tidak ada

21 24.7 24.7 100.0

Total 85 100.0 100.0

E. Distribusi Kejadian HVK

Statistics


(5)

Kejadian HVK

Frequency Percent

Valid Percent

Cumulative Percent

Valid positif 43 50.6 50.6 50.6

negati f

42 49.4 49.4 100.0

Total 85 100.0 100.0

F. Tabulasi Silang

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent RiwayatHT *

LVH

85 100.0% 0 .0% 85 100.0%

Riwayat HT * HVK Crosstabulation Count

HVK

Total positif negatif

Riwayat HT

ada Count 43 21 64

% within HVK

100.0% 50.0% 75.3%

tidak ada Count 0 21 21

% within HVK

.0% 50.0% 24.7%

Total

Count 43 42 85

% within HVK


(6)

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig.

(2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided) Pearson Chi-Square 28.555

a

1 .000

Continuity Correctionb 25.930 1 .000

Likelihood Ratio 36.819 1 .000

Fisher's Exact Test .000 .000

Linear-by-Linear Association

28.219 1 .000

N of Valid Cases 85

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 10.38.