Pengertian Perceraian PERCERAIAN DAN TATA CARANYA

BAB II PERCERAIAN DAN TATA CARANYA

B. Pengertian Perceraian

Suatu perkawinan dapat putus dan berakhir karena beberapa hal, yaitu karena terjadinya talak yang dijatuhkan oleh suami terhadap istrinya atau karena perceraian yang terjadi antara keduanya. Hal-hal yang menyebabkan putusnya perkawinan tersebut akan dibahas menurut hukum Islam dan hukum positif serta tata caranya pada bab ini. Dalam Islam perceraian biasa disebut dengan talak. Dan dalam bab ini penulis akan memaparkan beberapa pengertian dari talak. Kata talak berasal dari bahasa arab “ Ithlaq ” yang berarti “ melepaskan “ atau meninggalkan. Dalam istilah fiqih berarti melepaskan ikatan perkawinan, yakni perceraian antara suami istri 13 , talak merupakan peceraian yang timbul karena sebab-sebab dari pihak suami. 14 Sedangkan talak menurut istilah syara’ yaitu: ر ﺔ ﺰ ا و ج و إ ﻬ ءﺎ ا ﺔ ﺰ ا و ﺟ ﺔ Artinya : “Melepaskan tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami istri “. 15 Talak menurut beberapa ahli fiqih: 1. Al-Jaziry mendefinisikan talak sebagai berikut : ا ق إ ز ا ﺔ ا ﺎﻜ ح أ و نﺎ ﺔ ﺨ ﻮ ص 13 Muhammad Baghir Al Habsyi, Fiqih Praktis Menurut Al Qur’an, As Sunnah da Pendapat para Ulama, Bandung; Mizan, 2002, Cet. 2, h. 81 14 Djamil Latif, Aneka Hukum Perceraian di Indonesia, Jakarta: Ghalia Indah, 1985, Cet. 2, h. 35 15 Abdurrahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, Bogor: Prenada Media, 2003, Cet. 1, h. 192 “ Talak ialah menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi pelepasan ikatannya dengan menggunakan kata-kata tertentu”. 2. Menurut Abu Zakaria Al- Anshori talak ialah : ﺪ ا ﻜ حﺎ ا ق و ﻮ “ Melepas tali akad nikah dengan kata talak dan yang semacamnya “ 16 3. Menurut Mazhab Hanafi dan Hambali yaitu sebagai pelepasan ikatan perkawinan secara langsung atau pelepasan ikatan perkawinan dimasa yang akan datang. 4. Menurut Mazhab Syafi’I talak adalah pelepasan akad nikah dengan lafal talak atau yang semakna dengan lapal itu. 5. Menurut Mazhab Maliki talak adalah sebagai suatu sifat hukum yang menyebabkan gugurnya kehalalan hubungan suami istri. 17 Setelah dipaparkan beberapa talak diatas dapat diambil kesimpulan, bahwa talak adalah menghilangkan ikatan perkawinan sehingga setelah hilangnya ikatan perkawinan itu istri tidak lagi halal bagi suaminya, dan ini terjadi dalam talak Bai’in, sedangkan arti mengurangi pelepasasn perkawinan adalah berkurangnya jumlah talak yang menjadi hak suami dari tiga menjadi dua, dari dua menjadi satu dan dari satu menjadi hilang hak talak itu, yaitu terjadi pada talak Raj’i. Dalam Islam suatu perceraian atau talak adalah perbuatan yang halal tetapi sesungguhnya perbuatan itu dibenci oleh Allah SWT, Rasulullah SAW bersabda: 16 Ibid, h. 192 17 Dewan Redaksi Ensklopedi Islam, “Nikah”, Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoenev, 1994, Cet. 2, Jilid 4, h. 3 لﺎ ﺎ ﻬ ﷲا ر ﺮ ا : ﷲا ﷲا لﻮ ر لﺎ و : ﻐ أ ا ا ﷲا إ ل ق ﺟﺎ ا و دواد ﻮ أ اور , آﺎ ا و , ﺎ ﻮ أ ﺟرو ﺔ رإ 18 Artinya: “Perbuatan halal yang sangat dibenci Allah adalah talak” Seperti diketahui bahwa ikatan pernikahan merupakan ikatan yang suci dan kuat, serta mempunyai tujuan antara lain persatuan bukan perpisahan. Diperbolehkanya talak hanyalah dalam keadaan tertentu saja apabila tidak ada jalan lain yang lebih baik selain talak, namun akan berbahaya bila talak dibebaskan begitu saja, oleh karena itu Islam mengatur masalah talak, seseuai denga konsep pokok sebagai berikut : 1. Talak tetap ada di tangan suami sebab suami mempunyai sikap rasional sedangkan istri bersikap emosional. 2. Talak dijatuhkan oleh suami atau pihak lain atas nama suami, seperti Pengadilan Agama. 3. Istri berhak mengajukan talak kepada suami dengan alasan tertentu lewat Qadi. 4. Talak bisa kembali lagi antara suami istri sesuai dengan ketentuan agama. 5. Bagi mantan istri ada masa iddah dan memiliki hak menerima mut’ah dan nafkah dari mantan suami. 19 Sebagaimana pernikahan yang mempunyai syarat dan rukun nikah, maka talak pun memiliki syarat dan rukun talak. Rukun talak ada tiga yaitu: 18 Abi Abdillah Muhammad bin Yazid al-Qhudzaini, Sunan Ibnu Majah, Beirut, Dar al-Fikr, tth, Juz I, h. 650 19 Slamet Abidin, Fiqih Munakahat, Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999, Cet. 1, h. 16 1. Suami yang mentalak 2. Istri yang ditalak 3. Ucapan yang digunakan untuk mentalak, adapun ucapan talak itu ada dua macam: a. Ucapan sharih yaitu ucapan yang tegas maksudnya untuk mentalak. Talak itu jatuh jika seseorang telah mengucapkan dengan sengja walaupun hatinya tidak berniat mentalak istrinya. b. Ucapan kinayah, yaitu ucapan yang tidak jelas maksudnya, mungkin ucapan itu maksudnya talak lain. Ucapan talak kinayah memerlukan adanya niat, artinya jika ucapan talak itu dengan niat syah talaknya dan jika tidak disertai dengan niat maka talaknyabelum jatuh. Ucapan kinayah antara lain misalnya : 1 Pulanglah engkau kepada Ibu Bapakmu 2 Kawinlah engkau dengan orang lain 3 Saya sudah tidak hajat lagi denganmu. Sabda Rasulullah SAW: لﺎ ﷲا ر ةﺮ ﺮه ﻰ أ : ر لﺎ ﷲا لﻮ و ﷲا : ﺛ ث ﱞﺪﺟ ﻬ ﺰه و ﱞﺪﺟ ه ﱞﺪﺟ : ا ﺔ ﺟﺮ او ق ا و حﺎﻜ ﻰﺋﺎ ا إ ﺔ رﻷا اور آﺎ ا و 20 Sedangkan syarat-syarat talak yaitu: 20 Muhammad Rifa’I, Fiqih Islam Lengkap, Kuala Lumpur: Pusaka Jiwa SDN. BHD., 1996, Cet. 1, h. 484 1. Untuk sahnya talak, suami yang menjatuhkan talak disyaratkan: a. Berakal; suami yang gila dalam arti hilang akal atau rusak akal karena sakit tidak jatuh talak. b. Baligh; tidak dipandang jatuh talak yang dinyatakan oleh orang yang belum dewasa. c. Atas kemauan sendiri; yang dimakud atas kemauan sendiri disini adalah adanya kehendak pada diri sendiri suami untuk menjatuhkan talak itu dan dijatuhkan atas pilihan sendiri, bukan dipaksa orang lain. 2. Untuk sahnya talak bagi istri yang ditalak disyaratkan sebagai berikut: a. Istri itu masih tetap berada dalam perlindungan kekuasaan suami. b. Kedudukan istri yang ditalak itu harus berdasarkan atas akad perkawinan yang sah. 3. Untuk sahnya sighat talak harus berdasarkan dengan apa yang telah dijelaskan di atas, yakni kinayah dan sharih. Qashdu sengaja, artinya bahwa dengan ucapan talak itu memang dimaksudkan oleh yang mengucapkannya untuk talak, bukan untuk maksud lain. 21 Setidaknya ada empat kemungkinan yang terjadi dalam keluarga yang dapat memicu timbulnya keinginan untuk memutus atau terputusnya perkawinan, a. Terjadi Nusyuz dari pihak suami b. Terjadi Nusyuz dari pihak istri c. Terjadinya perselisihan atau percekcokan antara suami istri 21 Abdurrahman Ghazaly, Op Cit, h. 204 d. Terjadinya salah satu pihak melakukan zina, yang menimbulkan saling tuduh menuduh antara keduanya. Di dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata Burgerlijk Wetbooek putusnya perkawinan dipakai istilah “pembubaran perkawinan” ont binding des huweliks. 22 yang diatur dalam bab X dengan tiga bagian, yaitu tentang pembubaran perkawinan pada umumnya pasal 199, tentang pembubaran perkawianan setelah pisah meja dan ranjang pasal 200-2006 b, tentang perceraian perkawinan pasal 207-232 a, dan yang tidak dikenal dalam hukum adat atau hukum agama Islam walaupun kenyataannya juga terjadi, ialah bab XI tetang pisah meja dan ranjang pasal 233-249. Disini penulis hanya akan menjelaskan tentang perceraian perkawinan. Perceraian menurut Subekti, Perceraia adalah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu. 23 Menurut ketentuan pasal 39 ditegaskan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Selain dalam hukum perdata BW masalah perceraian juga diatur dalam Kompilasi Hukum Islam dan Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Di bidang perkawinan buku 1, Kompilasi Hukum Islam dalam berbagai hal rujuk kepada pendapat fuqaha yang sangat dikenal dikalangan ulama dan masyarakat Islam Indonesia. Hal itu menunjukan bahwa Kompilasi Hukum Islam menjadi pelaksana bagi 22 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia; menurut Perundangan, Hukum Adat dan Hukum Agama, Bandung: Mandar Maju, 1990, Cet. 1, h. 160 23 Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa, 2001, Cet. 29, h. 42 peraturan perundang-undangan, terutama yang berkenaan dengan keberlakuan hukum Islam bagi orang Islam di bidang perkawinan sebagaimana di atur dalam ketentuan pasal 2 ayat 1 Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 24 Menurut Kompilasi Hukum Islam, cerai talak adalah ikrar suami dihadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan dengan cara sebagaimana dimaksud dalam pasal 129, 130, 131 11 sesuai dengan pasal 117 KHI. 25 Kompilasi Hukum Islam pasal 116 merumuskan alasan-alasan perceraian menjadi beberapa bagian, perceraian dapat terjadi karena alasan-alasan : a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan. Secara umum zina bagi orang yang terikat perkawinan ialah hubungan kelamin yang dilakukan oleh suami atau istri dengan seseorang yang berlainan sex. Hal lain yang dapat dijadikan alasan perceraian, salah satu menjadi pemabuk, pemadat, penjudi atau kebiasaan lainnya yang tidak bisa disembuhkan. Sebab, semua kebiasaan itu selain melanggar larangan agama juga merugikan diri sendiri, keluarga dan masyarakat. Hingga bila suami atau istri ada yang memiliki kebiasaan tersebut, kemudian salah satu pihak menggugat maka pengadilan dapat mengabulkannya. 24 Cik Hasan Bisri, Kompilasi Hukum Islam dan Pengadilan Agama dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu 1999, Cet. 2, h. 12 25 Abdul Manan, M. Fauzan, Pokok-pokok Hukum Perdata Wewenang Pengadilan Agama, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002, Cet. 5, h. 28 b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya Jadi bila suami meninggalkan istri atau istri meninggalkan suami selama dua tahun tanpa izin dan alasan yang sah maka bisa dijadikan alasan perceraian. Meninggalkan pihak lain, setidaknya harus memenuhi kriteria berikut ini : 1. Tindakan Meningggalkan pihak lain sebagai kesadaran kehendak bebas Willfully deseri and absens 2. Bukan karena ada suatu sebab memaksa yang tak dapat dielakkan, seperti suami atas peritah jabatan dipindahkan ketempat lain. 3. Tindakan disersi tersebut tanpa ada izin dan persetujuan pihak lain. 4. Perbuatan tersebut harus berturut-turut untuk waktu minimal dua tahun. 26 c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih beratsetelah perkawinan berlangsug. Dari rumusan tersebut dipahami baik suami maupun istri dapat menuntut perceraian jika salah satu pihak mendapat hukuman badan life imprisontment, namun hal itu baru merupakan alasan, bila hukuman badan tersebut dijatuhkan setelah terjadi perkawinan. Permasalahan alasan ini sangat sederhana, dan penerapannya tidak memerlukan penafsiran. Artinya, dalam pasal 23 Peraturan Pemerintah No 91975 tentang Pencatatan Perkawinan jo. Pasal 74 Undang-undang No 7 Tahun 26 Ibid, h. 140 1989 tentang Pengadilan Agama yang diamandemen Undang-undang No 3 Tahun 2003 tentang Peradilan Agama menentukan bahwa “salinan” putusan pidana yang bersangkutan suami istri Langsung dianggap mempunyai kekuatan pembuktian “yang menentukan” beslisende bewijskracht atau mempunyai kekuatan pembuktian yang “memaksa” dwirgend bewijskracht. 27 d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain. Dalam hal ini M. Yahya Harahap memberikan penafsiran bahwa kekejaman tidak hanya bersifat fisik, tapi bisa juga kekejaman terhadap mental, seperti penghinaan, penistaan, caci maki, selalu marah akibat cemburu yang berlebihan atau suami berlaku diktator, sering berkata kasar atau berkata kotor. Sebab kekejaman itu pada dasarnya sama dengan penderitaan batin yang dapat menghancurkan ketenangan jiwa pikiran yang berdampak membahayakan jasmani maupun rohani. 28 e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami istri. Maksud “cacat badan” atau “penyakit” disini ialah cacat jasmani atau rohani yang tidak dapat dihilangkan atau sekalipun dapat sembuh atau hilang tapi dalam waktu cukup lama, 29 sehingga dengan kondisi tersebut, dapat 27 M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Jakarta: Pustaka kartini, 1997, Cet. 3, h. 259 28 Ibid, h. 144 29 Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta: Bulan Bintang, 1974, Cet 1, h. 195 menghalangi salah satu pihak menjalankan kewajiban masing-masing sebagai suami istri. Selanjutnya dalam memeriksa perkara permohonan perceraian dan alasan cacat badan atau penyakit, apakah benar salah satu pihak suami atau istri mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajiban masing-masing, bisa dibuktikan lewat pemeriksaan diri ke dokter, yang akan dijadikan alat bukti di pengadilan. 30 Sesungguhnya, bukan fakta-fakta cacat atau penyakit yang harus dibuktikan. Hal ini ditekankan agar hakim tidak gampang mengabulkan perceraian atas alasan cacat atau sakit, akan tetapi tidak dianjurkan agar bersikap kaku. Barangkali secara kasuistik dapat dipegang pendapat yang dikemukakan Dr. Musythafa Al-Sibay yang dirangkumnya dari pendapat Ibnu Syikah Al- Zuhri, Syuraih dan Abu Tsaur yang antara lain dapat disadur, kalau penyakit itu sudah parah sehingga telah menghancurkan sendi-sendi kesejahteraan dan kehidupan rumah tangga dapat dibenarkan terjadinya perceraian. 31 f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan, pertengkaan dan tidak ada harapan akan rukun lagi dalam rumah tangga. Alasan ini menurut bahasa al qur’an disebut syiqoq. “syiqoqa” perceraian yang terjadi karena percekcokan terjadi terus menerus atara suami dengan istri sehingga 30 Undang-Undang Peradilan Agama, UU No. 7 Tahun 1989, Jakarta: Sinar Grafika, 1996, Cet. 1, h. 31 31 Musythafa As-Sibay, Wanita diantara Hukum dan Undang-undang, Jakarta: Bulan Bintang, Cet. 1, h. 204 memerlukan campur tangan dua orang hakim juru damai dari pihak suami atau istri. 32 Dalam penjelasan pasal 76 ayat 1 Undang-undang No 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dikatakan syiqoq adalah perselisihan yang tajam dan terus menerus antara suami istri. 33 Menurut Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, cerai talak adalah seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan istrinya mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk mengadakan sidnag guna penyaksian ikrar talak. Menurut hukum positif ; bahwa dalam setiap percerain yang terjadi harus mengajukan gugatan perceraiannnya ke Pengadilan Agama bagi warga negara yang beragama Islam dan ke Pengadilan Negeri bagi warga negara yang beragama non Muslim, sesuai dengan KUHPerdata pasal 207, “Tuntutan untuk perceraian perkawinan, harus diajukan kepada Pengadilan Negeri.

C. Hukum Perceraian