BAB III RESPON BEBAN ANGIN PADA
BANGUNAN TINGKAT TINGGI
III.1. Beban Angin
Selain beban gempa, permasalahan beban angin juga menjadi hal yang utama dalam perencanaan bangunan tingkat tinggi karena berpengaruh pada kekuatan bangunan dan juga
menyangkut masalah kenyamanan serviceability dari pengguna bangunan tersebut. Untuk memahami semua masalah angin dan memprediksi karakteristik angin secara
ilmiah mungkin merupakan suatu hal yang mustahil. Hal ini disebabkan oleh pengaruh beban angin pada bangunan yang bersifat dinamis dan dipengaruhi oleh beberapa faktor
lingkungan.
III.1.1. Kecepatan Angin
Karakter dinamis dari angin dapat dilihat pada gambar III.1. Kecepatan angin didapat dari ketinggian spesifik pada bangunan, dengan indikasi dari dua fenomena yaitu kecepatan
angin yang konstan dan kecepatan tekanan angin yang bervariasi. Alhasil, angin mempunyai dua komponen yaitu statis dan dinamis.
Secara umum, kecepatan angin terus bertambah seiring dengan pertambahan ketinggiannya, seperti yang ditunjukkan gambar III.2. Tingkat pertambahan kecepatan angin
ini merupakan faktor dari kekasaran tanah, yang awalnya diperlambat dari tanah hingga makin cepat sesuai pertambahan ketinggian. Semakin banyak halangan pada keadaan
sekeliling pohon, gedung, rumah, dsb, ketinggian yang diperlukan angin untuk mencapai kecepatan maksimum V max juga semakin besar.
Gambar III.1 – Karakteristik Kecepatan Angin
Gambar III.2 – Kecepatan Maksimum Angin
III.1.2. Beban Angin dalam Peraturan
Penelitian secara ekstensif terus dilakukan untuk mendapatkan prediksi dari aksi beban angin pada bangunan tingkat tinggi. Peraturan bangunan yang dipakai hanya
merupakan pendekatan statis yang membayang-bayangi aksi dinamis dari karakteristik beban angin. Nilai dari tekanan angin merupakan fungsi persamaan dari kecepatan angin tahunan
dalam satuan mph mile per hour, 30 kaki ft diatas permukaan tanah dengan masa waktu 50 tahun.
Average Actual
TIME
V max
V max
Menggunakan rumus dan metode dari referensi VI High-rise Builiding Structures by Wolfgang Schueller, tekanan angin yang dihasilkan oleh angin pada suatu bangunan tingkat
tinggi dapat dikalkulasi dengan rumus: p = 0.002558 C
D
V
2
III.1
dimana: p
= tekanan pada muka bangunan psf C
D
= koefisien bentuk V
= kecepatan maksimum mph
Koefisien bentuk C
D
bergantung kepada bentuk bangunan dan bentuk atap dari bangunan. Untuk bangunan tinggi berbentuk segi empat, nilai C
D
nya 1,3, yang merupakan penjumlahan dari efek tekanan angin 0,8 dan efek hisapan dari angin 0,5. Nilai dari tekanan
angin dapat diperoleh dari persamaan ketinggian bangunan. Dalam hal ini, rumus persamaan diberikan pada bangunan yang berada pada 30 ft 9,144 m di atas permukaan tanah dengan
kecepatan angin sebesar 75 mph 33,5 ms yang menghasilkan: p = 0.002558 1,3 75
2
≈ 18 psf
Sehingga menghasilkan kode bangunan untuk bangunan tinggi segi empat dengan kecepatan angin 75 mph 33,5 ms yang telah digambarkan dalam grafik sebagai berikut:
Gambar III.3 – Grafik Beban Angin Berdasarkan Ketinggian Bangunan
III.1.3. Arah Angin
Semua pergerakan bangunan merespon terhadap arah angin. Ketika sejumlah udara yang bergerak dalam arah tertentu bersentuhan dengan permukaan bangunan, sebuah
perputaran gaya akan ditimbulkan. Gaya inilah yang disebut tekanan angin. Tekanan angin ini dapat menjadi besar baik karena pertambahan kecepatan angin maupun pertambahan area
dimana angin semakin bekerja dengan leluasa. Beban angin yang besar pada lebih dari satu sisi bangunan dapat menyebabkan double
flexure pada bangunan Gambar III.4 b.
WIND LOAD ON WALL psf
10 20
30 40
2 5 4 0
60 100
200 3 00
400 500
3 4
33
32
30
2 8 24
2 1 18
1 5
Gambar III.4 a – Displacement Satu Arah
Gambar III.4 b – Double Flexure
Double flexure dapat berdampak positif ataupun negatif pada pergerakan bangunan. Displacement berbagai arah dapat menjadi lebih kecil dari yang seharusnya jika aliran udara
atau angin yang sama datang secara bersamaan pada bangunan hanya pada satu sisi saja. Design aerodinamis pada bangunan juga dapat mendukung untuk memperkecil
displacement pada double flexure. Tekanan angin terbesar selalu terjadi ketika arah angin tegak lurus dengan muka bangunan. Ketika aliran angin menubruk permukaan bangunan pada
bagian lain selain 90Δ, kebanyakan dari aliran angin tersebut mengalir ke arah yang lain dengan sendirinya.
D
WIND
WIND D2
D2
III.1.4. Turbulensi
Ketika sejumlah massa udara yang bergerak bertemu dengan objek-objek penghalang, seperti bangunan, maka respon yang ditimbulkan angin akan seperti fluida yang lain yaitu
bergerak ke tiap sisi kemudian bergabung kembali pada aliran yang utama. Kecepatan angin bertambah ketika massa udara yang lebih besar bergerak menuju area yang konstan pada
waktu yang bersamaan. Efek Venturi merupakan salah satu contoh aksi turbulensi angin. Turbulensi bekerja
ketika angin yang bergerak tersebut melewati spasi antara dua bangunan tingkat tinggi.
Gambar III.5 – Aliran Turbulen Angin
III.2. Perhitungan Beban Angin pada Bangunan Tingkat Tinggi
Perhitungan beban angin dapat menggunakan grafik pada gambar III.3. Hasil pembacaan grafik psf akan dikalikan dengan tinggi lantai yang bersangkutan ft serta dikali
dengan panjang bentang bangunan ft. Hasil dari beban angin akan diperhitungkan dalam satuan kips.
Momen perlawanan yang dihasilkan oleh berat bangunan itu sendiri adalah dengan menggunakan rumus:
WIND
III.2 dimana:
M
res
= momen perlawanan ft k W
DL
= beban mati kips D
= bentang lebar bangunan ft
Selain itu, perput aran momen yang terjadi dapat dihitung dengan rumus: III.3
dimana: M
rot
= perputaran momen ft k W
i
= beban angin pada ketinggian i kips h
i
= garis tengah ketinggian i ft
Sehingga dari kedua momen ini dapat diperoleh angka keamanan safety factor untuk mengatasi perputaran. Rumusnya adalah:
III.4 dimana:
SF = safety factor
M
res
= momen perlawanan ft k M
rot
= perputaran momen ft k
III.3. Perhitungan pada Bangunan Tingkat Tinggi III.3.1. Kekakuan
Berdasarkan referensi VII karya B. S. Taranath, nilai dari kekakuan K dapat diperoleh dari gaya p yang bekerja pada tiap kolom terluar dari bangunan dengan persamaan p = A E
L ; dimana = d 2, sehingga menghasilkan persamaan:
III.5 dan kontribusi persamaan III.5 ke dalam rumus kekakuan akan menjadi:
III.6 dimana:
K = nilai kekakuan
A = luas dari kolom
E = modulus elastisitas dari core
d = jarak dari kolom ke kolom
L = tinggi bangunan
III.3.2. Displacement
Untuk membandingkan hasil displacement pada model bangunan 40 lantai, akan dibagi perhitungan displacement dalam 5 kasus Gambar III.6. Lima contoh model
pemasangan outrigger pada bangunan 40 lantai adalah sebagai berikut: 1.
Model struktur tanpa outrigger. 2.
Model struktur dengan 1 outrigger pada lantai teratas. 3.
Model struktur dengan 1 outrigger pada ¾ dari ketinggian bangunan. 4.
Model struktur dengan 1 outrigger pada ½ dari ketinggian bangunan. 5.
Model struktur dengan 1 outrigger pada ¼ dari ketinggian bangunan.
Gambar III.6 – Permodelan dalam Penempatan Outrigger a
x = 0; b x = ¼ L; c x = ½ L; d x = ¾ L
Model struktur pertama dari analisis bangunan 40 lantai ini tanpa menggunakan outrigger. Displacement pada model struktur yang pertama dapat langsung ditentukan secara
analitis dengan menggunakan persamaan: III.7
dimana: ∆
= displacement pada lantai tertinggi mm W
= besar beban angin per ketinggian bangunan L
= tinggi bangunan E
= modulus elastisitas dari core I
= momen inersia dari core
Pada model struktur yang kedua, outrigger dipasang pada lantai tertinggi pada bangunan x = 0 atau Z = L yang menyebabkan lantai teratas lantai 40 menjadi lantai yang
kaku. Nilai x merupakan lokasi penempatan outrigger yang diukur dari puncak bangunan sedangkan nilai Z adalah ketinggian tempat outrigger dipasang yang diukur dari permukaan
tanah. Persamaan dari perputaran sudut yang terjadi akibat pemasangan outrigger dapat dituliskan dalam persamaan:
III.8 dimana:
= rotasi dari kantilever akibat beban angin secara lateral saat Z = L = rotasi dari kantilever akibat kekakuan
= rotasi final dari kantilever saat Z = L
Tanda negatif pada menunjukkan rotasi ataupun perputaran yang terjadi akibat kekakuan
berlawanan arah dengan rotasi atau perputaran akibat beban luar angin. Untuk kantilever bangunan tinggi dengan momen inersia I dan modulus elastisitas E dan mendapat beban
angin merata secara lateral W, maka: III.9
Jika M
2
dan K
2
mewakili momen dan kekakuan pada model struktur yang kedua yaitu pada saat outrigger ditempatkan pada puncak bangunan lantai 40 atau Z = L, maka persamaan
III.8 dapat diuraikan menjadi: III.10
Sehingga momen M
2
menjadi:
III.11
Displacement ∆
2
pada puncak bangunan dapat diperoleh dengan mensuperposisikan defleksi dari kantilever akibat beban angin merata W dan defleksi akibat momen pengaruh outrigger,
sehingga akan diperoleh:
Sehingga menjadi: III.12
Pada model struktur yang ketiga, outrigger dipasang pada lantai 30 pada bangunan yaitu pada posisi x = 0.25 L atau Z = 0.75 L. Defleksi lateral y yang ditimbulkan oleh beban
lateral yang merata adalah: III.13
Dengan mendiferensialkan y terhadap x, maka akan didapatkan persamaan untuk yaitu:
III.14
Substitusikan nilai x = ¼ L ke persamaan III.14 sehingga akan menghasilkan:
Dan hasilnya menjadi: III.15
M
3
dan K
3
mewakili momen dan kekakuan pada model struktur yang ketiga yaitu pada saat outrigger ditempatkan pada lantai 30 atau Z = ¾ L, maka persamaan III.8 dapat diuraikan
menjadi: III.16
Mengingat nilai K
3
= 4 K
2
3, maka persamaan M
3
dapat ditulis:
Sehingga M
3
akan menjadi:
III.17
Berdasarkan nilai M
2
pada persamaan III.11, maka persamaan III.17 dapat juga ditulis: III.18
Displacement ∆
3
pada saat Z = ¾ L dapat diperoleh dari persamaan:
Dan nilai ∆
3
dapat diperoleh dengan persamaan: III.19
Pada model struktur yang keempat, outrigger dipasang pada lantai 20 pada bangunan 40 lantai yaitu pada posisi x = 0.5 L atau Z = 0.5 L. Perputaran akibat beban merata W pada
Z = ½ L sama dengan 7 W L
3
48 E I, sehingga persamaan perputaran III.8 akan menjadi: III.20
M
4
dan K
4
mewakili momen dan kekakuan pada model struktur yang keempat yaitu pada saat outrigger ditempatkan pada pertengahan ketinggian gedung lantai 20 atau x = Z = ½ L.
Nilai kekakuan K
4
= 2 K
2
, maka persamaan M
4
III.20 dapat diuraikan menjadi:
III.21
Berdasarkan nilai M
2
pada persamaan III.11, maka persamaan III.21 dapat juga ditulis: III.22
Dan displacement ∆
4
pada saat Z = ½ L dapat diperoleh dari persamaan:
Akan menjadi: III.23
Pada model struktur yang terakhir dalam permodelan struktur 40 lantai ini, outrigger dipasang pada lantai 10 pada bangunan 40 lantai yaitu pada posisi x = 0.75 L atau Z = 0.25
L. Perputaran akibat beban luar merata W pada Z = ¼ L dideferensialkan dan sama dengan W L
3
6 E I 37 64, sehingga persamaan perputaran III.8 akan menjadi: III.24
M
5
dan K
5
mewakili persamaan momen dan kekakuan pada model struktur yang kelima yaitu pemasangan outrigger pada lantai 10 dari bangunan 40 lantai yaitu pada x = ¾ L atau Z = ¼
L. Nilai kekakuan dari K
5
= 4 K
2
, maka persamaan M
5
III.24 dapat diuraikan dan setelah diperhitungkan serta disubstitusi dengan nilai M
2
III.11 akan menjadi: III.25
Dan displacement ∆
5
pada saat x = ¾ L atau Z = ¼ L dapat diperoleh dari persamaan:
Akan menjadi: III.26
III.4. Lokasi Optimum Penempatan Single Outrigger pada Bangunan Tingkat Tinggi
Pada ilustrasi dan permodelan struktur bangunan 40 lantai sebelumnya diketahui bahwa mengikat kolom terluar dengan core merupakan fungsi dari dua buah karakteristik,
yaitu kekakuan yang diakibatkan oleh outrigger dan perputaran sudut yang terjadi akibat lokasi penempatan outrigger terhadap beban luar yang merata angin.
Kekakuan dari outrigger akan mencapai nilai minimum ketika ditempatkan pada lantai teratas, yakni pada lantai 40. Dan nilai kekakuan akan maksimum ketika ditempatkan
pada lantai yang lebih bawah, dalam permodelan ini adalah lantai 10. Sedangkan rotasi perputaran terjadi akibat dari beban angin yang bervariasi nilainya secara parabolik, dari yang
memiliki nilai maksimum di atas hingga mencapai nilai nol di bawah. Dengan demikian, dari sudut pandang kekakuan dan juga pertimbangan perputaran yang terjadi, lokasi outrigger
dapat ditentukan. Dan sangat jelas bahwa lokasi optimum dari penempatan outrigger truss adalah di sekitar bagian tengah dari ketinggian bangunan.
Dengan asumsi outrigger yang digunakan adalah sangat kaku, maka lokasi optimum dari penempatan outrigger dapat diperoleh dengan perhitungan kalkulus. Langkah pertama
adalah menggunakan persamaan untuk perputaran pada x, yang merupakan lokasi penempatan outrigger diukur dari puncak bangunan.
III.27
dimana: W
= besar beban angin M
x
= momen pada x K
x
= kekakuan outrigger pada x yang senilai dengan L
= tinggi bangunan E
= modulus elastisitas dari core I
= momen inersia dari core A
= luas dari kolom yang mengikat outrigger x
= lokasi dari outrigger yang diukur dari lantai teratas d
= jarak dari kolom ke kolom
Kemudian, nilai defleksi pada puncak bangunan dapat diperoleh dari nilai M
x
dengan persamaan:
III.28
Lokasi optimum dari penempatan outrigger adalah lokasi dimana defleksi Y
M
bernilai maksimum. Didapatkan dari cara mendiferensialkan persamaan III.28 terhadap x dan
hasilnya adalah nol.
III.29
Sehingga diperoleh: III.30
BAB IV ANALISIS DAN PERHITUNGAN
IV.1. Data Bangunan Tingkat Tinggi
Bangunan yang akan dianalisis adalah bangunan 40 lantai Gambar IV.1 dengan perincian data sebagai berikut:
Gambar IV.1 – Bangunan 40 Lantai
5 m 5 m
5 m
Ketinggian dari jalan hingga atap : 140 m Jumlah lantai
: 40 lantai Bangunan
: Beton Live load pada lantai
: 2.5 kPa 50 psf Kecepatan angin
: - 33.5 ms 75 mph - 50 tahun
Defleksi lateral maksimum : H500
Balok : - Beton
- Ukuran 50 x 50 cm Kolom
: - Beton - Ukuran 50 x 50 cm
- Jarak antar kolom 5 m - 84 MPa 12000 psi
Core : - Dinding beton dengan ketebalan 50 cm
- Ukuran 5 x 5 m - 84 MPa 12000 psi
Outrigger : - Profil baja
- Dipasang sesuai dengan permodelan