BAB III PERKEMBANGAN TENTANG PERKEBUNAN INTI RAKYAT
A. Pengertian Perkebunan Inti Rakyat
Perkebunan Inti Rakyat adalah suatu konsep pembangunan ideal hasil pemikiran para pemimpin bangsa yang berpandangan jauh ke depan berdasarkan
pandangan sektor pertanian subsektor perkebunan sebagai tulang punggung perekonomian nasional. Idealisme dasar konsep ini adalah menggabungkan
keunggulan perkebunan besar dengan ketangguhan perkebunan rakyat, dimana perkebunan besar sebagai unsur ekonomi berkembang bersama dengan
perkebunan rakyat sebagai sumber kesejahteraan nasional. PIR memang sudah menjadi bagian dari masa lalu, namun dengan
mempelajari konsepsi secara menyeluruh kita akan mendapatkan referensi dan pandangan tentang bagaimana sebaiknya pembangunan perkebunan
diselenggarakan dalam kerangka perekonomian nasional. Terlebih apabila dikaitkan dengan agenda besar pembangunan ekonomi
masa depan yang bertitik tolak kepada pemberdayaan usaha Mikro Kecil Menengah, PIR dapat menjadi salah satu acuan yang layak untuk disimak, dan
jika ingin mengetahui pengembangan perkebunan kelapa sawit di Indonesia, maka memahami konsepsi PIR adalah sesuatu yang bersifat wajib dan tidak dapat
dinafikan bahwasanya PIR merupakan langkah atau tonggak awal pengembangan perkebunan kelapa sawit.
Universitas Sumatera Utara
Lahirnya Perkebunan Inti Rakyat.
Konsep ekonomi sektor pertanian dengan perkebunan sebagai subsektornya sudah menjadi dasar pemikiran para pemimpin bangsa sejak awal
Indonesia merdeka. Cita cita itu membutuhkan waktu yang panjang dalam penerapan dikarenakan geliat kondisi perekonomian dan perpolitikan negara,
sehingga secara konkrit baru menjadi bagian dari perencanaan secara nasional pada tahun 1969 yang ditetapkan pada Garis Besar Haluan Negara.
Garis-garis Besar Haluan Negara GBHN yang memuat rencana jangka panjang 25 tahun pertama yang dituangkan dalam serangkaian Repelita, Repelita
I sampai V dimulai sejak 19691970 secara tegas menetapkan implementasi pelaksanaan yang diwujudkan dalam bentuk proyek pembangunan.
GBHN ini menggariskan bahwa setiap kebijakan dan program departemen dan semua lembaga harus berdasarkan amanah Trilogi Pembangunan yaitu :
pertumbuhan, pemerataan dan stabilitas nasional. Ada pendapat yang menyatakan bahwa Perkebunan inti rakyat merupakan
konsep Bank Dunia, yang mana pendapat tersebut perlu ditinjau secara bijaksana, karena konsep ini lebih merupakan pemikiran murni anak bangsa.
PIR adalah suatu sejarah panjang dalam dunia perkebunan di Indonesia, dan menjadi milestone didalam pola dasar pembangunan ekonomi pertanian
secara nasional sampai masa kini. Ide awal para pendahulu pemimpin bangsa ini lahir ketika mempelajari sejarah panjang pertanian secara umum dan perkebunan
khususnya yang dimulai dari zaman VOC, Cultuur Stelsel 1830 sampai dengan
Universitas Sumatera Utara
Agrarisch Wet 1870, terlihat bahwa pertanian menjadi tulang punggung perekonomian Hindia Belanda.
Pemerintah penjajahan mampu mendapatkan keuntungan ekonomis yang sangat besar dari hasil pertanian. Di zaman prakemerdekaan hasil pertanian
tersebut dikelola dengan pola kapitalis, sehingga hasil yang besar tersebut tidak dinikmati oleh rakyat hindia belanda karena peranannya yang sangat kecil
didalam rantai ekonomi perkebunan pada saat itu. Segera setelah Republik Indonesia berdiri secara defacto pada 1949, salah
satu tindakan ekonomi yang langsung dilaksanakan adalah dengan menasionalisasi perkebunan milik Negara Belanda pada tahun 1951 terbentuknya
Perusahaan Perkebunan Negara PPN Lama, nasionalisasi ini berlanjut lagi dengan kebijakan kebijakan lain dalam rangka mengatur konsepsi peran pertanian
secara umum dan perkebunan khususnya dalam kerangka konsep pembangunan nasional.
Tonggak berikutnya terjadi pada 10 Desember 1957, dimana dalam rangka
perjuangan mengembalikan Irian Barat kepangkuan RI, dilakukan pengambil alihan perkebunan milik swasta Belanda. Perkebunan Swasata Belanda ini
selanjutnya disebut dengan PPN Baru. PPN Lama dan PPN Baru kemudian digabung menjadi Badan Pimpinan Umum Perusahaan Perkebunan Negara BPU-
PPN. Dengan PP No. 142 sampai dengan 175 tahun 1961, seluruh perkebunan di
Indonesia dikelompokkan ulang menjadi 34 kesatuan unit, dan hal menjadi ini
Universitas Sumatera Utara
merupakan reorganisasi pertama dari serangkaian reorganiasi didalam pengelolaan BUMN perkebunan.
Tindak lanjut dari penggabungan itu adalah dibentuknya BPU-PPN Cabang. BPU-PPN Cabang ini bertugas melakukan konsolidasi, penataan, dan
penguatan sehingga berkemampuan untuk mendukung pembangunan perkebunan rakyat.
Hasil dari penggabungan dan konsolidasi tersebut dapat dilihat dari berkembangnya BUMN perkebunan sehingga memiliki unit-unit yang mampu
berperan strategis dalam mendukung pengembangan perkebunan. Unit-unit milik bersama BUMN tersebut antara lain adalah tumbuhnya Pusat-Pusat Lembaga
Penelitian untuk menjadi sumber paket teknologi, Kebun-Kebun Induk sebagai sumber bibit bermutu, dan Lembaga Pendidikan untuk pengembangan SDM.
Dalam rangka mendukung upaya pengembangan perkebunan rakyat, BUMN perkebunan juga mempunyai peran kunci sebagai perusahaan inti
pengembangan perkebunan pola PIR. Didalam sejarah perkembangan BUMN perkebunan, tidak dapat dilepaskan peran dari Direktorat Jenderal Perkebunan
sebagi pembina BUMN perkebunan ditingkat departemen.
Ditjen Perkebunan mempunyai sejarah yang panjang dalam proses kelahirannya. Diawali oleh Kabinet Dwikora, 27 Agustus 1964 - 25 Maret 1966,
untuk pertama kalinya dibentuk Departemen Perkebunan dengan ruang lingkup hanya Perkebunan Besar.
Universitas Sumatera Utara
Penyesuaian dilakukan pada kabinet Ampera, 25 Juli 1966 -17 Oktober 1967. Departemen Perkebunan membawahi Ditjen Perkebunan Negara dan Ditjen
Perkebunan Rakyat, tetapi belum mencakup perkebunan besar swasta. Baru pada tahun 1968, di bawah Departemen Pertanian dibentuk Ditjen Perkebunan yang
merupakan penggabungan lengkap dari Ditjen Perkebunan Negara dan Ditjen Perkebunan Rakyat serta ditambah dengan fungsi pembinaan dan pengawasan
terhadap perkebunan besar swasta. Dalam sejarah panjang perkebunan nasional, harus diakui bahwa peran
besar Direktur Jenderal Perkebunan saat itu sangatlah besar. Mayor Jenderal Purn A. Moeloek Loebis alm, sebagai Direktur Jenderal Perkebunan pertama
periode 1968-1976 yang juga masih merangkap sebagai ketua BKU PPN memiliki visi bahwa perkebunan rakyat harus dikembangkan sejajar dengan
perkebunan besar, dan menuangkannya dalam kerangka landasan untuk kesiapan langkah implementasinya.
Konsep awal tersebut kemudian dimantapkan dan disosialisasikan oleh Mayor Jenderal Purn R. Pang Suparto Direktur Jenderal Perkebunan periode
1976-1982 yang selanjutnya disempurnakan dan diutuhkan oleh Dr. Ir Rachmat Soebiapradja Direktur Jenderal Perkebunan periode 1982-1992.
Sebelum masa kemimpinan A Moeloek Loebis, peran Dirjen perkebunan lebih banyak sebagai administrator bagi perkebunan besar baik BUMN maupun
swasta, sedangkan BUMN perkebunan sendiri lebih banyak menjadi sumber eksploitasi bagi kepentingan ekonomi negara sehingga mengabaikan perannya
sebagai sumber kesejahteraan rakyat dengan mengabaikan investasi dan
Universitas Sumatera Utara
eksploitasi yang seharusnya dilaksanakan dalam pengelolaan perusahaan perkebunan.
Membaiknya situasi ekonomi Indonesia sejalan dengan perubahan peta politik membuka pula peluang untuk memulai lagi cita cita lama membangun
BUMN perkebunan yang kuat berbarengan dengan perkebunan rakyat. Sesuai dengan kondisi yang dihadapi pada waktu itu salah satu langkah
peletakan dasar yang ditempuh ialah pemanfaatan kredit bantuan luar negeri untuk subsektor perkebunan mulai tahun 1969. Dalam perkembangannya, tata cara
pemanfaatan kredit luar negeri tersebut telah diupayakan sebaik mungkin melalui suatu proses dari periode ke periode.
Proses tersebut berlangsung lewat serangkaian pengkajian dan pembahasan yang dilakukan bersama instansi terkait, sehingga dapat dicapai
kesepahaman pendekatan pelaksanaannya. Untuk pelaksanaan kegiatannya, diperlukan dukungan pembiayaan yang besar, apalagi pelaksanaannya dilakukan
secara simultan dibanyak lokasi. Mengingat pada waktu itu penyediaan kredit jangka panjang dalam negeri
belum tersedia, maka pendanaan dilakukan dengan bantuan kredit luar negeri. Sesuai dengan kondisi kemampuan keuangan tersebut, pengembangan pola PIR
diawali dengan seri proyek PIR Berbantuan yang kemudian dikenal dengan nama NES bantuan Bank Dunia, yang kemudian diikuti oleh Bank Pembangunan Asia
dan Bank Pembangunan Jerman. Persyaratan kredit Bank Dunia bersifat detail, teliti, ketat, mendikte, dan
cenderung menekan, utamanya terhadap isu-isu global yang sedang berkembang
Universitas Sumatera Utara
seperti pelestarian lingkungan hidup, konservasi dan kelayakan sosial. Persyaratan Bank Dunia tersebut, ternyata sangat bermanfaat dalam meletakkan dasar bagi
perjalanan pengembangan perkebunan kelapa sawit ke depan. Persyaratan yang dimaksud pada hakekatnya memperkenalkan penerapan kriteria layak secara
ekonomi, secara sosial dan ramah lingkungan yang merupakan unsur-unsur pokok konsep pembangunan berkelanjutan.
Pelaksanaan konsep PIR melibatkan perusahaan besar sebagai inti yang akan membina perkebunan rakyat sebagai plasma, dimana pada saat awal konsep
ini dijalankan perkebunan swasta masih dianggap belum terlalu kuat sehingga pilihan jatuh pada BUMN untuk mengembangkan pola PIR. Agar pembangunan
perkebunan pola PIR dapat dilaksanakan menurut standar teknis yang berlaku, fungsi Perusahaan Inti memegang peranan yang penting dan menentukan.
Persyaratan umum setiap rencana proyek bantuan Bank Dunia cukup ketat, detail dan teliti. Selain persyaratan kelayakan fisik dan teknis rencana proyek,
juga dikaji secara mendalam kemampuan teknis maupun kemampuan keuangan perusahaan inti, dimana untuk perusahaan inti yang dicalonkan sebagai bapak
angkat dikaji posisi dan proyeksi menyeluruh keuangannya. Analisa yang dilakukan meliputi penyediaan dana sendiri dan kemampuan mempertahankan
posisi keuangan yang sehat. Untuk hal tersebut kepada perusahaan yang dicalonkan sebagai bapak
angkat dilakukan proses penguatan, yang dapat dibagi dalam tiga tahapan sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
Tahapan Pertama 1969 - 1972. Memberikan bantuan Kredit Bank Dunia
kepada 7 PTP. Penguatan perusahaan tersebut nantinya menjadi bukti kesanggupan calon Perusahaan Inti dalam mengimplementasikan pola PIR.
Tahap Kedua mulai 1973.
Merintis prototype proyek pola UPP dan pola PIR yang dimulai dengan pembentukan Proyek Pengembangan Perkebunan Rakyat
Sumatera Utara P3RSU sebagai prototype pola UPPPMU Project Management Unit dan Proyek Pengembangan Teh Rakyat dan Perkebunan Swasta Nasional
P2TRSN sebagai prototype pola PIR.
Tahap Ketiga mulai 1977. Mengembangkan perkebunan dengan pola PIR.
Penandatanganan perjanjian pinjaman proyek NES I dilakukan pada tahun 1977 untuk pengembangan karet di Alue Ie Mirah Provinsi NAD dan
Tebenan di Provinsi Sumatera Selatan. Sedangkan proyek NES untuk
pengembangan perkebunan kelapa sawit baru dimulai sekitar awal tahun 80an, yaitu proyek NES IV Betung
. Pada setiap NES yang dibangun selalu ada komponen untuk memperkuat
PTP lainnya. Ini dilakukan sebagai persiapan untuk menjadikannya inti pada tahap pengembangan PIR selanjutnya.
Bantuan Bank Dunia di setiap rencana pengembangan proyeknya secara garis besar meliputi studi kelayakan, apraisal, dan negosiasi. Studi kelayakan
dilakukan oleh perusahaan konsultan internasional dengan tujuan meneliti dan
Universitas Sumatera Utara
mengkaji kelayakan dari aspek teknis, sosial, finansial, ekonomi, lingkungan, pemasaran, dan manajamen. Sedangkan apraisal merupakan kegiatan penilaian
yang mendalam oleh pihak lender untuk menilai dan mengkaji hasil studi kelayakan yang tujuan akhirnya untuk menentukan layak atau tidaknya calon
proyek pola PIR tersebut. Pada saat negosiasi, rencana perjanjian pinjaman calon bank pelaksana
sudah harus ditetapkan. Sejak awal pembangunan, subsektor perkebunan sudah diletakkan sebagai salah satu kekuatan andalan dalam pembangunan ekonomi
nasional. Hal tersebut terkait dengan ciri umum usaha perkebunan yang hasil produksinya merupakan bahan baku industri atau ekspor dan pengusahanannya
sebagian besar merupakan usaha perkebunan rakyat. Oleh sebab itu, keberhasilan subsektor perkebunan berarti keberhasilan juga dalam melaksanakan amanat
Trilogi Pembangunan. Pemilihan BUMN sebagai wahana pembangunan khususnya dalam
pengembangan PIR bukanlah tanpa alasan. Paling tidak dapat dilihat bahwa BUMN mempunyai peran historis dalam pembangunan perkebunan pada
umumnya. Ditinjau dari sejarah pembentukannya, BUMN terkait langsung dengan peristiwa pengakuan kedaulatan dan perjuangan perebutan Irian Barat
pada tanggai 10 Desember 1957
. Hal ini berarti bahwa kelahiran BUMN merupakan bagian dari proses
langkah patriotik perjuangan sejak revolusi fisik sampai dengan tercapainya keutuhan kedaulatan. Proses konsolidasi, penataan dan penguatan yang dimaksud
sangat penting artinya karena bila potensi peluang yang akan hilang kalau tidak
Universitas Sumatera Utara
dilakukan langkah konsolidasi atau bahkan yang dilakukan justru membagi menjadi unit kecil atau bahkan dilepaskan pemilikannya kepada pihak lain.
Sebagai sebuah perusahaan perkebunan besar, BUMN memiliki kemampuan menyediakan berbagai kemudahan dalam mendukung pengembangan
usaha perkebunan rakyat seperti : sumber benihbibit berbagai jenis komoditas utama perkebunan melalui kebun-kebun induk yang dimiliki, sebagai sumber
paket teknologi baik dari hasil Pusat Penelitian yang dimiliki maupun pengalaman praktek pengelolaan kebunnya, dan peningkatan keterampilan SDM melalui
Lembaga Pendidikan Perkebunan. Dengan demikian, BUMN berperan sangat strategis dalam mewarnai berlangsungnya kegiatan pengembangan perkebunan,
khususnya PIR. Melalui peran strategis dan kepioniran BUMN perkebunan, tercapai
keberhasilan pengembangan perkebunan PIR dan penyediaan berbagai akses kemudahan bagi kegiatan pengembangan usaha perkebunan rakyat sehingga
perkembangannya terus meningkat, jangkauannya semakin menyebar termasuk berhasil mengantarkan Indonesia menjadi negara produsen kelapa sawit terbesar
didunia sejak tahun 2006, dan sekitar 40 dari total luas areal merupakan usaha perkebunan rakyat.
Selanjutnya peran BUMN perkebunan selaku perusahaan inti menjadi contoh dan stimulan bagi perkebunan besar swasta untuk turut serta membangun
perkebunan di wilayah bukaan baru. Pada awal tahun 80an areal perkebunan kelapa sawit swasta hanya seluas 88 ribu Ha atau 30 dari total areal seluas 294
ribu Ha, namun kemudian pada tahun 2008 areal meningkat menjadi 2.903 ribu
Universitas Sumatera Utara
Ha atau 41 dari total areal perkebunan kelapa sawit seluas 7.020 ribu Ha. Sebaliknya areal perkebunan rakyat pada awal tahun 80’an masih nol 0 Ha, pada
tahun 2008 telah menjadi 3.178 ribu Ha atau 45 dari total areal perkebunan kelapa sawit sebesar 7.020 ribu Ha. Dengan demikian maka terdapat titik
hubungan nyata untuk menjadikan tanggai 10 Desember 1957 sebagai Hari Perkebunan yaitu harinya seluruh masyarakat perkebunan.
Perencanaan Pelaksanaan
Agar kegiatan pembangunan perkebunan dapat dilakukan secara simultan diberbagai tempat dan sesuai dengan persyaratan yang digariskan, maka ditempuh
pendekatan pola pengembangan perkebunan rakyat. Konsisten dengan pemikiran tersebut, maka pengembangan perkebunan
rakyat melalui PIR dipersiapkan untuk berbagai komoditi utama perkebunan. Penyebaran lokasi proyek PIR dikondisikan selain untuk kegiatan pengembangan,
sekaligus juga diproyeksikan untuk dapat berperan sebagai acuan kegiatan sejenis pada tahap-tahap pengembangan selanjutnya di sekitar masing-masing wilayah
proyek. Dengan pertimbangan bahwa pengembangan perkebunan akan dapat
mempersembahkan berbagai manfaat dalam pemecahan agenda besar masalah pembangunan nasional, maka secara seksama dipersiapkan langkah
pengembangan dalam skala besar dan sekaligus diharapkan menjadi landasan tahapan pengembangan berikutnya.
Untuk maksud tersebut pula, secara simultan disiapkan rencana proyek seri pola PIR dan pola UPP dengan sumber dana bantuan luar negeri.
Universitas Sumatera Utara
Pelaksanaan proyek PIR diawali dengan sumber dana bantuan Bank Dunia, yaitu proyek NES I sampai dengan NES VII.
Agar proyek PIR dapat segera ditingkatkan kemampuan jangkauan pelaksanaannya, maka kemudian disiapkan seri proyek pola PIR Swadana, yaitu
PIR Khusus dan PIR Lokal. Pola pendanaannya mengikuti pola perkreditan untuk proyek PRPTE Peremajaan, Rehabilitasi, Perluasan Tanaman Ekspor sesuai
Surat Menteri Keuangan 20 Maret 1979. Pola pembiayaan untuk fasilitas umum dan fasilitas sosial mengacu
kepada pembiayaan program Transmigrasi. Kerangka rumusan PIR Khusus dan PIR Lokal mengacu kepada PIR Berbantuan. Melalui pengembangan seri proyek
pola PIR semenjak awal tahun 80an secara simultan pengembangannya mencakup 12 Provinsi dengan pengklasifikasian sebagai berikut : Seri Proyek
Pola NES sebanyak 13 proyek untuk rencana pengembangan kebun plasma seluas 31.400 ha dan kebun inti 74.125 ha, seluruhnya berjumlah 105.605 Ha.
Seri Proyek Pola PIR Khusus sebanyak 10 proyek untuk rencana pengembangan kebun plasma seluas 27.774 Ha dan kebun inti seluas 57.000 Ha,
seluruhnya berjumlah 84.774 ha. Seri Proyek Pola PIR Lokal sebanyak 8 Proyek untuk rencana
pengembangan kebun plasma seluas 32.656 Ha kebun inti seluas 8.500 Ha sehingga seluruhnya seluas 41.456 Ha.
Total rencana seri proyek pola PIR berjumlah 31 proyek dengan rencana pengembangan kebun plasma seluas 163.781 Ha dan kebun inti seluas 67.754 Ha,
seluruhnya menjadi 231.535 Ha. Jumlah ini hampir menyamai luas areal
Universitas Sumatera Utara
perkebunan kelapa sawit yang sudah diusahakan sejak zaman penjajahan sampai dengan 1979, yaitu seluas 257.814 Ha yang bentuk usahanya hanya dilakukan
sebagai usaha perkebunan besar. Secara sadar dan terencana, sejak awal pengembangan perkebunan kelapa sawit dikondisikan sebagai langkah imple-
mentasi Trilogi Pembangunan, khususnya pemerataan dan pertumbuhan.
Universitas Sumatera Utara
Rencana Pengembangan Seri Provek PIR Kelapa Sawit keadaan sampai Desember 2013
Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan Bahkan pengembangan direncanakan mencapai dua kabupaten ujung
Papua, yaitu PIRSUS II di Arso di ujung timur serta NES II ADB dan PIRSUS II
Universitas Sumatera Utara
di Prafi, ujung barat Papua. Dampak positif juga dirasakan oleh PTP sebagai perusahaan inti. Usahanya berkembang melalui penanaman baru dan
pembangunan pabrik. Jika proyek berjalan sesuai rencana, maka akan tercipta komplek perkebunan baru yang akan menumbuhkan serta mengembangkan
ekonomi baru pada wilayah bukaan baru. Waktu yang tersedia untuk mensosialisasi makna yang terkandung pada
rencana kegiatan proyek, relatif sangat terbatas, sehingga dapat dimaklumi apabila sempat timbul sejumlah pertanyaan dan kekhawatiran. Selaku perusahaan inti
pengembangan proyek pola PIR tersebut, PTP mendapat penugasan oleh Menteri Pertanian. Direksi PTP dihadapkan pada situasi yang tidak punya pilihan, kecuali
melaksanakan tugas yang diberikan tersebut. Pemahaman mengenai keterlibatan PTP hanya sekedar menjalankan
perintah perlu diantisipasi agar tidak timbul berbagai implikasi yang berdampak panjang. Lokasi proyek PIR pada umumnya terpencil dan fasilitas yang tersedia
masih terbatas, sehingga siapapun yang ditempatkan di lokasi tersebut, akan merasakan sebagai beban yang cukup berat. Hal tersebut sangat erat kaitannya
dengan iklim yang ada di lingkungan manajemen PTP pada waktu itu, bahwa persepsi yang menilai keterlibatan dalam proyek PIR sebagai tugas yang tidak
bisa di hindari, pada dasarnya dapat dipahami mengingat PTP sebagai organisasi usaha sesungguhnya kondisi pada waktu itu dapat dikatakan belum begitu siap
untuk melakukan tugas pembangunan dan pengembangan.
Universitas Sumatera Utara
Kegiatan pembangunan dalam areal yang relatif besar seperti proyek PIR, akan menimbulkan semacam cultural shock dipihak manajemen PTP yang
bersangkutan.
Terkait dengan itu, pada awal tahun 1980an diintrodusir satupos baru yaitu Direktur Pengembangan yang bertugas menangani pelaksanaan proyek PIR dalam
keseluruhan aspeknya. Melalui langkah tersebut terjadi perkembangan yang lebih positif terhadap keterlibatan BUMN perkebunan dalam pembangunan perkebunan
pada umumnya. Dalam perjalanannya beberapa direktur pengembangan berhasil menduduki kursi Direktur Utama. Bahkan beberapa BUMN perkebunan telah
mendulang keuntungan usaha dan menempatkan proyek PIR sebagai salah satu profit center.
Pengalaman semakin banyak staff yang ditugaskan ke proyek mulai bergeser menjadi staff senior bagi yang menunjukan prestasi baik. Timbul arus
kesadaran baru bahwa keterlibatan PTP dalam proyek PIR Perkebunan bukanlah sekedar misi sosial, tetapi adalah sebagai agen pembangunan Agent of
Development. Beberapa BUMN perkebunan telah mulai memetik keuntungan usaha, dan
menempatkan proyek PIR Perkebunan sebagai salah satu profit center yang patut diandaikan. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa melalui proyek-proyek PIR
telah terjadi revolusi pada budaya perusahaan Corporate Culture. Jika sebelumnya berciri statis, maka dalam waktu satu dekade terakhir telah berubah
menjadi dinamis dengan berorientasi kepada pembangunan, bahkan mengambil
Universitas Sumatera Utara
peran sebagai pelopor pembangunan perkebunan di berbagai tempat pengembangan baru di Indonesia.
B. Tujuan Dan Manfaat Program Perkebunan Inti Rakyat