Corrective Maintenance Bantalan Luncur Lori Pabrik Kelapa Sawit Dengan Kapasitas Angkut 2,5 Ton TBS Menggunakan Analisa Kegagalan

(1)

CORRECTIVE MAINTENANCE BANTALAN LUNCUR

LORI PABRIK KELAPA SAWIT DENGAN

KAPASITAS ANGKUT 2,5 TON TBS

MENGGUNAKAN ANALISA

KEGAGALAN

SKRIPSI

Skripsi Yang Diajukan Untuk Melengkapi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Teknik

JUNAIDI NIM. 040401002

DEPARTEMEN TEKNIK MESIN

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas segala karunia dan rahmat-Nya yang senantiasa diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Sarjana ini.

Tugas Sarjana ini adalah salah satu syarat untuk dapat lulus menjadi Sarjana Teknik di Departemen Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara. Tugas Sarjana yang dipilih, diambil dari mata kuliah Manajemen Pemeliharaan Pabrik, yaitu “CORRECTIVE MAINTENANCE BANTALAN LUNCUR LORI PABRIK KELAPA SAWIT DENGAN KAPASITAS ANGKUT 2,5 TON TBS MENGGUNAKAN ANALISA KEGAGALAN”.

Dalam penulisan skripsi ini, telah diupayakan dengan segala kemampuan pembahasan dan penyajian, baik dengan disiplin ilmu yang diperoleh dari perkuliahan, menggunakan literatur serta bimbingan dan arahan dari Bapak Prof. Dr. Ir. Bustami Syam, MSME sebagai Dosen Pembimbing.

Pada kesempatan ini, penulis tidak lupa menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Kedua Orang tua saya yang telah memberikan segala sesuatunya dengan penuh ikhlas.

2. Bapak Dr. Ing. Ir. Ikhwansyah Isranuri dan Bapak Tulus Burhanuddin Sitorus, ST, MT, selaku Ketua dan Sekretaris Departemen Teknik Mesin, Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara

3. Prof. Dr. Ir. Bustami Syam, MSME selaku dosen pembimbing Tugas Sarjana yang telah meluangkan waktunya, membimbing dan memotivasi penulis untuk menyelesaikan Tugas Sarjana ini.

4. Seluruh Staf Pengajar dan Pegawai di Lingkungan Departemen Teknik Mesin Universitas Sumatera Utara yang tidak dapat disebutkan satu-persatu.

5. Bapak Abner Butarbutar selaku karyawan bengkel dari PTPN III Rambutan yang telah memberikan bantuan bimbingan lapangan dan juga kepada karyawan PTPN III Rambutan lainnya yang tak dapat disebutkan namanya satu persatu.

6. Mahasiswa Departemen Teknik Mesin khususnya rekan-rekan sesama stambuk 2004 yang sesalu memberikan semangat.

Akhir kata, semoga Tugas Sarjana ini dapat bermanfaat untuk kita semua dan dapat diteruskan untuk penelitian lebih lanjut oleh mahasiswa lain.

Medan, 21 Juni 2010

( 040401002 ) Junaidi


(8)

ABSTRAK

Lori adalah alat yang mengangkut TBS (Tandan Buah Segar) dari Loading Ramp ke perebusan (Sterilizer). Lori sering anjlok saat pabrik beroperasi, hal ini menggangu proses pruduksi pabrik. Lori anjlok dikarenakan terjadi keausan bantalan luncur lori. Lori anjlok perlu diminimalkan agar produksi pabrik dapat berjalan lancar. Pemeliharaan korektif perlu dilakukan terhadap bantalan luncur dengan menganalisa respon yang terjadi terhadap poros dan bantalan luncur akibat beban yang diterima dan mencoba memberikan solusi untuk meminimalkan keausan yang terjadi. Pemeliharaan sementara yang dikerjakan adalah membuat bantalan luncur pengganti dengan cara membubut baja lunak sesuai dengan konstruksi yang dibutuhkan. Hasil survey dan perhitungan menunjukkan bahwa keausan terbesar terjadi pada permukaan bagian atas dari diameter dalam bantalan dengan laju kedalaman keausan sebesar 0,0135 mm/hari. Bagian atas diameter dalam bantalan inilah yang mendapat beban langsung dari berat lori dan muatannya. Alternatif yang dipilih adalah alih material. Pememilihan material berdasarkan material yang khusus digunakan untuk bantalan luncur yang kekerasannya 202 BHN, nilai kekerasan ini lebih besar dari material yang digunakan sebelumnya yaitu 54-142 BHN, dengan nilai kekerasan tersebut diperoleh laju kedalaman keausan yang lebih kecil yaitu 0,00654 mm/hari. Nilai laju kedalaman keusan tersebut akan menambah umur pakai dari bantalan luncur.


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBARAN PENGESAHAN DARI PEMBIMBING ... ii

LEMBARAN PERSETUJUAN DARI PEMBANDING ... iii

SPESIFIKASI TUGAS ... iv

LEMBARAN EVALUASI SEMINAR SKRIPSI ... v

KATA PENGANTAR ... vi

ABSTRAK ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR NOTASI ... xii

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 3

1.3. Tujuan Penelitian ... 4

1.4. Manfaat Penelitian ... 4

1.5. Batasan Masalah ... 4

1.6. Metodologi Penelitian ... 5

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA... 7

2.1. Sejarah Singkat PKS Rambutan ... 7

2.1.1. Profil Pabrik ... 7

2.1.1.1. Sumber Bahan Baku dan Realisasi Penerimaan ... 7

2.1.1.2. Sumber Daya Manusia ... 8

2.1.1.3. Kegiatan Usaha ... 8

2.1.1.4. Stasiun Pengolahan ... 8

2.1.2. Bahan Baku (Raw Material) ... 11

2.2. Lori ... 11

2.3.Poros dengan Beban Lentur Murni ... 13

2.4. Bantalan ... 18

2.4.1. Klasifikasi bantalan ... 18

2.4.1.1. Atas dasar gerakan bantalan terhadap poros ... 18

2.4.1.2. Atas dasar arah beban terhadap poros ... 19

2.4.2. Perbandingan Antara Bantalan Luncur dan Bantalan Gelinding ... 19

2.4.3. Bahan untuk bantalan luncur ... 20


(10)

2.5.1. Jenis-jenis Manajemen pemeliharaan pabrik ... 21

2.5.1.1. Pemeliharaan Rutin (Preventive Maintenance) ... 21

2.5.1.2. Pemeliharaan setelah rusak (Breakdown Maintenance) ... 22

2.5.1.3. Pemeliharaan darurat (emergency maintenance) ... 22

2.5.2. Maksud dan Tujuan Manajemen Pemeliharaan Pabrik ... 23

2.6. Corrective Maintenance ... 23

2.7. Mekanisme Tribology ... 28

2.8. Proses Maintenance di PKS Rambutan ... 30

BAB 3 METODOLOGI ... 33

3.1. Tempat dan Waktu Studi... 33

3.2. Tegangan Lentur dan Perhitungan Diameter Bantalan ... 33

3.3. Penentuan Sifat Fisik dan Mekanik dari Material ... 36

3.4. Perhitungan Gaya pada Bantalan ... 36

3.4.1. Beban yang Terjadi pada Poros dan Bantalan ... 39

3.4.2. Analisa Gaya Geser & Momen pada Bantalan Poros Lori ... 40

3.4.3. Kecepatan lori ... 42

3.4.4. Koefisien Gesekan Material ... 44

3.4.5. Gaya Gesek pada Bantalan dengan Dinding Poros (Fgesek) ... 44

3.5. Perhitungan Keausan pada Bantalan ... 45

BAB 4 HASIL PEMBAHASAN ... 49

4.1. Masalah yang Terjadi ... 49

4.2. Pemeliharaan Bantalan dengan Melakukan Penggantian yang Dikerjakan oleh Bagian Teknik ... 50

4.3. Solusi dari Masalah yang Terjadi ... 50

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ... 58

5.1. Kesimpulan ... 58

5.2. Saran ... 58


(11)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 2.1. Baja karbon untuk konstruksi mesin dan baja batang yang

difinis dingin untuk poros ... 14

Tabel 2.2. Faktor tambahan tegangan pada gandar ... 15

Tabel 2.3. Faktor tambahan tegangan pada gandar ... 17

Tabel 2.4. Alasan kerusakan pada 3 daerah ... 25

Tabel 3.1. Sifat Fisis dan Mekanis Material Brass ... 36

Tabel 3.2. Data-data Poros dan Bantalan ... 39

Tabel 3.3. Koefisien Gesekan Material ... 44

Tabel 4.1. Journal Bearing and Application ... 52

Tabel 4.2. Sifat Fisis dan Mekanis Material Brass dan Bronze-aluminum .... 53


(12)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1.1. Lori anjlok atau keluar dari rel ... 4

Gambar 1.2. Kerangka konsep ... 6

Gambar 2.1. Gambar PKS Rambutan PTPN III ... 7

Gambar 2.2. Skematik Diagram Pengolahan Pabrik Kelapa Sawit ... 10

Gambar 2.3. Tandan Buah Segar ... 11

Gambar 2.4. Lori Pengangkut buah sawit ... 12

Gambar 2.5. Bantalan dan Poros Lori ... 13

Gambar 2.6. Gandar ... 15

Gambar 2.7. Bantalan bulat ... 19

Gambar 2.8. Arah gerakan poros pada awal putaran ... 21

Gambar 2.9. Grafik Pola Kerusakan Alat pada Umumnya ... 25

Gambar 2.10. Struktur dari Maintenance ... 27

Gambar 2.11. Skema Alur Proses Kegiatan Pemeliharaan ... 30

Gambar 3.1. Penampang poros lori ... 33

Gambar 3.2. Konstruksi Poros Lori ... 37

Gambar 3.3. Konstruksi Bantalan Poros Lori ... 38

Gambar 3.4. Ilustrasi pembebanan poros ... 40

Gambar 3.5. Pembebanan pada poros ... 40

Gambar 3.6. Distribusi gaya pada poros dan bantalan ... 41

Gambar 3.7. Diagram benda bebas untuk x < 80 mm ... 41

Gambar 3.8. Diagram benda bebas untuk x < 410 mm ... 42

Gambar 3.9. Mekanisme gesekan dipermukaan bantalan ... 45

Gambar 3.10. Wear Coefficient K ... 46

Gambar 4.1. Keausan yang terjadi pada bantalan... 49

Gambar 4.2. Grafik Hasil perhitungan laju keausan tebal diameter bantalan berdasarkan waktu operasi ... 57


(13)

DAFTAR NOTASI

Simbol Arti Satuan

a = Jarak dari tengah bantalan ke ujung luar

naaf roda mm

BHN = Brinnell Hardness Number 1 kgf/mm2 = 9,8 Mpa.

D = Diameter luar bantalan mm

Dr = Diameter roda mm

d = Diameter dalam sebelum operasi mm

dx = Diameter dalam setelah operasi mm

ds = Diameter poros yang dizinkan mm

E = Young’s Modulus N/mm2

Fgesek = Gaya gesek N

g = Jarak telapak roda mm

H = Kekerasan material N/mm2

j = Jarak bantalan radial mm

K = Koefisien keausan

L = Jarak lintasan meluncur m

l = Panjang naaf roda mm

lb = panjang bantalan mm

M1 = Momen lentur N.mm

M2 = Momen pada tumpuan roda karena gaya

vertikal tambahan N.mm

M3 = Momen lentur pada naaf tumpuan roda

sebelah dalam karena beban horizontal N.mm

m = Faktor tambahan tegangan

n = Faktor keamanan

np = Putaran poros rpm

nr = Putaran roller rpm

P = Beban horizontal N

Q0 = Beban pada bantalan karena beban horizontal N

R0 = Beban pada telapak roda karena beban

horizontal N

r = Jari-jari telapak roda mm

rp = Jari-jari poros mm

s = Jarak yang ditempuh selama gesekan,

jarak lintasan meluncur m

t = waktu s

t = Tebal diameter setelah operasi m

V = Volume keausan m3

V = Gaya geser N

Vr = Kecepatan tangensial roller m/s

v = Kecepatan m/s

W = Beban poros N

Wb = Beban bantalan N

Wt = Beban total N


(14)

σb = Tegangan lentur yang terjadi N/mm2

αL =

gandar satu

pada statis Beban

horizontal Beban

αv =

statis Beban

rtikal gerakan ve karena

ahan Beban tamb


(15)

ABSTRAK

Lori adalah alat yang mengangkut TBS (Tandan Buah Segar) dari Loading Ramp ke perebusan (Sterilizer). Lori sering anjlok saat pabrik beroperasi, hal ini menggangu proses pruduksi pabrik. Lori anjlok dikarenakan terjadi keausan bantalan luncur lori. Lori anjlok perlu diminimalkan agar produksi pabrik dapat berjalan lancar. Pemeliharaan korektif perlu dilakukan terhadap bantalan luncur dengan menganalisa respon yang terjadi terhadap poros dan bantalan luncur akibat beban yang diterima dan mencoba memberikan solusi untuk meminimalkan keausan yang terjadi. Pemeliharaan sementara yang dikerjakan adalah membuat bantalan luncur pengganti dengan cara membubut baja lunak sesuai dengan konstruksi yang dibutuhkan. Hasil survey dan perhitungan menunjukkan bahwa keausan terbesar terjadi pada permukaan bagian atas dari diameter dalam bantalan dengan laju kedalaman keausan sebesar 0,0135 mm/hari. Bagian atas diameter dalam bantalan inilah yang mendapat beban langsung dari berat lori dan muatannya. Alternatif yang dipilih adalah alih material. Pememilihan material berdasarkan material yang khusus digunakan untuk bantalan luncur yang kekerasannya 202 BHN, nilai kekerasan ini lebih besar dari material yang digunakan sebelumnya yaitu 54-142 BHN, dengan nilai kekerasan tersebut diperoleh laju kedalaman keausan yang lebih kecil yaitu 0,00654 mm/hari. Nilai laju kedalaman keusan tersebut akan menambah umur pakai dari bantalan luncur.


(16)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Proses perawatan mesin produksi tidak mungkin dihindari suatu perusahaan karena hal ini berkaitan erat dengan kelancaran proses produksi perusahaan tersebut (Wahjudi, 2000). Konsep dasar perawatan adalah menjaga atau memperbaiki peralatan maupun mesin hingga jikalau dapat kembali kekeadaan asli dengan waktu yang singkat dan biaya yang murah (Hamsi, 2004).

PT. Perkebunan Nusantara III (persero) Pabrik Kelapa Sawit (PKS) Rambutan menggunakan berbagai mesin dan alat-alat lain yang mendukung proses produksinya dalam menghasilkan minyak sawit mentah (Crude Palm Oil). Minyak sawit mentah dihasilkan dari daging buah sawit (dari serabut buah sawit yang mengandung minyak). Buah kelapa sawit setelah dipanen harus segera diangkut ke PKS untuk segera diolah. Penyimpanan buah kelapa sawit terlalu lama menyebabkan kadar asam lemak bebasnya menjadi tinggi. Pembentukan asam lemak bebas lebih banyak terjadi sebelum buah direbus, yaitu selama pengangkutan dan penimbunan. Hendaknya tandan buah sawit selesai diolah dalam waktu 24 jam setelah dipanen (Mangoensoekarjo, 2003).

Di pabrik, tandan buah segar (TBS) akan diterima oleh Stasiun Penimbangan lalu ke Stasiun Penerimaan Buah (loading ramp), pada stasiun ini TBS diterima dan diseleksi sesuai mutu dan standar fraksi kematangan, setelah itu TBS dibawa ke Stasiun Sterilisasi (perebusan) dengan menggunakan lori. Pada stasiun ini buah sawit direbus dalam sterilizer dengan uap bertekanan untuk memudahkan proses pengolahan selanjutnya sekaligus menekan laju kenaikan asam lemak bebas (ALB). Proses selanjutnya, TBS yang telah selesai direbus masuk dalam Stasiun Thressing. Pada stasiun ini, tandan buah sawit dipisahkan antara buah sawit (berondolan) dengan tandannya dengan cara dibanting. Proses selanjutnya, berondolan sawit tersebut dikirim ke Stasiun Pengepresan (Pressing


(17)

mesin pencacah (Digester). Fungsi mesin Digester adalah untuk melumatkan daging buah sawit dengan pisau-pisau pencacah. Sehingga daging buah sawit terlepas seluruhnya dari biji sawit dan tidak boleh ada lagi terdapat buah sawit yang masih utuh, yaitu dimana daging buah masih melekat pada bijinya. Proses pencacahan dikerjakan agar memudahkan proses pengepressan buah sawit. Setelah dilumatkan, buah sawit lalu diperas dengan mesin screw press untuk mengeluarkan minyaknya (CPO) dari daging buah sawit (serabut). Oleh karena adanya tekanan dari worm screw press yang ditahan oleh cone, buah sawit yang telah dilumatkan tersebut diperas. Sehingga melalui lubang-lubang press cage minyak dipisahkan dari serabutnya (ampas). Pada mesin ini terjadi pemisahan antara minyak sawit dengan serabut kering (ampas) dan biji sawit (nut). Setelah itu proses selanjutnya adalah pemurnian minyak sawit mentah di Stasiun Klarifikasi (Clarification Station). Sisa pengepresan dikeringkan dengan menggunakan blower untuk memisahkan biji (nut) dengan serabut (fibre). Biji dikeringkan dan dipecahkan di Stasiun Kernel agar inti sawit (kernel) terpisah dari cangkangnya (shell). Dilanjutkan dengan proses pengeringan inti, sampai menjadi inti produksi dengan standar mutu kadar air 8-10 % (Mangoensoekarjo, 2003). Selanjutnya pada stasiun klarifikasi yaitu tempat untuk proses pemunian minyak kasar. Minyak sawit mentah kasar yang masih mengandung kotoran seperti pasir, serat-serat dan air selanjutnya akan melewati tahap klarifikasi berupa Sand Trap

Tank. Proses ini untuk memisahkan pasir dari minyak kasar dan Vibrating Screen

untuk memisahkan serat-serat dari minyak kasar tersebut. Sehingga menjadi minyak sawit mentah produksi dengan mutu kadar air 0,08-0,10 % dan kadar kotoran 0,01 % (Mangoensoekarjo, 2003). Selanjutnya minyak sawit mentah yang telah siap diproses dikirim ke Crude Oil Tank sebagai tangki penampungan.

Dari penjelasan proses untuk menghasilkan minyak sawit mentah diatas, dapat dikatakan bahwa suatu proses tidak dapat berlangsung secara maksimal bila proses sebelumnya belum berjalan/selesai. Atas dasar inilah perlu dilakukan perawatan (maintenance) yang baik terhadap setiap peralatan dan mesin yang terdapat di PKS ini, agar proses produksi dapat berjalan dengan baik.

Lori adalah alat yang digunakan untuk mengangkut TBS (Tandan Buah Segar) dari stasiun Penerimaan Buah (loading ramp) dibawa ke Stasiun


(18)

Sterilisasi, lori tersebut ditarik oleh Capstand. Capstand dirakit pada lantai beton dengan baut tanam ⅝” sebanyak 10 buah. Rangkaian lori dihubungkan dengan tali pada roller capstand, kemudian motor listrik akan memutar roller yang menggulung tali, sehingga lori dapat ditarik. Jumlah lori yang ditarik adalah 10 unit dengan masing-masing berat lori 1,5 ton dan berat muatannya 2,5 ton.

1.2Perumusan Masalah

Persoalan gesekan yang diakibatkan oleh pembebanan yang terus menerus selalu menyebabkan terjadinya keausan, retak dan kemudian patah pada material. Faktor gesekan dan kelelahan (fatigue) merupakan gejala perubahan struktur yang permanen dan terlokalisir pada material yang dapat menimbulkan keretakan dan material akan patah secara tiba-tiba. Fenomena kegagalan retak dan kemudian patah dapat terjadi secara tiba-tiba pada komponen struktur roda bantalan lori tanpa peringatan terlebih dahulu.

Keausan yang terjadi pada bantalan mengakibatkan kelonggaran poros lori yang begitu besar sehingga mengakibatkan lori tersebut anjlok atau keluar dari rel (gambar 1.1). Lori anjlok tersebut menyebabakan terganggunya proses produksi pabrik.

Penelitian tentang kegagalan/keretakan dan perpatahan pada material bantalan poros lori penting dilakukan untuk memperkirakan dan mencegah kegagalan pada komponen struktur bantalan lori pengangkut buah sawit ke perebusan yang dapat membawa efek bagi kelangsungan operasi pabrik dan keselamatan manusia. Pada analisa kasus ini hanya dilakukan perhitungan laju keausan akibat beban yang diterima bantalan, akan tetapi kasus ini sangat menarik untuk dilanjutkan ke tahap penelitian.


(19)

Gambar 1.1. Lori anjlok atau keluar dari rel

1.3Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Dapat mengetahui respon yang terjadi pada poros dan bantalan luncur akibat beban yang diterima.

2. Menganalisa kegagalan atau kerusakan yang terjadi pada bantalan luncur yang dapat mengurangi umur pemakaian (life time).

3. Memberikan solusi pemeliharaan korektif (Corrective Maintenance) untuk meminimalkan keausan.

1.4Manfaat Penelitian

Penelitian ini bermanfaat untuk mengetahui penyebab kegagalan atau kerusakan dan keausan pada bantalan luncur, dan dapat diaplikasikan pada pabrik kelapa sawit sehingga dapat mengefisienkan biaya perawatan bantalan luncur dan juga sebagai bahan kajian penelitian lebih lanjut lainnya.

1.5Batasan Masalah

Yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah


(20)

2. Menganalisa kasus kegagalan (keausan) yang terjadi pada bantalan luncur yang terjadi setelah sekian waktu pengoperasian (berdasarkan data lapangan).

3. Memberikan solusi pemeliharaan korektif (Corrective Maintenance) untuk meminimalkan keausan.

1.6Metodologi Penelitian

Pelaksanaan penelitian tugas akhir ini dengan melalui tahapan sebagai berikut, yaitu :

1. Study Literatur

Study Literatur ini merupakan studi kepustakaan meliputi pengambilan

teori-teori serta rumus-rumus dari berbagai sumber bacaan seperti buku, jurnal ilmiah, makalah-makalah seminar atau simposium ilmiah, skripsi mahasiswa, dan sumber-sumber dari internet yang berkaitan dengan tugas akhir ini.

2. Survey Lapangan.

Melakukan survey lapangan langsung untuk melihat spesifikasi bantalan luncur pada pabrik kelapa sawit PTPN III Kebun Rambutan yang berkapasitas olah 30 ton TBS/jam.

3. Diskusi

Berupa tanya jawab dengan dosen pembimbing mengenai penelitian yang dilakukan.


(21)

Kerangka konsep yang mencakup permasalahan pada skripsi ini dan solusi yang ditawarkan dapat dilihat pada gambar 1.2. berikut:

Gambar 1.2. Kerangka konsep Permasalahan :

Keausan yang terjadi pada bantalan luncur akibat pembebanan dari lori

itu sendiri dan muatannya.

Menyebabkan:

Lori anjlok atau keluar dari rel

Dampak :

Terhambatnya produksi pabrik

Solusi:

Melakukan penggantian material atau alih material pada bantalan luncur untuk meningkatkan umur pemakaian.

Hasil Skripsi:

• Analisa respon yang diterima pada poros dan bantalan luncur.

• Analisa perhitungan keausan terhadap pembebanan dan umur bantalan luncur.

• Material alternatif yang digunakan dapat mengoptimalkan umur pemakaian.


(22)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sejarah Singkat PKS Rambutan

PKS Rambutan (gambar 2.1) merupakan salah satu Pabrik dari 11 PKS yang dimiliki PT. Perkebunan Nusantara-III, yang terletak di Desa Paya Bagas Kecamatan Rambutan, Kotamadya Tebing Tinggi, Propinsi Sumatera Utara, sekitar 85 km kearah Tenggara Kota Medan.

PKS Rambutan dibangun pada tahun 1983 dengan kapasitas olah 30 ton/jam. Dimana sumber bahan baku (TBS) berasal dari kebun seinduk, kebun pihak ketiga terutama Perkebunan Inti Rakyat (PIR) yang berada di daerah Serdang Bedagai/Deli Serdang dan sekitarnya.

Gambar 2.1 Gambar PKS Rambutan PTPN III.

2.1.1. Profil Pabrik

Adapun profil pabrik PT. Perkebunan Nusantara III adalah sebagai berikut:

2.1.1.1. Sumber Bahan Baku dan Realisasi Penerimaan

Sumber bahan baku TBS yang masuk ke PKS Rambutan berasal dari : 1. Kebun Seinduk yang terdiri dari :


(23)

3. Kebun Gunung Pamela. 4. Kebun Gunung Monako. 5. Kebun Sarang Giting. 6. Kebun Silau Dunia. 7. Kebun Sei Putih. 8. Kebun Gunung Para 2. Pihak III yang terdiri dari :

1. PIR

2. Pembelian TBS pihak III

2.1.1.2. Sumber Daya Manusia

Untuk mendukung kelancaran Pengoperasian Pabrik PKS - Rambutan mempunyai Tenaga Kerja sebanyak 223 orang dengan perincian sbb. :

1. Karyawan Pimpinan = 7 orang.

2. Karyawan Pengolahan. = 82 orang (2 Shift) 3. Karyawan Laboratorium / Sortasi = 32 orang

4. Karyawan Bengkel = 40 orang 5. Karyawan Dinas Sipil = 14 orang 6. Karyawan Administrasi = 17 orang 7. Karyawan Bagian Umum/Hansip = 23 orang

8. Karyawan Bagian Produksi = 8 orang

2.1.1.3. Kegiatan Usaha

PKS Rambutan mengolah Tandan Buah Segar (TBS) buah Sawit menjadi

Crude Palm Oil (CPO) dan Kernel.

2.1.1.4. Stasiun Pengolahan

Untuk mengolah TBS menjadi Crude Palm Oil (CPO) dan Kernel, PKS Rambutan memiliki 11 stasiun kerja yang saling terkait, yaitu :

1. Stasiun penerimaan TBS dan pengiriman produksi. 2. Stasiun Loading Ramp.

3. Stasiun Rebusan 4. Stasiun Threshing


(24)

5. Stasiun Pressing 6. Stasiun Klarifikasi 7. Stasiun Kernel

8. Stasiun Water treatment 9. Stasiun Power Plant 10. Stasiun Boiler

11. Stasiun Fat-fit dan Effluent

Skematik Diagram Pengolahan Pabrik Kelapa Sawit dijelaskan pada gambar 2.2. Secara garis besar, skema tersebut menjelaskan seluruh bagian pemerosesan kelapa sawit yang ada di pabrik kelapa sawit.


(25)

Boiler

Kernel Station

Dust

Feul

(Fibre & Shell)

Gas

Nut Nut Silo Ripple Mill Clay Bath Kernel Silo Press Digester Threser Sterillizer BPV Turbin Fibre Sparator CPO Vibro Sparator

Crude Oil Tank Low Speed Sparator Oil Tank Oil Purifier Oil Station Water Recourses Eksternal Anion-Kation Dearator Steam Hot Water Water Hot Water Tank Storage Tank

Fat Pit Effluent Treatment Plant

Condensate to Fat Pit

Waste Water Cooler

Condensat Heater Waste to Effluent

Land Application Kernel Oil Recovery Clarifier Tank FFB From Plantation Crude Oil CPO Kernel High Pullutan Low Pollutan Raw Water Water

Steam & Hot Water

Oil

Nut & Kernel FFB

Steam to proces

Power Station

Water Treatment Plant


(26)

2.1.2. Bahan Baku (Raw Material)

Bahan baku yang diolah adalah buah kelapa sawit (gambar 2.3). Keadaan awal buah sawit adalah berkumpul dalam satu tandan. Buah kelapa sawit termasuk jenis monokotil. Bagian-bagian utama yang terdapat pada buah kelapa sawit adalah sebagai berikut.

1. Lapisan bagian luar (epicarpium) yang disebut sebagai kulit luar.

2. Lapisan tengah (mesocarpium) yang disebut daging buah yang mengandung minyak.

3. Lapisan dalam (endocarpium) yang disebut inti, berada dalam biji dan mengandung minyak. Diantara mesocarpium dengan endocarpium terdapat cangkang (shell) yang keras.

Gambar 2.3. Tandan Buah Segar

2.2 Lori

Pada proses perebusan, buah dilunakkan sehingga daging buah mudah lepas dari biji sewaktu diaduk dalam bejana peremas. Rebusan berupa bejana silindris mendatar dengan pintu pada kedua atau salah satu ujungnya. TBS dimasukkan dalam rebusan menggunakan lori (gambar 2.4) (Mangoensoekarjo, 2003). Lori tersebut ditarik masuk kedalam tabung perebus yang bermuatan 8 lori,


(27)

(gambar 2.5) yang digunakan pada lori adalah bantalan luncur (journal bearing). Beban kerja yang besar dan gesekan antara poros dan bantalan menyebabkan bantalan akan aus. Dari hasil survey lapangan yang dilakukan langsung di PKS Rambutan (PTPN-III) ,berdasarkan hasil wawancara dengan operator dan staf bagian pemeliharaan, maka data-data yang kami dapat tentang kondisi lori pengangkut buah sawit ke perebusan adalah sebagai berikut :

1. Dioperasikan pada tingkat suhu yang berbeda (panas dan pendinginan yang mendadak) antara diluar dan didalam sterilizer.

2. Bekerja secara kontinu selama pabrik beroperasi selama 45 jam seminggu dengan beban ± 4 ton.

3. Pelumasan menggunakan sistem grease yang dilakukan sekali dalam 1 bulan, akan tetapi sistem ini kurang menguntungkan karena pada saat lori masuk ke perebusan, sistem ini tidak berfungsi karena pelumas akan meleleh ketika berada dalam sterilizer.


(28)

Poros

Bantalan

Gambar 2.5 Bantalan dan Poros Lori

Kondisi kerja yang demikian maka terjadi perubahan sifat mekanik bahan bantalan sehingga bantalan mudah aus dan pecah. Jika terjadi kelonggaran yang besar antara poros dan bantalan akan menyebabkan roda lori sering anjlok keluar rel dan juga menyebabkan cepatnya terjadi kerusakan lori.

Kasus yang sering terjadi pada bantalan dan poros adalah keausan yang cepat pada bantalan. Hal ini tentu menimbulkan tanda tanya, apa penyebab cepatnya laju keausan pada bantalan sehingga menimbulkan biaya perbaikan dan penggantian yang besar. Untuk itu perlu dilakukan analisa penyebab kegagalan sehingga bisa diperoleh rekomendasi agar kegagalan serupa tidak terjadi lagi.

2.3. Poros dengan Beban Lentur Murni

Poros untuk mesin pada umumnya terbuat dari baja batang yang ditarik dingin dan difinis, baja karbon konstruksi mesin (disebut bahan S-C) dihasilkan dari ingot yang dikil (baja yang dideoksidasikan dengan ferro silikon dan dicor; kadar karbon terjamin) (Sularso, 2004). Jenis-jenis baja S-C beserta dengan kekuatan tariknya dapat dilihat pada Tabel 2.1.


(29)

Sumber: Sularso, Kiyokatsu Suga, “Dasar Perencanaan Dan Pemilihan Elemen Mesin“ Tabel 2.1 Baja karbon untuk konstruksi mesin dan baja batang yang difinis

dingin untuk poros Standar dan macam Lambang Perlakuan

panas

Kekuatan tarik (kg/ mm2)

Keterangan

Baja karbon konstruksi mesin

(JIS G 4501)

S30C S35C S40C S45C S50C S55C Penormalan “ “ “ “ “ 48 52 55 58 62 66

Poros (gandar) dari kereta tambang dan kereta rel tidak dibebani dengan puntiran melainkan hanya mendapatkan pembebanan lentur saja. Jika beban pada satu poros didapatkan sebagai ½ dari berat kendaraan dengan muatan maksimum dikurangi berat poros dan roda, maka besarnya momen lentur M1 (N.mm) yang

terjadi pada dudukan roda dapat dihitung.

Menurut Sularso (2004) dari bahan yang dipilih dapat ditentukan tegangan lentur yang diizinkan σa (N/mm2). Diameter ds (mm) yang diperlukan dapat

diperoleh dari rumus berikut ini.

σa 3

S 1 3 S 1 1 d 10,2M /32)d ( M Z M = = ≤

π ... (2.1) 3 1 1 a S M σ 10,2 d     

= ... (2.2) Dalam kenyataan, poros tidak hanya mendapatkan beban statis saja melainkan juga beban dinamis. Jika perhitungan ds dilakukan sekedar untuk

mencakup beban dinamis secara sederhana saja, maka dalam persamaan kedua diatas dapat diambil faktor keamanan yang lebih besar untuk menentukan σa. Tetapi dalam perhitungan yang lebih teliti, beban dinamis dalam arah tegak dan mendatar harus ditambahkan pada beban statis. Bagian poros dimana dipasangkan naaf roda disebut dudukan roda. Beban tambahan dalam arah vertikal dan horizontal menimbulkan momen pada dudukan roda inti.


(30)

Sumber: Sularso, Kiyokatsu Suga, “Dasar Perencanaan Dan Pemilihan Elemen Mesin“

2

W

2

W

2

W

2

W

Poros yang digerakkan oleh suatu penggerak mula juga mendapatkan beban puntir. Namun demikian poros ini dapat dianggap sebagai poros pengikut dengan cara mengalikan ketiga harga momen tersebut diatas (yang ditimbulkan oleh gaya-gaya statis, vertikal dan horizontal) dengan faktor tambahan (m) pada Tabel 2.2 (Sularso, 2004).

Tabel 2.2 Faktor tambahan tegangan pada gandar

Pemakaian Gandar Faktor Tambahan

Tegangan m

Gandar pengikut (tidak termasuk gandar dengan rem cakra)

1,0

Gandar yang digerakkan; ditumpu pada ujungnya 1,1 – 1,2 Gandar yang digerakkan; lentur silang 1,1 – 1,2

Gandar yang digerakkan; lenturan terbuka 1,2 – 1,3

Simbol dari bagian perangkat roda dapat dilihat pada Gambar 2.6.

Q

0

Q

0

P

G


(31)

Rumus-rumus dari Sularso (2004) adalah sebagai berikut:

M1 = (j – g) W / 4 ... (2.3)

dimana:

M1 = Momen pada tumpuan roda karena beban statis (N.mm)

j = Jarak bantalan radial (mm)

g = Jarak telapak roda (mm)

W = Beban statis pada satu gandar (N)

M2 = αv . M1 ... (2.4)

dimana:

M2 = Momen pada tumpuan roda karena gaya vertikal

tambahan (N.mm) αv =

statis Beban

rtikal gerakan ve karena

ahan Beban tamb

M1 = Momen pada tumpuan roda karena beban statis (N.mm)

P = αL..W ... (2.5) dimana:

P = Beban horizontal (N)

αL =

gandar satu

pada statis Beban

horizontal Beban

W = Beban statis pada satu gandar (N)

Q0 = P. (h/j) ... (2.6)

dimana:

Q0 = Beban pada bantalan karena beban horizontal (N)

P = Beban horizontal (N) h = Tinggi titik berat (mm) j = Jarak bantalan radial (mm)


(32)

Sumber: Sularso, Kiyokatsu Suga, “Dasar Perencanaan Dan Pemilihan Elemen Mesin“ R0 =P.(h + r)/g ... (2.7)

dimana:

R0 = Beban pada telapak roda karena beban horizontal (N)

P = Beban horizontal (N) h = Tinggi titik berat (mm) r = Jari-jari telapak roda (mm)

g = Jarak telapak roda (mm)

M3 = P.r + Q0(a + l) – R0[(a + l) – (j – g)/2] ... (2.8)

dimana:

M3 = Momen lentur pada naaf tumpuan roda sebelah dalam karena

beban horizontal (N.mm) P = Beban horizontal (N) r = Jari-jari telapak roda (mm)

Q0 = Beban pada bantalan karena beban horizontal (N)

R0 = Beban pada telapak roda karena beban horizontal (N)

a = Jarak dari tengah bantalan ke ujung luar naaf roda (mm) l = Panjang naaf roda (mm)

j = Jarak bantalan radial (mm)

g = Jarak telapak roda (mm)

Harga αvdan αLdapat dilihat pada Tabel 2.3

Tabel 2.3 Kecepatan kerja terhadap pembebanan Kecepatan kerja maksimum (km/jam) αv αL

120 atau kurang 0,4 0,3

120 – 160 0,5 0,4

160 – 190 0,6 0,4


(33)

Dari hal-hal diatas dapat disimpulkan bahwa:

(

)

3

1

3 2 1 Wb

S m M M M

σ 10,2 d      + +

≥ ... (2.9) Setelah ds ditentukan maka tegangan lentur σb (N/mm2) yang terjadi pada

dudukan roda dapat dihitung. Selanjutnya jika σWb /σb sama dengan 1 atau lebih, maka: 3 s 3 2 1 b d ) M M 10,2m(M

σ ≥ + + ... (2.10)

1 σ σ n b Wb ≥

= ... (2.11)

2.4. Bantalan

Bantalan adalah elemen mesin yang menumpu poros berbeban, sehingga putaran atau gerakan bolak-baliknya dapat berlangsung secara halus, aman, dan panjang umur. Bantalan harus cukup kokoh untuk memungkinkan poros serta elemen mesin lainnya bekerja dengan baik. Jika bantalan tidak berfungsi dengan baik maka prestasi seluruh sistem akan menurun atau tak dapat bekerja secara semestinya.,Jadi, bantalan dalam permesinan dapat disamakan peranannya dengan pondasi pada gedung (Sularso, 2004).

2.4.1 Klasifikasi bantalan

Bantalan dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

2.4.1.1. Atas dasar gerakan bantalan terhadap poros 1. Bantalan luncur.

Pada bantalan ini terjadi gesekan luncur antara poros dan bantalan karena permukaan poros ditumpu oleh permukaan bantalan dengan perantaraan lapisan pelumas (Sularso, 2004).

Gambar 2.7 menjelaskan dua jenis bantalan yang disebut bos. Bos padat (a) dibuat dengan penuangan, penarikan, pembubutan atau dengan menggunakan suatu proses metalurgi-tepung. Bos berlapis (b) biasanya adalah jenis bercelah. Pada salah satu metoda pembuatannya, bahan


(34)

berlapis tersebut dituang secara kontinu pada sepotong pelat baja yg tipis. Potongan berbabit ini kemudian diproses melalui penekanan, pembentukan, dan penghalusan, sehingga menghasilkan bos berlapis (Shigley, 1984).

(a) Bos padat (b) Bos berlapis Gambar 2.7 Bantalan bulat

2. Bantalan gelinding.

Pada bantalan ini terjadi gesekan gelinding antara bagian yang berputar dengan yang diam melalui elemen gelinding seperti bola (peluru), rol atau rol jarum, dan rol bulat.

2.4.1.2. Atas dasar arah beban terhadap poros 1. Bantalan radial.

Arah beban yang ditumptu bantalan ini adalah tegak lurus sumbu poros.

2. Bantalan aksial.

Arah beban bantalan ini sejajar dengan sumbu poros. 3. Bantalan gelinding khusus.

Bantalan ini dapat menumpu beban yang arahnya sejajar dan tegak lurus sumbu poros (Sularso, 2004).

2.4.2. Perbandingan Antara Bantalan Luncur dan Bantalan Gelinding Bantalan luncur mampu menumpu poros berputaran tinggi dengan beban


(35)

luncur memerlukan momen awal yang besar. Pelumasan pada bantalan ini tidak begitu sederhana. Panas yang timbul dari gesekan yang besar, terutama pada beban besar, memerlukan pendinginan khusus. Sekalipun demikian, karena adanya lapisan pelumas, bantalan ini dapat meredam tumbukan dan getaran sehingga hampir tidak bersuara.

Bantalan gelinding pada umumnya lebih cocok untuk beban kecil daripada bantalan luncur, tergantung pada bentuk elemen gelindingnya. Putaran pada bantalan ini dibatasi oleh gaya sentrifugal yang timbul pada elemen tersebut. Karena hanya konstruksinya yang sukar dan ketelitiannya yang tinggi, maka bantalan gelinding hanya dapat dibuat oleh pabrik-pabrik tertentu saja. Adapun harganya pada umumnya lebih mahal daripada bantalan luncur. Untuk menekan biaya pembuatan serta memudahkan pemakaian, bantalan gelinding diproduksikan menurut standar dalam pelbagai ukuran dan bentuk. Keunggulan bantalan ini adalah pada gesekannya yang sangat rendah. Pelumasannya juga sangat sederhana. cukup dengan minyak gemuk, bahkan pada jenis yang memakai cil sendiri tidak perlu pelumasan lagi. Meskipun ketelitiannya sangat tinggi, namun karena adanya gerakan elemen gelinding dan sangkar, pada putaran tinggi bantalan ini agak gaduh dibandingkan dengan bantalan luncur (Sularso, 2004).

2.4.3. Bahan untuk bantalan luncur

Bahan untuk bantalan luncur harus memenuhi persyaratan berikut (Sularso, 2004):

1. Mempunyai kekuatan cukup (tahan beban dan kelelahan).

2. Dapat menyesuaikan diri terhadap lenturan poros yang tidak terlalu besar atau terhadap perubahan bentuk yang kecil.

3. Mempunyai sifat anti las (tidak dapat menempel) terhadap poros jika terjadi kontak dan gesekan antara logam dan logam.

4. Sangat tahan karat.

5. Dapat membenamkan kotoran atau debu kecil yang terkurung di dalam bantalan.

6. Murah harganya.


(36)

Pada bantalan yang akan kita bahas yaitu bantalan berpelumas batas (boundary lubrication), dimana dua permukaan saling meluncur satu terhadap yang lain dengan hanya sebagian lapisan pelumas diantara permukaan. Pelumasan batas (gambar 2.8b) atau lapisan tipis terjadi pada bantalan yang dilumasi secara hidrodinamis sewaktu mulai bergerak atau berhenti. Bila bantalan bekerja dibawah kondisi hidrodinamis dan sebagian dibawah kondisi lapisan tipis, maka terjadi pelumasan lapisan campuran (mixed-film lubrication). Kondisi seperti ini dapat juga disebut kondisi bantalan kering. Pada gambar 2.8a menjelaskan bantalan dalam kondisi kering, dan juga dalam kondisi berpelumas (Shigley, 1984).

(a) Dry (b) Lubricated

Gambar 2.8. Arah gerakan poros pada awal putaran

2.5. Sistem Manajemen Pemeliharaan Pabrik

Menurut BS3811: 1974 menyatakan bahwa pemeliharaan adalah suatu kombinasi dari berbagai tindakan yang dilakukan untuk menjaga suatu barang dalam atau untuk memperbaikinya sampai suatu kondisi yang diterima (Corder A.S, 1992).

2.5.1 Jenis-jenis Manajemen pemeliharaan pabrik Jenis-jenis menejemen pemeliharaan pabrik antara lain : 2.5.1.1. Pemeliharaan Rutin (Preventive Maintenance)

w

h

w

w

w


(37)

Sistem pemeliharaan ini adalah melakukan pemeliharaan pada selang waktu yang ditentukan sebelumnya, atau terhadap kriteria lain yang diuraikan dan dimaksudkan untuk mengurangi kemungkinan bagian-bagian lain tidak memenuhi kondisi yang bisa diterima (Corder A.S, 1992).

Seperti dalam industri motor masih dikenal istilah ‘servis’ istilah ini meliputi semua pemeriksaan dan penyetelan yang tercakup dalam buku petunjuk pemeliharaan, terutama pelumasan, pengisian kembali, pemeriksaan minor dan sebagainya. Dalam setiap kejadian pemeliharaan korektif biasanya memerlukan keadaan berhenti, sedangkan pemeliharaan rutin (preventive maintenance) dapat dilakukan pada waktu berhenti maupun waktu berjalan (Corder A.S, 1992).

2.5.1.2. Pemeliharaan setelah rusak (Breakdown Maintenance)

Pemeliharaan setelah rusak (Breakdown) merupakan pemeliharaan yang dilakukan terhadap peralatan setelah peralatan mengalami kerusakan sehinggga terjadi kegagalan yang menghasilkan ketidaktersediaan suatu alat (Corder A.S, 1992).

Pada mulanya semua industri menggunakan sistem ini. Jika industri memakai sistem ini maka kerusakan mesin akan berulang dan frekuensi kerusakannya sama setiap tahunnya. Industri yang menggunakan sistem ini dianjurkan menyiapkan cadangan mesin (stand by machine) bagi mesin-mesin yang vital. Sifat lain dari sistem ini adalah data dan file informasi, dimana data dan file informasi perbaikan mesin/peralatan harus tetap dijaga. Pada sistem ini untuk pembongkaran tahunan tidak ada karena pada saat dilakukan penyetelan dan perbaikan, unit-unit cadanganlah yang dipakai. Sistem Breakdown

Maintenance ini sudah banyak ditinggalkan oleh industri-industri karena sudah

ketinggalan zaman karena tidak sistematik secara keseluruhannya dan banyak mengeluarkan biaya (Hamsi, 2004).

2.5.1.3. Pemeliharaan darurat (emergency maintenance)

Pemeliharaan darurat adalah pemeliharaan yang perlu segera dilakukan untuk mencegah akibat yang serius (Corder A.S, 1992).

Misalnya sebuah mesin sedang beroperasi namun tiba-tiba mesin tersebut mati. Berapa kalipun dihidupkan ternyata tidak mau hidup lagi. Ketika tutup mesin dibuka ternyata air radiator mesin habis, setelah diperiksa didapat


(38)

kerusakan di bagian pipa radiator, dan ada juga bagian mesin yang retak. Akibat kerusakan tersebut maka diperlukan adanya reparasi atau penggantian unit yang mengakibatkan operasi mesin harus terhenti untuk beberapa saat.

2.5.2. Maksud dan Tujuan Manajemen Pemeliharaan Pabrik

Adapun maksud pemeliharaan adalah untuk meningkatkan efektivitas serta porsi keuntungan bagi perusahaan. Hal ini bisa dimungkinkan karena dengan dilakukannya perawatan maka dapat ditekan ongkos produksi disamping dapat pula ditingkatkan kapasitas produksi suatu mesin.

Adapun tujuan utama dilakukannya pemeliharaan (Corder A.S, 1992) adalah:

1. Untuk memperpanjang usia kegunaan aset yaitu setiap bagian dari suatu tempat kerja, bangunan dan isinya. Hal ini terutama penting di negara berkembang karena kurangnya sumber daya modal untuk penggantinya. Di negara yang sudah maju, lebih murah mengganti daripada memelihara. 2. Untuk menjamin ketersediaan optimum peralatan yang dipasang untuk

produksi atau jasa dan mendapatkan laba investasi (return on investment) semaksimum mungkin.

3. Untuk menjamin kesiapan operasional dari seluruh peralatan yang diperlukan dalam keadaan darurat setiap waktu, misalnya unit cadangan, unit pemadam kebakaran dan penyelamat dan sebagainya.

4. Untuk menjamin keselamatan orang-orang yang menggunakan sarana tersebut.

2.6. Pemeliharaan Korektif (Corrective Maintenance)

Pemeliharaan korektif adalah pemeliharaan yang dilakukan untuk memperbaiki suatu bagian (termasuk penyetelan dan reparasi) yang telah terhenti untuk memenuhi suati kondisi yang bisa diterima. Pemeliharaan korektif meliputi reparasi minor terutama untuk rencana jangka pendek (Corder A.S, 1992).

Reparasi mesin setelah mengalami kerusakan bukanlah kebijaksanaan pemeliharaan yang paling baik. Biaya pemeliharaan terbesar biasanya bukan biaya


(39)

terjadi pada mesin walaupun reparasi dilakukan secara cepat akan menghentikan operasi, para karyawan dan mesin menganggur, produksi terganggu bahkan dapat menghentikan jalannya produksi (Mashar, 2008).

Pemeliharaan korektif merupakan perbaikan peningkatan kemampuan peralatan mesin kedepan karena kegagalan atau pengurangan kemampuan mesin selama pemeliharaan preventive dikerjakan atau sebaliknya, demi perbaikan mesin dan optimal dalam penggunaannya. Pemeliharaan korektif terdiri dari beberapa bagian (Dhillon, 2006) seperti:

1. Perbaikan karena rusak.

Bagian ini fokus dengan perbaikan pada bagian kerusakan peralatan supaya kembali kepada kondisi operasionalnya.

2. Overhaul.

Bagian ini fokus dengan perbaikan atau memulihkan kembali (restoring) peralatan ke keadaan yang semula yang dapat dipergunakan (complete serviceable) untuk seluruh peralatan di pabrik tersebut.

3. Salvage.

Bagian ini fokus dengan pembuangan dari material yang tidak dapat diperbaiki dan pemanfaatan material yang masih bisa dipakai dari peralatan yang tidak dapat diperbaiki pada overhaul, perbaikan karena rusak dan rebuild programs.

4. Servicing.

Tipe bagian pemeliharaan korektif ini mungkin dibutuhkan karena adanya tindakan pemeliharaan korektif, seperti pengelasan, dan lainnya. 5. Rebuild.

Bagian ini fokus dengan pemulihkan kembali (restoring) peralatan ke keadaan yang standard sedekat mungkin ke keadaan aslinya berkenaan dengan keadaan fisik, daya guna dan perpanjangan masa pakai.

Gambar 2.9 berikut menjelaskan tentang grafik pola kecenderungan kerusakan alat pada umumnya.


(40)

Gambar 2.9 Grafik Pola Kerusakan Alat pada Umumnya

Dari gambar 2.9 diatas ada 3 daerah pembagian tentang perbandingan jumlah kerusakan terhadap waktu pemakaian alat. Pada tabel 2.4 berikut menjelaskan tentang alasan kerusakan yang terjadi menurut Dhillon (2006).

Tabel 2.4 Alasan kerusakan pada 3 daerah gambar 2.6

Daerah Alasan Kerusakan

I Awal Pemakaian Manufaktur yang buruk Proses yang buruk

Pengendalian mutu yang buruk Kesalahan manusia (Human error)

Material yang tidak memenuhi syarat dan keahlian II Pemakaian Normal Faktor keamanan yang rendah

Cacat yang tidak terdeteksi

Kesalahan manusia (Human error) Penyalahgunaan alat

Awal Pe-

makaian Pemakaian Normal Alat rusak

X

Titik kritis

Waktu


(41)

Kerusakan alami

III Alat Rusak Keausan karena gesekan Pemeliharaan yang tidak baik

Pengamalan pemeriksaan yang salah Korosi dan creep

Desain lifetime yang pendek Keausan disebabkan oleh usia Sumber: (Dhillon, 2006)

Dari gambar 2.9 diatas dapat dilihat bahwa suatu peralataan baru mempunyai suatu kemungkinan kegagalan atau kerusakan yang tinggi. Hal ini disebabkan kelalaian pekerja dan atau kerusakan internal komponen dari pabrik pembuat alat (ini disebut kegagalan produk). Tingkat kerusakan alat akan menurun setelah pekerja mulai terbiasa menggunakan alat tersebut. Setelah melewati masa kritis, alat akan semakin sering mengalami gangguan, sehingga perbaikan akan semakin sering dilakukan, sampai masa pakai alat tersebut habis. Pada masa ini artinya alat sudah tidak mungkin diperbaiki lagi (Modul panduan P2K3)

Pada awal periode, kemungkinan terjadinya kerusakan dari peralatan tersebut menjadi tinggi karena masalah instalasi pemakaian di awal minggu. Setelah periode ini kemungkinan kegagalan relatif rendah. Setelah peralatan berjalan dengan normal, maka tingkat kerusakan akan stabil dan meningkat kembali seiring berjalannya waktu (Mobley, 2004).

Menurut Mobley (2004) dalam bukunya Maintenance Fundamentals Edisi 2, 2004, bahwa pemeliharaan atau maintenance dapat digolongkan menjadi tiga tipe bagian besar pemeliharaan, seperti yang dijelaskan pada gambar 2.10 berikut:


(42)

MAINTENANCE

Reliability-driven

Modification Retrofit Redesign Change order

Predictive

Statistical analysis Trends Vibration monitoring Tribology

Thermography Ultrasonics Other NDT

Time-Equipment

Periodic Fixed intervals Hard time limits Specific time

Equipment-driven

Self-scheduled Machine-cued Control limits When deficient As required

Event-driven

Breakdonws Emergency

Remedial Repairs Rebuilds

PREVENTIVE (PM)

CORRECTIVE (CM) IMPROVEMENT

(MI)


(43)

Dari gambar 2.10 diatas dapat dilihat bagaimana pembagian pemeliharaan yang cukup lengkap. Pada pembagian sistem pemeliharaan corrective terdapat 1 bagian utama sistem pemeliharaan yang terdiri dari Breakdonws Maintenance,

Emergency Maintenance, Remedial Maintenance, Repairs Maintenance dan Rebuilds Maintenance.

Pada pembagian bagian sistem corrective Maintenance terdapat salah satu bagian yang membahas mengenai Remedial (untuk perbaikan kedepan). Imilah yang menjadi fokus karena tujuan utama dari skripsi ini adalah perbaikan bantalan lori.

Masalah utama yang dijumpai pada bantalan lori adalah terjadinya keausan bagian atas bantalan akibat gesekan dengan poros setelah sekian waktu pemakaian. Mekanisme keausan disebabkan gesekan sering juga disebut dengan istilah tribology.

2.7. Mekanisme Tribology

Istilah ini digambarkan pada tahun 1967 oleh Committee of The

Organization for Economic Cooperation and Development. Kata Tribology

sendiri diambil dari kata Yunani, “Tribos” yang artinya adalah menggosok atau meluncur. Tribology ini adalah salah satu cabang ilmu dalam bidang engineering yang fokus membahas tentang tiga bagian penting fenomena dalam permesinan yang sangat erat hubungannya satu sama lain. Ketiga bagian tersebut adalah gesekan (friction), keausan (wear) dan pelumasan (lubrication) (Stachowiak).

Ketiga bagian ini pasti terjadi pada permesinan dan amatlah penting untuk dibahas. Jadi dapat disimpulkan pembahasan pada bagian pemeliharaan korektif dan analisa kegagalan ini adalah memperhitungkan terjadinya gesekan dalam setiap komponen permesinan yang dapat menyebabkan keausan. Supaya kedepannya dapat diambil suatu tindakan pencegahan/perbaikan untuk mengatasi keausan tersebut.

Aus terjadi karena adanya kontak gesek antara dua permukaan benda dan menyebabkan adanya perpindahan material. Hal ini menyebabkan adanya pengurangan dimensi pada benda tersebut. Defenisi keausan menurut standard Jerman (DIN 50 320) bahwa keausan di artikan sebagai kehilangan material


(44)

secara bertahap dari permukaan benda yang bersentuhan akibat dari adanya kontak dengan solid (benda padat), liquid (benda cair) atau gas pada permukaanya (Mang, 2007). Keausan yang terjadi pada setiap sistem mekanisme sebenarnya sangat sulit diprediksi secara teori atau perumusannya, karena banyak faktor dilapangan yang menyebabkan kesulitan dan kekeliruan dalam memprediksi keausan tersebut. Faktor itu adalah variasi suhu, variasi kecepatan, variasi jumlah kontaminasi, kecepatan awal-akhir dan faktor lainnya (Ludema, 1996).

Keausan sendiri terbagi dalam bebrapa jenis keausan, seperti keausan abrasif, adesif, korosif, keausan fatik, kimia, erosi dan lain-lain. Keausan yang terjadi pada pembahasan skripsi ini adalan keusan jenis abrasif. Abrasif dan kontak lelah (fatigue cantact) adalah hal yang paling penting dalam perhitungan keausan pada permesinan. Bisa diperkirakan bahwa total keausan yang terjadi pada elemen-elemen mesin dapat kisarkan antara 80-90% adalah keausan abrasif dan dalam 8% adalan keausan lelah (fatigue wear). Kontribusi dari jenis keausan yang lain sangatlah kecil. Sebagian besar pengamatan keausan dilakukan secara tidak langsung. Salah satunya adalah dengan menimbang berat spesimen atau benda kerja. Ini adalah cara yang termudah untuk dapat mendeteksi keausan. Dari menimbang berat benda kerja yang akan dianalisa, kita dapat mengetahui berapa total material yang telah aus dari selisih berat awal benda kerja sebelum operasi dengan berat benda kerja setelah operasi, tetapi distribusi kedalaman keausan yang terjadi pada permukaan kontak sulit untuk diketahui (Zmitrowicz, 2006).

Mempresdiksi keausan yang terjadi pada permesinan cukuplah sulit. Setiap rumus pada literatur yang dapat mengitung laju keausan hanya sebatas prediksi atau pendekatan saja. Pada tahun 1950-an J. F. Archard menemukan suatu hukum yang dapat memprediksi terjadinya keausan pada material yang saling bergesekan dan dia menamai hukum itu dengan dirinya sendiri, yaitu hukum keausan Archard (Archard wear law).

Berdasarkan hukum keausan Archard tentang hukum keausan (wear law) bahwa persamaan volume keausan dapat diperoleh dari (Stachowiak):


(45)

Dimana :

V = Volume keausan (m3) L = Jarak lintas meluncur (m) W = Beban (N)

K = Koefisien keausan

H = Kekerasan material (Pascal, N/m2) Ar = Area kontak (m2)

2.8. Proses Maintenance di PKS Rambutan

Dalam melaksanakan pemeliharaan Pabrik Kelapa Sawit PKS Rambutan mengacu ke prosedur / instruksi kerja (IK) PTP Nusantara III, adapun system pelaksanaan pemeliharaan dilaksanakan secara Corrective, Preventive dan

Predictive Maintenance dengan alur proses dapat dilihat pada gambar 2.11.


(46)

Untuk pekerjaan corrective maintenance mengacu ke IK 3.02-02 mengenai Pelaksanaan Kegiatan Teknik, dimana setiap pelaksanaan breakdown

maintenance yang harus mengacu pada Work Order yang diminta pengguna alat.

Untuk pekerjaan preventive mengacu ke IK 3.02 – 02/08 mengenai Pemeliharaan / Perawatan Mesin dan Instalasi PKS dan IK 3.02 – 02/09 mengenai Pemeliharaan / Perawatan Mesin dan Instalasi Listrik. Sedangkan untuk pekerjaan Predictive

Maintenance mengacu ke IK 3.02 – 00/06 mengenai Pelaksanaan Predictive Maintenance.

Dalam pelaksanaan pekerjaan corrective dan preventive maintenance yang dilaksanakan secara TS (menggunakan tenaga sendiri) spare part yang digunakan berasal dari gudang, system pengadaan terdiri dari 3 kategori, yaitu :

1. Pengadaan local (OPL) oleh managemen unit langsung.

2. Pengadaan di tingkat Distrik Manager, melalui DPBB kewenangan DM

3. Pengadaan di tingkat Kantor Direksi, melalui DPBB kewenangan Kandir (Kantor Direksi).

Ketiga jenis kategori ini dibedakan berdasarkan ada atau tidaknya sistem keagenan atas barang/bahan yang akan diadakan, untuk barang keagenan harus diadakan dengan kewenangan Kandir, serta berdasarkan nilai pengajuan, untuk nilai pengajuan < Rp. 50 jt dapat diadakan secara OPL, sedangkan yang nilai pengajuannya antara Rp. 50 jt s/d Rp. 200 jt menjadi kewenangan DM sedangkan yang nilai pengajuannya lebih dari Rp. 200 jt menjadi kewenangan Kandir.

Untuk pekerjaan corrective maintenance dan preventive maintenance yang dilaksanakan oleh tenaga pemborong (TP) atau outsourcing, pelaksanaanya berdasarkan P4T (Pengajuan Permintaan Pekerjaan Pemeliharaan/Teknik) yang terdiri dari 2 kategori:

1. P4T di tingkat Distrik Manager. 2. P4T di tingkat Kantor Direksi.


(47)

untuk nilai pengajuan < Rp. 250 jt menjadi kewenangan DM sedangkan yang nilai pengajuannya lebih dari Rp. 250 jt menjadi kewenangan Kandir.

Kegiatan pemeliharaan preventive dapat dipermudah dan berjalan secara efektif dengan menggunakan sistem komputer. Setiap pabrik pasti membutuhkan

sparepart, equipment, tool, material dan consumable dalam proses operasinya.

Semua ini dapat di jadwalkan secara komputerisasi, dan ini akan membantu sistem pemeliharaan preventive dalam mengantur workorder, biaya, pembelian dan penjadwalan kegiatan pemeliharaan. Pabrik kelapa sawit Kebun Rambutan PTPN III dalam hal ini tidak lagi menggunakan system komputerisasi (CMMS) dalam membantu proses pemeliharaannya.


(48)

BAB 3 METODOLOGI

3.1Tempat dan Waktu Studi

Dalam mempelajari sistem maintenance dilakukan survey studi di PT. Perkebunan Nusantara-III, yang terletak di Desa Paya Bagas Kecamatan Rambutan, Kotamadya Tebing Tinggi, Propinsi Sumatera Utara, sekitar 85 km kearah Tenggara Kota Medan. Studi dilakukan selama kurang lebih satu minggu mulai dari tanggal 23 April 2009 sampai tanggal 30 April 2009.

3.2. Tegangan Lentur dan Perhitungan Diameter Dalam Bantalan

Berikut ini merupakan perhitungan diameter bantalan poros dari sebuah kereta tambang (lori) dengan poros seperti yang dapat dilihat pada Gambar 3.1. Berat lori adalah sebesar 1,5 ton dengan kapasitas 2,5 ton dan menggunakan 2 buah poros dengan 4 roda. Kecepatan maksimum adalah sebesar 100 km/jam. Bahan poros ditentukan melalui perhitungan berikut ini.


(49)

0,4 statis

Beban

rtikal gerakan ve karena

ahan Beban tamb

= gandar

satu pada statis Beban

horizontal Beban

Diketahui: Berat lori = 1,5 ton = 1500 kg = 14700 N Massa jenis lori (besi tuang) = 7190 kg/m3

Panjang lori = 2,5 m

Perhitungan dengan rumus-rumus dari Sularso (2004): 1. Beban total = 2,5 + 1,5 = 4 ton = 39200 N

W = 4/2 = 2 ton = 19600 N 2. Jarak telapak roda (g) = 660 mm

3. Jarak bantalan radial (j) = 820 mm

4. Tinggi titik berat (h) = 600 mm

5. Kecepatan kerja maksimum (V) = 100 km/jam

Karena kecepatan maksimum dibawah 120 km/jam maka nilai:

αv =

αL = = 0,3

6. Jari-jari telapak roda (r) = 120 mm

7. Momen pada tumpuan roda karena beban statis (M1)

M1 = (820– 660) mm 19600 N / 4 = 784000 N.mm

8. Momen pada tumpuan roda karena gaya vertikal tambahan (M2)

M2 = 0,4 (784000 N.mm) = 313600 N.mm

9. Jarak dari titik tengah bantalan ke ujung luar naaf roda (a) = 50 mm. Panjang naaf roda (l) = 80 mm

10. Beban horizontal (P)


(50)

    + + + 2 660) -(820 -80) (50 6414,5455 -80) (50 4302,439 120 x 5880

11. Beban pada bantalan karena beban horizontal (Q0)

Q0 =

mm 820

mm 600 N

5880 = 4302,439 N

12. Beban pada telapak roda karena beban horizontal (R0)

R0 =

mm 660 mm) 120 mm N(600 5880 +

= 6414,5455 N

13. Momen lentur pada naaf tumpuan roda sebelah dalam karena beban horizontal (M3)

M3 =

M3 = 944189,795 N.mm

14. Faktor tambah tegangan (m) = 1,0

15. Diameter dalam bantalan poros (ds)

Wb

σ = 48 kg/mm2 = 470,4 N/mm2 ds

3 1

2 (1)(784000 313600 944189,795)N.mm

N/mm 470,4 2 , 10     + +

ds =

[

]

3

1 3

mm 5 ,

44273 = 35,37 mm ≈ 36 mm 16. Tegangan lentur (σb)

σb = 3

) 37 ( ) 944189,795 313600 784000 )( 1 ( 2 ,

10 + +

= 411,15 N/mm2

17. n =

N/mm2 411,15

N/mm2 470,4

= 1,144 ≥ 1

Menurut hasil perhitungan diatas bahwa dengan diameter sebesar 37 mm, poros tersebut sudah mampu menahan beban sebesar 2 ton. Untuk tegangan lentur yang yang terjadi berdasarkan diameter dalam bantalan sesuai dengan data di


(51)

σb = 3 ) 50 (

) 944189,795 313600

784000 )(

1 ( 2 ,

10 + +

= 166,61 N/mm2

Maka tegangan lentur yang terjadi adalah 166,61 N/mm2.

3.3Penentuan sifat fisik dan mekanik dari material

Brass adalah material yang di gunakan untuk bantalan luncur pada lori di

PTPN III. Sifat Fisis dan mekanis dari bahan (Machine Design Databook, 2004) dapat dilihat pada tabel 3.1:

Tabel 3.1. Sifat Fisis dan Mekanis Material Brass

No Sifat Fisis Nilai

1 Modulus Elastisitas (E) 106 GPa

2 Possion Ratio 0.324

3 Density 8,55 g/cm3

4 Yield Strenght 210 MPa

5 Ultimate Tensile Streght 372,48 MPa

6 Hardness Number 54 - 142 BHN

3.4. Perhitungan Gaya pada Bantalan

Lori berfungsi mengangkut buah dari Loading Ramp kedalam rebusan yang bermuatan 8 lori, kapasitas satu lori 2,5 ton dan berat lori 1,5 ton, yang bergerak diatas rel. Bantalan yang digunakan lori adalah bantalan luncur (journal

bearing).


(52)

(53)

d=50 D=75 69

Analisa yang dilakukan terhadap kegagalan bantalan luncur adalah keausan akibat gesekan.

Studi kasus dilakukan pada bantalan poros roda lori yang materialnya dari

brass (gambar 3.3), karena komponen ini sangat rentan dengan kerusakan

disebabkan selama pabrik beroperasi lori pengangkut selalu digunakan.

Data teknis komponen struktur bantalan poros lori ( data investigasi lapangan ) adalah sebagai berikut :

Gambar 3.3. Konstruksi Bantalan Poros Lori

Setelah melakukan pengukuran terhadap bantalan, poros dan roda lori, baik ukuran sebelum beroperasi maupun ukuran setelah beroperasi dan terjadi kegagalan, diperoleh data-data seperti pada tabel 3.2.


(54)

Tabel 3.2. Data-data Poros dan Bantalan

No Nama Ukuran

Baru Bekas

1 Diameter roda 24 mm 23,5 mm

2 Diameter poros 50 mm 49,25 mm

3 Diameter luar bantalan 75 mm 75 mm

4 Diameter dalam bantalan 50 mm Hor = 50,1 mm Ver = 54,5 mm

5 Panjang bantalan 69 mm 69,1 mm

6 Jarak bantalan 0,82 m

7 Jarak rel 0,6 m

8 Jarak tempuh lori sekali jalan 115 m

9 Jarak sumbu poros 0,91 m

10 Berat lori dan muatan 4 ton

11 Jumlah jalan perhari 6 kali bolak balik

12 Lama pemakaian bantalan. < 1 tahun

13 Bahan bantalan Brass

14 Jumlah bantalan tiap lori 4 buah

15 Daerah penipisan bantalan Pada bagian atas (Sumber : Pengamatan dan pengukuran di lapangan/pabrik)

3.4.1 Beban yang Terjadi pada Poros dan Bantalan

Beban yang terjadi pada poros (gambar 3.4) akibat berat lori dan muatan dapat dijelaskan sebagai berikut:

Beban total (Wt):

Wt = Berat lori + muatan

Wt = 1,5 ton + 2,5 ton

Wt = 4 ton x 9,8 m/s2


(55)

Pada lori terdapat dua poros, jadi beban pada poros (W) adalah: W = Wt / 2

W = 39200 / 2 W = 19600 N

Beban tiap bantalan Wb = Wt / 4

Wb = 39200 N/ 4

Wb = 9800 N

Gambar 3.4. Ilustrasi pembebanan poros

3.4.2 Analisa Gaya Geser & Momen pada Bantalan Poros Lori

Menurut Nash (1972) pembebanan, gaya geser dan momen yang terjadi pada poros dan bantalan dapat diihat pada Gambar 3.5 dan Gambar 3.6.

Gambar 3.5. Pembebanan pada poros

F

Wb

w


(56)

Gambar 3.6. Distribusi gaya pada poros dan bantalan

Diagram benda bebas dari segmen kiri dengan jarak x < 80 mm:

Gambar 3.7. Diagram benda bebas untuk x < 80 mm

+ ΣFy = 0 + ΣM = 0

N 00 8 9 2

19600 2

W

− = =

=

V x 9800x N.mm

2 W

M=− =−

Untuk:

x1 = →M1 = 0

x2 = 50 mm →M2 = –9800 (50) = – 490000 N.mm x3 = 75 mm →M3 = –9800 (75) = – 735000 N.mm


(57)

0 80) (x 2 W x 2 W

M+ − − =

0 40W

M+ =

40W M=−

N.mm 84000

7 M=−

Diagram benda bebas dari segmen kiri dengan jarak x < 410 mm:

Gambar 3.8. Diagram benda bebas untuk x < 410 mm

+ ΣFy = 0; V 0

2 W 2 W = − + −

V=0

+ ΣM = 0;

3.4.3 Kecepatan lori

Lori ditarik oleh capstand dengan putaran motor 1455 rpm dan penurunan putaran ke roller 60 : 1.

Putaran roller = 60 1455rpm

= 24,25 rpm

Karena diameter roller adalah 0,24 m, maka kecepatan tangensial roller adalah:

Vr = 60

. .dnr

π =

60 ) 25 , 24 ).( 24 , 0

.( m rpm

π = 0,3047 m/s

Jadi kecepatan gerak lori = kecepatan tangensial roller yang menarik lori = 0,3 m/s.


(58)

Putaran poros = putaran roda =

= 23,8853 rpm

dimana: Vr = kecepatan tangensial roda = kecepatan lori = 0,3 m/s

Dr = diameter roda = 0,24 m

Waktu yang ditempuh oleh lori untuk satu kali operasi sejauh 115 m bolak balik adalah: t = m/s 0,3 m 115 kecepatan jarak

= = 383,34 s

Maka waktu yang dibutuhkan lori untuk bolak balik adalah: 2 x t = 766,68 s.

Sliding distance (s) yaitu jarak yang ditempuh selama gesekan.

Dimana: ω = kecepatan sudut poros (rad/s) rp = jari-jari poros (m)

t = waktu tempuh (s)

np = putaran poros = potaran roda (rpm)

Jadi:

= 23,95874 m

t

60

.

r

π

2

r t

ω

s

=

=

n

p

(383,34s) 60 rpm) 5 m)(23,8853 (0,025 2. ω.r.t

s= = π

m) π(0.24 m/s) 60(0.3 π.D 60.V r r = = p n


(59)

3.4.4 Koefisien Gesekan Material

Koefisien gesekan dapat kita lihat pada tabel 3.3. berikut: Tabel 3.3. Koefisien Gesekan Material

Material 1 Material 2

Coefficient Of Friction

DRY Greasy

Static Sliding Static Sliding

Aluminum Aluminum 1,05-1,35 1,4 0,3

Aluminum Mild Steel 0,61 0,47

Brake Material Cast Iron 0,4

Brass Cast Iron 0,3

Brick Wood 0,6

Bronze Cast Iron 0,22

Bronze Steel 0,16

Cadmium Cadmium 0,5 0,05

Cadmium Mild Steel 0,46

Cast Iron Cast Iron 1,1 0,15 0,07

Cast Iron Oak 0,49 0,075

Chromium Chromium 0,41 0,34

Sumber

Koefisien diambil berdasarkan material yang diteliti yaitu koefisien gesekan brass (material 1) terhadap cast iron (material 2).

Berdasarkan tabel 3.3 koefisien gesekan (µ) antara brass dan cast iron adalah = 0,3.

3.4.5. Gaya gesek pada bantalan dengan dinding poros (Fgesek)

Kekasaran permukaan antara bidang kontak dinding poros dengan bushing bantalan merupakan penghambat gerakan poros, gaya penghambat pada bushing bantalan poros ini dinamakan gaya gesek (Fgesek). Menurut Stolarski (1990):

Fgesek = µ x Wb ... 3.5

Maka :


(60)

Dimana :

Wb = Beban bantalan (N)

µ = Koefisien gesekan

3.5. Perhitungan Keausan pada Bantalan.

Keausan terjadi karena adanya gesekan antara permukaan suatu material. Untuk lebih mempermudah kita mengerti tentang terjadinya gesekan dan keausan pada bantalan luncur atau yang biasa disebutkan sebagai mekanisme tribology yang telah dijelaskan pada bab 2, perhatikan gambar 3.10. Pada gambar tersebut dijelaskan secara sistematis bagaimana terjadinya gesekan material yang terjadi antara permukaan bantalan dengan material lain yang dalam hal ini dimaksudkan dengan poros.

Terjadinya gesekan antara kedua permukaan tersebut dapat menyebabkan terjadinya perpindahan material yang aus (chips) yang terjadi diantara kedua permukaan material yang bersentuhan. Bila kita melihat suatu permukaan material dengan bantuan mikroskop elektron dengan pembesaran tertentu, dapat kita lihat bagaimana keadaan mikrostuktur permukaannya. Hampir tidak ada permukaan mikrostruktur suatu material yang benar-benar rata setelah proses permesinan berlangsung, walaupun itu telah melewati berbagai proses perataan permesinan (lapping, honing dan lainnya).

Dalam hal ini, keausan terjadi pada permukaan diameter dalam bantalan tepat nya pada bagian atas.

Shallow asperity

contact Deep

asperity contact

Hard material

Soft material

Uloaded asperity

Concentration of deformation at

deep asperity contact


(61)

Untuk memprediksi terjadinya aus pada permukaan bantalan dapat digunakan persamaan hukum keausan Archard, persamaan (2.11) yaitu:

V = K Ar L = K L

H W

Dimana : V = Volume keausan (m3)

L = Jarak lintas meluncur = Sliding distance (s) yaitu jarak yang ditempuh selama gesekan (m)

W = Beban (N)

K = Koefisien keausan 10-4 untuk abrasive wear 3 body H = Kekerasan material (Pascal, N/m2)

Kekerasan bahan bantalan luncur yaitu baja brass adalah berkisar 54-142 BHN (Tabel 3.4), maka diambil rata-ratanya yaitu 98 BHN (Brinell Hardness

Number).

1 BHN = 1 kgf/mm2 = 9,8 Mpa. Maka 98 BHN = 98 x 9,8 = 960,4 Mpa.

Sedangkan nilai K diambil untuk abrasive wear pada 3 body, didapat dari gambar 3.10. (Norton, 2006) berikut.


(62)

8 9,604x10

9800 Dimana :

V = Volume keausan (m3)

L = Jarak lintas meluncur = 23.95874 m W = Beban = Wb = 9800 N

K = Koefisien keausan, 10-4 untuk abrasive wear 3 body H = Kekerasan material = 960,4 Mpa = 9,604x10 Pascal 8

Maka, volome keausan yang terjadi adalah :

V = K L H W

= 10-4 x 23,95874 x

= 244,47 x 10-10 m3 = 24,447 mm3

Keausan bantalan yang terjadi sebesar 24,447 mm3 untuk setiap lori berjalan sejauh 115 m.

Dari volume keausan tersebut kita dapat memperoleh pertambahan besar diameter dalam bantalan setelah satu kali operasi sebagai berikut:

Dimana: dx =diameter dalam setelah operasi

d = diameter dalam sebelum operasi = 50 mm

lb = panjang bantalan = 69 mm

Jadi:

dx2−502 = 0,451

= 50,0045 mm

Setelah mendapatkan pertambahan diameter dalam bantalan maka kita 4 ).69 50 π(d mm 24,447 2 2 x

3 = −

π(69)

)(4) (24,447 50

dx2− 2 =

) 50 ( ) 451 , 0 (

dx = + 2

4 ). d π(d Vol 2 2

x − l


(63)

2 50 50,0045− =

= 0,00225 mm/operasi

Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, lori berjalan 6 kali bolak balik dalam satu hari, maka diameter dalam bantalan akan berkurang sebesar:

t = (0,00225 mm/operasi)( 6 operasi/hari) = 0,0135 mm/hari.

2 d dx − =


(64)

BAB 4

HASIL PEMBAHASAN

4.1. Masalah yang Terjadi

Aus terjadi karena gesekan antara dua permukaan benda dan menyebabkan perpindahan material serta pengurangan dimensi pada benda tersebut. Defenisi keausan dan mekanisme keausan telah dijelaskan pada bab 2 dan keausan yang terjadi pada bantalan luncur (Gambar 4.1) telah dijelaskan pada bab 3. Laju pengurangan material yang terjadi pada diameter dalam bantalan terjadi pada bagian atas yang mendapat beban (gambar 3.5). Penyebab utama terjadi keausan bantalan adalah akibat gasekan dua material yang berkontak langsung tanpa bahan pelumas sebagai pembatas. Hal ini menyebabkan material yang lunak (bantalan) akan terkikis oleh material yang keras (poros). Keausan yang terjadi sebesar 24,447 mm3 setiap lori beroperasi. Atau sebesar 24,447 mm3 x 6 = 146,68 mm3/ hari. Sehingga dalam waktu tertentu maka permukaan dalam bantalan akan habis karena aus. Keausan yang terjadi pada bantalan (Gambar 4.1) mengakibatkan kelonggaran poros lori yang begitu besar sehingga mengakibatkan lori tersebut anjlok atau keluar dari rel, hal ini mengakibatkan terganggunya proses produksi pabrik.

Gambar 4.1. Keausan yang terjadi pada bantalan

Penipisan tebal bantalan

Bagian yang aus pada bantalan


(65)

4.2. Pemeliharaan bantalan dengan melakukan penggantian yang dikejakan oleh Bagian Teknik

Keausan yang terjadi pada bantalan mengakibatkan kelonggaran poros lori yang begitu besar sehingga mengakibatkan lori tersebut anjlok atau keluar dari rel (gambar 4.1). Lori anjlok menyebabkan terganggunya proses produksi pabrik. Di pabrik PTPN 3 Kebun Rambutan tidak menyediakan spare part bantalan luncur yang siap pakai. Mereka akan melakukan pemesanan spare part yang akan diganti setelah benda tersebut rusak atau tidak layak pakai lagi. Hal ini membuat bagian teknik, terkhusus bengkel reparasi mengerjakan perbaikan sementara terhadap bantalan luncur yang sudah aus dengan mengganti bantalan tersebut dengan bahan yang ada. Mereka melakukan pembubutan baja lunak yang ada sesuai dengan konstruksi pada gambar 3.4. Perawatan yang dilakukan hanya bersifat sementara untuk menunggu kedatangan bantalan yang baru.

Berdasarkan hasil wawancara dengan mekanik bengkel, bahwa bantalan setelah perbaikan dengan penggantian ini akan segera diganti kembali jika spare

part yang baru telah datang.

4.3. Solusi Dari Masalah yang Terjadi

Pada bab sebelumnya kita telah membahas material yang di gunakan untuk bantalan luncur pada lori di PTPN III adalah Brass. Berdasarkan perhitungan yang ada diperoleh harga keausan = 24,447 mm3 x 6 = 146,68 mm3 / hari. Atau pangurangan tebal (t) dari diameter dalam bantalan berdasarkan perhitungan sebesar:

t = (0,00225 mm/operasi)( 6 operasi/hari) = 0,0135 mm/hari.

Dari hasil pengukuran terhadap bantalan setelah beroperasi diperoleh diameter dalam bantalan arah vertikal adalah 54,5 mm. Jadi diameter dalam bertambah sebesar 4,5 mm.

ari 0.0135mm/h

4,5mm

= 333,34 hari

Dengan demikian bantalan akan bertambah diameter dalam arah vertikal sebesar 4,5 mm selama 333,34 hari beroperasi.


(66)

Untuk memperkecil nilai keausan yang diperoleh dari material bantalan sehingga akan menambah masa pakai atau umur bantalan akan menjadi lebih panjang. Maka sebagai salah satu alternatif dari masalah tersebut adalah penggantian material atau alih-material, dari bahan awal yaitu brass menjadi bronze-aluminum. Pemilihan bantalan dari literatur yang ada kita pilih berdasarkan pemilihan material yang digunakan khusus untuk bahan bantalan luncur dan aplikasi yang sesuai dengan kondisi kerja di lapangan.

Bronze-aluminum memiliki unsur kandungan Al 10.5 %, Fe 3.5 %, dan Cu 86.0 %. Paduan unsur – unsur ini memiliki kekerasan 202 BHN. Tabel 4.1 berikut menjelaskan kekuatan dari beberapa material yang khusus digunakan untuk bantalan luncur.


(67)

Journal bearing material and application

DESIGN OF BEARINGS AND TRIBOLOGY Tabel 4.1. Journal Bearing and Application


(68)

Dari gambar 4.1 dapat dibandingkan sifat fisis dan mekanis dari material

brass dan bronze-aluminum (Machine Design Databook, 2004) pada tabel 4.2

berikut:

Tabel 4.2 Sifat Fisis dan Mekanis Material Brass dan Bronze-aluminum

No Sifat Fisis Brass Bronze-aluminum

1 Modulus Elastisitas (E) 103,5 GPa 110,4 GPa

2 Possion Ratio 0.324 0,349

3 Yield Strenght 210 MPa 303 - 469 MPa

4 Ultimate Tensile Streght 372,48 MPa 689,74 MPa

5 Hardness Number 54 - 142 BHN 202 BHN

Dengan demikian kita dapat menghitung keausan material alternatif bantalan luncur lori dengan cara yang sama seperti pada bab sebelumnya.

Kekerasan bahan bantalan luncur yaitu bronze-aluminum adalah 202 BHN, (Brinell Hardness Number). Pada bab sebelumnya telah dijelaskan mendapatkan nilai kekerasan BHN dalam Pascal, yaitu:

1 BHN = 1 kgf/mm2 = 9,8 Mpa.

Maka 202 BHN = 202 x 9,8 = 1979,6 Mpa.

Sehingga dengan menggunakan persamaan (2.11) yaitu:

V = K Ar L = K L

H W

Dimana : V = Volume keausan (m3)

L = Jarak lintas meluncur = 23,95874 m W = Beban = Wb = 9800 N


(69)

2 50 50,00218 − =

Maka, volome keausan yang terjadi adalah :

V = K L H W

= 10-4 x 23,95874 8 19,796x10

9800

= 118,6 x 10-10 m3 = 11,86 mm3

Keausan bantalan yang terjadi sebesar 11,86 mm3 untuk setiap lori berjalan sejauh 115 m.

Dari volume keausan tersebut kita dapat memperoleh pertambahan besar diameter dalam bantalan setelah satu kali operasi sebagai berikut:

Dimana: dx =diameter dalam setelah operasi

d = diameter dalam sebelum operasi = 50 mm

l = panjang bantalan = 69 mm Jadi:

dx2−502 = 0,219

= 50,00218 mm

Setelah mendapatkan pertambahan diameter dalam bantalan maka kita dapat memperoleh ketebalan diameter bantalan yang berkurang setiap kali jalan sebagai berikut;

= 0,00109 mm/operasi

Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, lori berjalan 6 kali bolak balik dalam satu hari, maka diameter dalam bantalan akan berkurang sebesar:

t = (0,00109 mm/operasi)( 6 operasi/hari) = 0,00654 mm/hari. 4 ).69 50 π(d 11,86 2 2 x − = ) 69 ( ) 4 )( 11,86 ( 50 dx2 2

π = − ) 50 ( ) 0,219 (

dx = + 2

4 ). d π(d Vol 2 2

x − l

=

2 d

dx

= t


(70)

Untuk keausan ketebalan 4,5 mm diameter bantalan adalah :

mm/hari 0,00654

mm 4,5

= 688,07 hari

Dengan demikian bantalan akan bertambah diameter dalam arah vertikal sebesar 4,5 mm selama 688,07 hari beroperasi.

Dengan demikian yang sama dapat diperkirakan dan kita bandingkan umur bantalan antara bantalan material brass dengan material alternatif yaitu bronze-aluminum. berdasarkan laju keausan yang terjadi seperti pada tabel 4.3. sebagai berikut:

Tabel 4.3. Perbandingan keausan tebal diameter bantalan Pemakaian

(hari)

Keausan tebal diameter bantalan bronze-aluminum (mm)

Keausan tebal diameter bantalan brass

(mm)

1 0.00654 0.0135

20 0.1308 0.27

40 0.2616 0.54

60 0.3924 0.81

80 0.5232 1.08

100 0.654 1.35

120 0.7848 1.62

140 0.9156 1.89

160 1.0464 2.16

180 1.1772 2.43

200 1.308 2.7

220 1.4388 2.97

240 1.5696 3.24

260 1.7004 3.51

280 1.8312 3.78


(71)

340 2.2236 4.59

360 2.3544 4.86

380 2.4852 5.13

400 2.616 5.4

420 2.7468 5.67

440 2.8776 5.94

460 3.0084 6.21

480 3.1392 6.48

500 3.27 6.75

520 3.4008 7.02

540 3.5316 7.29

560 3.6624 7.56

580 3.7932 7.83

600 3.924 8.1

620 4.0548 8.37

640 4.1856 8.64

660 4.3164 8.91

680 4.4472 9.18

Dari tabel diatas diperoleh perbandingan umur pakai antara material Brass dengan material Bronze-aluminum untuk ketebalan 4,5 mm yaitu:

ari 0.0135mm/h

4,5mm :

mm/hari 0,00654

mm 4,5

333,34 hari : 688,07 hari

Dari tabel perbandingan diatas dapat dilihat lebih jelas menggunakan grafik 4.1. laju keausan untuk tebal diameter bantalan awal dan setelah alih-material (mm) berdasarkan waktu pemakaian (hari).


(72)

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

0 200 400 600 800

Waktu Operasi (jam)

K

e

d

a

la

m

a

n

k

e

a

u

s

a

n

(

m

m

)

Keausan tebal diameter bantalan bronze-aluminum (mm)

Keausan tebal diameter bantalan brass (mm)

Gambar 4.2. Grafik Hasil perhitungan laju keausan tebal diameter bantalan berdasarkan waktu operasi


(1)

Untuk keausan ketebalan 4,5 mm diameter bantalan adalah : mm/hari

0,00654 mm 4,5

= 688,07 hari

Dengan demikian bantalan akan bertambah diameter dalam arah vertikal sebesar 4,5 mm selama 688,07 hari beroperasi.

Dengan demikian yang sama dapat diperkirakan dan kita bandingkan umur bantalan antara bantalan material brass dengan material alternatif yaitu bronze-aluminum. berdasarkan laju keausan yang terjadi seperti pada tabel 4.3. sebagai berikut:

Tabel 4.3. Perbandingan keausan tebal diameter bantalan Pemakaian

(hari)

Keausan tebal diameter bantalan bronze-aluminum (mm)

Keausan tebal diameter bantalan brass

(mm)

1 0.00654 0.0135

20 0.1308 0.27

40 0.2616 0.54

60 0.3924 0.81

80 0.5232 1.08

100 0.654 1.35

120 0.7848 1.62

140 0.9156 1.89

160 1.0464 2.16

180 1.1772 2.43

200 1.308 2.7

220 1.4388 2.97

240 1.5696 3.24

260 1.7004 3.51

280 1.8312 3.78

300 1.962 4.05


(2)

340 2.2236 4.59

360 2.3544 4.86

380 2.4852 5.13

400 2.616 5.4

420 2.7468 5.67

440 2.8776 5.94

460 3.0084 6.21

480 3.1392 6.48

500 3.27 6.75

520 3.4008 7.02

540 3.5316 7.29

560 3.6624 7.56

580 3.7932 7.83

600 3.924 8.1

620 4.0548 8.37

640 4.1856 8.64

660 4.3164 8.91

680 4.4472 9.18

Dari tabel diatas diperoleh perbandingan umur pakai antara material Brass dengan material Bronze-aluminum untuk ketebalan 4,5 mm yaitu:

ari 0.0135mm/h

4,5mm :

mm/hari 0,00654

mm 4,5

333,34 hari : 688,07 hari

Dari tabel perbandingan diatas dapat dilihat lebih jelas menggunakan grafik 4.1. laju keausan untuk tebal diameter bantalan awal dan setelah alih-material (mm) berdasarkan waktu pemakaian (hari).


(3)

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

0 200 400 600 800

Waktu Operasi (jam)

K

e

d

a

la

m

a

n

k

e

a

u

s

a

n

(

m

m

)

Keausan tebal diameter bantalan bronze-aluminum (mm)

Keausan tebal diameter bantalan brass (mm)

Gambar 4.2. Grafik Hasil perhitungan laju keausan tebal diameter bantalan berdasarkan waktu operasi


(4)

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Dari hasil analisis yang telah dilakukan berupa; investigasi lapangan, pengamatan dan pengukuran konstruksi bantalan, analisa beban dan laju keausan, maka kondisi kegagalan yang terjadi pada bantalan dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Didapatkan Beban bantalan dari berat lori dan muatan Wb = 9800 N. Sehingga gaya gesek yang timbul pada bantalan dengan dinding poros (Fgesek) = 2940 N. Berat lori dan muatan menyebabkan tegangan lentur yang terjadi pada poros sebesar σb = 166,61 MPa.

2. Keausan terjadi pada diameter dalam bagian atas akibat beban yang diterima dari berat lori. Volume keausan yang terjadi pada permukaan diameter dalam bantalan sebesar 146,68 mm3/hari, dengan laju kedalaman keausan pada permukaan logam yang bergesek sebesar 0,0135 mm/hari. Sehingga umur operasi bantalan untuk kedalaman keausan 4,5 mm adalah 333,34 hari.

3. Hasil pembahasan dari pemeliharaan korektif (Corrective Maintenance) adalah alih material sebagai alternatif untuk meningkatkan umur bantalan, dengan memperhatikan material bronze-aluminum yang khusus digunakan untuk bantalan luncur dengan nilai kekerasan yang lebih baik dibandingkan material brass sebelumnya. Perbandingan masa pakai untuk kedalaman keausan sebesar 4,5 mm adalah 333,34 hari : 688,07 hari

5.2. Saran

1. Perlu dipikirkan untuk penelitian lebih lanjut dalam mendesain ulang bantalan luncur lori (re-desain) untuk menambahkan alur pelumasan pada bantalan luncur guna meminimalkan terjadinya keausan.

2. Perlu kajian lebih lanjut untuk pemilihan jenis pelumas yang cocok untuk suhu sekitar 150oC (suhu perebusan pada sterilizer).


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Corder, A.S. Teknik Manajemen Pemeliharaan, Alih Bahasa, Kusnul Hadi. Jakarta: Erlangga, 1992.

Dhillon, B.S. Maintainability, Maintenance, and Reliability for Engineers. New York: Taylor & Francis Group LLC, 2006.

Hamsi, Alfian. Manajemen Pemeliharaan Pabrik. Departemen Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara. 2004.

Ludema, K. C. Friction, Wear, Lubrication : A Textbook in Tribology. Boca Raton: CRC Press LLC, 1996.

Machine Design Databook. The McGraw-Hill Companies, 2004.

Mang, Theo and Wilfried Dresel. Lubricants and Lubrication. 2nd ed. Federal Republic of Germany: WILEY-VCH GmbH, Weinheim, 2007.

Mangoensoekarjo, Soepadiyo dan Haryono Semangun. Manajemen Agrobisnis Kelapa Sawit. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2003.

Mashar, Ali. Manajemen Operasional Pemeliharaan Fasilitas dan Review. Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Mercu Buana, 2008.

Mobley, R. Keith. Maintenance Fundamentals. 2nd ed. United States of America: Elsevier Butterworth-Heinemann, 2004.

Modul Panduan Pemeliharaan, Perbaikan, Kesehatan dan Keselamatan Kerja (P2K3)


(6)

Naibaho, P. Teknologi Pengolahan Kelapa Sawit. Medan: Pusat Penelitian Kelapa Sawit, 1998.

Nash, William A. Strength of Materials 2nd ed. United States of America: Schaum’s Outline Series, McGrawhill Book Company, 1972.

Norton, Robert L. Mechanical Design: An Integrated Approach. 3rd ed. New Jersey: Pearson Prentice Hall, 2006.

Shigley, Joseph E dan Larry D. Michell. Perencanaan Teknik Mesin. Alih Bahasa Gandhi Harahap. Edisi 4. Jakarta: Erlangga, 1984.

Stachowiak, Gwidon W. and Andrew W. Batchelor, Engineering Tribology, Australia: Butterworth-Heinemann.

Stolarski, T. A. Tribology in Machine Design. Great Britain: Butterworth-Heinemann, Oxford. 1990.

Sularso dan Suga, Kiyokatsu. Dasar Perencanaan dan Pemilihan Elemen Mesin. Jakarta: Pradya Paramitha, 2004.

Wahjudi, Didik dan Amelia. Analisa Penjadwalan dan Biaya Perawatan Mesin Press untuk Pembentukan Kampas Rem. JURNAL TEKNIK MESIN Vol. 2, No. 1, hlm 50 – 61, Jurusan Teknik Mesin, Universitas Kristen Petra, 2000. Zmitrowicz, Alfred. Wear Patterns and Laws of Wear-A Review. Journal of

Theoretical And Applied Mechanics 44, 2, pp. 219-253. Warsaw: Institute of Fluid-Flow Machinery, Polish Academy of Sciences, 2006.

friction. (Diakses tanggal 22 Februari 2010)