Hubungan Manifestasi Klinis dan Hasil Pemeriksaan Foto Toraks dalam Mendiagnosis TB di RSU Kota Tangerang Selatan pada Tahun 2013

(1)

MENDIAGNOSIS TB DI RSU KOTA TANGERANG

SELATAN PADA TAHUN 2013

Laporan Penelitian ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA KEDOKTERAN

Oleh:

Karmila Karim

NIM: 1110103000051

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

v

KATA PENGANTAR

Puji syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. yang telah melimpahkan Rahmat dan Karunia-Nya serta shalawat dan salam Kepada Nabi Muhammad SAW, sehingga Penulis dapat menyelesaikan laporan penelitian ini

yang berjudul “Hubungan Manifestasi Klinis dan Hasil Pemeriksaan Foto Toraks dalam Mendiagnosis TB di RSU Kota Tangerang Selatan pada Tahun 2013” dengan lancar dan tepat pada waktunya. Laporan penelitian ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran (S.Ked) di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Tak lupa Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian laporan penelitian ini. Penulis mengucapkan terima kasih khususnya kepada:

1. Prof. Dr (hc). dr. M.K. Tadjudin, Sp. And, selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2. dr. Witri Ardini, M.Gizi, Sp.GK, selaku Ketua Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

3. dr. Hadianti, SpPD, selaku Dosen Pembimbing I yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, masukan, arahan, dan petunjuk kepada Penulis selama penelitian dan penyusunan laporan penelitian ini. 4. dr. Marita Fadhillah, PhD, selaku Dosen Pembimbing II yang telah bersedia

disibukkan untuk memberikan petunjuk, bimbingan, masukan dan arahan, serta memotivasi Penulis selama penelitian dan penyusunan laporan penelitian ini.

5. dr. Ayat Rahayu, SpRad., M.Kes dan dr. Ahmad Azwar Habibi, M.Biomed, selaku Dosen Penguji Sidang Skripsi atas kesediaannya menjadi penguji, serta masukan dan saran yang telah diberikan agar laporan penelitian ini menjadi lebih baik.


(6)

vi

6. Hj. Neng Ulfah, S.sos.M.si, selaku direktur RSU Kota Tangerang Selatan yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian 7. Lebba S.Ag.,M.si atas segala bantuan dalam pengurusan beasiswa untuk

penulis

8. Seluruh Dosen dan Staff Program Studi Pendidikan Dokter UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, atas segala bantuan yang telah diberikan kepada Penulis

9. Pemerintah Daerah Luwu Timur yang memberikan beasiswa kepada penulis sehingga penulis dapat menempuh pendidikan di Program Studi Pendidikan Dokter UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

10. Bapak, ibu dan adik-adikku tersayang, atas seluruh bantuan dan dorongan yang selalu diberikan baik secara moral, material, maupun spiritual kepada penulis selama melakukan penelitian dan penyusunan laporan penelitian ini. 11. Kadir Niki dan Siti Suryani sebagai orang tua angkat angkat penulis yang

tidak hentinya mengingatkan dan mendoakan penulis, serta memberikan bantuan moral, material, maupun spiritual kepada penulis.

12. Teman-teman PSPD angkatan 2010 khususnya para teman seperjuangan kelompok 6, Fitria Luluk M, Khoirul Ahmada Putra, Ali Alatas, dan Abdullah Zidqul Azmi, yang telah saling mengingatkan dan mendo’akan, memberi motivasi dan semangat, serta membantu Penulis selama penelitian dan penyusunan laporan penelitian ini.

13. Sahabat-sahabat tersayang Yuni S, Chyndy Lestari, Isabella, dan Abdul Khafid Masnur yang telah mengingatkan dan mendoakan, memberi motivasi dan semangat kepada penulis selama penelitian dan penyusunan laporan penelitian ini.

14. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah memberikan bantuan baik secara langsung maupun tidak langsung kepada Penulis selama penelitian dan penyusunan laporan penelitian ini.

Penulis menyadari bahwa penyusunan laporan penelitian ini masih jauh dari sempurna, serta banyak terdapat kesalahan maupun kekurangan. Oleh karena itu, Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan laporan penelitian ini.


(7)

vii

Penulis juga berharap semoga laporan penelitian ini dapat bermanfaat bagi para pembaca, dan bagi semua pihak, khususnya bagi dunia pendidikan kedokteran di Indonesia.

Ciputat, September 2013


(8)

viii

ABSTRAK

Karmila Karim. Program Studi Pendidikan Dokter Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Hubungan Manifestasi Klinis dan Hasil Pemeriksaan Foto Toraks dalam Mendiagnosis TB di RSU Kota Tangerang Selatan pada Tahun 2013

Latar Belakang. Tuberkulosis paru merupakan masalah besar dalam dunia kesehatan. Diagnosis dini sangat penting untuk pencegahan penyakit kronis dan pembentukan sekuel. Di Indonesia diagnosis Tuberkuosis paru masih banyak berdasarkan manifestasi klinis yang khas dan pemeriksaan foto toraks oleh karena mudah dan cepat untuk mendiagnosis Tuberkulosis paru. Tujuan: Untuk mengetahui hubungan manifestasi klinis dan hasil pemeriksaan foto toraks pada penderita tuberkulosis. Metode: Penelitian ini menggunakan metode analitik komparatif tidak berpasangan, dengan pendekatan potong lintang. Jumlah sampel sebanyak 82 orang, menggunakan consecutive sampling dan analisis data menggunakan Kolmogorov-Smirnov test. Hasil: dari data yang diperoleh, manifestasi klinis yang paling banyak ditemukan adalah batuk berdahak (73,2%), dan dari hasil pemeriksaan foto toraks berdasarkan gambaran radiologi yang paling banyak adalah bayangan awan dan bercak (72%). Sedangkan menurut klasifikasi American Tuberculosis Association yang paling banyak ditemukan adalah lesi sedang (64,9%). Kesimpulan: Terdapat hubungan yang signifikan antara batuk berdahak dengan hasil pemeriksaan foto toraks berdasarkan gambaran radiologi dengan nilai (p =0,047) dan klasifikasi American Tuberculosis Association dengan nilai (p<0,000)


(9)

ix

ABSTRACT

Karmila Karim. Medical Education Study Program, Islamic State University of Syarif Hidayatullah Jakarta. The Relationship of Clinical Manifestation and Result of Chest X-ray Examination in Patients with Pulmonary Tuberculosis in RSU Tangerang Selatan City in 2013.

Background: Pumonary tuberculosis remains a big health problem. Early diagnosis is very important for prevention of the chronic form the disease and sequel formation. In Indonesia diagnosis of pulmonary tuberculosis is still a lot according to typical of clinical manifestation and chest x-ray examination because is an easy and quick tool for diagnosis of pulmonary tuberculosis. Aim: to determinate the relationship of clinical manifestation and result of chest x-ray examination in patients with pulmonary tuberculosis. Methods: This research uses unpaired categorical analytic method, with cross sectional approach. Number of samples taken was 82 people, using consecutive sampling technique and data were analysed with Kolmogorov-Smirnov test. Result: from the data it was found that cough with sputum is the most manifestasion in patients and from chest x-ray examination according to image of radiograph it was found that patchy and nodular (72%) is the most founded in patients. Meanwhile, according to classification of American Tuberculosis Association moderately advanced (64,9%) is the most founded in patients. Conclusion: For the statistical analysis showed there significant relationship between cough with sputum with result of x-ray examination according to image of radiograph with p value = 0,047 (p<0,05) and classification American Tuberculosis Association with p value = 0,000 (p<0,05).


(10)

x

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... ii

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

LEMBAR PENGESAHAN ... iv

KATA PENGANTAR ... v

ABSTRAK ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR BAGAN ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ...xiv

DAFTAR SINGKATAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 3

1.3 Hipotesis Penelitian ... 3

1.4 Tujuan Penelitian ... 3

1.4.1 Tujuan Umum ... 3

1.4.2 Tujuan Khusus ... 3

1.5 Manfaat Penelitian ... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1 Landasan Teori ... 5

2.1.1 TuberkulosisParu ... 5

2.1.1.1 EpidemiologiTuberkulosisParu ... 5

2.1.1.2 Etiologi TuberkulosisParu... 6

2.1.1.3 PatogenesisTuberkulosisParu ... 6

2.1.1.4 KlasifikasiTuberkulosisParu ... 8

2.1.1.5 ManifestasiKlinisTuberkulosisParu ... 10

2.1.1.6 Diagnosis TuberkulosisParu ... 13

2.1.2 PemeriksaanFotoToraks ... 15

2.2 Kerangka Teori ... 21

2.3 Kerangka Konsep... 22

2.4 Definisi Operasional ... 23


(11)

xi

3.1 Desain Penelitian ... 24

3.2 Waktu dan TempatPenelitian ... 24

3.3 Populasi dan Sampel ... 24

3.3.1 Populasi Target ... 24

3.3.2 PopulasiTerjangkau ... 24

3.4 Kriteria Sampel ... 24

3.4.1 Kriteria Inklusi ... 24

3.4.2 Kriteria Eksklusi ... 24

3.5 EstimasiBesar Sampling ... 26

3.6 Cara PengambilanSampel ... 26

3.7 Cara KerjaPenelitian ... 26

3.8 Managemen Data ... 26

3.8.1 Pengumpulan Data ... 26

3.8.2 Pengolahan Data... 27

3.8.3 Analisis Data ... 27

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 29

4.1 HasilPenelitiandanPembahasan ... 29

4.1.1 Analisis Univariat ... 29

4.1.1.1 Gambaran Karakteristik Responden ... 29

4.1.1.2 Gambaran Variabel Penelitian ... 31

4.1.2 Analisis Bivariat ... 35

4.2 Keterbatasan Penelitian ... 44

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ... 45

5.1 Simpulan ... 45

5.2 Saran ... 46

DAFTAR PUSTAKA ... 47


(12)

xii

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Presentasi Manifestasi Klinis pada Penderita TB Paru Berdasarkan

Usia ... 12

Tabel 2.2 Presentasi Manifestasi Klinis pada Penderita TB Paru Berdasarkan Usia ... 12

Tabel 2.3 Hasil Pemeriksaan Foto Toraks pada Penderita TB Paru Berdasarkan Usia ... 17

Tabel 2.4 Hasil Pemeriksaan Foto Toraks dan Laboratorium pada Penderita TB Paru Berdasarkan Usia ... 18

Tabel 2.5 Hasil Pemeriksaan Foto Toraks pada Penderita TB paru Berdasarkan Jenis Kelamin ... 19

Tabel 2.6 Definisi Operasional. ... 23

Tabel 4.1 Distribusi Responden Berdasarkan Usia ... 29

Tabel 4.2 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ... 30

Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Manifestasi Klinis pada Penderita TB Paru ... 31

Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Hasil Pemeriksaan Foto Toraks ... 32

Tabel 4.5 Hubungan Batuk Berdahak dengan Hasil Pemeriksaan Foto Toraks Berdasarkan Gambaran Radiologi ... 35

Tabel 4.6 Hubungan Batuk Berdahak dengan Hasil Pemeriksaan Foto Toraks Berdasarkan Klasifikasi ATA ... 37

Tabel 4.7 Hubungan Sesak Napas dengan Hasil Pemeriksaan Foto Toraks Berdasarkan Gambaran Radiologi ... 38

Tabel 4.8 Hubungan Sesak Napas dengan Hasil Pemeriksaan Foto Toraks Berdasarkan Klasifikasi ATA ... 39

Tabel 4.9 Hubungan Batuk Darah dengan Hasil Pemeriksaan Foto Toraks Berdasarkan Gambaran Radiologi ... 41

Tabel 4.10 Hubungan Batuk Darah dengan Hasil Pemeriksaan Foto Toraks Berdasarkan Klasifikasi ATA ... 42


(13)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Alur Diagnosis TB Paru ... 15 Gambar 2.2 Skema Klasifikasi American Tuberculosis Association ... 20


(14)

xiv

DAFTAR BAGAN

Bagan 2.1 Kerangka Teori ... 21 Bagan 2.2 Kerangka Konsep ... 22 Bagan 3.1 Cara Kerja Penelitian ... 26


(15)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Hasil Pemeriksaan Radiologi ... 51 Lampiran 2 Hasil Penelitian... 53


(16)

xvi

DAFTAR SINGKATAN

AIDS : Acquired ImmSunodeficiency Syndrome

ARDS : Acute Respiratory Distress Syndrome

ARTI : Annual Risk Tuberculosis Infection ATA : American Tuberculosis Association

BACTEC : Becton Dickinson Diagnostic Instrument System

BTA : Basil Tahan Asam

ELISA : Enzyme Linked Immunosorbent Assay

IgG : Imunoglobulin G

HIV : Human Immunodeficiency Syndrome

LED : Laju Endap Darah

PA : Posterior Anterior

PAP : Peroxidase anti Peroxidase

PCR : Polymerase Chain Reaction

SPS : Sewaktu, Pagi, Sewaktu

TB : Tuberkulosis


(17)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Tuberkulosis (TB) paru adalah suatu penyakit infeksi kronik yang sudah sangat lama dikenal pada manusia, dan sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan yang masih sulit dipecahkan. Pada bulan Maret 1993 World Health

Organization (WHO) mendeklarasikan TB sebagai global health emergency. TB dianggap sebagai masalah kesehatan dunia yang penting karena lebih kurang 1/3 penduduk dunia terinfeksi oleh Mycobacterium tuberculosis. Menurut laporan WHO 1,6 juta orang meninggal karena TB pada tahun 2005 dan pada tahun 2007 TB menjadi penyebab kematian utama di seluruh dunia.1,2

Pada tahun 2009, WHO menetapkan Asia Tenggara sebagai daerah dengan kasus TB baru tertinggi yaitu 35 % dari insidensi global. Indonesia adalah negara dengan prevalensi infeksi TB ketiga tertinggi di dunia setelah Cina dan India. Estimasi Insidensi TB di Indonesia pada tahun 2009 adalah 430.000 kasus dengan mortalitas sebesar 61.000.3 Sementara itu, insidensi TB di Jakarta Selatan pada tahun 2011 adalah 5.291 kasus dan Insidensi TB di Tangerang Selatan pada tahun 2011 adalah 39,9% dari insidensi penyakit TB di Jakarta Selatan.4

Tuberkulosis merupakan penyakit dengan mortalitas ketiga di Indonesia yang sampai sekarang belum dapat disembuhkan secara sempurna bahkan sebaliknya jumlah penderita baru dari hari ke hari semakin meningkat. Peningkatan ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti sosioekonomi, masalah-masalah yang berkaitan dengan kesehatan seperti alkoholisme, resistensi obat, tingkat kepatuhan minum obat, tingginya infeksi HIV/AIDS, dimana peningkatan insiden lebih nyata pada negara-negara berkembang.5,6,7

Dalam upaya pemberantasan TB paru, diagnosis yang tepat untuk menemukan kasus TB paru secara dini sangat diperlukan dalam memutus rantai penularan TB paru. Hal ini ditunjang dengan sarana diagnostik yang tepat.8


(18)

Diagnosis TB paru dapat dilakukan selain dari manifestasi klinis seperti batuk berdahak, batuk darah dan sesak napas, diagnosis TB paru juga dapat dilakukan dengan pemeriksaan penunjang. Salah satu pemeriksaan penunjang yang praktis untuk menemukan lesi tuberkulosis adalah pemeriksaan foto toraks.9 Menurut data dari evidence based guide book, hanya 5% pasien TB paru reaktif yang mempunyai foto toraks normal, sisanya abnormal. Sensitivitas dan spesifisitas foto toraks dalam mendiagnosis TB paru yaitu 86% dan 83% apabila ditemukan lesi apikal, kavitas, dan gambaran retikulonodular.10

Tidak ada cara lain yang sebanding pentingnya dengan pemeriksaan foto toraks untuk dokumentasi dan pemeriksaan berkala (follow-up) yang obyektif. Suatu penyakit paru belum dapat disingkirkan dengan pasti sebelum dilakukan pemeriksaan foto toraks. Hasil pemeriksaan BTA positif di bawah mikroskop memerlukan kurang lebih 5000 kuman/ml sputum, sedangkan untuk mendapatkan kuman positif pada kultur sputum yang merupakan diagnosis pasti dibutuhkan sekitar 50-100 kuman/ml sputum. Pulasan BTA sputum mempunyai sensitivitas yang rendah, terutama tuberkulosis non kavitas, dan akan memberikan kepositivan 10% pada pasien dengan gambaran tuberkulosis, dan 40 % penderita TB paru dewasa mempunyai hasil negatif pada pulasan sputumnya. Pemeriksaan mikrobiologi dari dahak ini mempunyai keterbatasan antara lain sulit untuk mendapatkan dahak dalam jumlah yang cukup.11

Di Indonesia diagnosis TB paru masih banyak ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis yang khas pada penderita TB seperti batuk berdahak, batuk darah, dan sesak napas. Selain itu diagnosis TB paru juga dapat dilakukan dengan foto toraks yang merupakan pilihan terbaik untuk skrining TB paru oleh karena pemeriksaan ini cepat dan mudah dilakukan.3 Sementara itu data dari RSU Kota Tangerang Selatan periode Januari-Juni 2013 menunjukkan TB paru menempati rangking pertama dalam 10 besar penyakit yang berhasil terdiagnosis di RSU Kota Tangerang Selatan dengan rerata 334 kasus per bulan. Oleh sebab itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya hubungan antara manifestasi klinis TB dengan hasil pemeriksaan foto toraks.12


(19)

1.1 Rumusan Masalah

Rumusan masalah pada penelitian ini adalah “Apakah manifestasi klinis TB paru berhubungan dengan hasil pemeriksaan foto toraks di RSU Kota

Tangerang Selatan tahun 2013?” 1.2Hipotesis

Hipotesis penelitian ini adalah terdapat hubungan antara manifestasi klinis TB paru dengan hasil pemeriksaan foto toraks.

1.3Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan Umum

Mengetahui hubungan antara manifestasi klinis TB paru terhadap hasil pemeriksaan foto toraks.

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui dan mendapatkan manifestasi klinis TB paru yang paling berhubungan dengan pemeriksaan foto toraks.

2. Mengetahui dan mendapatkan manifestasi klinis TB paru.

1.4Manfaat Penelitian 1.5.1 Bagi Penulis

1. Sebagai persyaratan untuk gelar sarjana Program Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2. Menambah wawasan dan pemahaman tentang manifestasi klinis TB paru yang berhubungan dengan hasil pemeriksaan foto toraks.

1.5.2 Bagi Masyarakat

Dengan penelitian ini memberikan wawasan bagi masyarakat dalam memahami manifestasi klinis TB paru serta mengetahui manfaat pemeriksaan foto toraks pada penyakit TB


(20)

1.5.3 Bagi FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Setelah penelitian ini telah selesai diharapkan dapat menjadi landasan dasar untuk penelitian selanjutnya yang berkenaan dengan perbandingan diagnosis TB dengan hasil pemeriksaan radiologi.

1.5.4 Bagi Rumah Sakit

Sebagai sumber informasi bagi pihak Rumah Sakit agar lebih memperhatikan penyakit TB sehingga dapat mencegah keterlambatan dalam penegakan diagnosis TB paru dan pengambilan keputusan memulai pengobatan pada penderita TB paru.


(21)

5 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori

2.1.1 Tuberkulosis Paru

Tuberkulosis paru merupakan penyakit menular langsung yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.13

2.1.1.1 Epidemiologi

Pada tahun 2009 WHO (World Health Organization) melaporkan lebih dari 5,8 juta kasus baru TB (semua jenis,TB paru dan ekstraparu) berasal dari negara-negara berkembang.WHO memperkirakan bahwa kasus baru 9,4 juta terjadi di seluruh dunia pada tahun 2009, diantaranya 95 % berasal dari negara-negara berkembang di Asia (5,2 juta), Afrika (2,8 juta), Timur Tengah (0,7 juta), dan Amerika Latin (0,3 juta).8 Lebih lanjut diperkirakan bahwa 1,7 juta kematian diakibatkan oleh TB, termasuk 0,4 juta orang yang menderita TB dengan infeksi HIV yang berasal dari negara-negara berkembang.14,15

Indonesia adalah negara dengan prevalensi infeksi TB ketiga tertinggi di dunia setelah Cina dan India. Berdasarkan survei kesehatan nasional 2001, TB menempati posisi ketiga sebagai penyebab kematian tertinggi di Indonesia. Angka kejadian TB di Indonesia masih terlepas dari angka kejadian infeksi HIV hingga saat ini. Akan tetapi, hal ini dapat berubah pada masa mendatang mengingat laporan kasus HIV yang terus meningkat. Provinsi Nusa Tenggara Timur memiliki prevalensi tertinggi TB pada survei tahun 1979-1982.14Sementara itu, data di RSU kota Tangerang Selatan pada tahun 2012 menunjukkan insidensi TB paru adalah 2.181 kasus dan pada tahun 2013 periode Januari-Juni 2013 menunjukkan rerata yaitu 334 kasus per bulan12


(22)

2.1.1.2 Etiologi

Penyebab infeksi tuberkulosis adalah Mycobacterium tuberculosis, sejenis kuman berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4/µm dan tebal 0,3-0,6/µm. Mycobacterium tuberculosis merupakan kuman batang aerobik dan tahan asam dan merupakan organisme patogen yang penting bagi manusia.14,16

2.1.1.3 Patogenesis

Tuberkulosis Primer

Tempat masuk kuman Mycobacterium tuberculosis adalah saluran pernapasan, saluran pencernaan, dan luka terbuka pada kulit. Kebanyakan infeksi TB terjadi melalui udara, yaitu melalui inhalasi droplet yang mengandung kuman-kuman basil tuberkel yang berasal dari orang yang terinfeksi. Partikel infeksi ini dapat menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam, tergantung pada ada tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi yang buruk dan kelembaban. Dalam suasana lembab dan gelap kuman dapat berhari-hari sampai berbulan-bulan Bila partikel infeksi ini terisap oleh orang sehat, ia akan menempel pada saluran napas atas atau jaringan paru.14,17

TB adalah penyakit yang dikendalikan oleh respon imunitas diperantarai sel. Sel efektor adalah makrofag, dan limfosit(biasanya sel T) adalah sel imunoresponsif. Tipe imunitas seperti ini biasanya lokal, melibatkan makrofag yang diaktifkan di tempat infeksi oleh limfosit dan limfokinnya. Respon ini disebut sebagai reaksi hipersensitivitas selular.17,18

Basil tuberkel yang mencapai permukaan alveolus biasanya diinhalasi sebagai suatu unit yang terdiri dari satu sampai tiga basil ; gumpalan basil yang lebih besar cenderung tertahan di saluran hidung dan cabang besar bronkus dan tidak menyebabkan penyakit. Setelah berada dalam ruang alveolus, biasanya di bagian bawah lobus atas paru atau di bagian atas lobus bawah, basil ini membangkitkan reaksi peradangan. Leukosit polimorfonuklear tampak pada tempat tersebut dan memfagosit bakteri namun tidak membunuh organisme


(23)

tersebut. Sesudah hari-hari pertama, leukosit diganti oleh makrofag. Alveoli yang terserang akan mengalami konsolidasi, dan timbul pneumonia akut. Pneumonia selular ini dapat sembuh dengan sendirinya, sehingga tidak ada sisa yang tertinggal, atau proses dapat berjalan terus, dan bakteri terus difagosit atau berkembang biak di dalam sel. Basil juga menyebar melalui getah bening menuju ke kelenjar getah bening regional. Makrofag yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan sebagian bersatu sehingga membetuk sel tuberkel epiteloid, yang dikelilingi limfosit.Reaksi ini biasanya membutuhkan waktu 10 sampai 20 hari.17,18

Nekrosis bagian sentral lesi memberikan gambaran yang relatif padat dan seperti keju yang disebut nekrosis kaseosa. Daerah yang mengalami nekrosis kaseosa dan jaringan granulasi di sekitarnya yang terdiri sel epiteoid dan fibroblas menimbulkan respons berbeda. Jaringan granulasi menjadi lebih fibrosa, membentuk jaringan parut kolagenosa yang akhirnya membentuk suatu kapsul yang mengelilingi tuberkel. Lesi primer paru disebut fokus Ghon dan gabungan terserangnya kelenjar getah bening regional dan lesi primer disebut kompleks Ghon. Kompleks primer ini selanjutnya dapat menjadi14,19:

 Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat. Ini yang banyak terjadi.

 Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis-garis fibrotik,kalsifikasi di hilus,keadaan ini terdapat pada lesi pneumonia yang luasnya > 5 mm dan ± 10 % diantaranya dapat terjadi reaktivasi lagi karena kuman yang bersifat laten.

 Berkomplikasi dan menyebar secara : a). Perkontinuitatum,yakni menyebar kesekitarnya, b). Secara bronkogen pada paru yang bersangkutan maupun paru yang di sebelahnya. Kuman dapat juga tertelan bersama sputum dan ludah sehingga menyebar ke usus, c). Secara limfogen, ke organ tubuh lainnya, d). Secara hematogen, ke organ tubuh lainnya.


(24)

Tuberkulosis Pasca Primer (Tuberkulosis sekunder)

Kuman yang laten pada tuberkulosis primer akan muncul bertahun-tahun kemudian sebagai infeksi endogen menjadi tuberkulosis dewasa (tuberkulosis post primer = tuberkulosis pasca primer = tuberkulosis sekunder). Mayoritas reinfeksi mencapai 90%. Tuberkulosis sekunder terjadi karena imunitas menurun seperti pada keadaan malnutrisi, alkohol, penyakit keganasan, diabetes, AIDS, gagal ginjal.14,20

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada usia lebih tua reaktivasi TB umumnya terjadi di paru-paru. Hal ini mungkin disebabkan oleh penurunan imunitas lokal di paru-paru pada orang tua hal ini terkait dengan gaya hidup (merokok) atau kondisi komorbiditas yang bisa menyebabkan rentan terhadap reaktivasi di paru-paru. Sebuah studi terbaru di Inggris telah melaporkan bahwa kondisi komorbiditas seperti emfisema dan bronkitis merupakan faktor risiko independen TB.21

Tuberkulosis post-primer ini dimulai dengan sarang dini yang berlokasi di regio atas paru (bagian apikal posterior lobus superior atau inferior). Invasinya adalah kedaerah parenkim paru-paru dan tidak ke nodus hiler paru. Sarang dini ini mula-mula juga berbentuk sarang pneumonia kecil. Dalam 3-10 minggu sarang ini menjadi tuberkel yakni suatu granuloma yang terdiri dari sel-sel histiosit dan sel datia-langhans (sel besar dengan banyak inti) yang dikelilingi oleh sel-sel limfosit dan bermacam-macam jaringan ikat.14,19,20

2.1.1.4 Klasifikasi Tuberkulosis

Sampai sekarang belum ada kesepakatan di antara para klinisi, ahli radiologi, ahli patologi, mikrobiologi dan ahli kesehatan masyarakat tentang keseragaman klasifikasi tuberkulosis. Dari sistem lama diketahui beberapa klasifikasi seperti14:


(25)

1. Pembagian secara patologis:

 Tuberkulosis primer (childhood tuberculosis)

 Tuberkulosis post primer (adult tuberculosis) 2. Pembagian secara aktivitas radiologis :

 Tuberkulosis paru (Koch Pulmonum) aktif

 non aktif

quiescent

3. Pembagian secara radiologis (luas lesi):

 Tuberculosis minimal

Moderately Advanced Tuberculosis

Far Advanced Tuberculosis

Di Indonesia klasifikasi yang banyak dipakai adalah14: 1. Tuberkulosis paru

2. Bekas tuberkulosis paru

3. Tuberkulosis paru tersangka, yang terbagi dalam:

a. Tuberkulosis paru tersangka yang diobati. Disini sputum BTA negatif, tapi tanda-tanda lain positif.

b. Tuberkulosis paru tersangka tersangka yang tidak diobati. Disini sputum BTA negatif dan tanda-tanda lain juga meragukan.


(26)

2.1.1.5Manifestasi Klinis

Keluhan yang dirasakan penderita tuberkulosis dapat bermacam-macam atau malah tanpa keluhan sama sekali. Keluhan yang terbanyak adalah14,18,22:

1. Demam

Penelitian Vauthey tahun 1998 di India menunjukkan bahwa demam terjadi sekitar 60-85% pada penderita TB. Biasanya subfebril menyerupai demam influenza, tetapi kadang-kadang panas badan dapat mencapai 40-41ºC. Serangan demam pertama dapat sembuh kembali. Bagitulah seterusnya hilang timbulnya demam influenza ini, sehingga penderita merasa tidak pernah terbebas dari serangan demam influenza. Keadaan ini sangat dipengaruhi daya tahan tubuh penderita dan berat ringannya infeksi kuman tuberkulosis yang masuk.23

2. Batuk

Batuk dapat terjadi karena adanya iritasi pada bronkus. Batuk ini diperlukan untuk membuang produk-produk radang keluar. Sifat batuk mulai dari kering (non produktif) kemudian setelah timbul peradangan menjadi produktif (menghasilkan sputum). Batuk yang bersifat akut merupakan penyebab yang paling sering dikeluhkah oleh pasien ketika berkonsultasi ke dokter. Sedangkan batuk yang bersifat kronik didefinisikan sebagai batuk yang durasinya lebih dari 8 minggu.24

3. Batuk Darah

Keadaan yang lebih lanjut dari batuk berupa batuk darah (hemoptosis) karena terdapat pembuluh darah yang pecah. Sekitar 70% batuk darah disebabkan oleh tubekulosis dan biasanya terjadi pada kavitas, tetapi dapat juga terjadi pada ulkus dinding bronchus.25,26,27 Hemoptisis atau batuk darah bias banyak, atau bisa pula sedikit sehingga hanya berupa garis merah cerah di dahak. Hemoptisis masif adalah ekspektorasi 600 ml darah dalam 24 sampai 48 jam.28


(27)

4. Sesak napas

Sesak napas merupakan ungkapan rasa/sensasi yang dialami individu dengan keluhan tidak enak/tidak nyaman bernapas. Pada penyakit yang ringan (baru tumbuh) belum dirasakan sesak nafas. Sesak nafas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, dimana infiltrasinya sudah setengah bagian paru-paru.29

5. Nyeri dada

Gejala ini agak jarang ditemukan. Nyeri dada timbul apabila infiltrasi radang sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis.14

6. Malaise

Penyakit tuberkulosis bersifat radang yang menahun. Gejala malaise sering ditemukan berupa: anoreksia, tidak ada nafsu makan, badan makin kurus (berat badan turun), sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam, dll. Gajala malaise ini makin lama makin berat dan terjadi hilang timbul secara tidak teratur.14,18

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Towhidi dkk menunjukka bahwa pasien yang lebih muda lebih sering mengalami demam, keringat malam, penrunan berat badan dan hemoptisis daripada orang tua. Tetapi, dalam sebuah studi perbandingan prospektif, Korzeniewska-Kosela menyimpulkan bahwa meskipun pasien yang lebih muda lebih sering mengalami demam, dan hemoptisis tetapi tidak didapatkan perbedaan secara signifikan.30


(28)

Tabel 2.1 Presentasi manifestasi klinis pada penderita TB paru berdasarkan usia30

Clinical features Young ( n = 33) Elderly(n = 40) P value * Number (%) Number (%)

Fever 26 (78) 23 (57.5) 0.046

Weight loss 31 (94) 32 (80) 0.049

Night sweats 8 (24) 9 (22.5) 0.508

cough 33 (100) 37 (92.5) 0.297

Hemoptysis 10 (30) 6 (15) 0.156

Abnormal mentation

- 2 (5) 0.277

* p<0.05 was considered as significant

Sementara itu berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lee dkk menyatakan bahwa Hemoptisis dan demam lebih sering terjadi pada pasien yang lebih muda, sedangkan kelemahan, dispnea, anoreksia, dan perubahan mental lebih sering terjadi pada pasien yang lebih tua.31

Tabel 2.2 Presentasi manifestasi klinis penderita TB paru berdasarkan usia31

Young (<65 yr, %)

(n=207)

Elderly (≥65 yr, %)

(n=119)

p value

Respiratory symptoms

 Cough and/or

sputum

157 (75.8) 80 (67.2) 0.093

 Dyspnea 46 (22.2) 46 (38.7) 0.002

 Hemoptysis 68 (32.9) 17 (14.3) <0.001

 Chest pain 10 (4.8) 5 (4.2) 1.000

General Symptoms

 Febrile sense 95 (45.9) 39 (32.8) 0.020

 Night sweat 11 (5.3) 4 (3.4) 0.585

 Weakness 51 (24.6) 60 (50.4) < 0.001

 Weight loss 53 (25.6) 43 (36.1) 0.045

 Anorexia 39 (18.8) 47 (31.4) <0.001

 Mental change 1 (0.5) 16 (13.4) <0.001

No symptoms 15 (5.8) 2 (1.7) 0.037

Body Temperature >37.5°C

114 (55.1) 53 (44.5) 0.067

Symptom Duration (weeks)

4.3±4.7 6.2±6.1 0.004


(29)

2.1.1.6Diagnosis

Untuk menegakkan diagnosis TB paru perlu dilakukan beberapa pemeriksaan seperti pemeriksaan klinis, pemeriksaan radiologi, dan pemeriksaan laboratorium.

1. Pemeriksaan Klinis dibagi atas pemeriksaan manifestasi klinis dan pemeriksaan fisik11:

a) Pemeriksaan Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis TB paru dibagi menjadi dua golongan yaitu: manifestasi klinis respiratorik seperti batuk, batuk darah, sesak napas, dan nyeri dada. Golongan yang kedua adalah manifestasi klinis sistemik seperti demam, keringat malam, anoreksia, malaise, berat badan menurun serta nafsu makan menurun.

b) Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik sangat tergantung pada luas lesi dan kelainan struktural paru yang terinfeksi. Pada permulaan penyakit sulit didapatkan kelainan pada pemeriksaan fisik. Suara atau bising napas abnormal dapat berupa suara bronkial, amforik, ronki basah, suara napas melemah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma dan mediastinum.

2. Laboratorium darah rutin (LED normal atau meningkat, limfositosis)14 3. Foto toraks PA dan lateral. Gambaran foto toraks yang menunjang

diagnosis TB yaitu11,14:

 Bayangan lesi terletak dilapangan atas paru atau segmen apikal lobus bawah.

 Bayangan berawan (patchy) atau berbercak (nodular).

 Adanya kavitas, tunggal, atau ganda.


(30)

 Adanya kalsifikasi.

 Bayangn menetap pada foto ulang beberapa minggu kemudian.

 Bayangan milier. 4. Pemeriksaan Sputum BTA

Pemeriksaan mikroskopik ini dapat melihat adanya basil tahan asam, dimana dibutuhkan paling sedikit 5000 batang kuman per mil sputum untuk mendapatkan kepositifan. Pewarnaan yang umum dipakai adalah pewarnaan Zielh Nielsen dan pewarnaan Kinyoun Gabbet11.

5. Peroksidase anti peroksidase ( PAP)

Merupakan uji serologi imunoperoksidase memakai alat histogen imunoperoksidase staining untuk menentukan adanya IgG spesifik terhadap basil TB11.

6. Tes Mantoux/Tuberkulin

Sampai saat ini, tes kulit tuberkulin adalah satu-satunya tes untuk mendeteksi infeksi laten TB yang menggunakan campuran antigen dari Mycobacterium tuberculosis.18,32

7. Teknik Polymerase Chain Reaction

Deteksi DNA kuman secara spesifik melalui amplifikasi dalam berbagai tahap sehingga dapat mendeteksi meskipun hanya ada1 mikroorganisme dalam specimen. Selain itu teknik PCR ini juga dapat mendeteksi adanya resistensi11,18.

8.Becton Dickinson Diagnostic Instrument System (BACTEC)


(31)

Gambar 2.1 Alur Diagnosis TB Paru13

2.1.1.7 Pemeriksaan Foto Toraks

Pemeriksaan toraks merupakan pemeriksaan yang sangat penting. Kemajuan yang pesat selama dasawarsa terakhir dalam teknik pemeriksaan radiologi toraks dan pengetahuan untuk menilai suatu roengtgenogram toraks menyebabkan pemeriksaan toraks dengan sinar roentgen ini suatu keharusan rutin. Pemeriksaan paru tanpa pemeriksaan roentgen saat ini dianggap tidak lengkap.16 Suatu penyakit paru belum dapat disingkirkan dengan pasti sebelum dilakukan pemeriksaan radiologi karena menurut beberapa ahli pemeriksaan radiologi toraks merupakan prediktor terbaik yang dapat mendeteksi berbagai kelainan dini dalam paru juga sebelum timbul gejala-gejala klinis, sehingga pemeriksaan secara rutin pada orang-orang yang tidak memiliki keluhan (mass-chest survey) sudah menjadi prosedur yang lazim dalam pemeriksaan secara massal.9,33


(32)

Pada saat ini pemeriksaan foto toraks merupakan cara yang praktis untuk menemukan lesi tuberkulosis. Diagnosis dini sangat penting untuk pencegahan bentuk penyakit kronis dan pembentukan sekuel 11,14. Pemeriksaan ini memang membutuhkan biaya lebih dibandingkan pemeriksaan sputum, tapi dapat memberikan keuntungan yaitu pada pemeriksaan tuberkulosis pada anak dan tuberkulosis milier. Pada kedua hal ini diagnosis dapat diperoleh melalui pemeriksaan foto toraks karena pemeriksaan sputum hampir selalu negatif. Pemeriksaan foto toraks seringkali menunjukkan adanya TB, tetapi hampir semua manifestasi TB dapat menyerupai penyakit-penyakit lainnya.14,33

Lokasi lesi tuberkulosis umumnya didaerah apeks paru (segmen apikal lobus atas atau segmen apikal lobus bawah) yang terlihat homogen dengan densitas yang lebih pekat. Akan tetapi dapat juga mengenai lobus bawah (bagian inferior) atau di daerah hilus menyerupai tumor paru (misalnya pada tuberkulosis endobronkial).8,21,34,35,36,37,38

Pada awal penyakit saat lesi masih merupakan sarang – sarang pneumonia, gambaran radiologis berupa bercak – bercak seperti awan dan dengan batas – batas yang tidak tegas. Bila lesi sudah diliputi jaringan ikat maka bayangan terlihat berupa bulatan dengan batas yang tegas. Lesi ini dikenal dengan tuberkuloma.14

Pada aktivitas bayangannya berupa cincin yang mula – mula berdinding tipis. Lama lama dinding jadi sklerotik dan terlihat menebal. Bila terjadi fibrosis terlihat bayangan yang bergaris – garis. Pada kalsifikasi bayangannya tampak sebagai bercak- bercak padat dengan densitas tinggi. Pada atelektasis tampak terliahat seperti fibrosis yang luas disertai penciutan yang dapat terjadi pada sebagian atau satu lobus maupun pada satu bagian paru. Gambaran tuberkulosis milier berupa bercak-bercak halus yang umumnya tersebar merata pada seluruh lapangan paru.14

Gambaran radiologi dibagi ke dalam sembilan kategori pola radiografi yaitu konsolidasi, efusi pleura, lesi milier, fibrosis, retikulasi, kalsifikasi, kolaps, massa, kavitasi dan normal.31 Gambaran radiologi lain yang sering menyertai TB


(33)

paru adalah penebalan pleura (pleuritis), massa cairan di bagian bawah paru (efusi pleura/empiema),bayangan hitam radiolusen di pinggir paru/pleura (pneumotoraks). Pada suatu foto dada sering didapatkan bermacam-macam bayangan sekaligus (pada tuberkulosis yang sudah lanjut) seperti infiltrat, garis garis fibrotik, kalsifikasi, kavitas (non sklerotik/sklerotik) maupun atelektasis dan emfisema.14

Adanya bayangan lesi pada foto dada, bukanlah menunjukkan adanya aktivitas penyakit,kecuali infiltrat betul-betul nyata. Lesi penyakit yang sudah non-aktif, sering menetap selama pasien masih hidup. Lesi yang berupa fibrotik, kalsifikasi, kavitas, schwarte, sering dijumpai pada orang-orang yang sudah tua.14

Gambaran radiologi pada pasien usia lanjut memiliki penampilan atipikal dan pasien cenderung kurang memiliki infiltrasi pada lobus atas dan lebih sering infiltrasi terlihat lebih luas dari kedua bidang paru dan infiltrasi pada lobus bawah.30

Tabel 2.3 Hasil pemeriksaan radiologi pada penderita TB paru berdasarkan usia30

Radiological findings

Young (n = 33) Elderly (n = 40) P value * Number (%) Number (%)

Upper lobe infiltration

18 (54.5) 6 (15) 0.001

Lower lung field 8 (24) 14 (35) 0.1

infiltration

Cavitation 21 (63) 10 (25) 0.001

Miliary - 1 (2.5) -

* p<0.05 was considered as significant

Sementara itu penelitian yang dilakukan oleh Lee dkk menyatakan bahwa pada dua kelompok, lesi aktif TB paru terdapat di lobus atas paru, Tetapi pada orang tua memiliki data yang signifikan lebih tinggi lesi aktif di lobus tengah atau lobus bawah paru. Khas tipe nodular berserat dengan atau tanpa lesi kavitas lebih sering pada pasien muda, sedangkan pneumonia atau massa seperti lesi lebih sering terjadi pada orang tua.2


(34)

Tabel 2.4 Hasil pemeriksaan radiologi dan laboratorium pada penderita TB paru berdasarkan usia31

Young (<65 yr, %) (n=207)

Elderly (≥65 yr, %) (n=119)

p value Radiologic finding

Location of TB lesion

Upper* 185 (89.4) 92 (77.3) 0.003

Lower 22 (10.6) 27 (22.7) <0.001

Appearance of lesion

 Typical feature 187 (90.3) 72 (60.5)

 Pneumonia like 15 (7.2) 28 (23.5)

 Mass like 5 (2.4) 17 (14.3)

 Others 0 (0) 2 (1.7)

Sputum acid fast bacilli

Smear (+) 119 (57.5) 68 (57.1) 0.952

Culture (+) 154 (74.4) 84 (70.6) 0.709

Hematologic findings

Leukocyte count (/ L) 8,413±3,435 8,180±3,085 0.545

ESR (mm/hr) 45.0±31.6 55.8±32.0 0.010

Leukocytosis 48 (23.2) 31 (26.1) 0.569

*: Lesion on the upper lobe only or upper lobe plus other lobe. ฀: Fibrous nodular and/or cavity. ฀: Erythrocyte sedimentation rate. ฀: White bloodcell >104/ L

Sementara itu studi lain memperlihatkan hasil radiologi menurut jenis kelamin yaitu, efusi pleura terlihat pada 33% kasus dan lebih sering terjadi pada pria daripada wanita, terutama pada kelompok usia 20-40-tahun yang mirip dengan fibrosis dan bronkiektasis. Namun, konsolidasi-infiltrasi dan lesi kavitas terlihat lebih sering pada wanita yang berusia 20-40 tahun dibandingkan dengan laki-laki dalam kelompok usia yang sama, tetapi perbedaannya tidak signifikan.5


(35)

Tabel 2.5 Hasil pemeriksaan radiologi pada penderita TB paru berdasarkan jenis kelamin8

Radiological Findings Men (percent) Women (percent) Overall

Consolidation-infiltration

50 (50%) 60 (60%’) 110 (55%) Pleural effusion 39 (39%) 27 (27%) 66 (33%) Cavitation 22 (22%) 24 (24%) 46 (23%) Fibrosis 38 (38%) 33 (33%) 68 (34%) Pleural thickening 23 (23%) 22 (22%) 45 (22.5%) Lymphadenopathy 3 (3%) 15 (15%) 18 (9%) Miliary pattern 4 (4%) 2 (2%) 6 (3%) Bronchiectasis 23 (23%) 21 (21%) 44 (22%) Calcified granoluma 10 (10%) 8 (8%) 18 (9%) Emphysematous

changes

8 (8%) 7 (7%) 15 (7.5%)

Pneumothorax 5 (5%) 3 (3%) 8 (4%) Pneumomediastinum 4 (4%) 2 (2%) 6 (3%) Atelectasis 1 (1%) 2 (2%) 3 (1.5%)

Klasifikasi gambaran tuberkulosis sekunder menurut American Tuberculosis Association33 :

1. Tuberkulosis minimal (minimal tuberculosis): yaitu luas sarang-sarang yang kelihatan tidak melebihi daerah yang dibatasi oleh garis median, apeks, dan iga 2 depan; sarang-sarang soliter dapat berada dimana saja, tidak harus berada di atas. Tidak ditemukan adanya lubang (kavitas). 2. Tuberkulosis lanjut sedang (moderately advanced tuberculosis): yaitu luas

sarang-sarang yang bersifat bercak-bercak tidak melebihi luas satu paru, sedangkan bila ada lubang, diameternya tidak melebihi 4 cm. Kalau sifat bayangan sarang-sarang tersebut berupa awan-awan yang menjelma menjadi daerah konsolidasi yang homogen, luasnya tidak boleh melebihi luas satu lobus

3. Tuberkulosis sangat lanjut (far advanced tuberculosis): yaitu luas daerah yang dihinggapi oleh sarang-sarang lebih daripada klasifikasi kedua di


(36)

atas, atau bila ada lubang- lubang, maka diameter keseluruhan semua lubang melebihi 4 cm.


(37)

2.3 Kerangka Teori

Bagan 2.1 Kerangka Teori

Faktor Predisposisi

Usia Pekerjaan Imunosupresi Infeksi Sistemik

Invasi basil tuberkel di apeks paru atau dekat pleura pada lobus bawah

Infeksi oleh M. Tuberculosis

secara inhalasi

Membentuk nekrosis kaseosa

Lesi primer bergabung dengan kelenjar getah bening membentuk kompleks Ghon

Membangkitkan reaksi peradangan Bronkopneumonia dalam jaringan paru

Infeksi Primer

Basil tuberkel berkembang

Manifestasi Klinis

 Batuk berdahak  Batuk darah  Sesak napas Infeksi Aktif

Infeksi primer dan perubahan patologis berlanjut

Diagnosis Infeksi Sekunder

Hasil Pemeriksaan Radiologi

 Bayangan berawan dan berbercak  Kavitas  Fibrotik

Gambaran Klasifikasi ATA

 Lesi minimal  Lesi sedang  Lesi lanjut


(38)

2.4 Kerangka Konsep

Bagan 2.2 Kerangka Konsep

Keterangan:

: Variabel bebas

: Variabel terikat

Gejala Klinis Pemeriksaan

Radiologi


(39)

Tabel 2.7 Definisi Operasional

No. Variabel Definisi Alat Ukur Cara Ukur

Hasil Ukur Skala

1 Tuberkulosis Penderita TB yang

memiliki BTA positif dan hasil pemeriksaan radiologi.

Rekam medik

Baca Ya

Tidak

Ordinal

2 Manifestasi

klinis

Manifestasi klinis

yaitu gejala

respiratorik yang

tergambar pada

keluhan utama

Rekam medik

Baca Batuk

berdahak Batuk darah Sesak napas

Ordinal

3 Pemeriksaan

foto toraks

Pemeriksaan yang

dilakukan pada

penderita TB paru dengan posisi PA.33

Rekam medik

Baca Gambaran

Bayangan berawan dan berbercak Kavitas Fibrotik ATA Lesi minimal Lesi sedang Lesi lanjut Ordinal


(40)

24 BAB III

METODE PENELITIAN 3.1Desain Penelitian

Rancangan penelitian menggunakan studi cross sectional.

3.2Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari-Juni 2013 bertempat di RSU Kota Tangerang Selatan

3.3Populasi dan Sampel Penelitian 3.3.1 Populasi Target

Populasi target penelitian ini adalah pasien TB yang menjalani rawat jalan di Rumah Sakit di Indonesia

3.3.2 Populasi Terjangkau

Populasi terjangkau pada penelitian ini adalah pasien TB yang menjalani rawat jalan di RSU Kota Tangerang Selatan pada tahun 2013

3.4Kriteria Sampel 3.4.1 Kriteria Inklusi

 Pasien rawat jalan yang menderita TB di RSU Kota Tangerang Selatan dengan BTA positif

 Berumur >14 tahun

3.4.2 Kriteria Eksklusi

 TB ekstra pulmonal


(41)

3.5 Estimasi Besar Sampling

Ukuran sampel ditentukan menurut rumus analitik kategorik tidak berpasangan:39

Keterangan:

Zα : deviat baku alpha Zβ : deviat baku beta

P2 : proporsi pada kelompok standar, tidak berisiko, tidak terpajan atau kontrol

Q2 : 1-P2

P1 : proporsi pada kelompok uji, berisiko, terpajan atau kasus,

Q1 : 1-P1

P1-P2 : selisih proporsi minimal yang dianggap bermakna

P : proporsi total = 2

2

1 P

P

Q : 1-P

Jika Zα sebesar 5 % dan Z β 20 %, nilai P2 sebesar 0,18%, sedangkan selisih proporsi yang dianggap bermakna, ditetapkan sebesar 0,2%

Maka :

=60


(42)

3.6 Cara Pengambilan Sampel

Subyek penelitian ditentukan dengan menggunakan metode consecutive sampling yang diperoleh melalui rekam medik. Kriteria subyek adalah pasien TB di RSU Kota Tangerang Selatan yang termasuk kriteria inklusi dan tidak didapati kriteria eksklusi.

3.7Cara Kerja Penelitian

Bagan 3.1 Cara Kerja Penelitian

3.8Managemen Data 3.8.1 Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan cara mengumpulkan data sekunder berupa manifestasi klinis dan hasil pemeriksaan foto toraks pada penderita TB di Poli Paru RSU Kota Tangerang Selatan.

Persiapan penelitian

Menyaring rekam medis pasien TB di RSU Kota Tangerang Selatan

Rekam medis yang memenuhi kriteria inklusi

Manifestasi Klinis

Rekam medis yang tidak memenuhi kriteria inklusi

Hasil Pemeriksaan Foto Toraks

Kesimpulan Analisa Data


(43)

3.8.2 Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan dengan tahap-tahap sebagai berikut40: 1) Menyunting data (data editing)

Editing dilakukan untuk memeriksa kelengkapan dan kesesuaian antara kriteria data yang diperlukan untuk menjawab tujuan penelitian

2) Mengkode data (data coding)

Proses pemberian kode pada pada setiap variable yang telah dikumpulkan, dilakukan untuk memudahkan dalam memasukkan data.

3) Memasukkan data (data entry)

Memasukkan data yang telah diberikan kode ke dalam program software computer

4) Membersihkan data (data cleaning)

Setelah data dimasukkan, dilakukan pengecekan kembali untuk memastikan data tersebut tidak ada yang salah

3.8.3 Analisa Data

Analisis univariat digunakan untuk menggambarkan karakteristik responden yang meliputi usia dan jenis kelamin. Selain itu, analisis univariat juga digunakan untuk memperoleh gambaran manifestasi klinis, serta gambaran hasil pemeriksaan foto toraks pada penderita TB di RSU Kota Tangerang Selatan.

Analisis bivariat digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan yang bermakna secara statistik antara variabel dependen dan variabel independen dengan uji Chi-Square menggunakan SPSS 16.0 For Windows.Pada penelitian ini uji Chi-Square dilakukan untuk menganalisis hubungan variabel bebas (manifestasi klinis) dengan variabel terikat (hasil pemeriksaan foto toraks) yang mana kedua variabel tersebut bersifat kategorik. Melalui uji statistik Chi-Square akan diperoleh nilai p (p value) dengan tingkat kemaknaan 0,005. Jika nilai p <


(44)

0,005 maka Ho ditolak dan Ha diterima, dengan kata lain terdapat hubungan yang bermakna antara dua variabel yang diuji. Sedangkan jika nilai p > 0,005 maka Ho diterima dan Ha ditolak, dengan kata lain tidak terdapat hubungan antara dua variabel yang diuji. 40

Jika tidak memenuhi syarat uji Chi-Square, alternatif lain yang dapat dilakukan untuk tabel 2xK adalah uji Kolmogorov-Smirnov.40


(45)

29 4.1Hasil Penelitian dan Pembahasan 4.1.1 Analisis Univariat

4.1.1.1Gambaran Karakteristik Responden

Responden pada penelitian ini berjumlah 82 orang yang secara keseluruhan merupakan penderita TB paru dengan gejala klinis tuberkulosis yaitu gejala respiratorik yang memiliki hasil pemeriksaan sputum BTA positif. Hasil pengumpulan data didapatkan gambaran karakteristik responden yang meliputi usia dan jenis kelamin.

1) Usia Responden

Tabel 4.1 Distribusi Responden Berdasarkan Usia

Kelompok Usia Jumlah (Orang) Persentase (%)

15-35 Tahun 16 19

36-55 Tahun 53 64

> 56 Tahun 13 15,9

Total 82 100,0

Berdasarkan umur, pada penelitian ini umur yang terbanyak pada kelompok usia 36-55 tahun sebanyak 53 orang (64,6%), dimana penderita termuda umur 16 tahun dan tertua umur 78 tahun. Hasil ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yaitu penelitian yang dilakukan oleh Louisiana di Amerika pada tahun 2010 menunjukkan bahwa penderita TB paru pada umumnya berusia < 55 tahun.41Hal ini juga sesuai dengan laporan WHO pada tahun 2004 yaitu penderita TB paru rata-rata berusia 35-54 tahun untuk kawasan Asia Tenggara. Hal ini diduga karena pada usia produktif akan lebih mudah terpajan dengan dunia luar dan lebih banyak memiliki kecenderungan terjadi perburukan penyakit karena mempunyai faktor komorbid seperti diabetes mellitus, keganasan, penyakit paru obstruktif, dan penggunaan obat kortikosteroid .30,42,43

Berdasarkan teori terdapat beberapa kemungkinan hasil akhir paparan Mycobacterium Tuberculosis. Pada beberapa orang, kuman TB ini langsung


(46)

segera dieliminasi oleh pejamu setelah inhalasi. Kemungkinan kedua dan kelompok terbesar ialah bertahannya infeksi melalui keberhasilan pembentukan granuloma, sebuah fungsi respon imun alamiah dan adaptif yang kuat oleh pejamu dan menghasilkan infeksi laten. Pada kemungkinan kedua, reaktivasi dari infeksi dapat terjadi akibat beberapa faktor yang disebutkan di atas.44

Tuberkulosis sekunder atau tuberkulosis pasca primer yang umunya terjadi pada usia produktif terjadi bertahun-tahun setelah tuberkulosis primer. Baik imunitas alamiah maupun imunitas adaptif mengalami penurunan fungsi dalam mekanisme defensi terhadap Mycobacterium Tuberculosis. Pada sebagian orang respon imun yang mengalami penurunan fungsi akan menimbulkan destruksi jaringan yang signifikan, artinya infeksi bersifat progresif destruksi jaringan melalui nekrosis kaseosa dan kavitas.44

2)Jenis Kelamin Responden

Tabel 4.2 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin Jumlah (Orang) Persentase (%)

Laki-laki 54 65,8

Perempuan 28 34,1

Total 82 100,0

Pada penelitian ini, berdasarkan jenis kelamin penderita terdiri atas 54 (65,8%) penderita laki-laki dan 28 (34,1%) penderita perempuan. Hasil ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yaitu Long dkk melaporkan laki-laki dua pertiga lebih sering terkena TB paru daripada perempuan, sedangkan Nagakawa dkk melaporkan bahwa pada perempuan sering terjadi keterlambatan diagnosis TB paru karena berkurangnya minat untuk memeriksakan diri ke pelayanan kesehatan.11,42Masniari dkk. Dalam penelitian yang dilakukan di RS Persahabatan Jakarta menemukan hasil 61,7% penderita laki-laki dan wanita 38,3%. Yeung dkk. Melakukan penelitian di Hongkong menemukan prevalensi TB paru pada laki-laki 4 kali lebih besar dibanding perempuan.11

Angka kejadian TB paru pada laki- laki lebih tinggi diduga akibat perbedaan pajanan dan risiko infeksi. Laki- laki lebih sering berinteraksi dengan dunia luar dan lebih memiliki faktor risiko yang lebih besar untuk terjadinya


(47)

penurunan sistem imun seperti rokok, alkohol dan migrasi pada beberapa kasus.38 Walaupun hasilnya demikian tetapi pada beberapa penelitian yang dilakukan sebelumnya menunjukkan perempuan memiliki rasio progresivitas dan case fatality rate lebih tinggi daripada laki-laki. Hal ini diduga akibat perbedaan perilaku dalam mencari perawatan kesehatan antara laki-laki dan perempuan sehingga lebih banyak kasus TB paru yang dilaporkan.11,42

4.1.1.2 Gambaran Variabel Penelitian

1) Manifestasi Klinis

Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Manifestasi Klinis pada Penderita TB Paru

Manifestasi Klinis Jumlah (Orang) Persentase (%)

Batuk berdahak akut 24 29,3

Batuk berdahak kronik 36 43,9

Sesak napas akut 6 7,3

Sesak napas kronik 7 8,5

Batuk darah masif 2 2,4

Batuk darah tidak masif 7 8,5

Total 82 100,0

Data dari 82 responden menunjukkan, keluhan yang paling banyak timbul sebagai alasan penderita datang berobat ke rumah sakit adalah batuk berdahak sebanyak 60 orang (73,2%), sesak napas 13 orang (15,8%), Batuk darah 9 orang (10,9%). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Tjandra Yoga di Jakarta tahun 1988, mendapatkan bahwa keluhan yang membawa penderita TB paru berobat adalah batuk berdahak sebanyak 65%. Berdasarkan teori, gejala respiratorik berupa batuk berdahak atau batuk produktif merupakan gejala yang paling sering terjadi dan merupakan indikator yang sensitif untuk penyakit TB paru.11

Batuk merupakan mekanisme yang paling efektif untuk menghasilkan droplet nukleus. Satu kali batuk yang cepat dan kuat akan menghasilkan partikel infeksius sama banyaknya dengan berbicara keras selama 5 menit.11 Penyebaran melalui udara juga dapat disebabkan oleh manuver ekspirasi yang kuat seperti bersin, berteriak, bernyanyi.11,18,20,37 London dan Roberts melaporkan bahwa


(48)

penderita TB yang batuk lebih dari 48kali/malam akan menginfeksi 48% dari orang yang kontak dengan penderita. Ketika fokus sudah terbentuk fokus akan menyebar melalui jalur yang paling sering yaitu saluran napas.11,24

Di Indonesia risiko penularan setiap tahun atau Annual Risk of Tuberculosis Infection (ARTI) cukup tinggi dan bervariasi antara 1-3%. Dalam konteks penularan penyakit TB, perilaku adalah kebiasaan yang dilakukan oleh penderita yang memungkinkan terjadinya penularan penyakit TB paru dari penderita kepada orang yang belum menderita, antara lain disebabkan kebiasaan membuang ludah sembarangan sehingga bakteri Mycobacterium Tuberculosis yang terdapat pada ludah dapat menyebar kepada orang lain, demikian juga perilaku saat batuk apabila tidak mentup mulut dapat menyebarkan Mycobacterium Tuberculosis10. Demikian pula Rasulullah SAW mengajarkan, bahwa ketika bersin meletakkan tangan atau kain dimulutnya dan merendahkannya. (HR. Abu Daud dan Tirmidzi).

2) Hasil Pemeriksaan Foto Toraks

Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Hasil Pemeriksaan Foto Toraks

Hasil Pemeriksaan Foto Toraks Jumlah (Orang) Persentase (%) Gambaran Radiologi

1. Bayangan awan dan bercak 59 72

2. Kavitas 12 14,6

3. Fibrotik 11 13,4

ATA

1 Lesi minimal 16 19,5

2 Lesi sedang 54 64,9

3 Lesi lanjut 12 14,6

Data dari 82 responden menunjukkan, pasien dengan kelainan radiologi berupa bayangan awan dan bercak sebanyak 59 orang (72%), kavitas sebanyak 12 orang (14,6%), dan fibrotik sebanyak 11 orang (13,4%). Hasil ini sesuai dengan penelitian yang di laporkan oleh Ghorbani dkk yang menunjukkan bahwa bayangan awan dan bercak merupakan kelainan radiologi yang sering terjadi pada kedua kelompok.2 Selain itu, menurut Koh dkk menyatakan bahwa bayangan awan dan bercak merupakan kelainan radiologi yang paling sering ditemukan


(49)

sebanyak 50% pada sebuah penelitian retrospektif.36 Berdasarkan teori lesi awal yang ditampilkan pada penderita TB adalah lesi yang berbentuk patchy dan nodular hal ini menunjukkan proses penyakit yang sedang aktif setelah 10 minggu terjadi infeksi.14

Sedangkan menurut kriteria ATA, pasien dengan kelainan radiologi berupa lesi minimal sebanyak 16 orang (19,5%) lesi sedang sebanyak 54 orang (64,9%), dan lesi lanjut sebanyak 12 orang (14,6%). Hasil ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yaitu Ozsahin dkk menunjukkan bahwa berdasarkan klasifikasi ATA kelainan radiologi yang paling banyak pada tingkat lesi sedang.34 Hasil yang sama juga didapatkan pada penelitian Nurjihad dkk terhadap pasien baru di RS Persahabatan yaitu diperoleh lesi sedang sebanyak 36 penderita (39,5%).11Hal ini diduga karena pada umumnya tuberkulosis sekunder bersifat kronis pada orang dewasa yang memiliki tanda radiologi khusus dan spesifik TB paru sekunder yaitu ditemukannya kavitas pada tingkat sedang biasanya ditandai dengan adanya kavitas yang artinya proses aktif. Tetapi pada beberapa penelitian menunjukkan bahwa tingkat keparahan lesi biasanya juga berhubungan dengan usia dan jenis kelamin.34

Keterlambatan diagnosis juga diduga mempunyai pengaruh terhadap tingkat keparahan lesi.10,45 Terlihat hanya 1/3 kasus TB paru yang mampu ditemukan, keterlambatan dapat berasal dari penderita (patient’s delay), secara definisi diartikan sebagai fase antara timbulnya gejala sampai penderita datang ke fasilitas pengobatan, keterlambatan yang berasal dari dokter yang mengobati (doctor’s delay), secara definisi diartikan sebagai fase sejak datang ke dokter sampai tegaknya diagnosis. 11

Situmorang pada tahun 2005 di RS H Adam Malik Medan melakukan penelitian dan mendapatkan mean (rerata) keterlambatan penderita sebesar 4,67 bulan dan mean (rerata) keterlambatan dokter sebesar 3,78 bulan dan total keterlambatan penderita + dokter = 7,6 bulan.11Tujuan dari penelitian ini yaitu mempercepat deteksi TB paru dengan menggunakan alat radiologi foto toraks sehingga dapat memutus rantai penularan TB.


(50)

Dari penelitian yang dilakukan oleh Situmorang menunjukkan bahwa angka rerata keterlambatan dokter hanya berbeda sedikit dengan angka rerata keterlambatan penderita. Hal ini menunjukkan pentingnya peran dokter dalam penanggulangan TB paru dengan kegiatan deteksi pasien TB paru. Seorang dokter harus memiliki kemampuan dalam deteksi pasien TB paru, diagnosis, penatalaksanaan, serta pemantauan keberhasilan pengobatan serta menetapkan hasil akhir pengobatan.11

Pada umumnya penderita datang ke pusat-pusat pelayanan masyarakat primer, dimana peran dokter umum sangat penting untuk mencegah keterlambatan dalam penegakan diagnosis TB paru yaitu dengan pengambilan keputusan untuk melakukan pemeriksaan penunjang. Foto toraks masih merupakan pilihan terbaik untuk skrining TB paru oleh karena pemeriksaan ini cepat dan mudah dilakukan. Maka diharapkan dokter umum untuk tidak menambah angka rerata keterlambatan diagnosis yang disebabkan oleh dokter yaitu dengan melakukan pemeriksaan penunjang yaitu foto toraks yang akan dilakukan oleh spesialis radiologi. Hal ini juga diperintahkan Allah SWT dalam firmanNya:

Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui. (QS An Nahl/16 : 43).

Hal yang juga perlu diperhatikan pada interpretasi TB paru melalui teknik pencitraan pada foto toraks adalah pengetahuan mengenai gambaran TB paru yang klasik dan atipikal. Diagnosis yang terlambat seringkali terjadi akibat kurangnya pengetahuan mengenai gambaran TB paru yang atipikal. Penelitian yang dilakukan oleh The Research Institute of Tuberculosis di Tokyo. Subyek yang membaca foto hanya diminta untuk menentukan apakah foto-foto yang diberikan kepada mereka memerlukan pemeriksaan lanjutan untuk TB atau tidak. Kegagalan untuk meminta pemeriksaan lanjutan pada foto dengan kelainan dikategorikan sebagai under-reading. Sementara permintaan untuk pemeriksaan lanjutan pada foto normal dikategorikan sebagai over-reading. Hal ini diduga


(51)

terjadi karena kurangnya pengetahuan. Demikian pula Rasulullah SAW mengajarkan, bahwa obat kebodohan yaitu dengan bertanya, sebagaimana tercantum dalam sabdanya:

Tidakkah mereka bertanya, ketika mereka tidak tahu? Sesungguhnya obat ketidak mengertian mereka adalah bertanya. (Riwayat Abu Daud, Ibnu Majah, Ahmad dan Darimi dan dishahihkan Syeikh Salim Al Hilali dalam Tanqihul Ifadah Al

Muntaqa Min Miftah Daris Sa’adah, hal. 174).

4.1.2 Analisis Bivariat

Analisis bivariat untuk mengetahui hubungan antara manifestasi klinis dan hasil pemeriksaan foto toraks yang merupakan variabel bebas dengan variabel terikatnya yang berupa tuberkulosis, dilakukan dengan menggunakan uji statistik Chi-Square.

Tabel 4.5 Hubungan Batuk Berdahak dengan Hasil Pemeriksaan Foto Toraks Berdasarkan Gambaran Radiologi

Kategori

Bayangan awan dan bercak

Kavitas Fibrotik Total

P Value

N % N % N % N %

Batuk berdahak Akut Kronik Jumlah 23 24 47 48,9 51,06 100 0 7 7 0 100 100 1 5 6 16,6 83,3 100 24 36 60 40 60 100 0,047

Pada uji kemaknaan statistik dengan Chi-Square untuk kategori batuk berdahak dengan hasil pemeriksaan foto toraks berdasarkan gambaran radiologi, setelah dianalisa dengan menggunakan uji Chi-Square, ternyata diperoleh hasil bahwa syarat untuk dapat digunakannya uji Chi-Square pada tabel 2xk tidak terpenuhi. Hal ini karena pada kategori batuk berdahak dan hasil pemeriksaan foto


(52)

toraks berdasarkan gambaran radiologi terdapat 4 sel (66,7%) yang memiliki nilai expected < 5, dimana syarat uji Chi-Square adalah maksimal hanya ada 20% sel yang memiliki expected count < 5. Untuk tabel 2xk tersebut, alternatif uji Chi-Square yang dapat diambil adalah uji Kolmogorov-Smirnov.

Berdasarkan tabel 4.5 diatas, dapat diketahui bahwa terdapat 24 responden dengan batuk berdahak akut, 23 di antaranya memiliki gambaran radiologi berupa bayangan awan dan bercak dan 1 gambaran fibrotik . Dua puluh empat responden dari 36 responden dengan batuk berdahak kronik memiliki gambaran radiologi bayangan awan dan bercak, 7 gambaran kavitas dan 5 gambaran fibrotik.

Berdasarkan data dari 82 pasien TB diatas, dan pada uji kemaknaan statistik dengan Kolmogorov-Smirnov untuk kategori batuk berdahak yang telah dibobotkan dengan kategori hasil pemeriksaan foto toraks didapatkan nilai P = 0,047 (P < 0,05), maka diperoleh kesimpulan secara statistik bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara batuk berdahak dengan hasil pemeriksaan foto toraks berdasarkan gambaran radiologi. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Anna dkk yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara batuk berdahak dengan hasil pemeriksaan foto toraks berdasarkan gambaran radiologi yaitu dengan nilai (p = 0,04).48

Sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa pada awal peradangan paru hingga akhirnya terjadi destruksi paru nantinya akan berupa jaringan dan sel-sel mati yang akan dikeluarkan sebagai reflek batuk. Oleh karenanya penderita TB paru pada umumnya batuk produktif dengan banyak basil di dalamnya sehingga kerusakan awal yang digambarkan dengan bayangan awan dan bercak yang batasnya tidak tegas dengan densitas rendah lama – kelamaan akan mengalami proses destruksi jaringan paru dengan sempurna sehingga akan membentuk kavitas yaitu terbentuknya lubang akibat melunaknya nekrosis kaseosa yang sering tampak pada gambaran foto toraks lubang dengan dinding berbatas licin.14 Sedangkan salah satu kemungkinan kelanjutan suatu sarang tuberkulosis yaitu terbentuknya sarang-sarang fibrotik tebal dan kalsiferus, disingkat sarang fibrokalsiferus di kedua lapangan atas mengakibatkan penarikan


(53)

pembuluh-pembuluh darah besar di kedua hili ke atas. Keadaaan ini disebut dengan tuberkulosis fibrosis densa33.

Tabel 4.6 Hubungan Batuk Berdahak dengan Hasil Pemeriksaan Foto Toraks Berdasarkan Klasifikasi ATA

Kategori

Lesi minimal

Lesi Sedang Lesi lanjut Total

P Value

N % N % N % N %

Batuk berdahak Akut Kronik Total 16 0 16 100 0 100 8 29 37 21,6 78,37 100 0 7 7 0 100 100 24 36 60 40 60 100 0,000

Pada uji kemaknaan statistik dengan Chi-Square untuk kategori batuk berdahak dengan hasil pemeriksaan foto toraks berdasarkan klasifikasi ATA, setelah dianalisa dengan menggunakan uji Chi-Square, ternyata diperoleh hasil bahwa syarat untuk dapat digunakannya uji Chi-Square pada tabel 2xk tidak terpenuhi. Hal ini karena pada kategori batuk berdahak dan hasil pemeriksaan foto toraks berdasarkan klasifikasi ATA terdapat 2 sel (33,3%) yang memiliki nilai expected < 5, dimana syarat uji Chi-Square adalah maksimal hanya ada 20% sel yang memiliki expected count < 5. Untuk tabel 2xk tersebut, alternatif uji Chi-Square yang dapat diambil adalah uji Kolmogorov-Smirnov.

Berdasarkan tabel 4.6 diatas, dapat diketahui bahwa terdapat 24 responden dengan batuk berdahak akut, 16 di antaranya memiliki hasil foto toraks dengan lesi minimal dan 8 lesi sedang. Dua puluh sembilan responden dari 36 responden dengan batuk berdahak kronik memiliki hasil foto toraks dengan lesi sedang dan 7 lesi lanjut.

Berdasarkan data dari 82 pasien TB diatas, dan pada uji kemaknaan statistik dengan Kolmogorov-Smirnov untuk kategori batuk berdahak yang telah dibobotkan dengan kategori hasil pemeriksaan foto toraks berdasarkan klasifikasi ATA didapatkan nilai P = 0,000 (P < 0,05), maka diperoleh kesimpulan secara statistik bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara batuk berdahak dengan


(54)

hasil pemeriksaan foto toraks berdasarkan klasifikasi American Tuberculosis Association. Sesuai teori batuk berdahak merupakan manifestasi klinis yang paling sering ditemukan pada penderita TB paru hal ini akibat keterlibatan saluran pernapasan dalam penyebaran fokus yang sudah terbentuk . Hal ini juga didukung dengan temuan awal pada lesi parenkimal adalah bercak lunak biasanya di segmen apikal dan posterior dari lobus superior dan biasanya belum terdapat kavitas (lesi minimal).11,33

Pada kebanyakan kasus lebih dari satu segmen yang terlibat dan TB yang bilateral (lesi sedang) terdapat pada sepertiga sampai dua pertiga kasus. Ketika luas daerah yang dihinggapi oleh sarang –sarang lebih luas lagi, atau jika ditemukan kavitas yang diameter keseluruhan semua lubang melebihi 4 cm maka sudah dikategorikan lesi tingkat sangat lanjut.11,33Berdasarkan teori apabila dijumpai batuk berdahak yang bersifat kronik dan hasil pemeriksaan BTA positif seharusnya gambaran radiologi juga semakin luas.10

Tabel 4.7 Hubungan Sesak Napas dengan Hasil Pemeriksaan Foto Toraks Berdasarkan Gambaran Radiologi

Kategori

Bayangan awan dan bercak

Kavitas Fibrotik Total

P Value

N % N % N % N %

Sesak napas Akut Kronik Total 6 3 9 66,6 33,3 100 0 2 2 0 100 100 0 2 2 0 100 100 6 7 13 46,2 53,8 100 0,593

Pada uji kemaknaan statistik dengan Chi-Square untuk kategori sesak napas dengan hasil pemeriksaan foto toraks berdasarkan gambaran radiologi, setelah dianalisa dengan menggunakan uji Chi-Square, ternyata diperoleh hasil bahwa syarat untuk dapat digunakannya uji Chi-Square pada tabel 2xk tidak terpenuhi. Hal ini karena pada kategori batuk berdahak dan hasil pemeriksaan foto toraks berdasarkan gambaran radiologi terdapat 6 sel (100%) yang memiliki nilai expected < 5, dimana syarat uji Chi-Square adalah maksimal hanya ada 20% sel


(55)

yang memiliki expected count < 5. Untuk tabel 2xk tersebut, alternatif uji Chi-Square yang dapat diambil adalah uji Kolmogorov-Smirnov.

Berdasarkan tabel 4.7 diatas, dapat diketahui bahwa terdapat 6 responden dengan sesak napas akut yang memiliki gambaran radiologi berupa bayangan awan dan bercak. Tiga responden dari 7 responden dengan sesak napas kronik memiliki gambaran radiologi bayangan awan dan bercak, 2 gambaran kavitas dan 2 gambaran fibrotik.

Berdasarkan data dari 82 pasien TB diatas, dan pada uji kemaknaan statistik dengan Kolmogorov-Smirnov untuk kategori sesak napas yang telah dibobotkan dengan kategori hasil pemeriksaan foto toraks didapatkan nilai P = 0,593 (P > 0,05), maka diperoleh kesimpulan secara statistik bahwa terdapat hubungan yang tidak signifikan antara sesak napas dengan hasil pemeriksaan foto toraks. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Anna dkk yang menunjukkan bahwa sesak napas lebih sering menunjukkan gambaran berupa pleuritis.46

Secara radiologi pleuritis menunjukkan gambaran penebalan pleura yaitu berupa garis-garis densitas tinggi yang tidak teratur atau kalsifikasi, selain itu sinus kostofrenikus menjadi tumpul, biasanya terjadi di lapangan paru bagian bawah, tetapi dapat juga puncak paru33. Berdasarkan teori gejala sesak napas timbul jika terjadi pembesaran nodus limfa pada hilus yang menekan bronkus, atau terjadi efusi pleura, ekstensi radang parenkim atau miliar.14

Tabel 4.8 Hubungan Sesak Napas dengan Hasil Pemeriksaan Foto Toraks Berdasarkan Klasifikasi ATA

Kategori

Lesi minimal

Lesi Sedang Lesi lanjut Total

P Value

N % N % N % N %

Sesak Napas Akut Kronik Total 0 0 0 0 0 0 6 5 11 54,45 45,45 100 0 2 2 0 100 100 6 7 13 46,2 53,8 100 1,000


(56)

Pada uji kemaknaan statistik dengan Chi-Square untuk kategori sesak dengan hasil pemeriksaan foto toraks berdasarkan klasifikasi ATA, setelah dianalisa dengan menggunakan uji Chi-Square, ternyata diperoleh hasil bahwa syarat untuk dapat digunakannya uji Chi-Square pada tabel 2xk tidak terpenuhi. Hal ini karena pada kategori sesak napas dan hasil pemeriksaan foto toraks berdasarkan klasifikasi ATA terdapat 2 sel (50%) yang memiliki nilai expected < 5, dimana syarat uji Chi-Square adalah maksimal hanya ada 20% sel yang memiliki expected count < 5. Untuk tabel 2xk tersebut, alternatif uji Chi-Square yang dapat diambil adalah uji Kolmogorov-Smirnov.

Berdasarkan tabel 4.8 diatas, dapat diketahui bahwa terdapat 6 responden dengan sesak napas akut yang memiliki hasil foto toraks dengan lesi sedang. Lima responden dari 7 responden dengan batuk berdahak kronik memiliki hasil foto toraks dengan lesi sedang dan 2 lesi lanjut.

Berdasarkan data dari 82 pasien TB diatas, dan pada uji kemaknaan statistik dengan Kolmogorov-Smirnov untuk kategori sesak napas yang telah dibobotkan dengan kategori hasil pemeriksaan foto toraks berdasarkan klasifikasi ATA didapatkan nilai P = 1,000 (P > 0,05), maka diperoleh kesimpulan secara statistik bahwa terdapat hubungan yang tidak signifikan antara sesak napas dengan hasil pemeriksaan foto toraks berdasarkan klasifikasi American Tuberculosis Association. Sesuai teori, gejala sesak napas pada TB paru biasanya akibat dari kelainan pleura seperti efusi pleura yang menunjukkan gambaran perselubungan homogen menutupi struktur paru bawah yang biasanya relatif radiopak. Sesak napas juga bisa diakibatkan karena adanya infeksi pada pleura (pleuritis) yang menunjukkan gambaran bayangan penebalan pleura. Sehingga, sulit dikaitkan dengan klasifikasi ATA33.


(57)

Tabel 4.9 Hubungan Batuk Darah dengan Hasil Pemeriksaan Foto Toraks Berdasarkan Gambaran Radiologi

Kategori

Bayangan awan dan bercak

Kavitas Fibrotik Total

P Value

N % N % N % N %

Batuk darah Masif Tidak masif Total 0 3 3 0 100 100 1 2 3 33,3 66,6 100 1 2 3 33,3 66,6 100 2 7 9 22,2 77,8 100 0,203

Pada uji kemaknaan statistik dengan Chi-Square untuk kategori batuk darah dengan hasil pemeriksaan foto toraks berdasarkan gambaran radiologi, setelah dianalisa dengan menggunakan uji Chi-Square, ternyata diperoleh hasil bahwa syarat untuk dapat digunakannya uji Chi-Square pada tabel 2xk tidak terpenuhi. Hal ini karena pada kategori batuk darah dan hasil pemeriksaan foto toraks berdasarkan gambaran radiologi terdapat 6 sel (100%) yang memiliki nilai expected < 5, dimana syarat uji Chi-Square adalah maksimal hanya ada 20% sel yang memiliki expected count < 5. Untuk tabel 2xk tersebut, alternatif uji Chi-Square yang dapat diambil adalah uji Kolmogorov-Smirnov.

Berdasarkan tabel 4.9 diatas, dapat diketahui bahwa terdapat 2 responden dengan batuk darah masif, 1 di antaranya memiliki gambaran radiologi berupa gambaran kavitas dan 1 gambaran fibrotik . Tiga responden dari 7 responden dengan batuk darah tidak masif memiliki gambaran radiologi bayangan awan dan bercak, 2 gambaran kavitas dan 2 gambaran fibrotik.

Berdasarkan data dari 82 pasien TB diatas, dan pada uji kemaknaan statistik dengan Kolmogorov-Smirnov untuk kategori batuk darah yang telah dibobotkan dengan kategori hasil pemeriksaan foto toraks berdasarkan gambaran radiologi didapatkan nilai P = 0,203 (P > 0,05), maka diperoleh kesimpulan secara statistik bahwa terdapat hubungan yang tidak signifikan antara batuk darah dengan hasil pemeriksaan foto toraks berdasarkan gambaran radiologi. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Anna dkk menunjukkan bahwa


(58)

batuk darah dapat menunjukkan gambaran yang tidak spesifik seperti kavitas, pleuritis, dan bayangan milier.46 Berdasarkan teori pada TB paru batuk darah terjadi akibat robekan atau ruptur aneurisma arteri pulmoner (dinding kaviti

“aneurisma Rassmussen”) atau akibat pecahnya anastomosis bronkopulmoner

atau proses erosif pada arteri bronkialis. Pada kelainan radiologi sering menunjukkan gambaran berupa kavitas yang berarti proses spesifik lama yang sudah tenang.28

Tabel 4.10 Hubungan Batuk Darah dengan Hasil Pemeriksaan Foto Toraks Berdasarkan Klasifikasi ATA

Kategori

Lesi minimal

Lesi Sedang Lesi lanjut Total

P Value

N % N % N % N %

Batuk darah Masif Tidak masif Total 0 0 0 0 0 0 2 4 6 33,3 66,6 100 0 3 3 0 100 100 2 7 9 22,2 77,8 100 0,690

Pada uji kemaknaan statistik dengan Chi-Square untuk kategori batuk darah dengan hasil pemeriksaan foto toraks berdasarkan gambaran radiologi, setelah dianalisa dengan menggunakan uji Chi-Square, ternyata diperoleh hasil bahwa syarat untuk dapat digunakannya uji Chi-Square pada tabel 2xk tidak terpenuhi. Hal ini karena pada kategori batuk berdahak dan hasil pemeriksaan foto toraks berdasarkan gambaran radiologi terdapat 4 sel (100%) yang memiliki nilai expected < 5, dimana syarat uji Chi-Square adalah maksimal hanya ada 20% sel yang memiliki expected count < 5. Untuk tabel 2xk tersebut, alternatif uji Chi-Square yang dapat diambil adalah uji Kolmogorov-Smirnov.

Berdasarkan tabel 4.10 diatas, dapat diketahui bahwa terdapat 2 responden dengan batuk darah masif yang memiliki hasil foto toraks dengan lesi sedang. Empat responden dari 7 responden dengan batuk darah tidak masif memiliki hasil foto toraks dengan lesi sedang dan 3 lesi lanjut.

Berdasarkan data dari 82 pasien TB diatas, dan pada uji kemaknaan statistik dengan Kolmogorov-Smirnov untuk kategori batuk darah yang telah


(59)

dibobotkan dengan kategori hasil pemeriksaan foto toraks berdasarkan klasifikasi ATA didapatkan nilai P = 0,690 (P > 0,05), maka diperoleh kesimpulan secara statistik bahwa terdapat hubungan yang tidak signifikan antara batuk darah dengan hasil pemeriksaan foto toraks berdasarkan klasifikasi American Tuberculosis Association. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Marleen dkk melaporkan bahwa sekitar 17-81% pasien dengan batuk darah memperlihatkan gambaran radiologis yang normal.25 Hasil berbeda dilaporkan oleh Corder pada tahun 2003 di Amerika Serikat yaitu kelainan radiologi yang ditemukan pada pasien dengan batuk darah antara lain kavitas, infiltrat, dan atelektasis.27

Kavitas tuberkulosis dalam posisi apapun tetap berupa bayangan bulat, tetapi superposisi lingkaran-lingkaran belum pasti melibatkan pembuluh darah. Sebagai dasar gambaran radiologi pada atelektasis adalah pengurangan volum bagian paru baik lobaris, segmental, atau seluruh paru, dengan akibat kurangnya aerasi sehingga memberi bayangan lebih suram (densitas tinggi) dengan penarikan mediastinum kearah atelektasis, sedangkan diafragma tertarik ke atas dan sela iga menyempit.33

4.2 Keterbatasan Penelitian

Dalam penelitian ini terdapat beberapa keterbatasan, antara lain : 1. Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain cross sectional yang meneliti variabel terikat dan variabel bebas pada waktu yang sama. Hal ini dikarenakan oleh ketidakmungkinan peneliti untuk mengikuti jangka waktu penelitian jika peneliti melakukan studi prospektif cohort maupun case-control seperti halnya yang sering digunakan pada penelitian jurnal-jurnal internasional.

2. Asal Populasi

Peneliti hanya mengambil sampel dari satu rumah sakit saja, sehingga ada kemungkinan yang tidak bisa terhindarkan untuk


(60)

terjadinya bias saat pemilihan, informasi yang didapatkan, dan faktor perancu.

3. Tidak dapat meneliti faktor lain

Selain pemeriksaan foto toraks, masih banyak jenis pemeriksaan yang dapat dilakukan dalam mendiagnosis TB. Namun tidak dapat diteliti karena keterbatasan data yang tersedia dalam rekam medik.


(1)

LAMPIRAN 2

HASIL PENELITIAN

(LANJUTAN)

Hasil Pengolahan Data Setelah Menggunakan Uji

Kolmogorov-Smirnov

Two-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

Frequencies

Manifestasi Klinis N

ATA sesak akut 6

sesak kronik 7

Total 13

Crosstabs

Test Statisticsa

ATA

Most Extreme Differences Absolute .143

Positive .000

Negative -.143

Kolmogorov-Smirnov Z .257

Asymp. Sig. (2-tailed) 1.000


(2)

LAMPIRAN 2

HASIL PENELITIAN

(LANJUTAN)

5.

Hubungan Batuk Darah dengan Hasil Pemeriksaan Foto Toraks

Berdasarkan Gambaran Radiologi

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

Manifestasi Klinis *

gambaran radiologi 9 100.0% 0 .0% 9 100.0%

Manifestasi Klinis * gambaran radiologi Crosstabulation

Gambaran radiologi

Total bayangan awan

dan bercak kavitas fibrotik Manifesta

si Klinis

hemoptisis tidak masif Count 3 2 2 7

Expected Count 2.3 2.3 2.3 7.0

hemoptisis masif Count 0 1 1 2

Expected Count .7 .7 .7 2.0

Total Count 3 3 3 9

Expected Count 3.0 3.0 3.0 9.0

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Pearson Chi-Square 1.286a 2 .526

Likelihood Ratio 1.897 2 .387

Linear-by-Linear Association .857 1 .355

N of Valid Cases 9

a. 6 cells (100.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .67.


(3)

LAMPIRAN 2

HASIL PENELITIAN

(LANJUTAN)

Pengolahan Data Setelah Menggunakan Uji

Kolmogorov-Smirnov

Two-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

Frequencies

Manifestasi Klinis N

Gambaran radiologi

hemoptisis tidak masif 7

hemoptisis masif 2

Total 9

Test Statisticsa

Gambaran radiologi

Most Extreme Differences Absolute .857

Positive .857

Negative .000

Kolmogorov-Smirnov Z 1.069

Asymp. Sig. (2-tailed) .203


(4)

LAMPIRAN 2

HASIL PENELITIAN

(LANJUTAN)

6.

Hubungan Batuk Darah dengan Hasil Pemeriksaan Foto Toraks Berdasarkan Klasifikasi ATA

Crosstabs

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

Manifestasi

Klinis * ATA 9 100.0% 0 .0% 9 100.0%

Manifestasi Klinis * ATA Crosstabulation

ATA

Total sedang lanjut

Manifesta si Klinis

hemoptisis tidak masif Count 4 3 7

Expected Count 4.7 2.3 7.0

hemoptisis masif Count 2 0 2

Expected Count 1.3 .7 2.0

Total Count 6 3 9

Expected Count 6.0 3.0 9.0

Value Df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 1.286a 1 .257

Continuity Correctionb .080 1 .777

Likelihood Ratio 1.897 1 .168

Fisher's Exact Test .500 .417

Linear-by-Linear Association 1.143 1 .285

N of Valid Casesb 9


(5)

LAMPIRAN 2

HASIL PENELITIAN

(LANJUTAN)

Hasil Pengolahan Data Setelah Menggunakan Uji

Kolmogorov-Smirnov

Two-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

Frequencies

Manifestasi Klinis N

ATA hemoptisis tidak masif 7

hemoptisis masif 2

Total 9

Test Statisticsa

ATA

Most Extreme Differences Absolute .571

Positive .000

Negative -.571

Kolmogorov-Smirnov Z .713

Asymp. Sig. (2-tailed) .690


(6)

(Riwayat Penulis)

Nama

:

Karmila Karim

Jenis kelamin

:

Perempuan

Tempat, Tanggal Lahir :

Luwu Timur, 05 September 1991

Alamat

:

Jl. Dr Ratulangi , Desa Lampenai RT /RW 002/004,

Kec. Wotu Kab. Luwu Timur

Agama

:

Islam

Email

:

karmila_kk@yahoo.co.id

No Telepon

:

085242080509

Riwayat pendidikan

:

1998-2004

:

SDN 122 Dauloloe

2004-2007

:

SMP N 2 Wotu

2007-2010

:

SMA N 1 Malili

2010-Sekarang :

Program Studi Pendidikan Dokter

Fakultas Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta