Epidemiologi Spasial Kejadian Tuberkulosis (TB) di Kota Tangerang Selatan Tahun 2009-2013
EPIDEMIOLOGI SPASIAL KEJADIAN TUBERKULOSIS (TB)
DI KOTA TANGERANG SELATAN TAHUN 2009-2013
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)
Oleh
SOFWATUN NIDA NIM: 1110101000024
PEMINATAN EPIDEMIOLOGI
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
(2)
ii
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT Skripsi, August 2014
Sofwatun Nida, NIM: 1110101000024
Epidemiologi Spasial Kejadian Tuberkulosis (TB) di Kota Tangerang Selatan Tahun 2009-2013
xi + 75 halaman; 9 tabel; 2 gambar;5 lampiran
ABSTRAK
Laporan penemuan kasus TB yang akurat sangat dibutuhkan untuk mengetahui besar masalah sebagai landasan dalam penyusunan perencanaan pengendalian TB yang tepat. Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan dalam laporannya belum melakukan pemisahan kasus TB yang berdomisili di luar Kota Tangerang Selatan sehingga dikhawatirkan terjadi bias informasi. Untuk itu penelitian ini bertujuan mengetahui kejadian TB di Kota Tangerang Selatan dengan mengeluarkan kasus TB yang berdomisili di luar Kota Tangerang Selatan. Penelitian ini juga menganalisis kasus TB secara spasial dari tahun 2009-2013 untuk mengetahui kejadian TB berdasarkan tempat dan waktu. Desain penelitian
yang digunakan adalah ecology study.
Hasil penelitian menunjukkan rata-rata proporsi kasus TB yang berdomisili di Kota Tangerang Selatan diantara semua kasus yang terlaporkan dinas kesehatan sebesar 85.4%. Selama lima tahun kasus TB cenderung mengalami peningkatan dengan peningkatan tertinggi terjadi pada tahun 2012 dari 1.160 kasus menjadi 1680 kasus (naik 45%). Pada tahun tersebut angka penjaringan suspek juga meningkat sebesar 23.5%. CNR TB meningkat hanya pada tahun 2010-2011 (>5%). Selama lima tahun proporsi TB BTA (+) diantara suspek diantara angka 9.4%-10.7% masih sesuai target (5-10%), sedangkan proporsi TB BTA (+) diantara pasien TB tercatat/diobati kurang dari 65%. Rasio puskesmas terhadap jumlah penduduk belum ideal 1:>30.000). Kejadian TB tahun 2009-2012 cenderung terjadi di sebelah timur Kota Tangerang Selatan kemudian tersebar merata di tahun 2013. Kasus TB lebih banyak ditemukan di kelurahan tempat puskesmas berada. Kasus Tb cenderung lebih banyak ditemukan di kelurahan dengan kepadatan rendah.
Kementerian Kesehatan perlu menyempurnakan kartu register TB.03 elektronik dengan membagi kolom alamat menjadi beberapa bagian kolom seperti nama jalan, nomor rumah, RT, RW, kelurahan, dan kecamatan dan di setting agar wajib diisi. Sistem informasi TB perlu dikembangkan menjadi sistem online sampai tingkat puskesmas. Pemerintah Kota Tangerang Selatan perlu melakukan pemekaran puskesmas di wilayah kerja Puskesmas Benda Baru dan Puskesmas Pamulang serta di Kecamatan Serpong Utara dan Serpong.
(3)
iii
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM
EPIDEMIOLOGY
Undergraduated Thesis, August 2014 Sofwatun Nida, NIM: 1110101000024
Spatial Epidemiology of Tuberculosis Incidence in South Tangerang City, Year 2009-2013
xi + 75 pages; 9 tables; 2 pictures;5 attachments
ABSTRACT
Reports accurate TB case very necessary to know the problems of TB which will then be used as the basis of the disease control planning in the region. Health Department of South Tangerang City has made TB report without separating case who live outside South Tangerang City so that would be bias. The aim of this study to determine the incidence of TB in South Tangerang City without TB case who live this city. Then analyze spatially TB cases from the year 2009-2013 to describe based on place and time. This research used ecological study.
The results showed that among all the cases reported in health department, an average of only 85.4% were residing in South Tangerang City. Increased number of TB cases highest in 2012 which is 45%. CNR of TB all types declined 0.7% in 2013, while CNR smear (+) increased during 2011-2013. Figures crawl suspected increase >7% per year (2011-2013). Years 2009-2013 the proportion of smear (+) between 9.4% -10.7 suspected among%, while the proportion of smear (+) TB patients registered between less than 65%. TB incidence in 2009-2012 tended to occur in the east of South Tangerang City and spread evenly in the year 2013, TB cases are found in the villages close to the health center. Village with many cases of TB does not always have a high population density.
Ministry of Health: card TB.03 electronic registers need to be detailed in the address column into sections such as street name, house number, RT, RW, villages, and districts and in settings that are required. TB information system needs to be developed into an online system to rate puskesmas. Government of South Tangerang City need to build public health center in Pamulang, Benda Baru, Serpong Utara and Serpong villages.
(4)
(5)
(6)
(7)
vii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobbil’alamin, puji dan syukur senantiasa peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan seluruh alam, Yang Maha Pengasih dan Penyayang, pemilik ilmu yang Maha Mengetahui dan Maha Berkehendak atas segala yang terjadi di langit dan bumi. Atas izin dan petunjuk-Nya skripsi dengan
judul “Epidemiologi Spasial Kejadian Tuberkulosis (TB) di Kota Tangerang
Selatan Tahun 2009-2013” dapat terselesaikan.Proposal skripsi ini disusun dalam rangka memenuhi syarat mendapatkan gelar Strata I (S1), Sarjana Kesehatan Masyarakat di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sholawat serta salam tak lupa peneliti hadirkan kepada baginda tercinta, Nabi Muhammad saw, yang mengeluarkan umatnya dari zaman kebodohan ke zaman ilmu pengetahuan. Peneliti juga menyampaikan ucapan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu menyelesaikan proposal ini, yaitu kepada:
1. Hambari Hairi S.Pd dan Djuhairiyah, ayah dan ibu yang telah memberikan
kepercayaan, dukungan moril dan do’a.
2. Ahmad Lutfie, Ahmad Zaky, Badru Tamam dan Nurul Ihsani yang telah
memberikan dukungannya sehingga peneliti dapat menjalani pendidikan S1.
3. Minsarnawati Tahangnacca, SKM. M.Kes selaku penanggungjawab
peminatan epidemiologi dan pembimbing skripsi I peneliti yang selalu memberikan yang terbaik untuk perkuliahan di peminatan epidemiologi, menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk membimbing peneliti dalam penyusunan skripsi ini.
(8)
viii
4. Yuli Amran, SKM. M.KM selaku pembimbing II yang dengan sabar
mengoreksi skripsi peneliti, selalu memberikan arahan dan masukan dalam penyusunan skripsi ini.
5. Budiarti SKM. M.Kes, Hoirunnisa Ph.D, dan Dr. Ela Laelasari yang telah
memberikan banyak masukan dalam skripsi peneliti.
6. Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan yang telah mengizinkan penelitian
ini dan memberikan data kejadian TB tahun 2009-2013.
7. Hidayatul Mustafid, wasor TB Dinkes Tangerang Selatan yang telah
menjelaskan kejadian TB dan permasalahannya kepada peneliti.
8. Badan Pusat Statistik yang telah mengizinkan peneliti memiliki laporan
Kecamatan Dalam Angka Kota Tangerang Selatan tahun 2010-2013.
9. Puskesmas Ciputat Timur yang telah mengizinkan peneliti melakukan
validasi data register TB.03.
10. Fajar Nugraha, M.Si yang telah meluangkan waktunya untuk berdiskusi
dengan peneliti dan memberikan pengarahan mengenai penelitian spasial.
11. Wiwid Handayani yang telah berbagi informasi mengenai kejadian TB di
Kota Tangerang Selatan
12. Zata Ismah yang telah memberikan banyak masukan dan bantuan kepada peneliti dalam setiap proses penyusunan skripsi.
13. Tri Bayu Purnama dan Najah Syamiyah yang telah memberikan banyak
referensi kepada peneliti.
14. Karlina Sulistiani, Harun Al-Rasyid serta Nurluthfiyah yang telah membantu
(9)
ix
15. Siti Malati Ummah dan Rizka Rohman atas segala dukungan dan motivasinya
terutama menjelang sidang skripsi.
16. Kartika Andriyani dan Mayli Faroh yang membanu peneliti mempersiapkan
persidangan.
17. Ana Erviana, Putri Khairina dan Fajriatin atas do’a dan dukungan yang telah
diberikan.
(10)
x
DAFTAR ISI
ABSTRAK ... ii
KATA PENGANTAR ...iv
DAFTAR ISI ... x
DAFTAR TABEL ... xii
DAFTAR GAMBAR ... xiii
DAFTAR ISTILAH ... xiv
1. BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 5
1.3 Pertanyaan Penelitian ... 6
1.4 Tujuan Penelitian ... 7
1.4.1 Tujuan Umum ... 7
1.4.2 Tujuan Khusus ... 7
1.5 Ruang Lingkup Penelitian ... 7
1.6 Manfaat Penelitian ... 8
2. BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 10
2.1 Pengertian dan Etiologi TB ... 10
2.2 Cara Penularan TB ... 11
2.3 Riwayat Alamiah TB... 14
2.4 Diagnosis TB ... 16
2.5 Indikator Program Pengendalian TB ... 20
2.6 Epidemiologi ... 22
2.7 Epidemiologi Deskriptif ... 24
2.8 Sistem Informasi Geografis ... 27
(11)
xi
2.10 Model Spasial Epidemiologi ... 30
2.11 Kerangka Teori ... 32
3. BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ... 35
3.2 Definisi Operasional... 36
4. BAB IV METODOLOGI ... 38
4.1 Jenis dan Desain Penelitian ... 38
4.2 Lokasi, Waktu, dan Populasi Penelitian ... 38
4.3 Pengumpulan Data ... 39
4.4 Keabsahan Data ... 41
4.5 Rancangan Manajemen Data ... 41
4.6 Analisis Data ... 42
5. BAB V HASIL PENELITIAN ... 43
5.1 Distribusi Kejadian TB yang Terlaporkan di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan Menurut Keterangan Domisili Penderita Tahun 2009-2013 ... 43
5.2 Kejadian TB Menurut Distribusi Tempat di Kota Tangerang Selatan Tahun 2009-2013 ... 46
5.3 Kejadian TB Menurut Distribusi Waktu di Kota Tangerang Selatan Tahun 2009-2013 ... 53
BAB VI PEMBAHASAN ... 59
6.1 Keterbatasan Penelitian ... 59
6.2 Distribusi Kejadian TB yang Terlaporkan di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan Menurut Keterangan Domisili Penderita Tahun 2009-2013 ... 59
6.3 Kejadian TB Menurut Distribusi Tempat di Kota Tangerang Selatan Tahun 2010-2012 ... 65
(12)
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Definisi Operasional ... 36 Tabel 5.1 Rata-rata Proporsi Kasus TB yang Terlaporkan di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan Menurut Keterangan Domisili Penderita Tahun 2009-2013... 44 Tabel 5.2 Proporsi Kasus TB di Luar Wilayah Tangerang Selatan Berdasarkan Kasus yang Terlaporkan di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan Tahun 2009-2013 ... 44 Tabel 5.3 Distribusi Kejadian TB Luar Kota Tangerang Selatan dan Keterangan Domisili Tidak Jelas/Lengkap Menurut Fasyankes Tahun 2009-2013 ... 45 Tabel 5.4 Kepadatan Penduduk Menurut Kelurahan di Kota Tangerang Selatan
Tahun 2010-2012 ... 49 Tabel 5.5 Distribusi Kasus TB (semua tipe) Menurut Kelurahan di Kota Tangerang Selatan Tahun 2010-2012... 50 Tabel 5.6 Kejadian TB di Kota Tangerang Selatan Tahun 2009-2013 ... 54 Tabel 5.7 Persentase Trend CNR TB Semua Tipe dan TB BTA Positif di Kota Tangerang Selatan Tahun 2010-2013 ... 55 Tabel 5.8 Proporsi Puskesmas yang Memiliki Rasio Ideal dan Tidak Ideal Terhadap Jumlah Penduduk di Wilayah Kerjanya Di Kota Tangerang Selatan Tahun 2010-2012 ... 58
(13)
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 5.1 Distribusi Kejadian TB Menurut Kelurahan Tempat Puskesmas Berada di Kota Tangerang Selatan Tahun 2009-2013... 47 Gambar 5.2 Kejadian TB Berdasarkan Kepadatan Penduduk Di Kota Tangerang Selatan Tahun 2010-2012... 51
(14)
xiv
DAFTAR ISTILAH
AIDS Acquired Immuno Deficiency Syndrome
ARTI Annual Risk of Tuberculosis Infection
BAPPEDA Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
BPS Badan Pusat Statistik
BTA Basil Tahan Asam
CDC Center for Deasese Control and Prevention CNR Case Notification Rate
CR Cure Rate
Dinkes Dinas Kesehatan
DOTS Directly Observed Treatemen Short-course
Droplet Percikan dahak
Epidemiologi Ilmu yang mempelajari distribusi, frekuensi dan
determinan penyakit
Fasyankes Fasilitas Pelayanan Kesehatan
GIS Geographic Information System HIV Human Immunodeficiency Virus
KCDA Kecamatan Dalam Angka
Kemenkes Kementerian Kesehatan
MDGs Millennium Development Goals
MDR Multi Drug Resistance
OAT Obat Anti Tuberkulosis
SIG Sistem Informasi Geografi
SPSS Statitical Package for Social Sciences
SR Success Rate
TB Tuberkulosis
(15)
1
1. BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit TB (tuberkulosis) telah menjadi masalah global selama kurang lebih dua puluh satu tahun atau sejak tahun 1993 (WHO, 2013). Penyakit ini telah menyebabkan kecacatan dan kematian hampir di sebagian besar negara di seluruh dunia (Chin, 2009). TB menjadi penyebab kematian kedua tertinggi di dunia diantara penyakit menular setelah HIV. WHO mengestimasikan pada tahun 2012 jumlah kasus baru TB mencapai 8.6 juta namun hanya 5.7 juta kasus baru yang berhasil tercatat atau diobati pada program TB nasional. Artinya masih ada 3 juta kasus TB lagi yang harus ditemukan (WHO, 2013). Sementara itu, menurut estimasi proporsi kasus baru TB, penyumbang terbesar kasus baru TB atau 40% dari seluruh kasus di wilayah WHO adalah Asia Tenggara (WHO, 2012). Berdasarkan laporan MDGs Asia Pasifik 2011/12, Indonesia menempati urutan ke-5 yang memiliki kasus TB terbanyak diantara negara-negara Asia Tenggara.
Di Indonesia, berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 364/MENKES/SK/V/2009, penyakit TB merupakan penyakit menular yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Beban TB di Indonesia masih sangat tinggi mengingat setiap tahun masih ada 450.000 kasus baru. Penurunan insiden di Indonesia belum signifikan namun jumlah kasus yang ternotifikasi telah mengalami kenaikan. Perkiraan insiden pada tahun 2011
(16)
2
adalah sebesar 450.000 kasus. Sedangkan kasus yang ternotifikasi oleh program sebesar 321.308 kasus. Sehingga terdapat kesenjangan (gap) sebesar 128.629 kasus (Kementerian Kesehatan RI, 2013). Penghitungan kasus baru
TB yang ternotifikasi atau Case Notification Rate (CNR) digunakan untuk
melihat tren penemuan kasus TB di suatu wilayah (Kementerian Kesehatan RI, 2011). CNR mulai disosialisasikan ke daerah sejak dikeluarkannya buku pedoman nasional pengendalian TB tahun 2011 oleh Kementerian Kesehatan
RI. CNR digunakan karena CDR (Case Detection Rate) dianggap kurang
sensitif untuk melihat kejadian TB di masyarakat.
Kejadian TB di masyarakat dapat diketahui dengan baik dengan melakukan studi epidemiologi terutama epidemiologi deskriptif. Studi ini merupakan langkah awal untuk mengetahui adanya besar masalah kesehatan di suatu wilayah. Walaupun suatu deskripsi epidemiologi itu sederhana tidaklah berarti tidak memberikan arti yang penting. Deskripsi yang tepat tidak hanya berguna untuk menggambarkan besarnya masalah tetapi juga memberikan gambaran tentang aspek-aspek tambahan pengetahuan yang berkaitan dengan deskripsi itu (Bustan, 2006).
Keterangan kapan, dan dimana pada epidemiologi deskriptif semakin tergambarkan dengan menggunakan analisis spasial. Analisis spasial adalah satu bidang utama di mana sistem informasi geografis dan penelitian kesehatan digabungkan melalui studi epidemiologi lingkungan (Gatrell & Loytonen, 2003). GIS merupakan alat yang baik untuk meningkatkan pemahaman data melalui visualisasi dan analisis, dan penggunaannya
(17)
3
meningkat di kalangan professional kesehatan masyarakat untuk membuat perencanaan, monitoring dan surveilan. Menampilkan data dalam bentuk peta mampu memberikan wawasan yang lebih daripada bentuk tabel dengan data yang sama, menampilkan penilaian yang cepat pada trend dan hubungan (Fisher & Myers, 2011).
Sistem pencatatan dan pelaporan program TB nasional dikembangkan mengacu pedoman internasional dari WHO dengan TB.03 sebagai register utama yang dikelola oleh wasor kabupaten/kota sebagai penanggung jawab. Meskipun pencatatan dan pelaporan dari tingkat fasilitas pelayanan kesehatan ke pusat telah semakin membaik, rekapitulasi data tahun 2009 masih menunjukkan beberapa permasalahan. Permasalahan tersebut meliputi ketepatan waktu pelaporan, kelengkapan data, akurasi data (misalnya tidak mengikuti kaidah dalam penutupan data, registrasi ganda) serta kemampuan untuk memilah berdasarkan jenis fasilitas pelayanan kesehatan. Selain itu, analisis data dan indikator program di beberapa daerah juga masih lemah. Meskipun berbagai perbaikan sistem telah mulai diujicoba, yaitu penyempurnaan TB elektronik, pengisian dan distribusi data berbasis
web, otomatisasi software, akan tetapi inovasi ini masih membutuhkan
investasi waktu, tenaga dan biaya yang cukup besar sebelum dapat diterapkan secara optimal (Kementerian Kesehatan RI, 2011).
Data sementara tahun 2012 sampai dengan triwulan 4 (per 11 Februari 2013) tercatat bahwa angka notifikasi kasus (CNR) semua kasus baru TB sebesar 132 per 100.000 penduduk (Kementerian Kesehatan RI,
(18)
4
2013). Provinsi Banten merupakan salah satu provinsi dengan CNR melebihi angka nasional yakni sebesar 286.4 per 100.000 penduduk pada tahun 2012 (Dinas Kesehatan Provinsi Banten, 2012). Pada tahun yang sama wilayah di Provinsi Banten yang memiliki CNR TB tertinggi adalah Kota Tangerang Selatan yakni sebesar 1.644 per 100.000 penduduk. CNR tersebut sangat jauh lebih besar dibanding wilayah lainnya di Provinsi Banten yang hanya berkisar antara 61-118 per 100.000 penduduk (Dinas Kesehatan Provinsi Banten, 2012).
Perbedaan yang jauh ini sangat menarik untuk diteliti. Setelah dilakukan studi pendahuluan di Kota Tangerang Selatan yakni melihat kasus TB yang terlaporkan di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan. Hasilnya diketahui bahwa CNR TB di Kota Tangerang Selatan pada tahun 2012 adalah sebesar 107.5 per 100.000 penduduk. Perbedaan ini disebabkan jumlah kasus TB yang berbeda antara yang terlaporkan di Dinas Kesehatan Provinsi Banten dengan yang terlaporkan di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan. Di Dinas Kesehatan Provinsi Banten jumlah kasus baru TB di Kota Tangerang Selatan sebanyak 22.478 kasus. Sedangkan Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan melaporkan kasus baru TB sebanyak 1.511 kasus. Perbedaan ini dapat menyebabkan kesalahan pada interpretasi permasalahan TB di Kota
Tangerang Selatan.
Berdasarkan hasil studi pendahuluan ditemukan pula beberapa permasalahan yang menyebabkan laporan TB dari Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan menjadi kurang valid. Hal ini disebabkan karena jumlah
(19)
5
kasus TB yang diolah adalah semua kasus TB yang terlaporkan dari semua fasyankes di Kota Tangerang Selatan. Padahal tidak semua kasus TB yang terlaporkan berdomisili di Kota Tangerang Selatan. Oleh sebab itu, peneliti tertarik melakukan penelitian epidemiologi spasial TB di Kota Tengerang Selatan tahun 2009-2013.
1.2 Rumusan Masalah
Penyakit TB telah menjadi masalah global yang menyebabkan kematian dan kecacatan di hampir sebagian besar negara di dunia. Negara-negara yang paling banyak menyumbangkan kasus baru adalah dari Asia Tenggara dimana Indonseia sendiri berada diurutan keempat teratas. Profil Dinas Kesehatan Provinsi Banten tahun 2012 menunjukkan besar CNR TB Provinsi Banten dua kali CNR nasional pada tahun yang sama. CNR tertinggi di Provinsi Banten tahun 2012 ditemukan di Kota Tangerang Selatan yang jauh melebihi wilayah lainnya.
Berdasarkan hasil studi pendahuluan diketahui adanya perbedaan jumlah kasus TB yang cukup besar di Kota Tangerang Selatan antara yang dilaporkan Dinas Kesehatan Provinsi Banten dengan Dinas Kota Tangerang Selatan dengan perbedaan lebih dari dua kali lipat. Di Dinas Kesehatan Tangerang Selatan juga ditemukan adanya kemungkinan bias informasi kejadian TB karena jumlah kasus TB yang diolah atau dihitung masih tercampur dengan jumlah kasus TB dari luar wilayah Kota Tangerang Selatan. Penghitungan ulang kasus TB yang benar-benar berdomisili di Kota
(20)
6
Tangerang Selatan menjadi penting dilakukan agar informasi kejadian TB di kota ini lebih valid. Kejadian TB akan semakin tergambarkan dengan baik dengan menggunakan studi epidemiologi deskriptif dan analisis spasial. Epidemiologi deskriptif akan menggambarkan distribusi kejadian TB menurut fakto waktu, tempat dan orang sedangkan analisis spasial digunakan untuk mempertajam analisis dari sudut pandang keruangan. Oleh karena itu, peneliti tertarik melakukan penelitian epidemiologi spasial TB di Kota Tangerang Selatan dari awal berdiri (2009) sampai tahun 2013.
1.3 Pertanyaan Penelitian
1.3.1 Bagaimana distribusi kejadian TB berdasarkan kasus yang terlaporkan
di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan menurut keterangan domisili penderita tahun 2009-2013?
1.3.2 Bagaimana kejadian TB menurut distribusi tempat (kelurahan tempat
puskesmas berada dan kepadatan penduduk) secara spasial di Kota Tangerang Selatan tahun 2010-2012?
1.3.3 Bagaimana kejadian TB menurut distribusi waktu (trend kasus dan
(21)
7
1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana kejadian TB berdasarkan waktu dan tempat melalui pendekatan epidemiologi spasial di Kota Tangerang Selatan tahun 2009-2013.
1.4.2 Tujuan Khusus
1 Mengetahui distribusi kejadian TB berdasarkan kasus yang
terlaporkan di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan menurut keterangan domisili penderita tahun 2009-2013.
2 Mengetahui kejadian TB menurut distribusi tempat (kelurahan
tempat puskesmas berada dan kepadatan penduduk) secara spasial di Kota Tangerang Selatan tahun 2010-2012.
3 Mengetahui kejadian TB menurut distribusi waktu (trend kasus
dan jumlah puskesmas) di Kota Tangerang Selatan tahun 2009-2013.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian mengenai epidemiologi spasial kejadian TB di Kota Tangerang Selatan tahun 2009-2013. Penelitian ini menggunakan desain studi ekologi. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana kejadian TB berdasarkan waktu dan tempat melalui
(22)
8
pendekatan epidemiologi spasial di Kota Tangerang Selatan. Analisis yang akan dilakukan adalah analisis univariat dan spasial. Analisis univariat yakni mendeskripsikan epidemiologi kejadian TB berdasarkan waktu dengan melihat penemuan kasus dan CNR baik kasus TB semua tipe maupun TB BTA positif. Sedangkan analisis spasial yakni melihat distribusi kejadian TB menurut letak puskesmas dan kepadatan penduduk.
1.6 Manfaat Penelitian
1.6.1 Bagi Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan
Penelitian ini dapat dijadikan bahan referensi bagi Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan karena penelitian ini telah memisahkan kasus TB yang berasal dari dalam dan luar Tangerang Selatan serta digambarkan berdasarkan tingkat kelurahan, dengan begitu Dinas Kesehatan dapat mengetahui besar masalah TB yang terjadi di Kota Tangerang Selatan. Selain itu dijelaskannya kejadian TB berdasarkan tingkat kelurahan akan mempermudah Dinas Kesehatan dalam penyusunan perencanaan.
1.6.2 Bagi Peneliti
Bagi peneliti yang hendak melakukan penelitian TB di Kota Tangerang Selatan, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai latar belakang penelitian karena penelitian ini akan menjelaskan seberapa besar masalah TB yang ada di Kota Tangerang Selatan. Penelitian ini juga telah memisahkan kasus TB yang berasal dari luar Tangerang
(23)
9
Selatan sehingga dapat mengurangi bias penelitian. Peneliti juga dapat menentukan lokasi mana yang memiliki besar masalah TB paling tinggi di Tangerang Selatan. Peneliti lain pun dapat meneruskan penelitian ini terkait temuan-temuan yang akan dihasilkan dari penelitian ini.
(24)
10
2. BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian dan Etiologi TB 2.1.1 Pengertian TB
TB merupakan penyakit menular, pada manusia sering
disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. TB sering menyerang
paru-paru tetapi bisa juga menyerang bagian lain dari tubuh. Penyebarannya melalui udara ketika penderita batuk, bercicara ataupun bersin. Kebanyakn infeksi pada manusia bersifat laten dan tanpa gejala, satu diantara sepuluh yang terinfeksi akan menjadi sakit. Jika dibiarkan dan tidak diobati maka TB aktif akan membunuh lebih dari 50% korbannya (OECD/WHO, 2012).
2.1.2 Etiologi TB
Penyebab TB adalah adalah kompleks Mycobacterium
tuberculosis. Kompleks ini termasuk M. tuberculosis dan M. africanum terutama berasal dari manusia dan M. bovis yang berasal dari sapi (Chin, 2009). Diantara ketiganya yang paling sering
menyebabkan TB pada manusia adalah M. tuberculosis
(Notoatmodjo, 2007). Bakteri ini berbentuk batang, berukuran panjang 1-4 mikron dan tebal 0,3-0,6 mikron dan tahan terhadap asam pada pewarnaan sehingga disebut Basil Tahan Asam (BTA). Bakteri
(25)
11
ini cepat mati bila terkena sinar matahari langsung tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat gelap dan lembab. Dalam
jaringan tubuh, kuman ini dapat dormant atau tertidur lama selama
beberapa tahun.
Bakteri TB mati pada pemanasan 100oC selama 5-10 menit
atau pada pemanasan 60oC selama 30 menit dan dengan alcohol
70-95% selama 15-30 detik. Bakteri ini tahan selama1-2 jam di udara di tempat lembab dan gelap (bisa berbulan-bulan), namun tidak tahan terhadap sinar atau aliran udara. Data pada tahun 1993 menunjukkan bahwa untuk mendapatkan 90% udara bersih dari kontaminasi bakteri memerlukan 40 kali pertukaran udara per jam (Widoyono, 2002).
2.2 Cara Penularan TB
Penularan TB terjadi melalui udara yang mengandung bakteri TB dalam percikan ludah yang dikeluarkan oleh penderita TB paru atau TB laring pada waktu mereka batuk, bersin atau pada waktu bernyanyi. Infeksi melalui selaput lender atau kulit yang lecet bisa terjadi namun sangat jarang. Secara teoritis seorang penderita akan tetap menular sepanjang ditemukannya hasil TB di dalam tubuh mereka. Penderita yang tidak diobati atau yang diobati tidak sempurna dahaknya akan tetap mengandung bakteri TB selama bertahun-tahun (Chin & Kandun, 2012).
(26)
12
Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk
percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan 3000
percikan droplet. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana
percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab. Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut. faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut (Kementerian Kesehatan RI, 2011).
Bakteri TB bila sering masuk dan terkumpul dalam paru-paru akan berkembang biak menjadi banyak (terutama pada orang dengan daya tahan tubuh yang rendah) dan dapat menyebar melalui pembuluh darah atau kelenjar getah bening. Oleh sebab itulah infeksi TB dapat menginfeksi hampir seluruh organ tubuh seperti: paru-paru, otak, ginjal, saluran pencernaan, kelenjar getah bening, tulang dan lain-lain. Meskipun demikian organ tubuh yang paling sering terkena adalah paru-paru. Saat bakteri TB berhasil menginfeksi paru-paru maka dengan segera akan tumbuh koloni bakteri yang berbentuk globular (bulat). Biasanya melalui serangkaian seraksi imunologis bakteri TB ini akan berusaha dihambat melalui pembentukan dinding di
(27)
13
sekeliling bakteri itu oleh sel-sel paru. Mekanisme pembentukan dinding itu membuat jaringan disekitarnya menjadi jaringan parut dan bakteri TB akan
menjadi dormant (tidur). Bentuk-bentuk dormant inilah yang terlihat sebagai
tuberkel pada pemeriksaan foto rontgen. Pada sebagian orang dengan sistem imun yang baik, bentuk ini akan tetap dormant sepanjang hidupnya. Sedangkan pada orang-orang dengan kekebalan tubuh yang kurang maka bakteri ini akan mengalami perkembangbiakan sehingga tuberkel menjadi banyak. Tuberkel yang banyak ini membuat sebuah ruang di dalam paru-paru. Ruang inilah yang nantinya menjadi sumber produksi sputum (dahak). Seseorang yang telah memproduksi sputum diperkirakan sedang mengalami pertumbuhan tuberkel berlebih dan positif terinfeksi TB (Nisa, 2007).
Daya penularan dari seorang penderita TB ditentukan oleh banyaknya bakteri TB yang terdapat dalam paru penderita, penyebaran bakteri TB di udara dan Penyebaran bakteri TB bersama dahak berupa droplet dan berada disekitar penderita TB. Makin tinggi derajat positif pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif, maka penderita tersebut dianggap tidak menular. Begitupula dengan TB ekstra paru yang juga tidak menular (Notoatmodjo, 2007). Kemungkinan seseorang terinfeksi TB ditentukan oleh konsenterasi droplet dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut serta virulensi dari bakteri TB (Chin & Kandun, 2012). Sebagian besar dari orang yang terinfeksi tidak akan menjadi penderita TB, hanya 10% dari yang terinfeksi yang akan menjadi penderita TB (Nisa, 2007).
(28)
14
2.3 Riwayat Alamiah TB
Riwayat alamiah penyakit adalah perjalanan atau proses terjadinya suatu penykit dari awal sampai akhir. Tiap penyakit memiliki riwayat alamiah masing-masing (Nuning, et al., 2006). Pada penyakit TB riwayat alamiahnya terdiri dari infeksi primer dan pasca primer. Berikut penjelasannya.
1. Infeksi Primer
Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan bakteri TB. Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya sehingga dapat melewati sistem pertahanan muskosillier bronkus dan terus berjalan sehingga sampai di alveolus dan menetap disana. Infeksi dimulai saat bakteri TB berhasil berkembangbiak dengan cara pembelahan diri di Paru yang mengakibatkan peradangan di dalam paru, saluran linfe akan membawa bakteri TB ke kelenjar linfe disekitar hilus paru, dan ini disebut dengan kompleks primer. Waktu antara terjadinya infeksi sampai pembentukan kompleks primer adalah 4-6 minggu. Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi tuberculin dari negatif menjadi positif.
Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung bakteri yang masuk dan besarnya respondaya tahan tubuh (imunitas seluler). Pada umumnya reaksi daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan perkembangan bakteri TB. Meskipun demikian, ada beberapa bakteri akan menetap sebagai bakteri persister atau dormant. Kadang-kadang daya tahan tubuh
(29)
15
tidak mampu menghentikan perkembangan bakteri, akibatnya dalam beberapa bulan yang bersangkutan akan menjadi penderita TB. Masa inkubasi yaitu waktu yang diperlukan mulai terinfeksi sampai menjadi sakit diperkirakan sekitar 6 bulan (Nisa, 2007). Namun ada juga yang mengatakan masa inkubasi atau mulai saat masuknya bibit penyakit sampai timbul gejala adanya lesi primer atau reaksi tes TB positif kira-kira memakan 2-10 minggu (Chin & Kandun, 2012).
2. Pasca Primer
TB pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau tahun sesudah infeksi primer misalnya karena daya tahan tubuh menurun akibat terinfeksi HIV atau status gizi yang buruk. Cirri khas dari TB pasca primer adalah kerusakan paru yang luas dengan terjadinya kavitas atau efusi pleura. Perjalanan infeksi selanjutnya pasca infeksi primer tergantung jumlah kuman yang masuk dan respon imunitas seluler.
Beberapa kemungkinan perjalanan klinis selanjutnya pasca infeksi primer:
a. Imunitas seluser dapat menghentikan perkembangan/proses infeksi,
namun beberapa bakteri dapat menetap dan bertahan sebagai persister atau dorman
b. Imunitas tidak dapat menghentikan perkembangan bakteri dan dalam
(30)
16
2.4 Diagnosis TB
2.4.1 Diagnosis TB Paru
Diagnosis TB paru berdasarkan Kementerian Kesehatan RI (2011) ialah:
1. Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari,
yaitu sewaktu - pagi - sewaktu (SPS).
2. Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan
ditemukannya kuman TB (BTA). Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya.
3. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan
foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis.
4. Gambaran kelainan radiologik Paru tidak selalu menunjukkan
aktifitas penyakit.
2.4.2 Diagnosis TB ekstra paru
Diagnosis TB ekstra paru berdasarkan Kementerian Kesehatan RI (2011) ialah :
1. Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya kaku
(31)
17
pembesaran kelenjar limfe superfisialis pada limfadenitis TB dan deformitas tulang belakang (gibbus) pada spondilitis TB dan lainlainnya.
2. Diagnosis pasti sering sulit ditegakkan sedangkan diagnosis kerja
dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis TB yang kuat (presumtif) dengan menyingkirkan kemungkinan penyakit lain. Ketepatan diagnosis tergantung pada metode pengambilan bahan pemeriksaan dan ketersediaan alat-alat diagnostik, misalnya uji mikrobiologi, patologi anatomi, serologi, foto toraks dan lain-lain.
2.4.3 Klasifikasi Berdasarkan Riwayat Pengobatan Sebelumnya Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya disebut sebagai tipe pasien (Kementerian Kesehatan RI, 2011), yaitu:
1. Kasus Baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu). Pemeriksaan BTA bisa positif atau negatif.
2. Kasus yang Sebelumnya Diobati
a. Kasus Kambuh (Relaps)
Adalah pasien TB yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberculosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).
(32)
18
b. Kasus Setelah Putus Berobat (Default)
Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.
c. Kasus Setelah Gagal (Failure)
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
3. Kasus Pindahan (Transfer In)
Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB lain untuk melanjutkan pengobatannya.
4. Kasus lain
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas, seperti:
a. tidak diketahui riwayat pengobatan sebelumnya
b. pernah diobati tetapi tidak diketahui hasil pengobatannya
c. kembali diobati dengan bta negatif
2.4.4 Hasil Pengobatan Pasien TB BTA positif Hasil Pengobatan Pasien TB BTA positif
1. Sembuh
Pasien telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan
pemeriksaan apusan dahak ulang (follow-up) hasilnya negatif pada
(33)
19
2. Pengobatan Lengkap
Adalah pasien yang telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap tetapi tidak ada hasil pemeriksaan apusan dahak ulang pada AP (akhir pengobatan) dan pada satu pemeriksaan sebelumnya.
3. Meninggal
Adalah pasien yang meninggal dalam masa pengobatan karena sebab apapun.
4. Putus berobat (Default)
Adalah pasien yang tidak berobat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai.
5. Gagal
Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
6. Pindah (Transfer out)
Adalah pasien yang dipindah ke unit pencatatan dan pelaporan (register) lain dan hasil pengobatannya tidak diketahui.
(34)
20
2.5 Indikator Program Pengendalian TB
Untuk menilai kemajuan atau keberhasilan pengendalian TB digunakan beberapa indikator. indikator pengendalian TB secara nasional ada 2 yaitu (Kementerian Kesehatan RI, 2011):
1. Angka penemuan pasien baru TB BTA positif (Case Detection Rate =
CDR) dan
2. Angka keberhasilan pengobatan (Success Rate = SR)
Disamping itu ada beberapa indikator proses untuk mencapai indikator nasional tersebut di atas, yaitu:
1. Angka penjaringan suspek
Angka penjaringan suspek adalah jumlah suspek yang diperiksa dahaknya diantara 100.000 penduduk pada suatu wilayah tertentu dalam 1 tahun. Angka ini digunakan untuk mengetahui upaya penemuan pasien dalam suatu wilayah tertentu dengan memerhatikan kecenderungannya dari waktu ke waktu (triwulan/tahunan).
2. Proporsi pasien TB paru BTA positif diantara suspek yang diperiksa
dahaknya
Proporsi pasien TB paru BTA positif diantara suspek yang diperiksa dahaknya adalah persentase pasien TB BTA positif yang ditentukan diantara seluruh suspek yang diperiksa dahaknya. Angka ini menggambarkan mutu dari proses penemuan sampai diagnosis pasien
(35)
21
serta kepekaan menetapkan kriteria suspek. Angka ini diperkirakan sekitar 5-15%. Bila terlalu kecil (<5%) kemungkinan disebabkan penjaringan suspek terlalu longgar. Banyak orang yang tidak memenuhi kriteria suspek atau ada masalah dalam pemeriksaan laboratorium (negatif palsu). Namun bila angka ini terlalu besar (>15%) kemungkinan disebabkan penjaringan terlalu ketat atau ada masalah dalam pemmeriksaan laboratorium (positif palsu).
3. Proporsi pasien TB paru BTA positif diantara seluruh pasien TB paru
Proporsi pasien TB paru BTA positif diantara seluruh pasien TB paru adalah persentase kasus TB paru BTA positif diantara semua kasus TB paru tercatat/diobati. Indikator ini menggambarkan prioritas penemuan kasus TB yang menular diantara seluruh kasus TB paru yang tercatat/diobati. Angka ini sebaiknya jangan kurang dari 65%. Bila angka ini jauh lebih rendah, itu berarti mutu diagnosis rendah dan kurang memberikan prioritas untuk menemukan kasus yang menular (kasus TB BTA positif).
4. Proporsi pasien TB anak diantara seluruh pasien
Proporsi pasien TB anak diantara seluruh pasien adalah persentase kasus TB anak (<15tahun) diantara seluruh kasus TB tercatat. Angka ini sebagai salah satu indikator untuk menggambarkan ketepatan dalam mendiagnosis TB pada anak. Angka ini berkisar 15%. Bila angka
(36)
22
5. Angka Notifikasi Kasus (Case Notification Rate)
Angka notifikasi kasus adalah angka yang menunjukkan jumlah pasien baru yang ditemukan dan tercatat diantara 100.000 penduduk di suatu wilayah tertentu. Angka ini apabila dikumpulkan serial akan menggambarkan kecenderungan penemuan kasus dari tahun ke tahun di wilayah tersebut. Angka ini berguna untuk menunjukkan kecenderungan (trend) meningkat atau menurunnya penemuan pasien pada wilayah tersebut.
6. Angka kesembuhan (Cure Rate)
Angka kesembuhan adalah angka yang menunjukkan persentase kasus baru TB BTA positif yang sembuh setelah selesai masa pengobatan, diantara kasus TB baru BTA positif yang tercatat. Angka minimal yang harus dicapai adalah 85%. Angka kesembuhan digunakan untuk mengetahui hasil pengobatan.
2.6 Epidemiologi
Epidemiologi merupakan ilmu yang kompleks dan senantiasa berkembang. Oleh karena itu, tidak mudah untuk menentukan batasan yang baku. Hal ini tampak dengan berbagai batasan yang dinyatakan oleh para ahli epidemiologi sebagai berikut (Budiarto & Anggraeni, 2003).
1. Mac Mahon B dan Pugh, T. F., 1970: epidemiologi ialah ilmu yang
mempelajari distribusi penyakit dan determinan yang mempengaruhi frekuensi penyakit pada kelompok manusia.
(37)
23
2. Lowe C. R. dan Koestrzewski J., 1973: epidemiologi adalah studi tentang
faktor yang menentukan frekuensi dan distribusi penyakit pada populasi manusia.
3. Mausner J. S. dan Bahn, 1974: epidemiologi adalah ilmu yang
mempelajari distribusi dan determinan penyakit dan ruda paksa pada populasi manusia.
4. Lilienfeld A.M., dan D. E. Lilienfeld, 1980: epidemiologi ialah ilmu yang
mempelajari distribusi penyakit atau keadaan fisiologis pada penduduk dan determinan yang mempengaruhi distribusi tersebut.
5. Barker, D. J. P., 1982: epidemiologi ialah suatu studi tentang distribusi dan
determinan penyakit pada populasi manusia.
Dari batasan tersebut terdapat persamaan yaitu semua menyatakan epidemiologi adalah ilmu yang mempelajari distribusi, frekuensi, dan determinan penyakit, hanya terdapat dua perbedaan yaitu tambahan fenomena fisiologis (Lilienfeld & Lilienfeld) dan ruda paksa (Mausner & Bhan).
Berdasarkan definisinya, pengetahuan epidemiologi penting dimiliki oleh petugas kesehatan. Hal ini berkaitan dengan upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui peningkatan pelayanan kesehatan maka, dibutuhkan informasi tentang siapa, dimana, kapan dan bagaimana suatu penyakit atau masalah kesehatan terjadi. Informasi tersebut dapat diperoleh melalui studi epidemiologi (Budiarto & Anggraeni, 2003). Epidemiologi juga digunakan untuk menentukan kebutuhan akan program-program pengendalian penyakit, mengembangkan program pencegahan dan kegiatan
(38)
24
perencanaan layanan kesehatan serta untuk menetapkan pola penyakit endemi, epidemi, dan pandemi (Timmreck, 2004).
2.7 Epidemiologi Deskriptif
Epidemiologi menekankan upaya menerangkan bagaimana distribusi penyakit dan bagaimana komponen menjadi faktor penyebab penyakit tersebut. Untuk mengungkapkan dan menjawab masalah tersebut, epidemiologi melakukan berbagai cara yang selanjutnya menjadikan epidemiologi dapat dibagi dalam beberapa jenis yakni epidemiologi deskriptif, analitik dan eksperimental (Bustan, 2006). Berikut akan dijelaskan epidemiologi deskriptif.
Studi deskriptif biasanya menjadi studi epidemiologi pertama yang dilakukan terhadap suatu penyakit. Pola kasus yang terdeteksi membekali penyelidik dengan gagasan yang dapat memunculkan hipotesis tentang penyebab atau sumber suatu penyakit (McKenzie, et al., 2007). Hal yang sama juga dijelaskan oleh Sulistyaningsih (2010) bahwa epidemiologi deskriptif mempelajari tentang frekuensi dan penyebaran suatu masalah kesehatan tanpa mencari jawaban terhadap faktor-faktor penyebab munculnya masalah tersebut. Epidemiologi deskriptif merupakan dasar berpijak dalam proses berfikir deduktif guna menyusun hipotesis mengenai hubungan kausal yang akan dibuktikan pada fase berikutnya. Sementara itu, Bustan (2006) menjelaskan bahwa epidemiologi deskriptif berkaitan dengan definisi epidemiologi sebagai ilmu yang mempelajari tentang distribusi penyakit atau masalah kesehatan masyarakat. Di sini dipelajari tentang
(39)
25
frekuensi dan distribusi suatu masalah kesehatan dalam masyarakat. Keterangan tentang frekuensi dan distribusi suatu penyakit atau masalah kesehatan menunjukkan tentang besarnya masalah itu dalam masyarakat. Hasil pekerjaan epidemiologi deskriptif diharapkan mampu menjawab
pertanyaan mengenai faktor who, where, dan when. Di sini epidemiologi
merupakan langkah awal untuk mengetahui adanya masalah kesehatan dengan menjelaskan siapa yang terkena dan di mana serta kapan terjadinya masalah itu (Bustan, 2006; McKenzie et al., 2007; dan Sulistyaningsih, 2010).
1. Who merupakan pertanyaan tentang faktor orang yang akan dijawab
dengan mengemukakan perihal mereka yang terkena masalah, bisa mengenai variabel umur, jenis kelamin, suku, agama, pendidikan pekerjaan dan pendapatan. Faktor-faktor ini biasa disebut sebagai variabel epidemiologi atau demografi. Kelompok orang yang potensial atau punya peluang untuk menderita sakit atau mendapatkan risiko
biasanya disebut population at risk (populasi berisiko) (Bustan, 2006).
Untuk menjawab pertanyaan “who”, pertama-tama seorang epidemiolog akan melakukan “beadcount” (menghitung jumlah orang yang ada) untuk menentukan jumlah kasus penyakit yang terjadi dan berupaya menentukan siapa yang sakit (anak-anak, dewasa, lansia, pria, wanita). Data yang dikumpulkan harus dapat memungkinkan mereka menyusun suatu rangkuman berdasarkan usia, jenis kelamin, ras, status perkawinan, dan jenis pekerjaan (McKenzie, et al., 2007).
(40)
26
2. Where merupakan pertanyaan mengenai faktor tempat di mana masyarakat tinggal atau bekerja, atau dimana saja ada kemungkinan mereka menghadapi masalah kesehatan. Faktor tempat ini dapat berupa kota (urban) dan desa (rural); pantai, pegunungan, daerah pertanian, industri, tempat bermukim atau bekerja (Bustan, 2006). Untuk memastikan tempat yang menjadi sumber penyakit, alamat penduduk dan riwayat perjalanan setiap kasus dicatat. Informasi ini akan memberikan distribusi kasus secara geografis dan membantu menemukan luas penyebaran kasus. Dengan menandai kasus-kasu di dalam sebuah peta berikut karakteristik alam seperti jeram atau benda buatan manusia seperti pabrik, dapat membantu mempelajari segala sesuatu tentang sumber penyakit (McKenzie, et al., 2007).
3. When yakni pertanyaan tentang kejadian penyakit yang berhubungan dengan waktu. Faktor waktu ini dapat berupa jam, hari, minggu, bulan, dan tahun; musim hujan dan musim kering. Untuk menjawab pertanyaan “when”, ahli epidemiologi harus memastikan waktu dimulainya penyakit untuk setiap kasus. Data yang didapatkan dapat digunakan untuk membuat kurva epidemic, suatu tampilan grafik yang dapat memperlihatkan kasus penyakitberdasarkan waktu atau tanggal mulainya gejala (McKenzie, et al., 2007).
(41)
27
2.8 Sistem Informasi Geografis
Sistem Informasi Geografis atau Geographic Information System
secara komprehensif adalah sistem untuk mengumpulkan, menyimpan, mengintegrasi, analisis dan menampilkan data secara spasial (Gatrell & Loytonen, 2003). Sistem Informasi geografis merupakan sebuah sistem yang saling berangkaian satu dengan yang lainnya. Sistem informasi geografis sebagai kumpulan yang terorganisir dari perangkat keras komputer, perangkat lunak, data geografi dan personel yang didesain untuk memperoleh, menyimpan, memperbaiki, memanipulasi, menganalisis, dan menampilkan semua bentuk informasi lingkungan dan geografi. Dengan demikian, basis analisis dari sistem informasi geografis adalah data spasial dalam bentuk digital yang diperoleh melalui data satelit atau data lain terdigitasi (Nuarsa, 2004).
GIS merupakan alat yang baik untuk meningkatkan pemahaman data melalui visualisasi dan analisis, dan penggunaannya meningkat di kalangan professional kesehatan masyarakat untuk membuat perencanaan, monitoring dan surveilan. Menampilkan data dalam bentuk peta mampu memberikan wawasan yang lebih daripada bentuk tabel dengan data yang sama, menampilkan penilaian yang cepat pada trend dan hubungan. Kemampuan ini dapat membantu dalam penargetan inisiatif kesehatan masyarakat serta mengevaluasi program kesehatan dan menginformasikan perencanaan jangka panjang. Memberikan pelayanan kesehatan minimum yang adil merupakan tantangan khusus di negara-negara berkembang di mana sumber daya
(42)
28
kesehatan dan infrastruktur transportasi sering miskin. Akses ke pelayanan kesehatan adalah penentu utama penggunaan layanan ini dan alat-alat GIS sedang semakin digunakan untuk mengevaluasi distribusi sumber daya kesehatan (Fisher & Myers, 2011).
Sistem informasi geografis diharapkan mampu memberikan menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan (Nuarsa, 2004):
1. Penanganan data geospasial menjadi lebih baik dalam format baku
2. Revisi dan pemutakhiran data menjadi lebih muda
3. Data geospasial dan informasi menjadi lebih mudah dicari, dianalisa dan
direpresentasikan
4. Menjadi produk yang mempunyai nilai tambah
5. Kemampuan menukar data geospasial
6. Penghematan waktu dan biaya
7. Keputusan yang diambil menjadi lebih baik.
Sistem informasi geografis dapat diaplikasikan di dunia kesehatan. Aplikasi utama Sistem Informasi Geografis dalam kesehatan masyarakat adalah (Nuarsa, 2005)
1. Membuat gambaran spasial dari peristiwa kesehatan.
2. Identifikasi risiko pekerjaan, lingkungan, kelompok risiko tinggi dan
daerah kritis
3. Stratifikasi faktor risiko
4. Analisis situasi kesehatan di suatu daerah geografis tertentu
(43)
29
6. Surveilans dan monitoring kesehatan masyarakat
7. Perencanaan dan target upaya kesehatan
8. Alokasi sumber daya kesehatan
9. Evaluasi suatu intervensi kesehatan.
2.9 Analisis Spasial
Analisis spasial adalah satu bidang utama di mana sistem informasi geografis dan penelitian kesehatan digabungkan melalui studi epidemiologi lingkungan. Ketika mencari hubungan antara penyakit dan lingkungan fisik dapat membedakan definisi geografis atau spasial epidemiologi yang lebih sempit di mana deskripsi, eksplorasi dan pemodelan kejadian penyakit tidak selalu melibatkan hubungan langsung dengan pencemaran lingkungan. Metode ini menggambarkan klaster penyakit, identifikasi klaster, asosiasi dengan potensi titik dan garis sumber polusi, dan kejadian penyakit ruang-waktu (Gatrell, 1998).
Pendekatan analisis melihat kejadian penyakit ruang dan waktu disebut dengan analisis spasial. Spasial mempunyai arti sesuatu yang dibatasi oleh ruang, komunikasi dan atau transformasi sedangkan data spasial menunjukkan posisi, ukuran dan kemungkinan hubungan topologis (bentuk dan tata letak) dari obyek di muka bumi (Ruswanto,2010). Selanjutnya analisis spasial adalah bagian manajemen penyakit berbasis wilayah yang menguraikan data penyakit secara geografi yang berkenaan dengan
(44)
30
kependudukkan, persebaran, lingkungan, perilaku, sosial ekonomi, kasus kejadian penyakit dan hubungan antar variabel tersebut (Ahmadi, 2005).
2.10 Model Spasial Epidemiologi
Elliot dan Watrtenberg (2004) dalam Achmadi (2014) mengem bangkan metode spasial epidemiologi yang memberikan pengertian sebagai suatu analisis dan uraian tentang kejadian penyakit pada sebuah wilayah berikut berbagai variabel yang berperan dalam kejadian penyakit tersebut, berkenaan dengan kondisi geografi, topografi, demografi serta berbagai risiko lainnya.
Spatial epidemiology is the description and analysis of geographic variations in disease eith respect to demographic, environmental, behavioral, socioeconomic, genetic, and infectious risk factors (Elliot dan Wartenberg, 2004).
Kategori analisis spasial dibagi menjadi tiga kelompok utama (Achmad, 2014):
1. Pemetaan Kasus Penyakit
Pemetaan penyakit memberikan suatu ringkasan visual yang cepat tetang informasi geografis yang amat kompleks dan dapat mengidentifikasi hal-hal atau beberapa informasi yang hilang apabila disajikan dalam bentuk tabel. Pemetaan dapat dilakukan untuk tujuan deskriptif, baik untuk menghasilkan hipotesis seperti etiologi, surveilans
(45)
31
untuk pengawasan yang menyoroti area pada risiko yang tinggi dan untuk membantu alokasi sumber daya dan kebijaksanaan. Pemetaan penyakit secara khusus dapat menunjukkan angka mortalitas atau morbiditas untuk suatu area geografi seperti suatu negara, provinsi atau daerah.
Pemetaan penyakit mempunyai dua aspek yakni gambaran visual dan pendekatan intuitif, perlu diperhatikan juga pada penafsiran. Pada gambaran yang menyakngkut gambaran citra satelit dengan adanya perbedaan resolusimeski data dan ukuran sama juga dapat menimbulkan salah tafsir.
2. Studi Hubungan Geografis
Studi hubungan geografis bertujuan untuk menguji variasi geografi disilangkan dengan populasi kelompok pemajanan ke variabel lingkungan (yang mungkin diukur di udara, air atau tanah), ukuran demografi dan sosial ekonomi (seperti pendapatan dan ras), atau faktor gaya hidup (seperti merokok dan diet) dalam hubungan dengan hasil kesehatan mengukur pada suatu skala geografi.
3. Pengelompokan Penyakit
Penyakit tertentu yang mengelompok pada wilayah tertentu patut dicurigai. Dengan bantuan pemetaan yang baik, insidensi penyakit diketahui berada pada lokasi tertentu. Dengan penyelidikan lebih mendalam, maka dapat dihubungkan dengan sumber-sumber penyakit seperti tempat pembuangan sampah akhir, jalan raya, pabrik tertentu, pembangkit atau saluran udara tinggi.
(46)
32
Elliot P, et al. (1992) menyebutkan bahwa geografikasl-eppidemiologi dapat didefinisikan sebagai deskripsi pola-pola spasial insiden penyakit dan kematian. Ini merupakan bagian dari epidemiologi deskriptif yang mana lebih umunya mengenai penggambaran kejadian penyakit berkenaan dengan karakteristik demografi (seperti umur, ras, jenis kelamun), tempat dan waktu.
2.11 Kerangka Teori
Epidemiologi adalah ilmu yang mempelajari distribusi, frekuensi, dan determinan penyakit (Mac Mahon & Pugh, 1970; Lowe & Koestrzewski, 1973; Mausner & Bahn, 1974). Epidemiologi menekankan upaya menerangkan bagaimana distribusi penyakit dan bagaimana komponen menjadi faktor penyebab penyakit tersebut. Untuk mengungkapkan dan menjawab masalah tersebut, epidemiologi melakukan berbagai cara yang selanjutnya menjadikan epidemiologi dapat dibagi dalam beberapa jenis yakni epidemiologi deskriptif, analitik dan eksperimental (Bustan, 2006). Studi deskriptif biasanya menjadi studi epidemiologi pertama yang dilakukan terhadap suatu penyakit. Pola kasus yang terdeteksi membekali penyelidik dengan gagasan yang dapat memunculkan hipotesis tentang penyebab atau sumber suatu penyakit (McKenzie, et al., 2007).
Epidemiologi deskriptif diharapkan mampu menjawab pertanyaan
mengenai faktor who, where, dan when (Bustan, 2006 dan McKenzie et al.,
(47)
33
distribusi epidemiologi. Ketiga faktor tersebut yang akan membentuk gambaran distribusi masalah atau penyakit. Informasi orang, tempat dan waktu berguna untuk menggambarkan adanya perbedaan dalam keterpaparan dan susceptibilitas. Artinya jika ada perbedaan dalam orang-tempat-waktu
maka itu dapat menjadi petunjuk adanya perbedaan paparan (exposure) agen
dan kepekaan (susceptibility) pejamu. Perbedaan ini dapat dipakai sebagai petunjuk tentang sumber, agen yang bertanggungjawab, transmisi dan penyebaran suatu penyakit (Bustan, 2006).
1. Faktor Orang dan Tempat
Hal yang sangat berguna bagi ahli epidemiologi adalah penempatan penyakit, kondisi, kesakitan dan pengklasterannya pada peta serta penggunaan perangkat terkait lainnya untuk menempatkan berbagai kasus penyakit. Peta dan pengkajian pengklasteran sangat berguna terutama selama berlangsungnya KLB khususnya jika penyakit tersebut memberikan konsekuensi besar bagi penduduk, mempengaruhi populasi yang besar dan secara geografis sekaligus reservoir dari organism juga harus dipertimbangkan dalam analisis (Timmreck, 2004).
2. Faktor Orang dan Waktu
Sebagian atau seluruh waktu, konfigurasi, atau segmen yang berkaitan dengan penyakit atau faktor risiko dapat dipakai dalam studi epidemiologi. Tipe penyakit atau kondisi dengan karakteristiknya akan menentukan elemen waktu yang perlu dipertimbangkan dan digunakan (Timmreck, 2004).
(48)
34
3. Faktor Waktu dan Tempat
Waktu sebagai elemen dasar dalam ukuran epidemiologi dan sebagai pertimbangan dasar dalam investigasi digunakan untuk mengetahui penyebab penyakit, ketidakmampuan, dan kondisi. Suatu episode penyakit dapat dialokasikan berdasarkan dimana (tempat) terjadinya dan berdasarkan waktu terjadinya dan keduanya sama pentingnya. Jika elemen tempat dan waktu berpadu dalam suatu KLB penyakit, perpaduan itu akan sangat berguna untuk memperlihatkan hubungan etiologis. Penggabungan kedua eleman tersebut menjadi sorotan khusus jika interval waktu antara pajanan dan awitan sangat dekat (Timmreck, 2004).
Bagan 2.1 Kerangka Teori
Modifikasi dari: Kementerian Kesehatan RI (2011);
Malnutrisi
Diabetes Melitus Immuno supresan
10% Lama Kontak
Jumlah Kasus TB BTA (+)
Lingkungan 1. Ventilasi 2. Kepadatan dalam
ruangan
3. Kepadatan penduduk
Faktor Perilaku
Pajanan Infeksi
TB
HIV (+)
Risiko menjadi TB bila dengan HIV:
5-50% setiap tahun >30% lifetime
(49)
35
3. BAB III
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1 Kerangka Konsep
Berdasarkan kerangka teori maka peneliti membuat kerangka konsep seperti yang terlihat pada bagan 2.2. Tidak semua faktor yang ada di kerangka teori dijadikan variabel penelitian. Hal tersebut dikarenakan penelitian ini menggunakan data sekunder yang memiliki keterbatasan data dimana data lama kontak, ventilasi dan faktor perilaku tidak dapat diukur.
Bagan 2.2 Kerangka Konsep
Kerangka konsep menunjukkan alur terjadinya penyakit TB yang diawali dengan pajanan kemudian infeksi TB. Rangkaian ini tidak dapat dipisahkan karena tidak semua orang yang terinfeksi bakteri TB berkembang menjadi sakit TB. Adapun yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah gambaran kejadian TB berdasarkan distribusi tempat dan waktu. Distibusi tempat yang diteliti adalah berdasarkan kelurahan tempat puskesmas dan kepadatan penduduk. Sementara distribusi waktu yang diteliti adalah trend kasus TB dan kejadiannya berdasarkan jumlah puskesmas.
Trend kasus TB
Jumlah Puskesmas
Keberadaan Puskesmas
Kepadatan Penduduk
Pajanan Infeksi
TB semua tipe TB BTA (+)
(50)
36
3.2Definisi Operasional
Tabel 3.1 Definisi Operasional
No Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Pengukuran Skala Ukur 1 Kejadian TB/ TB
semua tipe
Kejadian TB baik kasus TB BTA (+), TB BTA (-), ataupun TB ekstra paru yang tercatatat dalam register TB.03 elektronik Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan
Data sekunder Register TB.03 Jumlah kasus TB Rasio
2 TB BTA (+) kasus TB dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif yang tercatatat dalam register TB.03 elektronik Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan
Data sekunder Register TB.03 Jumlah kasus TB BTA (+) Rasio
3 Domisili Lokasi kasus TB menurut alamat dalam register TB.03 elektronik Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan
Data sekunder Register TB.03 1. Kota Tangerang Selatan 2. Luar Kota Tangerang Selatan
Nominal
4 Jumlah penemuan kasus TB
Jumlah kasus TB yang tercatat di register TB.03 elektronik Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan dan berdomisili di Kota Tangerang Selatan
Data sekunder Register TB.03 Jumlah kasus TB Rasio
5 CNR (Case Notification Rate)
Jumlah kasus baru TB yang tercatatat dalam register TB.03 elektronik Dinas
(51)
37
No Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Pengukuran Skala Ukur Kesehatan Kota Tangerang Selatan dibagi
jumlah penduduk dikali 100.000
6 Keberadaan Puskesmas kelurahan tempat puskesmas berada Data sekunder KCDA Kota Tangerang Selatan
Kelurahan Nominal
9 Kepadatan penduduk Jumlah penduduk (jiwa) dibagi luas wilayah (KM2) yang dihitung per
kelurahan
Data sekunder Laporan BPS KCDA Tangerang selatan
1. Rendah jika <150 jiwa/ha 2. Sedang jika sama dengan
150-200 jiwa/ha
3. Tinggi jika >200 jiwa/ha Sumber: Standar Nasional Indonesia (SNI) 03-1733-2004
(52)
38
4. BAB IV METODOLOGI
4.1 Jenis dan Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian epidemiologi spasial kejadian TB di KotaTangerang Selatan tahun 2009-2013. Desain penelitian ini adalah desain studi ekologi yakni studi yang fokus pada pembandingan kelompok daripada individu atau unit analisisnya adalah kelompok (Morgenstren, 1995; Bonita, et al., 2006 dan Carr, et al., 2007). Variabel pada studi ekologi dapat
berupa ukuran agregat (aggregate measures), ukuran lingkungan
(environment measures) ataupun ukuran global (global measures)
(Morgenstern, 1995). Pada penelitian ini ukuran yang digunakan adalah
ukuran agregat (kejadian TB per-kelurahan) dan ukuran lingkungan (kepadatan penduduk).
4.2 Lokasi, Waktu, dan Populasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kota Tangerang Selatan pada bulan Juni–
Agustus tahun 2014. Penelitian ini menggunakan desain studi ekologi dengan data agregat kasus TB per kelurahan sehingga penelitian ini tidak menggunakan sampel melainkan populasi. Adapun populasi penelitian ini adalah semua puskesmas di Kota Tangerang Selatan.
(53)
39
4.3 Pengumpulan Data
4.3.1 Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari beberapa instansi pemerintahan di Kota Tangerang Selatan, berikut penjelasannya.
A. Data kejadian TB tahun 2009-2013 diperoleh dari Dinas
Kesehatan Kota Tangerang Selatan dalam bentuk laporan TB03 elektronik.
B. Data kepadatan penduduk diperoleh dari BPS Kota Tangerang
Selatan dalam bentuk laporan Kecamatan Dalam Angka (KCDA) tahun 2010-2012.
C. Data base digital Kota Tangerang Selatan diperoleh dari Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kota Tangerang Selatan.
4.3.2 Metode Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari data sekunder. Adapun pengumpulannya dilakukan oleh masing-masing instansi yang berwenang. Berikut akan diuraikan cara pengumpulan data yang dilakukan oleh instansi terkait.
1. Kejadian TB
Data kejadian TB diperoleh dari fasyankes yang melaksanakan TB DOTS di Tangerang Selatan yakni 25
(54)
40
puskesmas, LKC Ciputat, Poliklinik PT. Pratama dan RSU Kota Tangerang Selatan. Data yang dilaporkan dari masing-masing fasyankes tersebut berdasarkan surveilan pasif yakni menunggu pasien yang berkunjung ke fasyankes. Setiap pasien yang datang dengan gejala TB dianggap suspek TB dan dilakukan pemeriksaan dahak. Jika berdasarkan hasil pemeriksaan SPS (sewaktu pagi sewaktu) positif TB atau berdasarkan diagnosis dokter pasien tersebut positif TB maka, pasien akan menerima terapi DOTS dan riwayat pengobatan pasien dicatat oleh fasyankes terkait sampai akhir masa pengobatan. Dari hasil pencatatan tersebut maka diketahui identitas pasien, jenis/klasifikasi penyakit, tipe pasien, hasil pemeriksaan dahak dan hasil pengobatan.
2. Kepadatan Penduduk
Data kepadatan penduduk didapat BPS dari laporan rutin tahunan masing-masing kecamatan yang ada di Kota Tangerang Selatan.
4.3.3 Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah register TB.03 elektronik yang kemudian disalin dalam dummy tabel untuk variabel kejadian TB. Kemudian, instrumen kepadatan penduduk adalah KCDA yang juga disalin dalam dummy.
(55)
41
4.4 Keabsahan Data
Data kejadian TB yang diperoleh dari register TB.03 elektronik diuji keabsahannya dengan cara mencocokkannya dengan data pada register TB di Puskesmas Ciputat Timur.
4.5 Rancangan Manajemen Data
4.5.1 Pemeriksaan Data
Data kejadian TB yang telah diperoleh dari Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan diperiksa kelengkapan pencatatannya seperti ada tidaknya data mengenai nama, alamat, umur, jenis kelamin, tipe pasien, klasifikasi TB, hasil pengobatan dan tanggal mulai pengobatan. Kemudian diperiksa pula kelengkapan data menurut triwulan dari tahun 2009-2013. Begitu pula dengan data kepadatan penduduk.
4.5.2 Pemasukan Data
Data yang telah diperoleh dan diperiksa kelangkapannya di-entry dan
dibersihkan ke dalam komputer dalam bentuk tabular. Sedangkan
untuk data spasial data akan disimpan dalam bentuk dbf.
4.5.3 Pembersihan Data
Data kejadian TB yang telah di-entry dipilah kembali berdasarkan
alamat paien. Kejadian TB yang berasal dari luar Kota Tangerang Selatan dan tidak memiliki alamat yang jelas maka akan dikeluarkan.
(56)
42
4.6 Analisis Data
Data yang telah terkumpul akan dianalisis dengan menggunakan:
1. Analisis univariat, untuk mengetahui besar masalah TB di Kota
Tangerang Selatan dengan memisahkan kasus berdasarkan keterangan domisili penderita dari semua kasus TB yang terlaporan di dinas kesehatan. Kemudian mendeskripsikan kejadian TB menurut distribusi waktu dengan melihat jumlah kasus, angka penjaringan suspek, CNR, proporsi TB BTA positif diantara suspek dan semua kasus yang tercatat/diobati di Kota Tangerang Selatan tahun 2009-2013.
2. Analisis spasial, untuk mengetahui distribusi kejadian TB berdasarkan
jumlah puskesmas dan kepadatan penduduk dengan menggunakan software dengan cara menggabungkan (join) data base digital kelurahan Kota Tangerang Selatan dengan jumlah kasus TB masing-masing kelurahan. Kemudian pada attributable, tiap kelurahan akan diberi warna sesuai klasifikasi kepadatan penduduk dan jumlah kasus TB-nya.
(57)
43
5. BAB V
HASIL PENELITIAN
Berikut ini akan dijelaskan kejadian TB yang terlaporkan di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan menurut keterangan domisili penderita tahun 2009-2013. Penyajian ini dimasudkan untuk melihat besar masalah TB di Kota Tangerang Selatan. Selain itu, kejadian TB akan dijelaskan menurut distribusi tempat dan waktu.
5.1 Distribusi Kejadian TB yang Terlaporkan di Dinas Kesehatan Kota
Tangerang Selatan Menurut Keterangan Domisili Penderita Tahun 2009-2013
Untuk mengetahui kejadian TB di Kota Tangerang Selatan maka, kasus TB yang terlaporkan di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan perlu dipisahkan menurut keterangan domisili penderita. Adapun hasilnya ditunjukkan pada grafik 5.1 berikut ini.
Grafik 5.1
Proporsi Kejadian TB yang Terlaporkan
di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan Menurut Keterangan Domisili Penderita Tahun 2009-2013
1284 1240 1362
1979 2074
1104
1016 1158
1680
1849
12456 188 135 204 90
36 69 95 35
0 500 1000 1500 2000 2500
2009 2010 2011 2012 2013
kasu s T B Tahun Kasus terlaporkan Kasus Tangsel
Kasus luar Tangsel
Ket. Domisili tdk lengkap Linear (Kasus terlaporkan) Linear (Kasus Tangsel)
(58)
44
Grafik 5.1 menunjukkan bahwa dari semua kasus TB yang terlaporkan di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan ditemukan kasus TB yang berasal dari luar wilayah Tangerang Selatan dan ditemukan pula kasus TB dengan alamat tidak jelas. Selama lima tahun, kasus TB yang berdomisili di luar wilayah Tangerang Selatan paling banyak ditemukan pada tahun 2012 dan paling sedikit tahun 2013.
Tabel 5.1
Rata-rata Proporsi Kasus TB yang Terlaporkan di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan Menurut Keterangan Domisili Penderita Tahun 2009-2013
Keterangan Domisili Kasus TB (%) Rata-rata per tahun (%) 2009 2010 2011 2012 2013
Tangsel 86 82 85.1 85.1 89 85.4
Luar Tangsel 9.7 15.2 9.9 10.3 9.3 10.9 Alamat tdk jelas/kosong 4.3 2.8 5.0 4.6 1.7 3.7 Total kasus terlaporkan 100 100 100 100 100 100
Sumber: Dinkes Kota Tangsel Tahun 2009-2013
Berdasarkan tabel 5.1 diketahui bahwa selama lima tahun, rata-rata proporsi kasus TB yang berasal dari wilayah Tangerang Selatan sebesar 85.4% dan dari luar wilayah Tangerang Selatan sebesar 10.9%. Sedangkan rata-rata proporsi kasus TB dengan alamat tidak jelas sebesar 3.7%.
Alamat kasus TB yang tinggal di luar wilayah Tangerang Selatan dapat diketahui dengan melihat tabel berikut ini.
Tabel 5.2
Proporsi Kasus TB di Luar Wilayah Tangerang Selatan Berdasarkan Kasus yang Terlaporkan di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan Tahun 2009-2013 Tahun Kasus TB Luar
Tangsel
Jakarta Depok Bogor Tangerang Lain-lain
Tertinggi
n % n % n % n % n %
2009 124 47 37.9 31 25.0 17 13.7 19 15.3 10 8.1 Jakarta 2010 183 38 20.8 19 10.4 44 24.0 54 29.5 28 15.3 Tangerang 2011 135 25 18.5 10 7.4 31 23.0 53 39.3 20 14.8 Tangerang 2012 204 46 22.5 13 6.4 19 9.3 114 55.9 12 5.9 Tangerang 2013 90 16 17.8 22 24.4 22 24.4 35 38.9 5 5.6 Tangerang
(59)
45
Berdasarkan tabel 5.2 diketahui bahwa kasus TB yang tinggal di luar wilayah Tangerang Selatan kebanyakan berasal atau tinggal di wilayah Jakarta, Depok, Bogor dan Tangerang dengan proporsi terbesar (>29%) terdapat di wilayah Tangerang (selama empat tahun).
Pada tabel 5.3 akan diketahui fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) yang paling banyak melaporkan kasus TB yang berdomisili dari luar wilayah Tangerang Selatan dan atau keterangan domisili tidak jelas.
Tabel 5.3
Distribusi Kejadian TB Luar Kota Tangerang Selatan dan Keterangan Domisili Tidak Jelas/Lengkap Menurut Fasyankes Tahun 2009-2013
Tahun
Kasus Luar Kota Tangerang Selatan Keterangan Domisili Tidak Jelas
Total Tertinggi Total Tertinggi
n % Fasyankes n % Fasyankes
2009 124 80 64.5 LKC 56 26 46.4 Pkm Pamulang 2010 188 188 55.9 LKC 36 12 33.3 Pkm Pamulang 2011 135 36 26.7 LKC 69 15 21.7 Pkm Pamulang 2012 204 40 19.8 LKC 95 45 47.4 RSUD Tangsel 2013 90 39 20.5 RSUD Tangsel 35 6 17.1 RSUD Tangsel
Sumber: Dinkes Kota Tangsel Tahun 2009-2013
Berdasarkan tabel 5.3 diketahui bahwa selama empat tahun kasus TB dari luar Kota Tangerang Selatan paling banyak dilaporkan oleh LKC. Sedangkan untuk kasus TB dengan keterangan domisili tidak jelas paling banyak dilaporkan oleh Puskesmas Pamulang. Namun, pada tahun 2013 baik kasus TB dari luar Kota Tangerang Selatan maupun kasus dengan keterangan domisili tidak jelas paling banyak dilaporkan oleh RSUD Tangerang Selatan.
(60)
46
5.2 Kejadian TB Menurut Distribusi Tempat di Kota Tangerang Selatan Tahun
2009-2013
Kejadian TB selanjutnya akan diuraikan menurut distribusi tempat yakni melihat kejadian TB berdasarkan kelurahan tempat puskesmas berada dan kepadatan penduduk di Kota Tangerang Selatan.
5.2.1 Kejadian TB Menurut Kelurahan Tempat Puskesmas di Kota
Tangerang Selatan Tahun 2009-2013
Kejadian TB menurut kelurahan tempat puskesmas akan disajikan dalam bentuk gambar (gambar 5.1). Kejadian TB akan diamati berdasarkan wilayah (kelurahan) tempat puskesmas berada. Pada gambar tersebut puskesmas disimbolkan dalam bentuk dot dan diletakkan sesuai kelurahan tempat puskesmas berada (bukan berdasarkan koordinat). Warna dalam gambar menunjukkan jumlah kasus TB. Semakin gelap warna di suatu wilayah maka jumlah kasus TB-nya semakin tinggi. Kasus terendah (1-4 kasus) ditandai dengan warna putih dan kasus tertinggi (>65 kasus) ditandai dengan warna hitam. Wilayah dalam gambar tersebut dibatasi menurut wilayah kelurahan.
(61)
47
Gambar 5.1
Distribusi Kejadian TB Menurut Kelurahan Tempat Puskesmas di Kota Tangerang Selatan Tahun 2009-2013
Batas Wilayah
Utara : Kota Tangerang dan DKI Jakarta Timur : Kota Depok dan DKI Jakarta Selatan : Kabupaten Bogor dan Kota Depok Barat : Kabupaten Tangerang
(62)
48
Berdasarkan gambar 5.1 secara spasial, distribusi kasus TB di Kota Tangerang Selatan sampai tahun 2012 (empat tahun) cenderung berada di sebelah timur Kota Tangerang Selatan yang berbatasan dengan Kota Depok dan DKI Jakarta. Namun, pada tahun 2013 sebarannya hampir meliputi seluruh Kota Tangerang Selatan. Sedangkan wilayah yang paling rendah jumlah kasusnya adalah wilayah selatan Kota Tangerang Selatan.
Pada tahun 2009, terlihat bahwa kelurahan yang terdapat puskesmas di wilayahnya ditemukan kasus TB tidak kurang dari 16 kasus. Tetapi, ada pula kelurahan yang berada jauh dari puskesmas namun ditemukan kasus TB cukup tinggi (46-55 kasus) yaitu Kelurahan Pamulang Barat dan Kelurahan Pamulang Timur. Kedua kelurahan tersebut berada di wilayah pusat pemerintahan Kota Tangerang Selatan.
Tahun 2010 jumlah kasus TB yang ditemukan berkurang sebesar 8% (tabel 5.3), namun secara spasial terjadi peningkatan pada beberapa kelurahan yang awalnya antara 1-4 kasus (wara putih) menjadi diatas 4 kasus seperti Kelurahan Kranggan dan Kelurahan Perigi. Pada tahun ini di dua kelurahan tersebut didirikan puskesmas baru sehingga total puskesmas di Kota Tangerang Selatan menjadi 12 unit.
Pada tahun 2011 kasus TB di sebelah timur (Kecamatan Pondok Aren dan Kecamatan Ciputat Timur) wilayah Kota Tangerang Selatan semakin meningkat. Sedangkan di sebelah selatan (Kecamatan
(63)
49
Serpong Utara) wilayah Kota Tangerang Selatan, kasus TB terlihat menurun dari tahun sebelumnya. Pada tahun ini jumlah puskesmas semakin banyak yakni menjadi 25 unit yang tersebar merata di Kota Tangerang Selatan.
Pada tahun 2012, secara spasial, pola peningkatan kasus TB tidak berbeda dari tahun 2011. Padahal tahun ini kasus TB meningkat dari 1.158 kasus menjadi 1.680 kasus atau meningkat sebesar 45% (tabel 5.3). Sebaliknya pada tahun 2013, terlihat banyak kelurahan yang mengalami peningkatan jumlah kasus TB meskipun peningkatan kasus pada tahun ini hanya 10% dari tahun sebelumnya. Pada tahun ini penyebaran kasus terlihat merata ke seluruh penjuru Kota Tangerang Selatan.
5.2.2 Kejadian TB Menurut Kepadatan Penduduk di Kota Tangerang
Selatan Tahun 2010-2012
Distribusi kejadian TB menurut kepadatan penduduk di Kota Tangerang Selatan dapat dilihat pada tabel 5.4 dan 5.5 berikut ini.
Tabel 5.4
Kepadatan Penduduk Menurut Kelurahan di Kota Tangerang Selatan Tahun 2010-2012
Tahun
Kepadatan (jiwa/ha) Tangerang
Selatan Terendah Tertinggi
2010 87.7 26.5 (Kranggan) 215.6 (Jelupang)
2011 92.1 26.6 (Kranggan) 232.6 (Jelupang)
2012 95.5 26.5 (Kranggan) 246.8 (Jelupang)
(64)
50
Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) 03-1733-2004 tentang tatacara perencanaan lingkungan perumahan di perkotaan, suatu wilayah dikatakan memiliki kepadatan rendah jika kurang dari 150 jiwa/ha, kepadatan sedang jika 151-200 jiwa/ha, kepadatan tinggi jika 201-400 jiwa/ha, dan sangat padat jika lebih dari 400 jiwa/ha. Berdasarkan tabel 5.4 diketahui bahwa rata-rata kepadatan penduduk di kelurahan-kelurahan yang ada di Kota Tangerang Selatan adalah rendah. Kepadatan terendah dan tertinggi di kota ini selama tiga tahun terjadi pada kelurahan yang sama yaitu Kelurahan Kranggan dan Kelurahan Jelupang.
Tabel 5.5
Distribusi Kasus TB (semua tipe) Menurut Kelurahan di Kota Tangerang Selatan Tahun 2010-2012 Tahun
Kasus TB (Semua Tipe) Tangerang
Selatan Terendah Tertinggi
2009 1104 1 (Lekong Gudang Timur) 63 (Kedaung) 2010 1016 4 (Pondok Jagung Timur) 54 (Kedaung)
2011 1158 1 (Lekong Wetan) 65 (Pondok Kacang Timur) 2012 1680 2 (Lekong Gudang Timur) 98 (Kedaung)
2013 1849 1 (Pondok Jagung Timur) 102 (Pondok Benda)
Sumber: Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan Tahun 2010-2012
Berdasarkan tabel 5.5 diketahui bahwa selama lima tahun, kasus TB tertinggi terdapat paling sering di Kelurahan Kedaung. Sedangkan kasus TB terendah terdapat paling sering di Kelurahan Lekong Gudang Timur dan Kelurahan Pondok Jagung Timur.
(65)
51
Gambar 5.2
Kejadian TB Berdasarkan Kepadatan Penduduk Di Kota Tangerang Selatan Tahun 2010-2012
Batas Wilayah
Utara : Kota Tangerang dan DKI Jakarta Timur : Kota Depok dan DKI Jakarta Selatan : Kabupaten Bogor dan Kota Depok
(66)
52
Gambar 5.2 merupakan gambaran kejadian TB berdasarkan kepadatan penduduk di Kota Tangerang Selatan. Pada gambar tersebut terlihat adanya perubahan kepadatan penduduk dan jumlah kasus TB dari tahun ke tahun.
Pada tahun 2010, kelurahan dengan jumlah kasus TB tertinggi (63 kasus) terdapat pada kelurahan dengan kepadatan sedang yakni Kelurahan Kedaung. Sedangkan kelurahan dengan kepadatan tinggi (Kelurahan Jelupang, Kelurahan Pondok Pucung dan Kelurahan Pondok Betung) ditemukan kasus TB kurang dari 27 kasus.
Tahun 2011 terdapat beberapa kelurahan yang mengalami peningkatan kepadatan penduduk dari kepadatan rendah menjadi kepadatan sedang yang diiringi dengan penambahan jumlah kasus TB. Kelurahan tersebut adalah Kelurahan Cireundeu, Kelurahan Jurang Mangu Timur, Kelurahan Jombang dan Kelurahan Rawa Buntu. Tetapi ada pula yang mengalami penurunan kasus seperti Kelurahan Pamulang Barat dan Kelurahan Kademangan.
Tahun 2012 jumlah kelurahan dengan tingkat kepadatan sedang berkurang atau sama jumlahnya seperti tahun 2010. Kelurahan yang kepadatannya menurun, jumlah kasus TB nya bertambah. Namun pertambahan kasus TB ini juga dialami oleh kelurahan-kelurahan dengan kepadatan rendah.
(1)
83
Wang, T., Fuzhong Xue, Y. C., Ma, Y. & Liu, Y., 2012. The Spatian Epidemiology
of Tuberculosis in Linyi City, China, 2005-2010.
BMC Public Health,
Volume 12, p. 885.
WHO, 2010.
Global Epidemiology of Tuberculosis,
Manila: WHO.
WHO, 2012.
Tuberculosis Control in South-East Asia Region 2012,
New Delhi:
WHO SEA Region.
WHO, 2013.
Global Tuberculosis Report ,
Geneva: WHO.
WHO, 2013.
Systematic Screening For Active Tuberculosis: Principle and
Recommendations.
Geneva: WHO.
Widoyono, 2002.
Penyakit Tropis: Epidemiologi, Penularan, Pencegahan &
Pemberantasannya.
Jakarta: Erlangga.
Wijaya, A. A., 2012. Merokk dan Tuberkulosis.
Jurnal Tuberkulosis Indonesia,
Volume 8, pp. 18-23.
Wise, S. & Craglia, M., 2008.
GIS and Evidence-Based Policy Making.
Boca Raton:
CRC Press.
(2)
(3)
(4)
86
CNR TB Menurut Kelurahan di Kota Tangerang Selatan Tahun 2010-2012
No. KELURAHAN CNR (100.000 pddk) No. KELURAHAN CNR (100.000 pddk)
2010 2011 2012 2010 2011 2012
1 Babakan 18.2 29.0 36.5 28 Pamulang Timur 29.4 38.2 71.3 2 Bakti Jaya 23.1 43.7 32.6 29 Perigi 42.1 47.5 71.2 3 Bambu Apus 44.5 13.9 66.3 30 Perigi Baru 33.3 30.0 44.3 4 Benda Baru 41.7 113.7 121.0 31 Pisangan 35.1 50.4 49.0 5 Buaran 60.7 39.3 98.8 32 Pondok Aren 52.5 46.4 103.4 6 Cempaka Putih 86.5 102.8 88.8 33 Pondok Benda 67.9 93.5 165.7 7 Ciater 81.8 71.5 174.7 34 Pondok Betung 28.6 63.5 83.1 8 Cilenggang 276.3 256.3 147.2 35 Pondok Cabe Ilir 60.6 46.7 91.2 9 Cipayung 195.8 237.2 460.4 36 Pondok Cabe Udik 36.4 13.3 41.6 10 Ciputat 143.2 169.3 242.7 37 Pondok Jagung 62.2 54.1 98.6 11 Cireundeu 100.5 184.9 201.9 38 Pondok Jagung Timur 10.9 5.2 12.7 12 Jelupang 233.3 48.8 110.4 39 Pondok Jaya 64.9 105.2 65.8 13 Jombang 204.3 171.5 473.9 40 Pondok Kacang Barat 94.9 121.8 133.9 14
Jurang Manggu
Barat 71.1 70.5 98.0 41 Pondok Kacang Timur 159.2 327.9 328.3 15
Jurang Manggu
Timur 81.7 85.2 121.6 42 Pondok Karya 34.5 35.8 71.4 16 Kademangan 116.8 138.8 141.9 43 Pondok Pucung 96.5 163.9 148.7 17 Kedaung 117.8 177.8 285.4 44 Pondok Ranji 170.2 211.9 347.5 18 Kranggan 45.1 47.5 86.3 45 Rawa Buntu 67.6 196.7 252.9 19 Lengkong Gudang 35.5 27.6 34.0 46 Rawa Mekar Jaya 64.8 131.2 142.7 20
Lengkong Gudang
Timur 53.5 42.1 8.1 47 Rempoa 182.6 358.2 306.6
21 Lengkong Karya 45.7 47.3 94.2 48 Rengas 136.6 167.1 429.9 22 Lengkong Wetan 14.0 2.7 10.5 49 Sarua 58.9 71.7 67.5 23 Muncul 34.5 64.6 30.8 50 Sarua Indah 24.2 45.8 35.2 24 Paku Alam 47.1 28.7 42.9 51 Sawah 154.9 77.3 179.1 25 Paku Jaya 117.5 47.0 73.2 52 Sawah Baru 230.1 141.2 265.3 26 Pakulonan 27.4 42.0 43.3 53 Serpong 202.0 255.8 351.4 27 Pamulang Barat 79.5 51.6 87.7 54 Setu 41.5 65.6 51.1
(5)
87
Kejadian TB di Kota Tangerang Selatan Tahun 2009-2013
Kelurahan 2009 2010 TB BTA + 2011 2012 2013 2009 2010 TB BTA - 2011 2012 2013 2009 2010 Ekstra Paru 2011 2012 2013
Babakan 5 3 8 6 6 2 2 3 8 1 0 1 0 0 0
Bakti Jaya 2 8 8 12 15 4 1 8 3 0 0 0 0 0 1
Bambu Apus 10 7 3 12 19 14 6 4 13 17 0 0 1 0 1
Benda Baru 10 6 15 14 7 14 3 4 7 20 0 0 0 0 2
Buaran 14 13 7 24 14 6 6 7 13 10 0 0 0 0 1
Cempaka Putih 7 7 9 10 12 10 12 13 10 6 0 0 0 0 0
Ciater 5 9 6 21 17 10 9 8 22 9 0 0 1 0 0
Cilenggang 5 6 6 1 6 13 9 7 7 4 0 0 0 0 0
Cipayung 8 10 4 8 7 12 7 13 30 18 1 0 0 3 0
Ciputat 13 12 16 20 17 17 10 15 32 24 0 2 1 1 2
Cireundeu 5 3 17 16 20 8 7 9 11 11 1 0 1 0 1
Jelupang 13 10 4 5 7 12 7 0 4 6 0 0 0 0 0
Jombang 23 17 15 34 26 7 12 9 28 35 0 0 1 1 0
Jurang Manggu Barat 8 14 10 24 18 12 12 11 9 22 1 1 4 2 1
Jurang Manggu Timur 10 10 18 22 14 22 5 4 12 14 1 6 5 5 5
Kademangan 22 20 20 16 18 7 9 13 23 12 1 0 0 0 0
Kedaung 26 28 22 39 24 25 19 33 52 40 1 0 0 2 3
Kranggan 1 8 6 13 10 0 4 7 9 4 0 0 0 1 0
Lengkong Gudang 7 3 2 7 10 5 8 8 5 8 0 0 0 0 1
Lengkong Gudang Timur 1 5 5 1 1 0 1 0 0 4 0 0 0 0 0
Lengkong Karya 6 7 6 15 13 4 2 2 4 5 0 1 1 1 1
Lengkong Wetan 1 3 1 3 6 0 2 0 3 3 0 0 0 0 0
Muncul 5 2 5 3 10 1 4 6 4 6 0 0 0 0 1
Paku Alam 5 11 3 6 11 3 5 5 8 3 0 1 0 0 0
Paku Jaya 6 8 2 3 6 3 3 2 4 3 0 0 0 0 0
Pakulonan 10 6 10 7 2 5 2 3 9 5 1 1 0 0 0
Pamulang Barat 14 25 8 20 31 37 19 14 21 24 0 2 1 1 5
Pamulang Timur 3 9 7 15 19 8 5 10 15 8 0 0 0 0 2
Perigi 5 4 10 12 14 8 8 8 14 10 1 0 0 0 2
Perigi Baru 2 4 10 13 13 3 9 3 3 11 0 1 0 0 0
Pisangan 12 9 10 12 31 10 4 10 13 12 0 0 1 0 1
Pondok Aren 16 10 12 22 17 5 13 10 19 9 1 0 1 0 0
Pondok Benda 21 15 16 26 50 28 18 14 31 35 0 1 2 2 4
Pondok Betung 6 1 13 12 16 5 3 2 8 17 0 1 1 2 1
Pondok Cabe Ilir 16 14 10 20 22 19 13 11 18 12 0 0 0 0 1
Pondok Cabe Udik 11 11 4 8 10 9 8 5 12 3 0 1 1 0 2
Pondok Jagung 17 11 12 17 14 7 3 1 10 7 0 1 0 1 0
Pondok Jagung Timur 2 3 2 3 0 1 0 0 3 1 0 0 0 0 0
Pondok Jaya 1 6 6 5 12 2 3 9 3 7 0 0 0 0 0
Pondok Kacang Barat 10 10 9 14 15 10 9 16 15 11 0 0 1 0 1
Pondok Kacang Timur 15 16 24 21 19 8 8 30 25 17 0 0 2 2 0
Pondok Karya 4 5 6 12 15 5 3 1 7 12 0 1 2 4 0
Pondok Pucung 2 6 14 9 14 4 11 15 23 25 0 0 0 0 2
Pondok Ranji 14 9 9 16 15 5 7 11 16 23 1 2 1 0 2
Rawa Buntu 10 6 14 23 22 5 2 11 13 6 0 1 0 1 2
Rawa Mekar Jaya 4 3 7 9 12 4 3 8 7 1 0 0 0 0 0
Rempoa 10 1 20 16 23 7 11 10 15 14 0 2 2 0 4
Rengas 2 5 9 33 33 5 5 7 12 11 0 0 1 1 0
Sarua 5 8 11 9 8 4 7 9 12 11 0 0 0 1 2
Sarua Indah 3 1 5 3 5 3 4 3 5 5 0 0 1 0 2
Sawah 23 20 10 24 42 17 14 7 15 9 0 1 1 0 1
Sawah Baru 14 24 14 23 30 19 11 10 15 15 0 0 0 0 1
Serpong 19 19 18 18 17 15 15 22 42 24 0 1 0 1 1
Setu 16 7 8 8 12 6 4 9 7 5 0 0 0 0 0
(6)