Sikap terhadap Kenakalan Remaja

kendalikan dan mereka kontrol lalu sebagai wujud dari kurangnya atau bahkan tidak adanya kedisiplinan diri yang dimiliki oleh remaja. Sebagian besar penyebab atau motif dari kenakalan remaja selain dari dirinya sendiri yang sedang mencari identitas diri adalah berasal dari lingkungan teman sebayanya atau dari lingkungan keluarga remaja tersebut. Kenakalan tersebut, menurut Jahja 2011 dapat muncul akibat adanya konflik antara kebutuhan akan pengendalian diri dan konflik antara kebutuhan kebebasan dan ketergantungan pada orang tua, konflik antara kebutuhan seksualitas dan agama serta nilai-nilai sosial, konflik pada prinsip dan nilai yang dipelajari remaja serta konflik dalam menghadapi masa depan. Beberapa konflik tersebut dapat menyebabkan remaja melakukan kenakalan remaja apabila orang tua tidak mendampingi dengan benar. Kondisi keluarga yang berantakan seperti adanya perselisihan orang tua atau antar anggota keluarga, perceraian orang tua, sikap dan perilaku orang tua yang buruk terhadap anak dan kehidupan ekonomi yang tidak teratur dapat berpotensi menyebabkan remaja melakukan kenakalan. Orang tua berperan untuk menanamkan moralitas dan keyakinan beragama pada anak-anak muda. Selain itu, orang tua juga harus mampu menumbuhkan rasa tanggung jawab sosial pada diri remaja tersebut, akan tetapi teman sebayanya juga berpengaruh karena remaja sedang mengalami transisi untuk meninggalkan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI standar orang tua, sehingga remaja terkadang memakai standar dari lingkungan sekolahnya yang terdapat teman sebayanya. Hal ini akan mempengaruhi watak dan kepribadian remaja tersebut. Tambunan 1979 menyatakan bahwa anak remaja akan menjadi mudah terjerumus ke dalam pergaulan yang tidak diinginkan apabila tidak mendapatkan bimbingan yang tepat dari orang tua. Kartono 2005 menyebut bahwa remaja yang melakukan kenakalan remaja tersebut mempunyai karakteristik kepribadian yang berbeda, yaitu i. Berorientasi pada kesenangan masa sekarang, sehingga mereka tidak mampu untuk memikirkan kehidupan dirinya di masa yang akan datang. ii. Memiliki emosional yang agak terganggu iii. Remaja tersebut kurang dalam sosialisasinya dengan masyarakat. Hal ini kemudian menyebabkan remaja tidak mengenal norma-norma yang berlaku di masyarakat dan tidak memiliki tanggung jawab secara sosial. iv. Remaja tersebut terkadang memilih untuk mengikuti kegiatan yang “tanpa pikir” hanya mengarah pada kegiatan untuk menunjukkan kejantanannya dan tidak mempertimbangkan resiko walaupun mereka menyadari akan adanya hal tersebut. v. Remaja tersebut impulsif dan memilih kegiatan yang lebih bahaya PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI vi. Hati nurani remaja tersebut kurang difungsikan dengan baik vii. Memiliki kontrol dan disiplin diri yang buruk. Hal ini disebabkan oleh karena tidak adanya pendidikan atau pelatihan untuk remaja tersebut. Santrock 2003 mengatakan bahwa jenis kelamin menjadi salah satu pemicu munculnya kenakalan, yaitu jenis kelamin laki- laki yang lebih banyak melakukan tindak kekerasan. Hal ini juga didukung oleh pendapat Maccoby Jacklin Sears, Freedman and Peplau, 1985 bahwa salah satu perbedaan jenis kelamin yang paling konsisten adalah frekuensi munculnya perilaku agresif yang lebih tinggi pada pria. Hal tersebut sama dengan yang dilaporkan Baron and Byrne 2005 bahwa pria secara signifikan lebih cenderung daripada wanita untuk melakukan agresi terhadap orang lain. Hal tersebut menurut Helmi Soedarjo 1998 dipengaruhi oleh adanya produksi hormon testosteron pada laki-laki sehingga dapat meningkatkan perilaku agresif, terutama pada manusia yang berusia remaja dimana meningkatnya agresivitas disebabkan oleh meningkatnya produksi hormon testosteron. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa laki-laki memiliki kecenderungan perilaku agresif seperti kenakalan yang lebih tinggi daripada perempuan. b. Remaja i. Definisi Remaja adalah masa peralihan dari anak-anak ke masa dewasa. Hal ini meliputi semua aspek perkembangan yang dialami sebagai persiapan memasuki masa dewasa Gunarsa, 1981. Remaja atau biasa disebut dengan adolescene, berasal dari bahasa Latin adolescere yang berarti tumbuh atau tumbuh untuk mencapai kematangan Ali Asrori 2009. Menurut Hurlock Jahja, 2011 masa remaja dibagi menjadi 2 bagian yaitu remaja awal 13 hingga 16 atau 17 tahun dan remaja akhir 16 atau 17 sampai 18 tahun. Lain halnya dengan yang diungkapkan Jahja 2011, bahwa masa remaja bermula dari usia awal pubertas sekitar 11 –14 tahun hingga usia sekitar 18 tahun. Batasan kronologis dari remaja memiliki perbedaan dan sangat relatif. Setiap negara memiliki batasan masing-masing dalam menentukan batasan seseorang disebut remaja, misalnya menurut hukum Amerika Serikat seorang yang sudah berumur 18 tahun sudah di anggap sebagai dewasa. Menurut KUHP, di Indonesia batasan orang disebut dewasa adalah yang memiliki usia diatas 18 tahun. Akan tetapi kita dapat memakai batasan bahwa remaja merupakan fase “mencari jati diri” atau fase “topan dan badai” Ali Asrori, 2009 sehingga dapat dikatakan bahwa mereka yang masih berada dalam fase mencari jati diri tersebut adalah remaja. Fase mencari jati diri inilah yang kemudian disebut sebagai pencarian identitas diri. Erik Erikson dalam Feist Feist 2008, dalam masa remaja terjadi krisis identity versus identity confusion atau identitas diri dan kebingungan identitas. Menurut Erikson, pencarian identitas ini merupakan hal yang wajar sebagai wujud untuk memahami dirinya bukan sebagai wujud dari rasa ketidaknyamanan remaja dalam menghadapi masa dewasa. Proses pencarian identitas ini merupakan konsepsi tentang diri, penentuan tujuan dan nilai hidup serta keyakinan yang akan di pegang teguh oleh seseorang dalam hidupnya Papalia, et.al., 2008. Identitas diri adalah suatu proses integrasi pengalaman individu ke dalam kepribadian yang semakin menjadi dewasa Ahmadi Sholeh, 2005. Identitas diri tersebut diperoleh oleh individu melalui berbagai pengalaman yang diperolehnya, setiap pengalaman tersebut akan memiliki makna yang berbeda pada setiap individu tersebut. Pada tahap pencarian identitas diri ini, remaja mengalami masa rawan yang disebabkan karena remaja yang memperoleh identitas diri akan sukses melampaui masa remajanya tetapi bila tidak remaja cenderung mengalami kebingungan dan kekaburan identitas. Kebingungan atau kekaburan identitas akan berakibat pada terhambatnya remaja yang akan mencapai kedewasaan. Hal tersebut menyebabkan remaja melakukan dua hal, pertama remaja akan melakukan regresi atau kembali ke masa kanak- kanak untuk menghindari konflik yang harus dihadapi, kedua adalah menyebabkan remaja melibatkan diri secara impulsif ke dalam perilaku yang buruk. Remaja yang berhasil mendapatkan identitas diri adalah remaja yang dapat menentukan pilihan pekerjaan, nilai yang dihidupi dan memiliki nilai identitas seksual yang memuaskan Erikson dalam Papalia, et.al., 2008. Pencarian identitas tersebut merupakan bagian dari perkembangan remaja dalam hal psikososial. Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa remaja adalah suatu masa peralihan dari anak-anak menuju dewasa dan berusia 13 sampai 18 tahun, suatu tahap dimana mereka sedang mengalami pencarian identitas diri. ii. Perkembangan Remaja a. Fisik dan Kognitif Masa remaja memiliki perubahan atau peningkatan yang signifikan, demikian halnya dengan semakin matangnya organ-organ tubuh. Santrock 2002 menambahkan bahwa pubertas merupakan salah satu tanda dari semakin matangnya organ tubuh, pubertas sendiri PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI adalah periode dimana kematangan kerangka dan seksual terjadi secara pesat. Hal tersebut didukung oleh semakin meningkatnya produksi hormon testosteron pada laki-laki dan hormon estradiol pada perempuan. Perubahan fisik tersebut membuat remaja disibukkan dengan tubuh mereka dan mengembangkan citra individual mengenai gambaran tubuhnya. Rochmah 2005 menyatakan bahwa pubertas tersebut menyebabkan remaja merasa ingin menyendiri, bosan, inkoordinasi antara pertumbuhan yang pesat dan tidak seimbang sehingga mempengaruhi pola koordinasi gerakan, antagonisme sosial yaitu suka membantah dan menentang, emosi yang meninggi sehingga mudah marah, gelisah dan khawatir, hilangnya kepercayaan diri, terlalu sederhana misalnya dalam penampilan karena adanya ketakutan menjadi perhatian dan komentar buruk dari orang lain. Selain perkembangan fisik, remaja juga akan mengalami perkembangan kognitif atau kemampuan berfikirnya. Santrock 2002 menambahkan bahwa remaja sudah mampu untuk berfikir secara abstrak karena mereka sudah memasuki tahap pemikiran operasional formal. Perkembangan kognitif remaja berkaitan dengan struktur otak yang berpengaruh pada emosi, penilaian, PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI organisasi perilaku serta kontrol diri. Remaja usia 11 sampai 13 tahun cenderung menggunakan amigdala daripada menggunakan lobus frontalis sehingga cenderung bereaksi secara emosional dan instingtual sedangkan dalam hal penilaian remaja belum mampu akurat dan beralasan. Hal ini menyebabkan remaja cenderung tidak menggunakan akal sehat karena kalah oleh perasaan dan emosi. Papalia, Old and Feldman. 2009. b. Sosio-emosi Menurut Santrock 2002, keluarga dan teman sebaya menjadi hal dapat mempengaruhi perkembangan remaja. Peran keluarga terkait dalam hal otonomi dan kelekatan. Pada masa remaja, keinginan mereka untuk kebebasan dalam rangka mencari otonomi atau tanggung jawab semakin meningkat Santrock, 2003. Aspek utama dari mencari otonomi tersebut adalah untuk menemukan batas kontrol diri sendiri dan orang tua sehingga dapat memicu munculnya konflik Papalia and Feldman, 2014 bahwa remaja sudah lepas dari pegangan orang tua. Hal tersebut menyebabkan orang tua melakukan pengendalian yang lebih ketat kepada anak remajanya, akan tetapi hal tersebut hanya berlaku pada keluarga yang tidak sehat secara psikologis Santrock, 2003. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 2. Sikap Azwar 1988 menyatakan bahwa munculnya sikap dipengaruhi oleh objek yang sedang dihadapi sekaligus oleh pengalaman masa lalu, masa sekarang beserta harapan-harapan pada masa yang akan datang. Hal ini menyebabkan manusia tidak dapat netral atau tidak dapat merasakan atau berfikir sesuatu ketika menemui suatu stimulus. La Pierre dalam Azwar 1988 menjelaskan bahwa sikap merupakan suatu pola perilaku, tendensi atau kesiapan untuk menyesuaikan diri pada situasi sosial tertentu, atau secara sederhana sikap merupakan respon terhadap stimulus sosial yang sudah terkondisikan. Dengan kata lain, menurut La Pierre sikap merupakan pola perilaku awal yang muncul sebelum perilaku itu sendiri muncul dari manusia. Menurut Allport dalam Azwar 1988, sikap adalah kesiapan untuk bereaksi terhadap objek dengan suatu cara tertentu. Kesiapan dalam hal ini adalah sesuatu yang potensial dalam diri individu ketika bertemu dengan suatu stimulus yang mengarah pada pemberian respon akan stimulus tersebut, sehingga dapat disimpulkan bahwa sikap merupakan pola perilaku yang dapat berfungsi sebagai dasar untuk bereaksi terhadap suatu objek yang dipengaruhi oleh objek yang sedang dihadapi, pengalaman masa lalu maupun sekarang beserta harapan pada masa depan. Kuswana 2014 menyatakan bahwa sikap merupakan evaluasi positif atau negatif dari orang, benda, peristiwa, kegiatan, ide, atau apa saja di lingkungan kita. Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa sikap merupakan respon atau pola dasar pada diri manusia, yang digunakan untuk merespon suatu objek tertentu. Azwar 1988 menjelaskan bahwa sikap memiliki tiga komponen, yaitu a. Komponen Kognitif Aspek kognitif dari sikap berisi tentang persepsi, stereotype atau kepercayaan seseorang mengenai hal-hal yang berlaku dan yang benar bagi objek sikap tersebut. Hal tersebut menyebabkan seseorang merespon suatu objek stimulus berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang telah dimilikinya. Kepercayaan yang dimiliki orang tersebut dapat berasal dari sesuatu yang dilihat atau yang telah diketahui. b. Komponen Konatif Sedangkan aspek konatif atau perilaku berisi mengenai apa dan bagaimana kecenderungan berperilaku serta reaksi dari diri orang tersebut yang berkaitan dengan objek sikap. Hal ini yang menyebabkan sikap dari seseorang akan dapat terlihat dengan jelas ketika sudah menjadi perilaku, “karena itu, adalah logis untuk mengharapkan bahwa sikap seseorang akan dicerminkannya dalam bentuk tendensi perilaku terhadap objek” Azwar 1988. c. Komponen Afektif Aspek afektif berisi mengenai masalah emosional dalam diri seseorang terhadap objek sikap, dengan kata lain komponen afeksi ini merupakan perasaan yang dirasakan oleh seseorang terhadap suatu objek sikap. Menurutnya, aspek afektif ini merupakan aspek yang dapat bertahan dari hal-hal yang dapat mengubah sikap seseorang. Komponen sikap diatas merupakan suatu kesatuan untuk membentuk sikap yang kemudian dapat mengarah pada perilaku, sehingga apabila terdapat suatu komponen yang memiliki arah yang berbeda dapat mempengaruhi atau mengubah sikap seseorang ketika menghadapi objek sikap. 3. Sikap terhadap Kenakalan Remaja Berdasarkan bahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa sikap merupakan pola dasar pada diri manusia, yang digunakan untuk merespon suatu objek tertentu, sehingga dalam penelitian ini peneliti ingin melihat pola dasar dari remaja ketika memberikan respon pada kenakalan remaja. Sikap sendiri mempunyai tiga komponen yaitu kognitif, konatif atau perilaku dan afektif atau perasaan. Komponen kognitif terhadap kenakalan remaja merupakan suatu pemikiran atau cara pandang seorang remaja mengenai kenakalan remaja. Komponen konatif adalah perilaku yang muncul dari seorang remaja ketika menghadapi PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI stimulus berupa kenakalan remaja. Sedangkan komponen afektif merupakan perasaan yang muncul dalam diri seorang remaja ketika menghadapi kenakalan remaja.

B. Pola Asuh

1. Definisi Menurut Kamus Bahasa Indonesia, pola merupakan sistem, cara kerja, bentuk atau struktur sedangkan asuh adalah menjaga, merawat, mendidik dan membimbing sehingga dapat disimpulkan pola asuh merupakan sistem atau cara kerja dalam mendidik atau merawat. Orang tua dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah ayah dan ibu kandung. Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa pola asuh orang tua merupakan sistem atau cara kerja yang digunakan orang tua dalam mendidik atau merawat anaknya. Yusuf 2011 mengungkapkan bahwa keluarga memiliki peran yang sangat penting dalam perkembangan pribadi anak. Selain itu, keluarga merupakan institusi atau lembaga yang dapat memenuhi kebutuhan insan manusiawi terutama bagi perkembangan kepribadian dan perkembangan ras manusia. 2. Aspek Pola Asuh Baumrind 1991 melaporkan dalam penelitiannya bahwa pola asuh orang tua memiliki dua aspek, yaitu demandingness dan responsiveness. a. Demandingness Dalam Jerica, Melanie, Katie and Dianne 2010 demandingness adalah bagaimana orang tua melakukan kontrol dan menggambarkan kekakuan tindakan orang tua terhadap perilaku anak. Hal ini dapat terlihat melalui orang tua yang menerapkan kedisiplinan, berani dan mampu untuk melarang perilaku anak yang menentang serta mengawasi perilaku anak. Menurut Darling 1999 demandingness merupakan perilaku kontrol kepada anak dengan merujuk pada orang tua yang membuat anak terintegrasi ke dalam keluarga melalui tuntutan kedewasaan dari orang tua, pengawasan, upaya untuk mendisiplinkan dan kesediaan untuk menghadapi anak yang tidak patuh. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa demandingness merupakan perilaku kontrol orang tua terhadap perilaku anak, yang menggambarkan kekakuan tindakan orang tua. Perilaku ini merujuk pada kedisiplinan, berani dan mampu untuk melarang serta mengawasi perilaku anak. b. Responsiveness Jerica, Melanie, Katie and Dianne 2010 menjelaskan bahwa responsiveness adalah unsur kehangatan dan dukungan yang diberikan oleh orang tua PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI kepada anaknya, yang dapat dilihat dalam aspek kepedulian dan komunikasi. Responsiveness merupakan unsur yang merujuk pada peningkatan intensitas orang tua dalam membantu perkembangan individu, regulasi diri, asertifitas diri dengan penyesuaian diri, dukungan, dan menyetujui kebutuhan dan tuntutan khusus dari anak. Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa responsiveness merupakan kehangatan dan dukungan orang tua dalam membantu perkembangan individu, regulasi diri, asertifitas diri melalui penyesuaian diri, dukungan, dan menyetujui kebutuhan serta tuntutan khusus dari anak. 3. Jenis Pola Asuh