B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pemikiran yang telah diuraikan pada latar belakang di atas, penulis merumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana kewenangan dari Pengawas Pemilihan Umum dalam
menangani perkara tindak pidana Pemilihan Umum tentang pelanggaran larangan kampanye.
2. Bagaimana sistem pengaturan tindak pidana pemilihan umum dalam
penegakan hukum di Indonesia. 3.
Bagaimana akibat hukum terhadap calon legislatif yang menjadi tersangka dalam mengikuti tahapan pemilihan umum.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai melalui penelitian ini adalah : 1.
Untuk mengetahui kewenangan dari Pengawas Pemilu dalam menangani perkara tindak pidana Pemilu tentang pelanggaran larangan kampanye.
2. Untuk mengetahui system pengaturan tindak pidana pemilu dalam
penegakan hukum di Indonesia.
3. Untuk mengetahui akibat hukum terhadap calon legislatif yang menjadi
tersangka dalam mengikuti tahapan pemilu.
Universitas Sumatera Utara
D. Manfaat Penelitian
1. Secara teoritis
penelitian ini diharapkan dapat memeberikan manfaat dalam bentuk sumbangan pemikiran dan saran demi kemajuan dan perkembangan ilmu
hukum khususnya yang berhubungan dengan upaya penegakan hukum dalam perkara tindak pidana pemilu legislatif tentang pelanggaran larangan
kampanye. 2.
Secara praktek penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat, menjadi masukan dan membantu
semua lapisan masyarakat terutama pengurus partai politik, calon legislatif, para penegak hukum untuk lebih memahami tentang tindak pidana pemilu
pada pemilu legislatif, khususnya tentang pelanggaran larangan kampanye.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan informasi dan penelusuran kepustakaan yang dilakukan penulis terhadap hasil-hasil penelitian yang sudah ada dan yang sedang dilaksanakan pada
Universitas Sumatera Utara USU Medan, Tesis mengenai “Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Pemilihan Umum Pada Pemilihan Umum Legislatif Tahun
2009 Tentang Pelanggaran Larangan Kampanye Studi Kasus : Putusan Pengadilan Negeri Padangsidimpuan Nomor: 116Pid.B2009 PN Psp Jo. Putusan Pengadilan
Tinggi Medan Nomor: 199PID2009PT.Mdn” belum pernah dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya.
Universitas Sumatera Utara
F. Kerangka Teori Dan Konsepsi 1. Kerangka Teori
Teori menurut Bruggink dalam bukunya “Refleksi tentang hukum”, adalah keseluruhan pernyataan statement, claim, bewenngen yang saling berkaitan.
7
Sedangkan kerangka teori merupakan” kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan problem yang menjadi bahan
perbandingan, pegangan teoritis yang mungkin disetujui ataupun tidak disetujui.
8
Didalam melakukan suatu penelitian diperlukan adanya kerangka teoritis, menurut Soerjono Soekamto untuk penelitian hukum normatif, diperlukan kerangka
teoritis lain, yang khas ilmu hukum.
9
Dalam membahas mengenai analisis penegakan hukum tindak pidana pemilu legislatif tahun 2009 tentang pelanggaran larangan kampanye, penulis terlebih dahulu
akan mengemukakan tentang penegakan hukum. Kerangka teoritis dalam penulisan ilmiah
berfungsi sebagai pemandu untuk menjelaskan dan memprediksi fenomena dan atau objek masalah yang diteliti dengan cara mengkonsrtuksi keterkaitan antara konsep
secara dedukatif ataupun indukatif.
Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Negara hukum yang
dimaksudkan adalah negara yang menegakkan supremasi hukum untuk menegakan
7
M. Solly Lubis, Modul Teori Hukum, Medan: Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, 2009, hlm. 3.
8
M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung: Mandar Maju, 1994, hlm. 80
9
Soerjono Soekamto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI press, Universitas Indonesia, 1986, hlm.127
Universitas Sumatera Utara
kebenaran dan keadilan, dan tidak ada kekuasaan yang tidak dipertanggungjawabkan. Aristoteles dalam bukunya berjudul Politics menyimpulkan bahwa negara memang
harus diperintah oleh kepala negara yang tunduk kepada hukum yang berlaku rule of law.
10
Secara umum, dalam setiap negara yang menganut paham negara hukum, kita melihat bekerjanya tiga prinsip dasar, yaitu supremasi hukum supremacy of law,
kesetaraan dihadapan hukum equality before the law, dan penegakan hukum dengan cara yang tidak bertentangan dengan hukum due process of law. Didalam
penjabaran selanjutnya, pada setiap negara hukum akan terlihat ciri-ciri adanya:
11
1. jaminan perlindungan hak-hak asasi manusia;
2. kekuasaan kehakiman atau peradilan yang merdeka;
3. legalitas dalam arti hukum, yaitu bahwa baik pemerintahnegara maupun warga
negara dalam bertindak harus berdasar atas dan melalui hukum; Penegakan hukum merupakan rangkaian proses untuk menjabarkan nilai, ide,
cita yang cukup abstrak yang menjadi tujuan hukum. Tujuan hukum atau cita hukum memuat nilai-nilai moral, seperti keadilan dan kebenaran. Nilai-nilai tersebut harus
mampu diwujudkan dalam realitas nyata
12
10
Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern Rechtstaat, Bandung: PT. Refika Aditama, 2009, hlm. 27
.
11
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Panduan Pemasyarakatan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Jakarta: Sekretariat Jendral MPR RI 2008,
hlm. 46-47
12
Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Yogyakarta: Genta Publishing, 2009, hlm. Vii
Universitas Sumatera Utara
Dalam hal penegakan hukum sehubungan terjadinya tindak pidana pemilu maka upaya penegakan hukum yang akan dilakukan semestinya melihat kembali apa
yang menjadi tujuan dari pemilu tersebut, bagaimana pengaruh pelanggaran hukum yang terjadi dihubungan dengan tujuan yang hendak dicapai pada pemilu. Pemilu di
Indonesia merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pada negara yang demokrasi pemilu ditandai dengan keikutsertaan partai
politik sebagai peserta pemilu. Dapat dikatakan bahwa partai politik itu pada pokoknya memiliki kedudukan status dan peranan role yang sentral dan penting
dalam setiap sistem demokrasi. Partai politik biasa disebut sebagai pilar demokrasi, karena mereka memainkan peran yang penting sebagai penghubung antara
pemerintah negara the state dengan warga negaranya the citizens.
13
Menurut Schattscheider 1942 didalam Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, pasca Reformasi dikatakan “Political parties created
democracy” partai politiklah yang membentuk demokrasi, bukan sebaliknya. Oleh sebab itu, partai politik merupakan pilar atau tiang yang perlu dan bahkan sangat
penting untuk diperkuat derajat pelembagaannya the degree of institutionalization dalam setiap sistem politik yang demokratis.
14
13
Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, pasca Reformasi, Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer, 2007, hlm. 709, 710.
14
Ibid, hlm. 710.
Universitas Sumatera Utara
Penegakan hukum dalam perkara tindak pidana pemilu di Indonesia haruslah disesuaikan dengan tujuan negara hukum sebagaimana tercantum dalam ketentuan
Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia terkait erat dengan negara kesejahteraan welfare state atau paham negara hukum materil.
Pelaksanaan paham negara hukum materil akan mendukung dan mempercepat terwujudnya negara kesejahteraan di Indonesia.
15
Hukum itu tidak akan bisa tegak dengan sendirinya, artinya hukum itu tidak akan mampu mewujudkan ketentuan-ketentuan yang telah diatur didalam undang-
undang dengan sendiri, akan tetapi dalam penegakan hukum selalu melibatkan manusia yakni para penegak hukum dan juga masyarakat.
Ketika terjadi suatu peristiwa pidana dalam upaya melakukan penegakan hukum, tidak bisa terlepas dari politik kriminal atau criminal policy yaitu berupa
usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi tindak pidana. Politik kriminal atau criminal policy merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum
law enforcement policy. Politik kriminal atau criminal policy pernah dikemukakan oleh Marc Ancel dapat diberikan pengertian sebagai the rational organization of the
control of crime by society, Sedangkan G. Peter Hoefnagels bahwa “Criminal policy is the rational organization of the social reaction to crime”.
16
15
Op. Cit. Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hlm. 48
16
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, Jakarta, Kencana, 2008, hlm. 1 dan 2.
Universitas Sumatera Utara
Adapun sejarah timbulnya criminal policy adalah dari usulan negara-negara dalam beberapa pertemuan internasional diantaranya:
17
1. Kongres PBB Ke- 4 Tahun 1970 tentang the Prevention of Crime and the
Treatment of Offenders, di Kyoto Jepang; 2.
Kongres Ke- 5 PBB Tahun 1975 tentang the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, di Geneva;
3. Kongres Ke- 6 PBB Tahun 1980 tentang the Prevention of Crime and the
Treatment of Offenders, di Caracas; 4.
Kongres Ke- 7 PBB Tahun 1985 tentang the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, di Milan;
5. Kongres Ke- 8 PBB Tahun 1990 tentang the Prevention of Crime and the
Treatment of Offenders, di Havana; 6.
The International Seminar Course 1973 di Jepang tentang Reform in Criminal Justice.
Kebijakan kriminal pada hakekatnya merupakan bagian integral dari kebijakan sosial. Kebijakan sosial dapat dimaknai sebagai suatu kebijakan untuk
mencapai kesejahteraan sosial. Hubungan antara kebijakan kriminal dengan kebijakan sosial dapat
digambarkan dengan skematis sebagaimana dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief berikut ini:
18
17
Mahmud Mulyadi, Criminal Policy, Pendekatan Integral Penal Policy dan Non-Penal Policy dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, Medan: Pustaka Bangsa Press, 2008, hlm.
51,52, 53, 54.
18
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, Op. Cit, hlm.3.
Social Welfare Policy
Social Defence
Criminal Social Policy
Tujuan
Penal
Non-Penal
Universitas Sumatera Utara
Kebijakan penanggulangan tindak pidana menurut Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah dapat dikelompokan menjadi 2 dua macam, yaitu kebijakan
penanggulangan tindak pidana dengan menggunakan sarana hukum pidana penal policy dan kebijakan penanggulangan tindak pidana dengan menggunakan sarana
diluar hukum pidana non-penal policy
19
Dari uraian diatas dapat dilihat dengan jelas bahwasanya kebijakan penaggulangan tindak pidana dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu:
A. Kebijakan penanggulangan tindak pidana dengan menggunakan sarana hukum
pidana penal policy B.
Kebijakan penanggulangan tindak pidana dengan menggunakan sarana diluar hukum pidana non-penal policy.
Dalam menentukan suatu tindak pidana digunakan kebijakan hukum pidana penal policy berawal dari bagaimana hukum pidana itu dirumuskan dengan baik dan
memberikan pedoman kepada pembuat undang-undang legislatif. Kebijakan yang dilakukan oleh pembuat undang-undang legislatif sangat berpengaruh dan
menentukan kepada tahapan-tahapan penegakan hukum berikutnya. Dalam hal ini lembaga legislatif yang merumuskan apakah sesuatu perbuatan itu merupakan
perbuatan kriminal atau tidak. Sudarto berpendapat kriminalisasi dapat diartikan sebagai proses penetapan
suatu perbuatan orang sebagai perbuatan yang dapat dipidana. Proses itu diakhiri
19
Teguh Prasetyo, Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, hlm.17.
Universitas Sumatera Utara
dengan terbentuknya undang-undang, dimana perbuatan itu diancam dengan suatu sanksi berupa pidana.
20
2. Kerangka Konsepsi